Jumat, 23 Mei 2014

HASBUNALLAHU WA NI’MAL WAKIIL

Syaikh Abdurrozaq Al Badr -hafidzahullahu-

Kalimat muliya yang penuh barokah ini diucapkan di dalam dua keadaan, yaitu di waktu menggapai suatu manfaat serta kebaikan dan di waktu menolak mafsadat dan keburukan.
Adapun dalam keadaan pertama diantaranya digambarkan dalam firman Allah Ta’ala:

 وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوْاْ مَا آتَاهُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللّهُ سَيُؤْتِينَا اللّهُ مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللّهِ رَاغِبُونَ 

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS.At-Taubah: 59).

Dalam keadaan yang kedua sebagaimana Allah Ta’ala firmankan,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُواْ لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَاناً وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ . فَانقَلَبُواْ بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُواْ رِضْوَانَ اللّهِ وَاللّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

“(Yaitu) orang-orang (yang menta'ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’. Maka mereka kembali dengan ni'mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (QS Ali-Imran: 173-174).

Dan dua keadaan tersebut terkumpul menjadi satu dalam firman-Nya,

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’. Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.”(QS. Az-Zumar: 38).


Yaitu katakan, ”HASBUNALLAHU WA NI’MAL WAKIIL”, untuk mengapai suatu manfaat dan menolak mafsadat dan petaka.

FATWA SOAL-JAWAB

Pertanyaan: Semoga Allah memberkahi anda, ada ungkapan, "Sesungguhnya anda sangat keras tatkala membahas jamaah-jamaah yang ada, akan tetapi jika diceritakan kepada anda tentang pergolakan yang terjadi dengan bertumpahdarahnya kaum muslimin yang ada di belahan dunia, anda hanya menyinggung dengan secepat kilat seperti tidak ada perhatian terhadapnya, apa jawaban anda tentang ini?"                                

Berkata Syaikh Ibrohim ibnu 'Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah:  "Pertama, sebagaimana yang anda singgung, bahwa Ahlussunnah memiliki tugas untuk memberikan nasihat kepada manusia, dan menjelaskan kepada mereka akan perkara agamanya, dan arti Ahlussunnah adalah mereka yang senantiasa istiqomah berpegang erat dengan Sunnah, -kita memohon kepada Allah agar digolongkan kelompok ini-, mereka memiliki ghiroh (kecemburuan) atas agama dan akidahnya, dan juga atas darah kaum muslimin tentunya. Demi Allah tidak dijumpai seorang muslim, walau ia memiliki berbagai kekurangan pada dirinya, yang tidak murka atas terbunuhnya muslim lainnya, maka tuduhan bahwa Ahlussunah tidak marah dan murka tentang hal ini, tidak menolong muslim lainya, ini adalah tuduhan yang tidak benar dan keliru, akan tetapi Ahlussunnah senantiasa menanggulangi sesuatu dengan cara yang hikmah dan baik, tidak dengan menimbulkan kekacauan dan keributan, bukan dengan cara naik mimbar dan teriak-teriak dihadapan para manusia seraya berkata, "Hilang kesabaran!!", "Apa yang kita kerjakan??", "Apa yang telah kita lakukan??", dan ia memprovokasi manusia, apakah ini termasuk memberikan nasihat??, apa yg dihasilkan dari provokasi ini?? Bukankah di masjid-masjid tersebut tidak lebih hanyalah kaum muslimin yang awam, yang tidak memiliki daya dan upaya atas provokasi mereka. Demi Allah hal ini tidak akan membawa manfaat bagi kaum muslimin, bahkan ini hanyalah merupakan upaya untuk menyulut fitnah. Akan tetapi Ahlussunnah memberikan nasehat kepada para pemimpin, yang ada padanya ahlul halli wa aqdi dan menyampaikan kepada mereka dengan rahasia, dan ini yang akan membawa manfaat, menyeru kepada saudara-saudara mereka kebaikan, dan inilah ghiroh yang lurus. Adapun memberikan nasehat di hadapan umum kepada para pemimpin, maka ini bukanlah ghiroh yang dibenarkan. Adapun orang yang berakal, ia akan mengambil pelajaran dari orang lain.

Lihatlah pada negeri yang melakukan pelanggaran ini, tatkala dijumpai orang-orang yang melakukan keributan yang mengira ia memberikan dukungan untuk pembelaan tertumpahnya darah kaum muslimin yang mengakibatkan timbulnya fitnah ini, hingga mereka melontarkan kritik pedas, bahkan melontarkan celaan dan celotehan bahkan laknat, hingga para manusia mengatakan: "Alangkah besarnya ghiroh orang ini terhadap agama Allah!!....           

Apa dampak dari perbuatan ini?...Tidak mewariskan kecuali hanyalah timbul fitnah!! Hingga para pemuda banyak masuk dalam penjara, menimbulkan kekacauan, dan para provokator lari meninggalkan mereka......           

Berbeda dengan Ahlussunnah yang mereka cemburu terhadap agama Allah dan darah kaum muslimin dan mereka murka akan hal ini, akan tetapi kemurkaan mereka terkendali oleh akal, oleh agama, oleh dalil, maka Ahlussunnah mereka berupaya menanggulangi suatu kejadian berdasar Ilmu dan Fikih, sebagai contoh kita sebutkan imam dari para 'aimah Ahlussunnah yang memberikan arahan yang hak akan tetapi dengan ini banyak mendapat celaan dan kecaman, hingga manusia engan mengikuti nasehatnya, maka apa yg menimpa umat??...Tatkala muncul fitnah dinegeri Palestin, muncul kelompok anak-anak kecil bersenjata batu, mereka menyerang para yahudi dengan lemparan dan ketapel batu, maka muncul para provokator dan meneriakkan: "Ini adalah pintu kemenangan, ini adalah permulaan jihad", mereka menghembuskan pernyataan bahwa orang yahudi akan mereka usir esok hari, dan memberikan banyak khayalan dan bualan dan mengembar-gemborkan bahwa ini yang dinamakan jihad.

Maka tatkala Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang perbuatan mereka beliau menjawab: "Mereka tidak memiliki tahtik dan kekuatan untuk jihad, maka seyogyanya di masa seperti ini tidak memancing musuh yang mana kaum muslimin tidak memiliki kemampuan untuk memerangi mereka. Maka dikatakan ini berarti damai dengan mereka, ini demikian, itu demikian.....Kalau seandainya hal ini yang memberikan fatwa bukan Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz, niscaya banyak lagi sanggahan dan cemomohan padanya. Maka tatkala fatwa ini dilanggar, apa yg terjadi? Beberapa tahun telah lewat? Apa yang menimpa umat? Apa yang terjadi pada kaum muslimin?... Dahulu yang tadinya mereka aman di rumah-rumah mereka, sekarang rata rumah-rumah mereka, masjid-masjid, madrasah-madrasah, fasilitas-fasilitas umum dihancurkan, hingga semua kering. Kemudian apa hasil setelah semua ini? Hasilnya mereka sekarang kembali patuh dan tunduk, mereka sekarang mengatakan perundingan dan perdamaian, setelah semua hancur dan rata, ini adalah akibat dari kecerobohan, menampakkan ghiroh atas darah muslimin, kemudian menyulut fitnah, dan orang yg melontarkan nasihat agar tidak membabibuta dikatakan bermudahanah (loyal pada musuh)?!... ...

Para Ulama mereka adalah manusia yang paling memiliki ghiroh dan kecemburuan terhadap agama Allah, akan tetapi mereka mengatasi segala persoalan dan permasalahan dengan hikmah dan bijak.

Adapun yang disebut pula dalam pertanyaan dari kelompok-kelompok yang ada, maka demi Allah sesungguhnya bid'ah lebih buruk dari perbuatan maksyiat pembunuhan muslim, jika pelakunya sesama muslim, jika pembunuhnya kafir, maka ini tergolong syahid bagi muslim tersebut. Jika dijumpai muslim membunuh muslim lain, maka ini adalah maksyiat yang melanggar hak saudaranya, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم , "Pembunuh dan yang dibunuh keduanya di neraka". "Jika dua orang  muslim saling menghunus pedang mereka, maka si pembunuh dan yang dibunuh keduanya di neraka". Ini adalah ancaman yang sangat keras. Adapun jika muslim dibunuh oleh orang kafir, maka ini syahid baginya إِنْ شَاءَ اللّهُ , dan ini adalah cobaan dan peninggian derajat baginya.

Akan tetapi apa yg menimpa muslimin dari perkara bid'ah dalam agama mereka, maka ini lebih dahsyat dari pembunuhan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala, dan fitnah ditafsirkan para salaf adalah bid'ah, dan fitnah bid'ah pada umat lebih bahaya dari fitnah maksyiat, dan hendaknya kalian merenungkan: "Siapa yang telah membunuh Umar? Bukankah seseorang kafir yang mendapat dorongan dari kelompok menyimpang dan sesat? , Siapa yang telah membunuh Utsman? Bukankah Ahlu bid'ah? Siapa yang membunuh Ali, mencela Mu'awiyah, mencela dan melaknati para sahabat? Siapa yang melecehkan para ulama? Keluar dari kekuasaan penguasa? Yang melakukan pengeboman pada negara yang berpenduduk muslimin masa sekarang?"....Yang melakukan para pelaku maksyiat atao pelaku bid'ah? Mereka ahlu bid'ah, oleh karenanya Ahlussunnah senantiasa memberikan peringatan atas perbuatan bid'ah, karena sangat berbahaya bagi umat, dengan ini berkata Sufyan ibnu Uyainah: " Bid'ah lebih disukai iblis dari perbuatan maksyiat, pelaku maksyiat akan bertaubat sedang pelaku bid'ah tidak akan bertaubat".

Kita bisa saksikan bahwa banyak pelaku pembunuhan kaum muslimin jika ia dinasehati dalam waktu satu jam ia akan bertaubat kepada Allah, akan tetapi lihat bagaimana sikap ahlu bid'ah, ia tidak bertaubat. Bukan maksudnya jika pelaku bid'ah bertaubat tidak diterima taubatnya, akan tetapi ia tidak bertaubat dikarenakan memandang amalan yang ia lakukan adalah baik, ia di atas petunjuk, dan merasa benar. Maka bagi para kaum muslimin seyogyanya mereka faham akan agama mereka, dan tidak pantas untuk meremehkan perkara bid'ah. Maka dari itu memberikan peringatan dari bid'ah merupakan jalan selamat bagi umat. Berpegang erat terhadap jama'ah dan jihad fi sabilillah inilah yang ditegakkan dalam ajaran As-Sunnah, bukan berjihad dengan mencampurkan aneka bid'ah dan perpecahan. Maka tatkala kita menyeru kepada Sunnah dan memperingatkan dari bid'ah, ini merupakan seruan berpegang terhadap jamaah, dan berpegang dengan Jamaah memiliki kedudukan berjihad.   Adapun perbuatan maksyiat maka kita senantiasa memperingatkan umat darinya, kita tidak pernah diam dari kemaksyiatan, dan kita merasa, jika dijumpai dalam umat suatu pelanggaran sebagai contoh memakan yang haram, melakukan maksyiat, pelanggaran syar'i , pasti dijumpai dari kalangan Ahli Ilmu berbicara menerangkan akan hal ini, dikarenakan prinsip Ahlussunnah tidak diam dari kesalahan, dan dijumpai pula banyak peringatan terhadap bid'ah dari peringatan dari maksyiat karena bahaya bid'ah lebih dasyat dari bahaya maksiyat.

www. Islamancient. Com


Sabtu, 10 Mei 2014

CORONAVIRUS(nCOV)/ MERS-CoV

Asy Syaikh Abdurrozaq Al Badr hafidzahullah

Banyak dijumpai pada majlis para manusia pada akhir-akhir ini pembicaraan tentang suatu penyakit yang meresahkan dan menakutkan dari tersebarnya wabah ini, antara canda dan nasehat serta banyak motif niat mereka dalam memperbincangkan akan hal ini.

Yang menjadi kewajiban bagi seorang muslim pada setiap keadaan dan waktu, termasuk tatkala munculnya suatu kejadian dan musibah hendaknya ia bertakwa dan berpegang teguh kepada Allah Ta’ala, dan sebaiknya niatan dalam berbicara, berdiskusi untuk menanggulangi akar masalah sesuatu hendaknya dibangun di atas asas yang syar’i, pondasi yang dilandasi diatas khouf (rasa takut) kepada Allah Ta’ala dan muroqobah(pengawasan) -Nya.

Di sini ada enam point yang berkaitan tentang kejadian ini, yang akan memberikan gambaran bagi kehidupan manusia di hari-hari yang dirasa amat penting ini:

1. Kewajiban bagi seorang muslim hendaknya dalam segala keadaannya berpegang teguh kepada Allah Ta’ala, bertawakal, berkeyakinan bahwa segala perkara semuanya di atas kuasa Allah, sebagaimana difirmankan,

    مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ        
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (QS.At-Taghabun: 11)

Segala urusan berada pada gengaman tangan Allah semata, sesuai pengaturan dan penakdiran-Nya, jika Allah berkehendak pasti terjadi, dan apapun yang tidak dikehendaki Nya tidak akan pernah terjadi, tiada sesuatu penjagaan kecuali hanya datang dari Allah semata, sebagaimana difirmankan,

 قُلْ مَن ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءاً أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيّاً وَلَا نَصِيراً    
“Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah”. (QS Al-Ahzab: 17
Allah berfirman,
 قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ    
“Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS Az-Zumar: 38)
Allah berfirman,
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ 
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.Faathir: 2)

Di dalam hadist, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ketahuilah jika sekiranya umat ini berkumpul untuk memberikan sesuatu manfaat, maka tidak akan membawa kepadamu sesuatu manfaat kecuali bila telah Allah tuliskan bagimu, demikian pula sekiranya umat ini berkumpul untuk memberikan mudhorot, maka tidak akan sampai padamu sesuatu mudhorot kecuali apa yang telah Allah tuliskan untukmu, telah terangkat pena, dan telah kering lembaran takdir “.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah telah menuliskan takdir para makhluk hidup semua sebelum diciptanya langit dan bumi sebelum lima puluh ribu tahun“.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya pertama kali yang Allah ciptakan adalah sebuah pena, dan Allah perintahkan agar menulis, maka ia berkata, ‘Apa yang aku tulis?’, maka Allah perintahkan, ”Tulis takdir segala sesuatu hingga tegak hari kiamat“.

Maka sepantasnya seorang muslim agar menyerahkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala, dengan rasa berharap, bersandar, bertawakal, dan tidak mencari kesembuhan, keselamatan, kesehatan kecuali hanya kepada Allah Tabaroka Wa Ta’ala, sebagaimana difirmankan,
 وَمَن يَعْتَصِم بِاللّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ 
Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS Al Imran: 101)  

2. Wajib bagi setiap muslim agar menjaga hak-hak Allah Ta’ala, dengan mengerjakan ketaatan, menjalankan perintah dan menjauhi larangan, sebagaimana wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas, ”Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah Allah, niscaya engkau jumpai pertolongan Allah ada di hadapanmu”.

Maka menjaga perintah-perintah Allah dengan megerjakan ketaatan dan menjauhi larangan akan menjadi sebab keselamatan dan penjagaan Allah di dunia dan akhirat, dan sekiranya ia mendapat musibah atau petaka, maka itu tidak menjadikannya kecuali semakin tinggi derajatnya di sisi Allah, sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Mengherankan perkara seorang mukmin, setiap urusannya pasti suatu kebaikan baginya, dan hal itu tidak akan terjadi kecuali hanya kepada orang mukmin, jika ia mendapat sesuatu yang menyenangkan dan ia bersyukur, maka ini kebaikan untuknya, dan jika ia ditimpa sesuatu petaka dan ia sabar, maka ini kebaikan baginya“.

Maka bagi seorang yang mukmin, segala apa yang menimpa dirinya dari sesuatu yang menyenangkan maupun petaka adalah suatu kebaikan baginya dan akan mengantarkan kepada kebaikan, dan itu tidak akan terjadi kecuali hanya kepada seorang yang beriman.

3. Sesungguhnya syariat islam datang dengan memberikan anjuran agar berusaha dan menggapai sebab-sebab dan upaya untuk mengobati penyakit, daengan mencari obat dan penawar hal ini tidak berlawanan dengan sifat tawakal kepada Allah Ta’ala.

Pengobatan yang dijumpai dalam syariat islam mencakup dua unsur, pengobatan yang bersifat pencegahan sebelum datangnya suatu penyakit, dan pengobatan yang bersifat penyembuahan tatkala terkena suatu penyakit, dan keduanya dianjurkan dalam syariat islam.

Disana pula terdapat pondasi-pondasi penyembuhan dan penanggulangan, dan pondasi pengobatan sehingga seorang muslim dapat menggapai keselamatan dan kesembuhan baik di dunia dan akhirat.

Dan barang siapa menelaah kitab “Tibbun  Nabawy”, karangan ‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullahu, niscaya akan menjumpai sesuatu yang sangat mengherankan dari syariat islam dan apa yang shohih dari apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diantara pengobatan pencegahan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang di pagi hari ia memakan tuju korma ‘ajwah, maka ia tidak akan terganggu pada hari itu oleh racun dan sihir”.

Diriwayatkan oleh Utsman Ibnu Affan radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah seorang hamba mengucapkan di setiap pagi dan setiap sore, “BISMILLAHILLADZI LA YADHURRU MA’ASMIHI SYAI’UN FIL ARDHI WALAA FISSAMAA’I WAHUWAS SAMI’UL ‘ALIM” tiga kali maka tidak akan membahayakan pada dirinya suatu apapun”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al Baqoroh pada suatu malam, niscaya ia akan terbebas“. Yaitu ia terbebas dari setiap keburukan dan kejelekan dan kejahatan.

Dari sahabat Abdullah ibnu Hubaib radhiyallahu’anhu ia berkata, ”Pada suatu malam disaat hujan lebat lagi gelap gulita kami keluar rumah mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar sholat dengan kami, maka kamipun menjumpainya, maka beliau berkata, ”Katakan!”, maka aku tidak mengatakan sesuatu, kemudian beliau berkata, ”Katakan!”, maka aku tidak mengatakan sesuatu, kemudian beliau berkata lagi, “Katakan!”, maka aku bertanya, “Apa yang harus kukatakan?”, maka beliau bersabda, ”Katakan: QUL HUWALLAHU AHAD, dan MUAWWIDZATAIN (Al-Falaq dan An-Nas) di kala pagi dan petang tiga kali, niscaya akan menjagamu dari segala sesuatu”.

Dari hadist Abdullah ibnu Umar radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadanya agar jangan sampai lupa berdoa pagi dan petang dengan doa ini, ”ALLAHUMMA INNI AS’ALUKAL ‘AFIYATA FID DUNYA WAL AKHIROTA,  ALLAHUMMA  AS’ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AFIYATA FID DIINY WAD DUNYAYA WA AHLI WA MAALI, ALLAHUMMA USTUR ‘AUROOTI  WA ‘AMIN ROU’ATI, ALLAHUMMA IHFADZNI MIN BAINI YADAIYA WA MIN KHOLFI WA ‘AN YAMINI WA ‘AN SYIMALI  WA MIN FAUKI WA ‘AUDZU BI ‘ADHOMATIKA ‘AN UGHTALA MIN TAHTI“. Dalam do’a ini terkandung permohonan perlindungan secara sempurna dari berbagai sisi.

Adapun dalam pengobatan penyembuhan,  telah banyak dijumpai petuah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuk yang beraneka ragam yang terdapat dalam sunnah-sunnah yang panjang, tidak memungkinkan untuk diulas disini, sebagai isyarat bisa kaliyan telaah kitaab “Za’dul Ma’ad”, karya Ibnul Qoyim.

4. Kewajiban bagi seorang muslim agar tidak mudah hanyut dan terlena dengan kabar-kabar dusta, karena sebagian manusia dalam situasi seperti ini menyebarkan sesuatu yang tidak memiliki sandaran kebenaran dan kenyataan yang menimbulkan keributan, keresahan dan kekawatiran yang tidak mendasar wujudnya. Maka sebaiknya seorang muslim tidak hanyut dan terlena dengan kabar burung yang tak berujung, akan tetapi menepisnya dengan kesempurnaan iman, yakin, tawakal kepada Robb Ta’ala.

5. Sesungguhnya musibah dan petaka yang menimpa seorang muslim baik kepada dirinya, keluarganya, anaknya, hartanya, perdagangannya, dan semisalnya, jika ia menerimanya dengan lapang dada, sabar, mencari pahala Allah, niscaya akan menambahnya ketinggian derajat di sisi Allah Ta’ala sebagaimana difirmankan,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ,  الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ .  أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ  
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" . Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  (QS Al Baqoroh: 155-157).
Allah ta’ala memberikan ujian pada hamba agar mendengarkan keluhan, doa, permohonan, sabar, ridho, terhadap putusan-Nya dari para hamba. Maka Allah melihat hambanya tatkala memberikan cobaan agar diketahui diantara mereka mana yang khiyanat diantara mata-mata mereka dan apa yang tersembunyi dalam dada, sehingga memberikan balasan pada setiap hamba sesuai apa yang ia niatkan, maka sebaiknya tatkala mendapat musibah hendaknya ia meniatkan agar mendapat pahala Allah, dan menyambutnya dengan penuh kelapangan dan kesabaran hingga meraih pahala orang yang bersabar, dan jika ia diberikan ‘afiyah hendaknya memuji Allah hingga mendapat pahala orang yang bersyukur.
6. Sesungguhnya musibah yang paling besar adalah musibah agama, yang ini merupakan ujian yang paling besar di dunia dan akhirat, yang akan membawa kepada puncak kesengsaraan yang tak berujung. Maka tatkala ia diberikan ujian pada tubuhnya , hartanya hendaknya mengingat akan musibah agama ini, dan memuji Allah atas selamatnya agamanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam ‘Syuabul-Iman’, dari Syuraih Al-Qo’dhi rahimahullah ia berkata, ”Sesungguhnya aku ditimpa musibah dan aku memuji kepada Allah empat pujian, Aku memuji Allah atas ujian yang tidak lebih besar dari yang menimpa ini, Aku memuji Allah tatkala aku diberikan kesabaran atasnya, Aku memuji Allah karena diberikan taufik mengucapkan kalimat Istirja’ hingga mengapai pahalanya, dan Aku memuji Allah karena musibah yang menimpaku bukan musibah dalam agama”.

Dan aku memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kepada kita perlindungan dan penjagaan, dan mengaruniai kita ampunan dan keselamatan  dalam urusan agama serta dunia, dalam keluarga kita dan harta kita, sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Dekat Lagi Mendengar Lagi Mengijabahi.

Kamis, 08 Mei 2014

BERGAUL DENGAN ORANG IKHLAS DAN MANFAATNYA

Dikisahkan bahwa pada masa dahulu dijumpai tiga orang yang terperangkap dalam goa. Terbukalah pintu goa dengan sebab keikhlasan doa. Hingga ketiganya berdoa dan terbuka penutup goa tersebut dan terbebaslah semua, lantaran manfaat yang mereka gapai bersama, satu dengan lainya. Dari sini kita mengetahui faidah dan manfaat dari bergaul bersama orang yang ikhlas, atas karunia Allah yang dilimpahkan kepada mereka. 

Sebagaimana pula disebutkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Sesungguhnya Allah memiliki malaikat berjalan betebaran di muka bumi yang mengikuti majlis-majlis dzikir, jika menjumpai suatu majlis dzikir maka ia ikut duduk bersama mereka dengan membentangkan sayap hingga memenuhi langit dunia, jika selesai maka malaikat tersebut terbang ke atas langit hingga ditanya Allah Ta’ala -dan Dia lebih mengetahui dari mana mereka datang- maka malaikat menjawab, “Kita datang dari kumpulan hamba-Mu di muka bumi yang mereka bertasbih, bertakbir, bertahlil, bertahmid, dan memohon kepada-Mu“. Dikatakan, ”Apa yang mereka mohon?”. “Mereka memohon surga-Mu,” “Apakah mereka pernah melihat surga?”. “Tidak wahai Robb“. “Bagaimana jika ia melihat sorga?” “Mereka akan memohon perlindungan.” “Perlindungan dari apa?”, “Dari neraka-Mu wahai Robb”, “Apakah mereka melihat neraka?”, “Tidak Ya Robb”, “Bagaimana jika mereka melihat neraka?”, “Mereka akan memohon ampunan kepada-Mu“.  Maka Allah katakan, ”Aku telah mengampuni mereka dan Aku berikan apa yang mereka ingginkan serta Aku berikan perlindungan untuk mereka”. Ya Robb, diantara mereka terdapat seorang hamba yang banyak melakukan kesalahan, ia melewati majlis tersebut dan ikut duduk bersama mereka?” Maka Allah berkata, ”Aku telah berikan ampunan padanya, mereka adalah sekelompok yang tidak akan menyengsarakan rekanan duduknya”. (HR Muslim)


-Kitabul Ikhlas hal: 38-39 - 

TERKABULNYA DOA ORANG YANG DIDZALIMI DAN TERANIAYA

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Doa orang yang terdzalimi/ teraniaya akan dikabulkan, walaupun ia berbuat dosa, dosanya sebatas untuk dirinya sendiri“. (Shohihul Jami’ no: 3377)

Jika kita merenungi hadist di atas, maka dijumpai keadaan orang yang teraniaya tersebut mengucapkan doa dari dasar lubuk hati penuh dengan keikhlasan, memusatkan pada hati dan tidak menyisakan peluang pikiran dan kesibukan lainnya, ia berupaya agar doanya terkabulkan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sebab ditolaknya doa dalam sabdanya, ”Berdoalah kalian kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan seruan doa seseorang yang hatinya lalai lagi alpa“. (Silsilah As Shohihah no: 594)

Orang yang berdoa sedangkan hatinya alpa dan lalai maka tidak akan dikabulkan, adapun orang yang sedang dalam keadaan terdzalimi dan teraniaya ia tidak lalai dan alpa karena doanya terucap dari lubuk hati yang dalam, demikian pula doa orang yang dalam keadaan tertimpa kesusahan, walaupun ia orang yang kafir kepada Allah, sebagaimana difirmankan:

 أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاء الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”. (QS. An-Naml: 62)

Orang yang sedang mengalami kesusahan dan kesempitan hatinya akan fokus dalam memanjatkan doa, jauh dari hati yang kosong dan lalai, maka disaat itu ia penuh keikhlasan walaupun sesungguhnya ia melampui batas dan terjerumus dalam kekafiran.

Diterangkan dalam hadist Muslim, yang dibawakan oleh sahabat Jabir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa mendaki bukit Tsaniyah/ Tsaniyah miror -yaitu tempat antara Makkah dan Hudaibiyah jalan menuju Madinah- maka ia akan diampuni dosanya sebagaimana diampuni umat bani Israil”.

Maka yang pertama kali sampai di atas bukit tersebut adalah Kuda kita yaitu Kuda dari kaum bani Khojroj, kemudian disusul oleh para sahabat lainya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Semua diantara kalian terampuni dosanya, kecuali pengendara onta merah -yaitu Abdullah ibnu Ubay tokoh munafikin- maka para sahabat mendatanginya, seraya berkata, ”Kemarilah engkau, agar Rasulullah memintakan ampunan untuk dirimu”, akan tetapi ia berkata, ”Sekiranya aku menemukan barangku yang hilang niscaya lebih aku sukai daripada kawanmu memintakan ampunan untuk diriku”.

Di sini kita ketahui bahwa orang tersebut hatinya disibukkan dengan barang yang hilang dari permohonan ampunan serta berikhlas kepada Allah, dan kita akan bawakankan satu hadist dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kesempatan ini agar memperjelas perkara yang kita ulas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah salah seorang diantara kalian menyiapkan air wudhunya, kemudian berkumur, memasukkan air ke dalam hidung, lalu membuangnya (beristinsyak dan intisyar) kecuali akan mengalir dosa dan kesalahan dari wajah, mulut, dan batang hidungnya,  dan jika ia membasuh seluruh mukanya sebagaimana diperintahkan maka akan mengalir dosa dan kesalahan wajahnya dari ujung janggutnya bersamaan jatuhnya air, kemudian jika ia mencuci tangannya hingga lengan maka akan menglir dosa tangannya dari ujung jemarinya bersamaan jatuhnya air, kemudian jika ia mengusap kepalanya sebagaimana yang diperintahkan maka akan mengalir dosa kepalanya dari ujung rambut kepalanya bersamaan usapan air tersebut, kemudian jika ia membasuh kakinya hingga mata kaki, maka akan berjatuhan dosa kakinya dari ujung jemarinya bersamaan air, dan jika ia berdiri kemudian mendirikan sholat dan memuja memuji serta menyanjung Allah yang semua itu hanya pantas diberikan pada-Nya, serta ia mengkosongkan hati kecuali hanya untuk Allah saja, maka niscaya dosa-dosanya hilang seperti halnya ia dalam keadaan hari terlahir dari ibunya”. (Shohihul  Jami’ no: 5680)

Dalam hadist di atas dinyatakan kalimat, ‘Serta ia mengkosongkan hati kecuali hanya untuk Allah saja’, ini merupakan dalil yang menjadi bukti bahasan ini, yaitu mengkosongkan hati dan hanya diperuntukkan kepada Allah, serta berpaling dari selain-Nya, dan ini merupakan kesempurnaan ikhlas kepada Allah Ta’ala, dan setiap orang yang teraniaya dan dalam keadaan genting niscaya ia mengkosongkan hati hanya kepada Allah semata, hingga doanya dikabulkan sebagaimana balasan atas keikhlasannya. Sebagaimana pula doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
     قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ  
Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." (QS Al-An’am: 77).
      وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS Hud: 47)

Doa-doa semisal ini niscaya akan dikabulkan, dikarenakan ia dalam keadaan genting, sekiranya tidak terkabulkan doanya ia akan masuk dalam golongan orang yang tersesat dan merugi.

Ungkapan-ungkapan dari panjatan doa di atas, menunjukkan atas pengkosongan hati hanya kepada Allah semata, dan tidak menyibukkan diri dengan selainnya, dan keinginannya hanyalah terkabulkan doa, serta mengutamakannya atas segalanya. Bahkan tatkala syaiton berdoa memohon kepada Allah walaupun permintaannya sangat besar membawa pada kesesatan, dimana ia berkata,
    قَالَ رَبِّ فَأَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ 
Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan”. (QS Al Hijr: 36)

Iblis memanjatkan doa ini dalam keadaan mengkosongkan hati hanya untuk Allah semata, dan ia dalam kondisi genting, maka apa hasil dari permintaannya? Allah berfirman:

  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنظَرِينَ  إِلَى يَومِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ
Allah berfirman: ‘(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan’ “. (QS Al Hijr: 37-38)  

Bagaimanakah cara bersyukur iblis kepada Allah tatkala permintaannya dikabulkan?

 قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka’ “. (QS Al Hijr: 39-40)

Di dalam ayat di atas iblis berupaya untuk menggelincirkan manusia semuanya dan diperkecualikan para hamba yang ikhlas yang mengkosongkan hati hanya untuk Allah semata, hingga mereka tidak terjerumus dalam kemungkaran hasil dari pengkelabuhan syaithon, maka kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang dalam kondisi terdholimi dan keadaan genting mereka semata berikhlas dalam doa dan tidak memikirkan kecuali berupaya terkabulkan permintaannya.

Dari sini pula kita melihat tiga sahabat yang telah ditangguhkan baginya taubat hingga apabila bumi terasa menghimpit dan jiwa mereka terasa sesak, dan inilah keadaan yang Allah sifatkan bagi mereka dalam firman-Nya,

 وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS At-Taubah: 118)

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya seseorang mengerjakan sholatnya akan tetapi ia hanya mendapat sepersepuluh pahala, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan setengahnya“. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban dan dicantumkan dalam Shohihul Jami’ no: 1622).

Diterimanya amal sholat seseorang tergantung sejauh mana ia khusuk dan memurnikan hati hanya kepada Allah Ta’ala, demikian pula doa yang dipanjatkan seseorang akan terkabul sejauh mana ia memurnikan hati hanya kepada Allah Ta’ala, dan terlebih bagi orang yang teraniaya dan keadaan genting yang ia ikhlas secara sempurna kepada Allah hingga dikabulkan permintaannya.

Bagaimana pula keadaan pemuda yang beriman (pada kisah Ashabul Ukhdud) yang ia hendak dilemparkan dari atas gunung? Bukankah ia berdoa dengan penuh keikhlasan seraya berkata, ”Ya Allah, lindungilah kami dengan sesuatu yang Engkau kehendaki“.

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Surga lebih dekat kepada kalian daripada tali alas kaki kalian, demikian pula neraka“. (HR Bukhari)

Dari sini difahami sesungguhnya apabila seseorang telah merasa dirinya dekat dengan surga dan hal itu dirasakan dengan sepenuh hati serta ia mengosongkan hati hanya kepada Allah, demikian pula ia merasakan keberadaan neraka, maka ini adalah bentuk ikhlas kepada Allah, dan seyogyanya kita merenunggi akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Jika sekiranya salah seorang yang beriman dari kalian mengetahui betapa dahsyat siksa Allah, niscaya tidak akan seseorang dari kalian berharap surga, dan jika sekiranya orang kafir mengetahui karunia dan rahmat Allah, niscaya ia tidak akan putus asa dari surga-Nya“. (HR Muslim)


Dan jika ia tau akan dahsyatnya siksa Allah niscaya ia memurnikan hatinya dalam berdoa agar selamat dari adzab-Nya, dan ia tidak akan berharap terhadap surga yang merupakan tempat kembali orang yang beriman.

-Kitabul Ikhlas, Syaikh Husain Al-Away'isyah-