Minggu, 01 Juni 2025

KEUTAMAAN HARI-HARI SEPULUH DZULHIJJAH

Keutamaan Hari-Hari Sepuluh Dzulhijjah


Disusun dan diteliti oleh:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin


Disertai dengan beberapa hukum seputar kurban

Diterbitkan dari pelajaran Syaikh yang mulia:
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Semoga Allah merahmati beliau, kedua orang tuanya, dan seluruh kaum muslimin.


Penerbit: Madar Al-Watan untuk Penerbitan
(www.madar-alwatan.com)


Keutamaan Sepuluh Hari Dzulhijjah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam kepada penghulu para rasul. Amma ba'du:

Sesungguhnya termasuk dari karunia dan nikmat Allah adalah Dia menjadikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih beberapa musim (waktu-waktu utama) di mana mereka bisa memperbanyak amal shalih. Dan di antara musim-musim itu adalah:

Sepuluh Hari Dzulhijjah

  1. Telah datang dalam keutamaannya dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, di antaranya:
  • Firman Allah Ta'ala: "وَٱلۡفَجۡرِ * وَلَيَالٍ عَشۡرٍ"
    (Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh)
    Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Yang dimaksud dengan sepuluh malam itu adalah sepuluh hari Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan lainnya. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.
  1. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
    “Tidak ada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini.”
    Para sahabat bertanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?”
    Beliau ﷺ menjawab:
    “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatu pun dari itu.”

  2. Firman Allah Ta’ala: "وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٖ"
    (… dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…)
    Ibnu ‘Abbas berkata: “Hari-hari yang telah ditentukan itu adalah hari-hari sepuluh (Dzulhijjah).” (Tafsir Ibnu Katsir)

  3. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
    “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan tidak ada amal yang lebih dicintai untuk dilakukan di dalamnya selain sepuluh hari ini. Maka perbanyaklah di dalamnya tahlil, takbir, dan tahmid.”
    Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

  4. Sa’id bin Jubair rahimahullah – dan beliau adalah yang meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abbas sebelumnya – jika masuk sepuluh hari (Dzulhijjah), beliau bersungguh-sungguh dalam amal ibadah sampai tak mampu lagi. HR Ad-Da'rimi. 


Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari berkata bahwa alasan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena di dalamnya berkumpul berbagai macam ibadah utama, yaitu: shalat, puasa, sedekah, dan haji — dan hal ini tidak terjadi di waktu lain.

Amalan yang Dianjurkan pada Hari-hari Ini:

1. Shalat:
Dianjurkan untuk menjaga shalat fardhu dan memperbanyak shalat sunnah (nawafil), karena ia termasuk amalan paling utama.
Dari sahabat Tsauban رضي الله عنه, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Perbanyaklah sujud kepada Allah, karena tidaklah engkau sujud kepada Allah satu sujud, melainkan Allah akan mengangkatmu satu derajat dan menghapus satu dosa karena itu."
(HR. Muslim) — dan ini berlaku sepanjang waktu.

2. Puasa:
Puasa dianjurkan di hari-hari ini sebagai bentuk amal shalih. Dari Hafshah رضي الله عنها, istri Nabi ﷺ, ia berkata:
"Rasulullah ﷺ biasa berpuasa sembilan hari dari Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa’i).

Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Puasa di sepuluh hari ini sangat dianjurkan secara kuat.”

3. Takbir, Tahlil, dan Tahmid:
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar رضي الله عنهما:
"Perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut."

Imam Al-Bukhari رحمه الله berkata:
"Ibnu Umar dan Abu Hurairah رضي الله عنهما biasa keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh itu lalu mengumandangkan takbir, dan orang-orang pun ikut bertakbir mengikuti mereka."

Dikatakan juga:
"Umar رضي الله عنه biasa bertakbir di kemahnya di Mina hingga orang-orang yang mendengar dari masjid pun ikut bertakbir. Maka penduduk Mina ikut bertakbir karena takbirnya Umar, Pasar-pasar dipenuhi dengan takbir hingga sampai ke Mina.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bertakbir di hari-hari itu (10 hari Dzulhijjah), baik di dalam tenda, di atas kasurnya, di tendanya, maupun di jalannya. Maka orang-orang pun mengikuti takbir Umar. Begitu pula putranya dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bertakbir dengan suara keras.

Sudah seharusnya bagi kita sebagai kaum muslimin untuk menghidupkan sunnah ini yang telah banyak dilalaikan pada zaman ini, hingga nyaris terlupakan kecuali oleh segelintir orang-orang saleh.

Lafal Takbir:

A. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabīran.

B. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allahu Akbar, Allahu Akbar, lā ilāha illallāh, waAllāhu Akbar, Allāhu Akbar wa lillāhil-ḥamd.

C. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, lā ilāha illallāh, waAllāhu Akbar, Allāhu Akbar wa lillāhil-ḥamd.

4. Puasa Hari Arafah:

Disunnahkan untuk berpuasa pada hari Arafah jika tidak sedang berhaji. Dari Nabi ﷺ, beliau bersabda tentang puasa hari Arafah:

"Aku mengharapkan dari Allah bahwa puasa hari Arafah akan menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya."
(HR. Muslim)

Namun bagi yang sedang berhaji dan sedang berada di Arafah, maka tidak disyariatkan berpuasa, karena Nabi ﷺ tidak berpuasa ketika di Arafah.

5. Keutamaan Hari Nahr (Hari Raya Qurban):

Banyak orang lalai dari keutamaan hari agung ini bagi kaum muslimin, padahal hari ini memiliki kemuliaan yang besar serta keutamaan yang agung di sisi Allah dan bagi kaum mukminin.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hari ini (10 Dzulhijjah) adalah hari yang paling utama sepanjang tahun, bahkan lebih utama daripada hari Arafah.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
"Hari yang paling utama di sisi Allah adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah), dan itulah yang disebut 'Hari Haji Akbar' sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Dawud."

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya hari-hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari penyembelihan (hari Nahr), kemudian hari qarr (hari setelahnya untuk menetap di Mina)."
(HR. Abu Dawud)

Hari qarr adalah hari menetap di Mina, yaitu hari ke-11 Dzulhijjah. Dan sebelumnya adalah hari Arafah yang lebih utama dari hari lainnya. Karena puasa pada hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun — setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Dan tidak ada hari yang Allah membebaskan lebih banyak hamba dari neraka dibanding hari Arafah, karena Allah turun (dengan cara yang layak bagi-Nya) ke langit dunia dan membanggakan hamba-hamba-Nya kepada para malaikat, seraya berfirman: "Apa yang mereka inginkan?"

Dan ada perselisihan pendapat apakah hari Arafah lebih utama ataukah hari Nahr (Idul Adha). Pendapat yang benar adalah bahwa hari Nahr adalah hari yang paling utama. Karena hadits tersebut menunjukkan bahwa itu adalah hari yang paling utama secara mutlak.

Dengan apa kita menyambut musim-musim kebaikan?

  1. Seorang Muslim hendaknya menyambut musim-musim kebaikan secara umum dengan:

    • Taubat yang jujur,
    • Niat yang ikhlas,
    • Meninggalkan dosa dan maksiat.

    Karena dosa-dosa adalah penghalang yang menghalangi seseorang dari keutamaan dan menjauhkan hatinya dari Tuhannya.

  2. Begitu pula, menyambut musim-musim kebaikan dengan:

    • Tekad kuat dan semangat yang jujur untuk memanfaatkannya dengan apa yang diridhai Allah.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(Surah Al-Ankabut: 69)

Maka wahai saudaraku Muslim, bersungguh-sungguhlah dalam memanfaatkan kesempatan emas ini sebelum ia berlalu dan engkau menyesal, dan tiada guna penyesalan saat itu.
Semoga Allah memberimu taufik dan menolongmu untuk memanfaatkan musim-musim kebaikan ini.
Kami memohon kepada-Nya agar menjadikan kita termasuk orang yang taat dan baik dalam beribadah kepada-Nya.

Beberapa Hukum dan Legalitas Kurban:

Hukum asal kurban adalah bahwa ia disyariatkan untuk orang-orang yang masih hidup. 

Sebagaimana Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya berkurban untuk diri mereka dan keluarga mereka. Adapun anggapan sebagian masyarakat umum bahwa berkurban hanya khusus untuk orang yang sudah meninggal, maka itu tidak benar. Berkurban untuk orang yang telah wafat terbagi menjadi tiga jenis:

Pertama: Berkurban atas nama orang yang sudah wafat sebagai bagian dari kurban untuk orang yang masih hidup, seperti seseorang berkurban untuk dirinya sendiri dan keluarganya, dan termasuk di dalamnya orang-orang yang telah meninggal dari keluarganya. Ini adalah dasar kurban Nabi ﷺ untuk dirinya dan keluarganya.

Kedua: Berkurban atas nama orang yang telah meninggal karena wasiat dari mereka. Maka ini termasuk pelaksanaan wasiat, dan dasarnya adalah firman Allah Ta'ala:

"Maka barang siapa mendengarnya lalu mengubahnya (wasiat itu), maka sesungguhnya dosanya hanyalah atas orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(Surah Al-Baqarah: 181)

Ketiga: Berkurban atas nama orang yang sudah wafat secara terpisah dari orang hidup, sebagai bentuk sedekah atas nama mereka. Ini diperbolehkan. Para ulama mazhab Hanbali secara eksplisit menyatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada mayit dan mereka menganalogikannya dengan sedekah atas nama mayit. Namun kami tidak melihat adanya dalil bahwa Nabi ﷺ mengkhususkan kurban untuk satu pun dari orang yang telah wafat di antara kerabatnya, padahal beliau memiliki banyak kerabat yang meninggal saat beliau masih hidup. Mereka adalah tiga anak perempuan yang telah menikah, tiga anak laki-laki yang masih kecil, dan juga istrinya Khadijah – yang merupakan wanita yang paling beliau cintai – serta tidak diriwayatkan bahwa para sahabat beliau mengkhususkan kurban untuk seseorang dari keluarga mereka yang telah meninggal.

Kami juga melihat sebagai suatu kesalahan apa yang dilakukan sebagian orang, yaitu berkurban atas nama orang yang telah meninggal pada tahun pertama kematiannya dan mereka menyebutnya “kurban tahunan” (أضحية الحفرة), dan mereka meyakini bahwa tidak boleh ada yang menyertai orang yang telah meninggal tersebut dalam pahalanya atau berkurban untuk mereka secara terpisah dari orang hidup.

Atau mereka menyembelih utk yang mati dalam rangka sedekah atau sesuai wasiat nya namun mereka tidak berkurban dari diri mereka dan keluarganya. Seandainya mereka mengetahui bahwa seorang lelaki yang berkurban dari hartanya atas nama dirinya dan keluarganya, maka amal mereka juga akan mencakup keluarganya dan orang-orang yang telah meninggal, niscaya mereka akan melakukan hal tersebut.

Larangan Bagi Orang yang Ingin Berkurban

Apabila seseorang ingin berkurban dan telah masuk bulan Dzulhijjah — baik terlihat hilal atau diyakini masuknya bulan dengan sempurna 30 hari — maka diharamkan baginya mengambil sedikit pun dari rambut, kuku, atau kulitnya sampai ia menyembelih hewan kurbannya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)

Dalam riwayat lain berbunyi:
“Janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya hingga ia menyembelih kurban.”

Jika seseorang berniat untuk berkurban selama sepuluh hari itu, maka ia wajib menahan diri dari memotong rambut dan kukunya sejak ia berniat, dan tidak berdosa atas apa yang telah diambil sebelum berniat.

Hikmah dari larangan ini:

Karena orang yang berkurban ikut serta dalam beberapa ibadah haji, dan ia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menyembelih hewan kurban, maka ia diajak untuk menyerupai sebagian dari orang-orang yang berihram yang juga menahan diri dari memotong rambut dan kuku.

Namun demikian, tidak diharamkan bagi anggota keluarganya untuk mengambil dari rambut dan kuku mereka di hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah), dan tidak dianjurkan bagi mereka untuk menahan diri. Larangan ini khusus bagi orang yang akan berkurban saja.

Larangan ini tidak berlaku bagi orang yang berkurban atas nama orang lain, karena Nabi ﷺ bersabda:
“Dan ingin berkurban…”
dan tidak mengatakan: “dan berkurban.”

Karena Nabi ﷺ sendiri berkurban atas nama keluarganya, dan tidak disebutkan bahwa beliau melarang mereka untuk menahan diri dari memotong rambut atau kuku. Jika seseorang yang ingin berkurban memotong sesuatu dari rambut atau kukunya, maka ia telah meninggalkan yang seharusnya, dan tidak membatalkan kurbannya.

Barang siapa melihat rambutnya atau kukunya rontok (karena lupa atau tidak sengaja sebelum menyembelih kurban), maka hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah Ta'ala. Tidak ada kafarah (denda) baginya, dan hal tersebut tidak mencegahnya untuk berkurban, sebagaimana pandangan sebagian ulama. Jika seseorang mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya karena lupa, tidak tahu, atau tidak sengaja, maka tidak berdosa baginya. Namun jika ia melakukannya dengan sengaja, maka ia berdosa. Jika ia butuh mencabut sesuatu yang mengganggunya, maka tidak mengapa — seperti jika bulu matanya mengganggu penglihatannya, atau rambutnya menyebabkan luka dan sejenisnya.

Hukum dan Adab Hari Raya Idul Adha

Saudaraku tercinta,
Kami menyapamu dengan salam Islam dan berkata kepadamu:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kami mengucapkan selamat hari raya Idul Adha yang penuh berkah, dan berkata kepadamu: Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan darimu. Kami berharap kamu menerima pesan ini yang kami kirimkan kepadamu, dan kami mohon kepada Allah 'Azza wa Jalla agar ia menjadi manfaat bagimu dan bagi seluruh kaum muslimin di setiap tempat.

Saudaraku Muslim,
Kebaikan seluruhnya ada dalam mengikuti petunjuk Nabi ﷺ dalam semua urusan kehidupan kita. Dan keburukan seluruhnya ada dalam menyelisihi petunjuk Nabi ﷺ. Oleh karena itu, terkadang kami mengingatkanmu akan sebagian adab dan hukum yang disyariatkan untuk dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik — yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Poin-poin penting tersebut antara lain:

1. Takbir:

Disyariatkan untuk memperbanyak takbir mulai dari fajar hari Arafah hingga sore hari terakhir dari hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.

Allah Ta'ala berfirman:
“Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.”
(QS. Al-Baqarah: 203)

Sifat bacaan takbir tersebut adalah:
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallaah, wallaahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillaahil hamd."
(Lafaz ini disunnahkan dibaca dengan suara keras oleh para laki-laki di masjid, pasar, rumah, dan jalan, seusai shalat lima waktu, mengumandangkan pengagungan kepada Allah Ta’ala dan dalam rangka ibadah serta bersyukur kepada-Nya.)

2. Menyembelih hewan qurban:

Dilakukan setelah salat Id. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa menyembelih sebelum salat, maka itu hanya sembelihan biasa untuk keluarganya, dan bukan kurban. Dan barangsiapa belum menyembelih, maka hendaknya ia menyembelih."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Waktu penyembelihan berlangsung selama empat hari: hari raya dan tiga hari tasyriq.
Nabi ﷺ bersabda: "Semua hari-hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih."
Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 2476.

3. Mandi dan berhias untuk pria, dan memakai pakaian terbaik:

Tanpa berlebihan, boros, atau mencukur jenggot karena hal ini haram. Adapun wanita, disunnahkan keluar ke tempat salat Id tanpa berhias dan memakai wangi-wangian.
Tidak pantas pergi untuk menaati Allah dan melaksanakan salat dalam keadaan bermaksiat kepada-Nya dengan berhias dan memakai parfum di hadapan laki-laki.

4. Tidak makan sebelum salat Idul Adha:

Nabi ﷺ tidak makan apapun hingga pulang dari salat Id, lalu beliau memakan daging kurban.
(Zaadul Ma'ad 1/441)

5. Pergi ke tempat salat Ied dengan berjalan kaki jika mudah:

Dan disunnahkan menunaikan salat di tanah lapang (musalla), bukan di masjid, kecuali jika ada udzur.

6. Salat bersama kaum muslimin dan disunnahkan menghadiri khutbah:

Mayoritas ulama berpendapat, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa salat Id hukumnya wajib.
Karena firman Allah Ta'ala:
"Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan sembelihlah (hewan kurban)."
(QS. Al-Kawtsar: 2)

Kewajiban ini tidak gugur kecuali dengan udzur.
Wanita juga dianjurkan untuk menyaksikan salat Id bersama kaum muslimin, termasuk wanita haid dan yang belum baligh. Namun mereka menjauh dari tempat salat (mushalla).

7. Menyelisihi jalan (ketika pergi dan pulang ke tempat salat Ied):

Disunnahkan bagimu untuk pergi ke tempat salat Id melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain, karena mengikuti sunnah Nabi ﷺ.

8. Ucapan selamat Ied:
Disyariatkan mengucapkan selamat Id. Hal ini diriwayatkan dari para sahabat Rasulullah ﷺ.

9. Waspadalah wahai saudaraku muslim dari jatuh ke dalam sebagian kesalahan yang banyak terjadi di kalangan manusia, di antaranya:

⛔. Takbir berjamaah:
Dengan satu suara atau mengikuti seseorang yang mengucapkan takbir.

⛔. Mengisi hari-hari Ied dengan hal-hal yang haram:
Seperti mendengarkan lagu, menonton film, percampuran laki-laki dengan wanita yang bukan mahram, dan hal-hal mungkar lainnya.

⛔ Memotong rambut atau kuku sebelum menyembelih hewan kurban, bagi orang yang ingin berkurban. Nabi ﷺ melarang hal tersebut.

⛔ Berlebihan dan mubazir dalam hal yang tidak ada manfaatnya, bahkan mungkin membawa keburukan. Hal ini tidak ada maslahatnya, dan tidak ada faedah darinya. Allah Ta‘ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al-An‘am: 141)

✺ Terakhir:
Jangan lupa wahai saudaraku muslim untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan amal kebaikan dan kebajikan seperti menyambung silaturahmi, menjenguk orang sakit, berbuat baik kepada orang tua, menyenangkan hati orang lain, menyayangi fakir miskin, anak yatim, membantu mereka, dan memasukkan kebahagiaan ke dalam hati mereka.

Kami memohon kepada Allah agar Dia memberi taufik kepada kita untuk melakukan hal yang dicintai dan diridhai-Nya, agar kita istiqamah dalam agama kita, dan agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang beramal pada hari-hari ini – hari-hari 10 Dzulhijjah – dengan amal yang saleh dan ikhlas karena wajah-Nya yang mulia.

Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.

*****

Minggu, 25 Mei 2025

TAUHID RUBUBIYAH


Penjelasan “Uṣūl al-Maqāṣid al-Dīniyyah” karya al-‘Allāmah al-Sa‘dī rahimahullāh


Oleh: PROF.DR. Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Utsman Sindy Hafizhahullah. 


Asal yang Pertama: 

Tauhid

Definisi Tauhid secara menyeluruh dengan berbagai jenisnya:

Tauhid adalah keyakinan terhadap keesaan Tuhan dan pengesaan-Nya dalam sifat-sifat kesempurnaan, serta pembacaan jenis-jenis ibadah yang terkandung dalam hal ini:
Tauhid Rububiyah, yaitu keyakinan bahwa Tuhan itu satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur segala urusan.


Penjelasan Syaikh Sindy Hafizhahullah;

Beliau memulai dengan fondasi pertama, yaitu tauhid. Tauhid berasal dari kata wahhada, yaitu menjadikan sesuatu itu satu, atau meyakini sesuatu itu satu. Kata wahda datang dengan makna menjadikan sesuatu itu satu atau meyakini sesuatu itu satu.

Beliau (rahimahullah) menyebutkan definisi tauhid secara menyeluruh dengan semua jenisnya. Dan definisi itu harus bersifat komprehensif (menyeluruh) dan pencegah (mencegah masuknya hal yang bukan darinya); mencakup semua cabang yang ada padanya dan mencegah dari masuknya yang bukan darinya.

Syaikh (rahimahullah) menyebutkan bahwa tauhid itu ada dua jenis:

  1. Tauhid dalam pengetahuan dan keyakinan.
  2. Tauhid dalam kehendak dan permintaan.

Sebagian ulama menyebutnya dua pembagian tauhid, dan sebagian lain menyebut tiga pembagian tauhid. Dan sebenarnya tidak ada perbedaan antara dua pembagian dan tiga pembagian tersebut. Semuanya kembali kepada satu makna, seperti yang akan dijelaskan insya Allah Ta‘ālā.

Setiap kali memungkinkan untuk merinci permasalahan akidah, menjelaskannya, mengulanginya dengan gaya bahasa yang berbeda-beda, maka itu lebih baik. Karena hal itu lebih membantu pemahaman bagi setiap orang. Sebab, seseorang mungkin memahami dengan satu gaya, namun tidak dengan gaya lainnya. Jadi, menjelaskan dengan berbagai cara dan pendekatan akan memberikan manfaat yang lebih besar dalam bab akidah.

Beliau rahimahullah berkata:
“(Yang dimaksud dengan akidah seorang hamba dan keyakinannya) adalah keyakinan dan pengakuannya bahwa Allah semata memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan keesaan-Nya dalam berbagai jenis ibadah.”
Pernyataan ini menggabungkan dua makna tauhid.

(Keyakinan dan pengakuan bahwa Allah semata memiliki sifat-sifat kesempurnaan) ini adalah tauhid keyakinan. Dan keyakinan ini harus dibangun atas dasar bahwa seseorang yakin bahwa Allah adalah yang dijelaskan oleh syekh, lalu ia melakukan konsekuensinya. Demikian pula (ibadah kepada-Nya dalam berbagai jenis ibadah), seperti yang dijelaskan oleh syekh, juga merupakan konsekuensi dari keyakinan tersebut, yaitu dalam bentuk tauhid ibadah. Dan ini mencakup tauhid uluhiyyah dan tauhid ibadah.

Tauhid uluhiyyah mencakup keimanan dan pengamalan, sedangkan tauhid rububiyyah hanya mencakup keimanan terhadap keesaan Allah. Dan inilah yang dimaksud oleh syekh dengan kata “makna”. Karena sebagian ulama tauhid mengatakan bahwa tauhid terbagi menjadi: tauhid ilmiy (berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan), atau mereka menyebutnya tauhid ma’rifah dan itsbat (pengakuan), dan tauhid qasdi wa thalabi (berkaitan dengan tujuan dan permintaan). Maka, sebagian ulama mengatakan: tidak ada perbedaan antara ungkapan ini, karena ia kembali kepada tauhid asma’ wa sifat.

Akan datang bersama kita, insyaAllah, penjelasan dari syekh rahimahullah dari uraian ini bahwa beliau memandang bahwa tauhid rububiyyah termasuk dalam tauhid asma’ wa sifat. Dan inilah yang benar. Bahwa tauhid rububiyyah itu hanyalah sebagian dari tauhid asma’ wa sifat.

Beliau rahimahullah berkata:
“Maka yang termasuk dalam tauhid rububiyyah yang dimaksud adalah keyakinan dan pengakuan bahwa Tuhan itu satu dalam hal penciptaan, pemberian rezeki, dan pengaturan segala urusan.”


Kalimat: 

(Allah Subhanahu wa ta‘ālā dengan penciptaan, pemberian rezeki, dan berbagai jenis pengaturan urusan makhluk)

Dimana letaknya pembicaraan tentang iman kepada adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā? Kita dapati Syaikh hanya membahas tentang keyakinan bahwa Allah-lah yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur (alam semesta), lalu ia mengikuti itu dengan pembahasan yang berkaitan dengan tauhid al-asmā’ wa al-shifāt. Maka apakah pembicaraan tentang iman kepada adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā tidak termasuk dalam tauhid?

Jawabannya: Para ulama yang menjelaskan bab ini menyebutkan bahwa iman kepada keberadaan Allah subhanahu wa ta‘ālā termasuk dalam tauhid rubūbiyyah, sebab seseorang tidak akan mempercayai bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur kecuali jika ia sudah meyakini adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā. Maka tidak diragukan lagi bahwa iman kepada wujud Allah subhanahu wa ta‘ālā adalah sesuatu yang mendahului keyakinan bahwa Allah adalah Rabb yang menciptakan dan mengatur. Siapa yang beriman bahwa Allah subhanahu wa ta‘ālā adalah Rabb yang esa, maka ia pasti telah beriman terhadap keberadaan-Nya, maka tidak perlu lagi disebutkan secara khusus. Oleh karena itu, para ulama tidak menyebutkan pembahasan tentang iman terhadap wujud Allah subhanahu wa ta‘ālā secara terpisah, karena itu sudah termasuk di dalam tauhid rubūbiyyah.

Disebutkan: "Tauhid rubūbiyyah adalah keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur berbagai urusan kehidupan." Maka semua perbuatan rubūbiyyah, dan segala sesuatu selainnya, bila dikembalikan kepada penciptaan dan pemberian rezeki serta pengaturan, maka itu adalah bagian dari perbuatan rubūbiyyah Allah subhanahu wa ta‘ālā dan sifat-sifat rubūbiyyah-Nya. Maka hal-hal ini masuk ke dalam tiga prinsip besar.

Kemudian ia berkata: "(Tauhid al-asmā’ wa al-shifāt)," perhatikan bahwa yang dimaksud dengan tauhid al-asmā’ wa al-shifāt adalah: mengimani bahwa Allah Maha Esa dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Adapun mengesakan Allah dalam ibadah (tauhid ulūhiyyah), maka itu akan dibahas nanti, setelah pembahasan tentang tauhid al-asmā’ wa al-shifāt dan rubūbiyyah.

Maka hubungan antara tauhid al-asmā’ wa al-shifāt dan rubūbiyyah adalah bahwa tauhid al-asmā’ wa al-shifāt mencakup nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lebih umum dari rubūbiyyah. Dan tauhid rubūbiyyah adalah bagian dari tauhid al-asmā’ wa al-shifāt, karena tauhid rubūbiyyah mencakup sifat-sifat rubūbiyyah Allah subhanahu wa ta‘ālā.

Sifat-sifat lebih umum daripada tauhid rububiyyah. Sebagian dari tauhid rububiyyah adalah tauhid rububiyyah itu sendiri. Maksudnya: tauhid rububiyyah adalah keyakinan terhadap perbuatan-perbuatan Allah dengan menetapkan bahwa semua perbuatan itu bersumber dari rububiyyah-Nya kepada makhluk-Nya. Oleh karena itu, keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala berkaitan dengan rububiyyah-Nya terhadap makhluk adalah maksud dari tauhid rububiyyah.

Ketika kita mengatakan: "Keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur"—ini adalah tauhid rububiyyah. Maka penciptaan, rezeki, dan pengaturan adalah termasuk dari sifat-sifat Allah. Jika tauhid rububiyyah mencakup sebagian dari tauhid nama dan sifat, maka tauhid rububiyyah adalah bagian khusus, sedangkan tauhid nama dan sifat lebih umum.

Namun, mengapa para ulama memisahkannya?

Jawabnya:

  • Karena mereka ingin menyebut tauhid rububiyyah secara khusus dengan menyebutnya bersama dengan tauhid nama-nama dan sifat-sifat karena pentingnya dan demi kemaslahatan yang dicapai. Maka disebutkan tauhid rububiyyah agar menjadi pembeda antara seorang mukmin yang beriman kepada Tuhan yang mengatur segala sesuatu, dengan orang atheis yang mengingkari Tuhan secara mutlak. Maka siapa yang beriman kepada rububiyyah Allah secara umum berbeda dengan orang atheis yang meniadakannya secara total.

  • Lalu, disebutkan tauhid rububiyyah untuk menjelaskan perbedaan antara kaum musyrikin yang menyelisihi kebenaran, mereka yang mengakuinya, namun tidak merealisasikan keimanan mereka kepada rububiyyah Allah secara total. Maka tidak diragukan bahwa mereka mengakui rububiyyah Allah dalam bentuk umum, tapi mereka tidak beriman secara sempurna dan tidak meyakininya sebagaimana keimanan ahli Islam. Maka mereka dalam bentuk umum beriman kepada rububiyyah Allah, namun mereka menyeru selain Allah.

 Dia (Allah Ta’ala) merupakan Dzat yang menciptakan segala sesuatu, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Ini adalah kadar yang mengharuskan tauhidullah (mengesakan Allah) dalam beribadah kepada-Nya. Dan karena mereka (kaum musyrik) tidak melakukan itu, maka penyebutan tauhid rububiyyah tidak bermanfaat bagi mereka dan mereka tetap termasuk musyrikin, karena di dalamnya ada kekurangan terhadap hak (tauhid uluhiyyah) yang merupakan hak Allah atas mereka.

Kemudian, ada faedah ketiga dari penyebutan tauhid rububiyyah, yaitu: dalil atas tauhid ibadah. Karena di antara dalil terbesar atas tauhid ibadah adalah tauhid rububiyyah. Jika engkau yakin bahwa Allah adalah Pencipta bagimu, bahwa Dia adalah satu-satunya yang memberi rezeki kepadamu, maka hendaknya engkau menyembah-Nya saja. Inilah yang ditunjukkan oleh puluhan ayat dari kitab Allah dan dari sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Maka demi manfaat yang besar dan maslahat yang benar, para ulama menyebut tauhid rububiyyah. Dan dalam kebanyakan pembagian tauhid oleh para ulama bukanlah untuk membuat-buat hal baru, namun untuk menjelaskan, memudahkan pemahaman, dan menyampaikan ilmu. Karena penjelasan terhadap makna-makna agama ini dengan cara yang mudah dan jelas, maka ia menjadi ilmu yang bermanfaat yang dibicarakan oleh para ulama. Maka ketika hal itu dibagi menjadi beberapa bagian, ia menjadi hal yang diyakini dengan iman yang lebih kokoh, dan urusan menjadi lebih mudah.

🔆🔆🔆🔆🔆


Senin, 12 Mei 2025

PERUMPAMAAN ORANG-ORANG KAFIR



 PERUMPAMAAN ORANG KAFIR 



﴿وَمَثَلُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِی یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ إِلَّا دُعَاۤءࣰ وَنِدَاۤءࣰۚ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡیࣱ فَهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ﴾ [البقرة ١٧١]



Al Imam Al Baghowy rahimahullah berkata: 

"Dan perumpamaan orang-orang kafir seperti orang yang memanggil sesuatu yang tidak mendengar..."

Kata "an-na‘îq" dan "an-naq" adalah suara penggembala kepada kambing. Maknanya: perumpamaanmu, wahai Muhammad, dan perumpamaan orang-orang kafir dalam nasihat dan seruanmu kepada mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah seperti penggembala yang berseru kepada kambing.

Ada juga yang mengatakan: perumpamaan orang yang menasihati dan menyeru orang kafir itu seperti penggembala yang berseru kepada kambing, padahal kambing itu tidak mendengar kecuali suara dan panggilan semata.

Perumpamaan ini dikaitkan kepada orang-orang kafir karena konteks pembicaraan mengarah kepada mereka, sebagaimana firman Allah: “Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada negeri itu...” (QS. Yusuf: 82), padahal yang dimaksud adalah penduduk negeri tersebut.

Maksudnya adalah: sebagaimana binatang ternak mendengar suara penggembala tetapi tidak memahami dan tidak mengerti apa yang dikatakannya, maka demikian pula orang kafir — mereka tidak mengambil manfaat dari nasihatmu, mereka hanya mendengar suaramu.

Ada juga yang mengatakan bahwa makna ayat ini adalah: perumpamaan orang-orang kafir dalam lemahnya akal dan pemahaman mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya, seperti binatang yang dipanggil tetapi tidak mengerti perintah dan larangan kecuali sekadar suara. Maka makna ayatnya diarahkan kepada yang dipanggil (yakni binatang), sedangkan pengucapnya (yakni penggembala) tidak disebut. Ini adalah gaya bahasa yang umum dalam bahasa Arab, untuk menjelaskan makna dengan lebih terang. Mereka biasa berkata: "Si Fulan takut kepadamu seperti takut kepada singa," maksudnya: takut seperti takutnya kepada singa.

Allah juga berfirman: “Sesungguhnya kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sekelompok orang yang kuat” (QS. Al-Qashash: 76) — padahal secara makna, seharusnya: sekelompok orang itu merasa berat memikul kuncinya.

Ada pula yang mengatakan bahwa maknanya adalah: perumpamaan orang-orang kafir yang menyeru berhala-berhala yang tidak bisa mengerti dan tidak memiliki akal, seperti penggembala yang berseru kepada kambing, yang mana kambing itu tidak mendapatkan manfaat apapun dari seruan itu — selain sekadar mendengar suara dan panggilan saja. Begitu pula orang kafir: mereka tidak mendapatkan manfaat dari doa dan ibadah mereka kepada tuhan-tuhan selain Allah, kecuali keletihan dan penderitaan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu. Dan jika mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan (permintaanmu)” (QS. Fathir: 14).

Ada juga yang mengatakan: makna ayat ini adalah perumpamaan orang kafir dalam menyeru berhala-berhala seperti orang yang berteriak di tengah gunung, yang hanya mendengar gema suaranya sendiri — yang disebut dengan “shadā” — tetapi tidak memahami apapun dari suara itu. Maka makna ayatnya adalah seperti orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar, dan tidak mendapat dari seruannya itu kecuali panggilan dan suara.

"Tuli" — orang Arab menyebut orang yang tidak mendengar dan tidak mengerti sebagai “seolah-olah ia tuli.”
"Bisu" — dari kebaikan, mereka tidak mengucapkannya.
"Buta" — dari petunjuk, mereka tidak melihatnya.
"Maka mereka tidak berakal."

(1) Lihat: Tafsir at-Ṭabarī, jilid 3, halaman 305.



Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir rahimahullah; 

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa‘id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Yahudi yang diajak Rasulullah ﷺ untuk masuk Islam, namun mereka berkata: “Tidak, kami tetap mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla membuat perumpamaan untuk mereka, sebagaimana firman-Nya: “Bagi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat adalah perumpamaan yang buruk” (QS. An-Nahl: 60). Maka Allah berfirman: “Dan perumpamaan orang-orang kafir” — maksudnya: dalam keadaan mereka yang berada dalam kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan, seperti hewan ternak yang dibiarkan lepas; tidak memahami apa yang dikatakan kepadanya. Bahkan jika penggembalanya berseru padanya — yakni memanggil untuk membimbingnya — ia tidak memahami ucapannya dan tidak mengerti maksudnya. Ia hanya mendengar suara tanpa memahami isi.

Demikian pula diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Abu Al-‘Aliyah, Mujahid, Ikrimah, ‘Aṭā’, Al-Hasan, Qatadah, ‘Aṭā’ Al-Khurasani, dan Ar-Rabi‘ bin Anas dengan makna yang serupa.

Dan dikatakan juga: ini adalah perumpamaan yang diberikan untuk mereka dalam hal mereka menyeru berhala-berhala yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak mengerti apa pun. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Namun pendapat pertama lebih utama, karena berhala-berhala itu sama sekali tidak mendengar, tidak mengerti, tidak melihat, tidak memiliki kekuatan, dan tidak memiliki kehidupan.

Firman-Nya: “Tuli, bisu, dan buta” — maksudnya: tuli dari mendengar kebenaran, bisu yang tidak mengucapkan kebenaran, dan buta dari melihat jalan petunjuk.

“Maka mereka tidak berakal” — artinya: mereka tidak memahami apa pun dan tidak mengerti, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli dan bisu dalam kegelapan. Barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk disesatkan) niscaya Dia akan menyesatkannya, dan barang siapa yang dikehendaki-Nya niscaya Dia akan menjadikannya berada di atas jalan yang lurus” (QS. Al-An‘ām: 39).



 Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini ; 

QS. Al-Baqarah ayat 171: “Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti orang yang berteriak kepada (kumpulan) yang tidak mendengar selain seruan dan panggilan saja—mereka tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak berakal.”

Penjelasan Ibnu Qayyim:

Perumpamaan ini mencakup dua pihak: yang menyeru (si peniup suara) seperti penggembala yang memanggil ternaknya dengan suara, dan pihak yang diseru, yaitu hewan ternak. Ada yang mengatakan bahwa yang menyeru itu adalah penyembah berhala (yang berdoa kepada berhala), dan berhala itu adalah pihak yang diseru. Maka keadaan orang kafir dalam doanya kepada berhala seperti orang yang menyeru sesuatu yang tidak mendengar. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Abdurrahman bin Zaid dan lainnya.

Namun, al-Zamakhsyari dalam al-Kashshaf dan sejumlah lainnya merasa ganjil dengan pendapat ini. Mereka berkata: “Firman Allah: ‘kecuali panggilan dan seruan’ tidak mendukung pemahaman itu, karena berhala tidak mendengar seruan atau panggilan sama sekali.”

Ada tiga jawaban atas keberatan ini:

  1. Bahwa kata “إِلَّا” (illa) dianggap sebagai tambahan (za'idah), sehingga maknanya adalah: “tidak mendengar panggilan dan seruan.” Mereka menyebut syair Arab sebagai bukti, seperti perkataan penyair:
    “Haraajîj maa tanfakku illa munaakhatan”
    Artinya: "Tak pernah berhenti kecuali untuk berlutut." Maksudnya: selalu berlutut. Namun jawaban ini dianggap lemah, karena kata "illa" tidak digunakan secara tambahan dalam kalimat seperti itu.

  2. Bahwa yang diserupakan dalam ayat bukan pada objek seruan (berhala), tapi pada tindakan menyerunya itu sendiri, yakni proses doanya.

  3. Bahwa maknanya adalah: perumpamaan orang kafir ketika mereka menyeru tuhan-tuhan mereka yang tidak memahami doa mereka itu seperti penggembala yang menyeru kambingnya. Kambing itu tidak mendapat manfaat apapun dari seruan si penggembala, selain sekadar mendengar suara. Demikian pula orang musyrik, tidak memperoleh apapun dari ibadah dan doanya, selain kesia-siaan semata.

Ada juga yang berkata: maksudnya adalah perumpamaan orang kafir seperti hewan ternak yang tidak memahami apapun dari perkataan si penggembala, kecuali hanya suara semata. Maka, si penggembala adalah penyeru kepada orang kafir, dan orang kafir adalah hewan yang diseru.

Sibawaih berkata: makna ayat ini adalah: “Perumpamaanmu, wahai Muhammad, dan perumpamaan orang kafir itu seperti si penyeru dan hewan yang diseru.” Maka menurutnya, maksudnya: "Perumpamaan orang kafir dan penyeru mereka seperti kambing dan penggembala."

Perumpamaan ini bisa dianggap sebagai tasybih murakkab (perumpamaan kompleks), yaitu menyamakan keadaan orang kafir yang tidak memahami atau mendapatkan manfaat dari ajakan ke jalan kebenaran, dengan hewan ternak yang hanya mendengar suara penggembala tanpa memahaminya.

Jika dipahami sebagai tasybih mufarraq (perumpamaan terpisah), maka:

  • Orang kafir seperti hewan ternak.
  • Seruan penyeru kepada mereka seperti suara penggembala.
  • Doa dan ajakan kepada petunjuk seperti suara penggembala itu.
  • Mereka hanya mendengar suara tanpa memahami maknanya — seperti hewan yang mendengar suara namun tidak memahaminya.
    Wallahu a’lam.

Kemudian, firman-Nya:
“Tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti.”

Juga firman-Nya:
“Tuli, bisu, buta, maka mereka tidak kembali.”

Menunjukkan bahwa orang kafir tidak memahami kebenaran.
Adapun orang munafik, mereka sebelumnya melihat lalu menjadi buta, mengetahui lalu berpura-pura tidak tahu, mengakui lalu mengingkari, beriman lalu kafir kembali. Maka, orang seperti ini lebih keras kekafirannya, lebih buruk hatinya, dan lebih membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu mereka layak mendapat tingkatan neraka yang paling bawah.

Ada makna lain juga, yaitu: orang-orang munafik itu bersikap nifaq (munafik) karena mencari kemuliaan dan kedudukan dari dua golongan — yakni dari orang-orang beriman dan dari orang kafir. Mereka ingin menyenangkan hati orang beriman agar dimuliakan, dan menyenangkan hati orang kafir agar juga dimuliakan. Inilah sebab musibah mereka. Karena mereka tidak benar-benar ingin iman dan Islam, tidak pula taat kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan hati mereka cenderung kepada orang kafir. Maka sebagai balasan, Allah menjadikan tempat kembali mereka sebagai tempat paling hina, yaitu dalam neraka paling bawah, di bawah orang-orang kafir.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik seperti:

  • Menipu Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman,
  • Mengejek orang-orang yang beriman,
  • Berdusta dalam keyakinan dan agama,
  • Menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran,

— membuat kekafiran mereka lebih parah dan layak berada di tingkat paling rendah dalam neraka.

Oleh karena itu, ketika Allah menyebutkan golongan manusia di awal surat al-Baqarah:

  • Golongan yang beriman lahir dan batin: disebut dalam 3 ayat [2:3-5],
  • Golongan kafir lahir dan batin: disebut dalam 2 ayat [2:6-7],
  • Golongan munafik (beriman secara lahir, kafir secara batin): disebut dalam sekitar 13 ayat [2:8-20].

Dalam ayat-ayat itu, Allah mencela dan membuka aib mereka, menyebut mereka sebagai:

  • Orang bodoh,
  • Perusak di muka bumi,
  • Penipu,
  • Pengejek agama dan kaum mukmin,
  • Tertipu karena menukar petunjuk dengan kesesatan,
  • Tuli, bisu, buta,
  • Berpenyakit hati,
  • Dan bahwa Allah menambahkan penyakit itu.

Tak ada celaan dan aib yang tidak ditujukan kepada mereka, yang menunjukkan betapa besar murka Allah terhadap mereka, dan bahwa mereka adalah musuh Allah yang paling dibenci.

Maka sungguh, hikmah Allah sangat besar dalam menjadikan mereka khusus menempati tingkatan paling bawah dalam neraka.

Kita berlindung kepada Allah dari keadaan seperti mereka, dan memohon kepada-Nya perlindungan dan rahmat-Nya.

Siapa pun yang merenungi sifat-sifat orang munafik dalam al-Qur'an, maka ia akan memahami mereka memang layak mendapatkan neraka paling bawah. Karena mereka:

  • Menipu Allah dan hamba-Nya,
  • Hatinya berpenyakit (penyakit syubhat dan keraguan),
  • Merusak di bumi,
  • Mengejek agama dan orang-orangnya,
  • Melampaui batas,
  • Menukar petunjuk dengan kesesatan,
  • Tuli, bisu, buta,
  • Ragu-ragu,
  • Malas dalam ibadah,
  • Berzina,
  • Sedikit mengingat Allah,
  • Bimbang,
  • Tidak jelas berpihak ke mana — tidak kepada kaum beriman, dan tidak pula kepada kaum kafir.



 Al Imam ابن عاشور (Ibn ‘Āshūr) rahimahullah dalam kitab At-Tahrīr wa at-Tanwīr menerangkan; 

" Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar, selain sekadar panggilan dan seruan. Mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti."
[Al-Baqarah: 171]

Setelah Allah menyebutkan bagaimana mereka menyambut dakwah untuk mengikuti agama dengan sikap berpaling—sampai firman-Nya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah Allah turunkan, mereka berkata: Bahkan kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami."
[Al-Baqarah: 170]

Dan setelah disebutkan kerusakan akidah mereka, sampai firman-Nya:

"Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah."
[Al-Baqarah: 165]

Maka yang dimaksud dengan "orang-orang kafir" yang dibuat perumpamaan di sini adalah sama dengan yang dimaksud dalam ayat sebelumnya sebagai "manusia""orang-orang zalim", serta "mereka" dalam berbagai bentuk kata ganti. Kemudian semuanya diakhiri dengan perumpamaan yang mengerikan tentang keadaan mereka, guna memperjelas dan menghadirkan gambaran mereka melalui ilustrasi.

Tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan dengan lebih tajam sikap mereka dalam menyambut dakwah. Dan faedah dari penggunaan perumpamaan sudah dijelaskan sebelumnya dalam ayat:

"Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api."
[Al-Baqarah: 17]

Allah menggunakan huruf "wawu" (‘dan’) di sini tanpa menjelaskan panjang lebar seperti ayat sebelumnya, karena maksudnya adalah menjadikan ini sebagai gambaran yang berdiri sendiri tentang bagaimana mereka menerima dakwah Islam. Kalau tidak dengan "wawu", maka hal itu tidak akan sesuai secara makna.

Perumpamaan ini, ketika disandarkan kepada "orang-orang kafir", dengan jelas menggambarkan keadaan mereka saat mendengar seruan Nabi ﷺ kepada Islam, seperti hewan ternak yang mendengar suara penggembala namun tidak memahami maknanya. Mereka hanya mendengar suara tanpa pengertian, sebagaimana Nabi ﷺ menyeru mereka agar mengikutinya tanpa mereka meneliti bukti kebenarannya.

Jadi dalam kedua sisi perumpamaan—baik yang dibandingkan maupun yang membandingkan—terdapat unsur:

  • penyeru,
  • yang diseru,
  • seruan,
  • pemahaman,
  • penolakan,
  • dan tekad.

Setiap unsur dalam bagian-bagian perumpamaan tersebut bisa disejajarkan satu dengan yang lainnya. Ini termasuk bentuk perumpamaan yang sangat indah dan efektif, dan ayat ini menyampaikannya secara ringkas namun luar biasa.

Tujuan utama dari perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan keadaan orang-orang kafir, namun hal itu juga membawa dampak perumpamaan terhadap keadaan Nabi dan dakwah beliau.

Dalam perumpamaan ini, ada dua kondisi orang kafir:

  1. Mereka berpaling dari penyeru Islam.
  2. Mereka justru cenderung kepada penyembahan berhala.

Kedua kondisi ini telah disinggung dalam ayat sebelumnya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka berkata: Bahkan kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami."
[Al-Baqarah: 170]

Dan bentuk paling parah dari sikap mereka adalah menyembah berhala. Maka perumpamaan ini datang untuk menjelaskan secara eksplisit apa yang sebelumnya hanya tersirat.

Jika kamu berkata: “Tampaknya secara zahir semestinya dikatakan: 'Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti domba yang diseru oleh penggembalanya', karena orang-orang kafirlah yang menjadi objek perumpamaan, dan yang menyeru itu semestinya mewakili Nabi.” Maka mengapa tidak begitu? Apakah ini berarti Nabi ﷺ yang diserupakan dengan penggembala?

Aku (Ibn ‘Āshūr) jawab: Tidak demikian. Kedua hal tersebut tidak dimaksudkan. Karena frasa "perumpamaan orang-orang kafir..." sudah sangat jelas bahwa yang dibandingkan adalah suatu keadaan dengan keadaan lain, seperti dalam ayat:

"Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api."
[Al-Baqarah: 17]

Jika demikian, maka bagian-bagian dari perumpamaan yang kompleks tidak harus disebutkan secara eksplisit. Mana saja yang kamu sebut dari sisi pihak yang dibandingkan dan yang membandingkan, sudah cukup. Biasanya kalimat perumpamaan memulai dengan menyebut sisi yang menjadi pembanding secara eksplisit, namun tidak selalu harus demikian.

Contohnya:

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di dunia ini adalah seperti angin yang mengandung hawa dingin."
[Ali ‘Imrān: 117]

Yang sebenarnya sejajar dengan "apa yang mereka nafkahkan" adalah ladang milik suatu kaum, yang hanya disebut secara tidak langsung. Dan ayat:

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir."
[Al-Baqarah: 261]

Yang sebenarnya sejajar dengan orang-orang yang menafkahkan adalah petani yang menanam, tapi petaninya tidak disebutkan dalam lafaz.

Dan ayat:

"Seperti batu licin yang di atasnya terdapat tanah lalu ditimpa hujan deras."
[Al-Baqarah: 264]

Yang sejajar dengan batu adalah harta yang dinafkahkan, bukan orang yang menafkahkan.

Dan dalam hadits sahih:

"Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi dan Nasrani seperti seorang lelaki yang menyewa pekerja…"

Yang sejajar dengan lelaki yang menyewa dalam hal ini adalah Allah Ta‘ala dalam hal memberi pahala kepada umat-umat tersebut, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit. Ini adalah bentuk penggunaan perumpamaan yang sangat sering, dan atas dasar inilah para mufassir membuat berbagai takdir (penafsiran tersirat) untuk menjelaskan makna.

Maka ayat ini dapat dimaknai bahwa perumpamaan yang dimaksud adalah gambaran keadaan kaum musyrikin dalam berpaling dari seruan.

Maka, yang menjadi maksud dari perumpamaan ini adalah menggambarkan keadaan kaum musyrikin yang berpaling dari dakwah Nabi ﷺ. Mereka mendengarnya sebagai suara semata, tanpa adanya perhatian atau pemahaman, sebagaimana seekor hewan yang mendengar suara panggilan penggembalanya, tapi tak tahu apa maksudnya. Karena hewan itu hanya memahami dari suara tersebut bahwa ia dipanggil, namun ia tidak tahu perintah atau larangannya.

Begitulah pula kaum kafir: mereka mendengar seruan Nabi ﷺ, namun tidak mengambil manfaat darinya. Maka mereka disamakan dengan binatang ternak. Sebutan “hewan ternak” (الأنعام) secara khusus dipilih karena binatang seperti itulah yang terbiasa digembalakan dan mendengar panggilan, namun tak memahami maknanya.

Adapun kata "ينعق" (yan‘iqu) berasal dari kata kerja untuk "berteriak atau berseru dengan suara keras", dan digunakan secara khas untuk seruan kepada hewan ternak. Maka penggunaan kata ini memberi kesan merendahkan dan memperjelas betapa jauhnya mereka dari kemampuan berpikir dan merespons dengan akal.

Kata "ما لا يسمع إلا دعاءً ونداءً"
Artinya: sesuatu yang tidak mendengar, kecuali sekadar suara seruan dan panggilan. Maksudnya bukan bahwa mereka bisa mendengar secara hakiki, tapi mereka hanya mendengar sebagai suara kosong, tanpa pengertian. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki pendengaran secara fisik, namun mereka tidak menggunakan fungsi akalnya, sebagaimana hewan tidak mengerti makna bahasa.

Adapun kalimat "صمّ بكم عمي" (tuli, bisu, buta) adalah sifat-sifat yang ditegaskan Allah terhadap mereka, bukan karena mereka tidak punya indera, tetapi karena mereka tidak menggunakannya untuk kebenaran.

Mereka tuli terhadap kebenaran, karena tidak mau mendengarkan dengan hati.
Mereka bisu, karena tidak mau mengucapkan kebenaran.
Mereka buta, karena tidak melihat petunjuk Allah dalam ciptaan dan ayat-ayat-Nya.

Dan penutup ayat ini: "فهم لا يعقلون" (maka mereka tidak mengerti), adalah penegasan bahwa akar dari semua penyimpangan ini adalah karena mereka tidak menggunakan akal mereka dengan benar. Seandainya mereka mau merenung dan menggunakan akalnya, tentu mereka akan terbimbing kepada kebenaran.

Kesimpulan dari tafsir Ibn ‘Āshūr tentang ayat ini adalah bahwa:

  • Kaum kafir diserupakan dengan hewan ternak yang hanya mendengar suara tanpa memahami maknanya.
  • Dakwah Nabi ﷺ disamakan dengan seruan kepada makhluk yang tak paham kata-kata.
  • Keadaan mereka dalam menyikapi kebenaran sangat buruk: hati tertutup, akal tidak dipakai, dan indra tidak digunakan sebagaimana mestinya.
  • Ayat ini menegaskan kehinaan orang yang berpaling dari seruan kebenaran, meskipun ia memiliki pendengaran, penglihatan, dan lidah.



Disebutkan dalam tafsir Imam As-Sa‘dī rahimahullah; 

" Dan perumpamaan orang-orang yang kafir adalah seperti (penggembala) yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan. Mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti."

Kemudian Allah Ta‘ālā berfirman:
"Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti perumpamaan orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan..."
Yakni: setelah Allah menjelaskan bahwa mereka tidak mau tunduk kepada apa yang dibawa oleh para rasul, dan bahwa mereka menolaknya karena taqlid (mengikuti nenek moyang), maka hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak siap menerima kebenaran dan tidak akan meresponsnya.

Bahkan, setiap orang dapat mengetahui bahwa mereka tetap dalam sikap keras kepala dan penolakan. Maka Allah mengabarkan bahwa perumpamaan mereka ketika diseru kepada iman adalah seperti binatang ternak yang diseru oleh penggembalanya, namun binatang itu tidak tahu apa yang dikatakannya. Ia hanya mendengar suara saja, yang dengannya hujjah bisa ditegakkan atasnya, tetapi tidak memahami ucapan itu dengan pemahaman yang memberi manfaat.

Karena itu, mereka itu tuli—tidak mendengar kebenaran dengan pendengaran yang mengandung pemahaman dan penerimaan.
Bisu—tidak mengucapkan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka.
Buta—tidak melihat dengan pandangan yang mengandung pelajaran dan pengambilan ibrah.

Dan sebab utama dari semua itu adalah karena mereka tidak memiliki akal yang lurus, bahkan mereka adalah orang-orang yang paling bodoh dan paling dungu.

Maka, apakah seorang yang berakal akan ragu bahwa siapa saja yang diajak kepada petunjuk, dicegah dari kerusakan, dilarang dari jalan menuju siksadiperintah untuk sesuatu yang baik dan membawa kebahagiaan, kesuksesan dan kenikmatan, namun ia membangkang terhadap pemberi nasihat, berpaling dari perintah Tuhannya, terjun ke dalam neraka dengan sadar, mengikuti kebatilan dan meninggalkan kebenaran, — maka orang seperti ini tidak punya sedikit pun akal?

Meskipun ia tampak memiliki tipu daya, kelicikan dan kecerdikan, namun ia sebenarnya termasuk orang yang paling dungu.


Disebutkan dalam tafsir As Syaikh Abu Bakar al-Jazairi rahimahullah(dari kitab Aysar al-Tafasir) :

Firman Allah:

وَمَثَلُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِی یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ إِلَّا دُعَاۤءࣰ وَنِدَاۤءࣰۚ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡیࣱ فَهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ

Penjelasan kata-kata:

  • مثل: Perumpamaan atau keadaan.
  • ينعق: Berteriak atau bersuara keras; “nahiq” berarti suara keras.
  • الدعاء: Seruan kepada yang dekat, seperti doa seorang mukmin kepada Rabbnya.
  • النداء: Seruan kepada yang jauh, seperti azan.
  • الصم: Orang-orang tuli, yang kehilangan pendengaran.
  • البكم: Orang-orang bisu, yang kehilangan kemampuan bicara.
  • لا يعقلون: Tidak memahami makna ucapan karena alat pemahamannya (akal) tidak berfungsi.

Makna Ayat:

Setelah ayat sebelumnya (2:170) mencela perilaku taqlid dan orang-orang yang hanya mengikuti pendahulu mereka tanpa berpikir atau menggunakan akal dan pancaindra, ayat ini datang dengan gambaran yang mengagumkan dan perumpamaan yang unik terhadap orang-orang yang mematikan akal dan hanya hidup dalam kepatuhan membabi buta.

Perumpamaannya seperti kambing yang digiring oleh penggembalanya: ketika penggembala berseru kepadanya, ia merespons, baik seruan itu untuk kebaikan maupun untuk penyembelihan—kambing itu tetap datang karena terbiasa mengikuti suara tersebut, tanpa memahami maksudnya.

Begitu pula keadaan orang-orang kafir dan para pengekor buta: jika diajak kepada kebenaran, mereka mendengar suara tapi tidak mengerti maknanya, karena mereka tuli, bisu, dan buta. Tidak ada akal yang berfungsi.

Petunjuk dari Ayat:

  1. Ayat ini menghibur para da’i yang menghadapi orang-orang yang keras kepala dan hanya mengikuti tradisi sesat.
  2. Haram hukumnya mengikuti ahli bid’ah dan hawa nafsu secara membabi buta.
  3. Wajib menuntut ilmu agar seorang mukmin mengetahui alasan dari setiap perbuatannya dan apa yang ditinggalkannya.
  4. Hanya boleh mengikuti orang-orang yang berilmu dan memiliki wawasan dalam agama; mengikuti orang bodoh termasuk taqlid yang tercela.




 Al Imam Al-Biqāʿī rahimahullah dalam Tafsir Naẓm al-Durar menjelaskan: 

"Dan perumpamaan orang-orang yang kafir adalah seperti orang yang berteriak memanggil sesuatu yang tidak mendengar kecuali hanya suara dan panggilan; mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti." (QS. Al-Baqarah: 171)

 Maksudnya adalah: 

maka perumpamaan mereka adalah seperti orang yang mengikuti orang buta di jalan yang curam dan tersembunyi, di padang pasir yang luas, penuh bahaya, maka Allah menyambungnya dengan apa yang menunjukkan maksud ini melalui firman-Nya, menyingkap bahwa mereka telah menjadi seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. Karena binatang, meskipun tidak berakal, masih bisa mendengar dan melihat, lalu ia mendapatkan manfaatnya.

Firman Allah:

"Perumpamaan..."
Menjelaskan sifat yang menyebabkan mereka sampai pada kebodohan ini, 

yaitu:

"Orang-orang yang kafir"
Yakni, mereka menutupi apa yang mereka ketahui tentang keagungan Allah, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan hikmah-Nya, karena mengikuti hawa nafsu. Mereka tidak mendengar dari seruan kecuali hanya bunyi nada dan gema suara, tanpa merenungkan atau memperhatikan isinya.

"Seperti orang yang berteriak..."
Al-Harallī berkata:
Perumpamaan adalah sesuatu yang terserap dalam pemahaman batin dari hakikat-hakikat yang terindra, sehingga menjadi lebih halus dari hal yang kasat mata, maka jadilah ia penjelas makna maknawi dengan bentuk yang dapat dipahami. Oleh karena itu, perumpamaan digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang tak kasat mata melalui sesuatu yang nyata, agar menjadi penjelasan yang lebih halus.

Dalam ayat ini, dijelaskan perumpamaan dengan dua sisi:

  • Perumpamaan antara dua hal yang mirip (yakni, penyeru dan orang yang diseru),
  • Dan jauhnya dua hal yang diperumpamakan (yakni, orang kafir dan binatang).

Dalam penyebutan dua perumpamaan ini, ada keseimbangan yang menunjukkan bahwa dalam satu perumpamaan terkandung dua makna:

  • Perumpamaan orang kafir, dan
  • Perumpamaan penyerunya,
    seperti perumpamaan seorang gembala dan binatang gembalaannya.

Ini adalah puncak kefasihan dalam bahasa Arab. Siapa yang tidak mampu memahami kedua sisi perumpamaan ini akan mengira bahwa ayat ini hanya menyebut satu perumpamaan, dan akan mengartikan kalimat: "Dan perumpamaan orang yang menyeru orang kafir adalah seperti orang yang berteriak..."

"berteriak" berarti bersuara keras, dan penafsiran ini dibawa kepada makna tak tersurat, sedangkan pemahaman mendalam menunjukkan bahwa al-Qur’an membawa kata-katanya dengan kadar yang sempurna dan dalam bentuk yang paling tepat.

Firman Allah:
"Dengan sesuatu..."
yakni, karena sesuatu dari binatang ternak yang tidak berakal, yang hanya bisa mendengar suara dari orang yang memanggilnya untuk makanan dan keturunan, dan mendengar panggilan dari arah suara tersebut.

Panggilan menunjukkan jarak, dan seruan menunjukkan permulaan mendekat. Maka, orang-orang kafir, karena mereka tidak kembali dari kesesatannya meskipun telah mendengar dalil-dalil kebenaran—padahal mereka memiliki akal, pendengaran, dan penglihatan—mereka disamakan dengan binatang yang hanya mendengar dan melihat, tetapi tidak memiliki akal, sehingga tidak dapat memahami perkataan.

Binatang hanya mendengar suara secara lahiriah, tanpa memahami maknanya. Ia tidak akan kembali (ke arah yang benar) kecuali dengan lemparan batu atau cambukan. Ketika gembala ingin memalingkannya dari arah tertentu, ia berteriak dan melempar batu ke depan binatang itu, maka binatang itu pun berbalik arah.

Jadi, binatang menjadi tempat perumpamaan karena tidak memiliki kesadaran atau pengertian. Binatang tidak kembali hanya dengan seruan, tetapi dengan sesuatu yang menyakitkan—seperti orang tuli, bisu, dan buta, yang tidak bisa kembali kecuali dengan pukulan yang keras yang mengenai wajahnya, sehingga ia mundur.

Penyeru mereka, dalam hal ia berbicara tanpa pengaruh pada yang mendengarnya, seperti gembala binatang. Dan gembala itu, dari sisi binatang yang tidak kembali kecuali dengan pukulan batu atau cambuk, seperti orang yang memukul si tuli.

Maka hasil dari perumpamaan itu adalah firman-Nya:

"Mereka tuli" – tidak mendengar,
"bisu" – tidak berbicara,
"buta" – tidak melihat.

Sudah diketahui bahwa ayat ini mengandung gaya bahasa iḥtibāk (penghilangan bagian kalimat yang dipahami dari konteks), yaitu:

  • Penghilangan perumpamaan penyeru di bagian pertama karena telah cukup disebut “yang berteriak,” dan
  • Penghilangan pihak yang diseru di bagian kedua karena telah cukup disebutkan bahwa mereka tidak mendengar.

Karena keberadaan akal bergantung pada persepsi terhadap hal-hal yang terindra, dan karena Allah telah menafikan kemampuan mereka dalam merasakan hal yang terindra, maka konsekuensinya disebutkan:

"Maka mereka tidak mengerti."
Disebut dengan huruf "fa" (maka) yang menunjukkan hubungan sebab-akibat dan kelangsungan.

Penafian ini menggunakan "lā" (tidak) yang menunjukkan ketidakmungkinan, dan bentuk fi'il mudhāriʿ (kata kerja masa kini/berkelanjutan) yang menunjukkan kelanggengan kebodohan mereka.