Jumat, 26 Januari 2024

AMALAN DI BULAN RAJAB

Amalan di Bulan Rajab

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Alhamdulillah, Was Sholatu was Salamu ala Rosulillah, wa ba'du;

Dianjurkan memperbanyak amal shalih di bulan Rajab, Karena ia termasuk bulan-bulan Haram yang diagungkan dan dimuliakan oleh Allah ta'ala. Pahala amal shalih yang dilakukan pada bulan-bulan Haram lebih besar pahalanya dibandingkan dengan amal shalih di bulan-bulan selainnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Inilah keutamaan bulan Rajab sebagai bulan Haram.

Amal shalih yang dimaksud adalah amal shalih yang dianjurkan pada semua bulan seperti puasa-puasa sunnat yaitu puasa Senin dan Kamis, Ayyamul Bidh (puasa pertengahan bulan Hijriyyah yaitu hari ke tigabelas, empatbelas dan limabelas), dan puasa Nabi Daud (puasa sehari dan buka sehari dan seterusnya), dan shalat-shalat sunnat yaitu Rawatib, Ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyyatul Masjid, Setelah Wudhu, Shalat Malam, Tahajud, dan Witir. Selain itu, amal shalih seperti doa, zikir, membaca Al-Qur'an, berbuat baik kepada orang tua, bersedekah, menolong orang lain dan sebagainya. Amal shalih tersebut dianjurkan di setiap bulan terutama di bulan-bulan Haram termasuk Rajab.

Adapun amalan khusus di bulan Rajab  tidak dianjurkan dalam agama. Oleh karena itu, bulan Rajab tidak memiliki amalan khusus. Karena, tidak ada satupun dalil yang shahih yang menjelaskan keutamaan Rajab dan amalan khusus padanya. Semua hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya adalah dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, tidak bisa diamalkan dan tidak bisa pula dijadikan hujjah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Menurut mereka amalan-amalan khusus di bulan Rajab itu perbuatan bid'ah yang dikecam dan diharamkan dalam Islam.

Namun sangat disayangkan, sebagian umat Islam menyangka bahwa pada bulan Rajab dianjurkan amalan-amalan khusus. Yang dimaksud amalan-amalan khusus di bulan Rajab yaitu amalan-amalan yang yang dikhususkan pada bulan Rajab baik selama sebulan, hari-hari tertentu ataupun sebahagian hari-harinya. Mereka semangat dan antusias melakukannya meskipun tanpa ilmu. Bahkan mengajak orang lain untuk melakukannya. Mereka menyangka adanya keutamaan amalan-amalan ini berdasarkan hadits-hadits yang mereka baca atau dengar tanpa mengetahui hukum atau derajat haditsnya. Padahal, hadits-hadits ini dhaif (lemah) dan maudhu' (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Hadits.

Mengkhususkan suatu ibadah pada waktu tertentu atau tempat tertentu atau dengan jumlah bilangan tertentu perlu dalil yang shahih. Bila tidak, maka itu perbuatan bid'ah yang diharamkan oleh Allah ta'ala dan Rasul-Nya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

Imam Ibnu Daqiq al-Ied (wafat 702 H) rahimahullah menjelaskan hal ini dalam perkataannya mengenai pembahasan dilalat al-'Am 'ala al-khash di dalam kitabnya Ihkam al-Ahkam (1/200-201), ia berkata: "Kekhususan dengan waktu, kondisi, bentuk, dan perbuatan yang khusus, memerlukan dalil khusus yang menunjukkan anjurannya secara khusus.'

Beliau menguatkan pendapatnya bahwa meminta dalil yang khusus terhadap sesuatu yang dikhususkan lebih benar dari memasukkan sesuatu yang dikhususkan di bawah keumuman. Kemudian beliau berdalilkan dengan metode para ulama salaf yang menghukumi bid'ah atas amalan-amalan karena tidak ada satupun dalil yang shahih dan mereka tidak memasukkannya di bawah keumuman.

Hal yang senada juga disampaikan oleh Imam Asy-Syatibi (wafat 790 H) rahimahullah dalam kitabnya "Al-Muwafaqat", "Di antara bid'ah idhafiyyah (bid'ah tambahan) yang dekat dengan bid'ah hakikat yaitu asal ibadah disyari'atkan kecuali ibadah ini keluar dari asal disyariatkannya tanpa dalil dengan menyangka tetap atas asalnya sesuai dengan dalil, yang demikian itu dengan merincikan kemutlakannya dengan pendapat. (al-Muwafaqat: 3/211).

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan amalan khusus di bulan Rajab. Begitu pula para sahabat, ta'bi'in dan tabiut tabi'un. Seandainya amalan-amalan ini benar (sesuai dengan Sunnah Nabi shallahu 'alaihi wa sallam), pasti ada dalilnya yang shahih dan mereka pasti telah mendahului kita dalam melakukannya. Namun kenyataannya, mereka tidak melakukannya. Maka perbuatan tersebut bukan syariat Islam, namun perbuatan bid'ah yang dikecam dan dilarang oleh Allah ta'ala dan Rasul-Nya.

Adapun amalan-amalan khusus yang dilakukan oleh sebahagian orang pada bulan Rajab yaitu puasa sebulan dan puasa hari-hari tertentu dari bulan Rajab seperti puasa hari pertama, kedua, ketiga, puasa Kamis pertama, puasa pada tanggal 27 Rajab, serta puasa sebahagian hari bulan Rajab seperti puasa sehari, puasa tujuh hari, puasa delapan hari, puasa sepuluh hari, puasa lima belas hari, dan sebagainnya. Selain itu, shalat Al-Fiyyah (shalat di awal bulan Rajab dan pertengahan bulan Sya'ban), shalat Ragha’ib atau shalat isna 'asyariyyah (shalat pada malam Jum’at pertama bulan Rajab dengan tatacara khusus berbeda dengan biasa), shalat Daud (shalat di pertengahan Rajab), shalat pada malam tanggal 27 Rajab, umrah Rajabiyyah (umrah khusus bulan Rajab), ‘atirah (menyembelih hewan khusus pada bulan Rajab), serta amalan khusus lainnya dengan menyangka bahwa bulan Rajab memiliki keutamaan. Semua ini adalah perbuatan bid’ah yang diharamkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

Menurut para ulama Hadits dan para ulama Fiqh yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini, hadits-hadits yang beredar mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya semuanya dhaif dan maudhu'. Tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalannya secara khusus. Oleh karena itu, hadits-hadits ini tidak boleh diamalkan dan tidak boleh pula dijadikan hujjah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Menurut mereka, amalan-amalan khusus di bulan Rajab tersebut merupakan bid'ah yang diharamkan dalam Islam.

Di antara para ulama yang meneliti dan menjelaskan masalah ini secara ilmiah dan komprehensif adalah seorang ulama hadits Al-Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) rahimahullah. Beliau menulis hasil penelitian beliau dalam sebuah kitab yang diberi judul: “Tabyin al-'Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab” (Penjelasan Keanehan Hadits-Hadits Mengenai Keutamaan Bulan Rajab). Di dalam kitab ini, beliau menghimpun semua hadits yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya. Lalu beliau mengkritik hadits-hadits tersebut secara ilmiah dan komprehensif dengan menjelaskan hukum atau derajat hadits-hadits tersebut.

Dari hasil penelitiannya ini, Al-Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan khusus padanya. Menurut beliau, semua hadits-hadits mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya adalah lemah dan palsu. Oleh karena itu, beliau membagi hadits-haditsnya kepada dua bagian yaitu hadits-hadits yang dhaif (lemah) dan hadits-hadits yang maudhu’ (palsu).

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Tidak ada satupun hadits yang shahih yang layak dijadikan hujjah yang menerangkan keutamaan bulan Rajab, keutamaan puasanya, keutamaan puasa pada hari-hari tertentu, dan keutamaan shalat malam tertentu padanya. Sebelumku Imam Abu Ismail Al-Harawi Al-Hafizh telah menegaskan hal ini.” (Tabyin al-'Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab, hal. 23).

Beliau juga berkata, “Dan adapun hadits-hadits yang datang dalam keutamaan Rajab, atau keutamaan puasanya, atau puasa sesuatu darinya secara sharih (jelas), maka ada dua bagian: dhaif (lemah) dan maudhu' (palsu).” (Tabyin al-‘Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab, hal. 33).

Hal yang sama juga disampaikan oleh para ulama lainnya yang telah melakukan penelitian masalah ini. Di antara mereka yaitu Al-Imam Al-Hafiz Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Baghdadi Al-Khallal (wafat 439 H), Al-imam al-Hafiz Abu Ismail Al-Harawi (wafat 481 H) sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Tabyin al-‘Ajab Bima Warada Fi Syahri Rajab”, Al-Imam Al-Hafizh Al-Muqri’ Asy-Syafi’i (wafat 478 H), Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) dalam kitabnya Al-Hawaadits wal Bida’, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir (wafat 571 H), Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya “Al-Madhu’at”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Kalbi (wafat 633 H) dalam kitabnya “Ada’u Ma Wajaba min Bayan Wadh’i al-Wadha’in fi Rajab”, Al-Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”, Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) dalam kitabnya “Majmu’ Al-Fatawa” dan "Iqtidha' ash-Shirath al-Mustaqim", Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751 H) dalam kitabnya “al-Manar al-Munif”, Al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) dalam kitabnya “Lathaif al-Ma'arif Fi ma li Mawashim al-'Am Min Wazhaif”, Al-Imam Al-Hafiz Al-Iraqi (wafat 806 H) dalam kitabnya "Takhrij Ahadits Ihya' Ulum ad-Din", Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Arraq (wafat 963 H) dalam kitabnya “Tanzih asy-Syari’ah ‘An al-Ahadits ash-Shani’ah al-Maudhu’ah”, Al-Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya “al-La’ali al-Mashnu”ah fii Ahadits al-Maudhu’ah”, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi'i (wafat 974 H) dalam kitabnya "Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra," Al-Imam Asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya “al-Fawaid al-Majmu’ah”, dan lainnya.

Dalam kitabnya "At-Targhib 'an shalat Ar-Raghaib al-Maudhu'ah", Imam Izzuddin Abdis Salam berkata, "Dan di antara menunjukkan bid'ah shalat Raghaib adalah bahwa para ulama sebagai tokoh agama dan imam-imam kaum muslimin yatu para sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in dan selain mereka yang menulis kitab-kitab dalam masalah syariat, dengan semangat mereka mengajarkan orang-orang mengenai kewajiban-kewajiban dan sunnat-sunnat, tidak seorangpun yang dinukilkan dari mereka yang menyebutkan shalat ini dan tidak pula menulisnya dalam kitabnya serta tidak pula menyampaikannya dalam majelis-majelisnya. Secara kebiasaan, mustahil sunnat seperti ini luput dari mereka sebagai tokoh agama dan teladan orang-orang mukmin, padahal mereka menjadi rujukan dalam semua persoalan hukum baik wajib, sunnat, halal dan haram." (At-Targhib 'an shalatir Raghaibil maudhu'ah: 9, dalam topik al-musalah al'ilmiyyah)

Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) rahimahullah menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi. Beliau berkata, "Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelan 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya." (al-Hawadits wa al-Bida’, hal. 267 no.238).

Dalam kitabnya "Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits", Imam Abu Syamah Asy-Syafi'i rahimahullah menjelaskan shalat Raghaib, "Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu maghrib dan Isya, pada malam Jum'at pertama dari bulan Rajab." (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 138).

Beliau menukilkan perkataan Imam Ibnu Shalah Asy-Syafi'i (wafat 643 H) rahimahullah mengenai shalat Raghaib, "Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid'ah yang muncul tahun empat ratusan hijriyah." (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 145).

Beliau juga menukilkan pendapat Imam Izzuddin Abdussalam Asy-Syafi'i (wafat 660 H) rahimahullah, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid'ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam. (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 149).

Dalam kitabnya Al-Majmu', Imam An-Nawawi (wafat 676 H) rahimahullah berkata, "Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum'at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya'ban sebanyak seratus raka'at adalah bid'ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa." (Al-Majmu': 3/476).

Dalam kitab Syarhu Muslim, Imam An-Nawawi berkata, "Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan shalat Raghaib ini. Shalat ini bid'ah mungkar termasuk dalam bid'ah  kesesatan dan kebodohan. Dalam shalat ini terdapat banyak kemungkaran yang jelas. Sekelompok ulama telah menulis buku yang amat berharga dalam menyatakan keburukan shalat ini, kesesatan orang yang melakukan shalat ini dan pelaku bid'ahnya, dalil-dalil keburukannya, kebatilannya, dan penyesatan pelakunya. Buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak." (Syarah Muslim: 8/20).

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, "Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha'ib pada malam Jum'at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid'ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta'akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma'il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam'ani, Abu Al-Fadhl Bin Nashir, dan Abu Al-Faraj Bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun (generasi awal) tidak menyebutkannya karena shalat bid'ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Yang pertama muncul bid'ah ini setelah 400 tahun Islam lahir. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih yang datang dari Nabi shallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa Rajab." (Lathaif Al-Ma'arif Fi ma li Mawashim al-'Am Min Wazhaif: 151).

Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai puasa Rajab secara khusus, maka seluruh haditsnya lemah dan bahkan palsu yang tidak dijadikan acuan oleh para ulama. Hadits-haditsnya bukan tergolong hadits lemah yang boleh diriwayatkan dalam masalah fadhail ‘amal (amal-amal yang baik), tetapi tergolong sebagai hadits-hadits palsu yang dibuat-buat.” (Majmu’ Al-Fatawa: 25/290)

Imam Ibnu Taimiyyah juga berkata ketika ia menjelaskan tentang bid'ah, "Hari yang sama sekali tidak diagungkan oleh syariat, tidak pernah disebut di kalangan salaf dan tidak ada sesuatu yang terjadi pada hari itu yang layak diagungkan seperti hari Kamis  dan malam Jum'at bulan Rajab yang disebut malam Ragha'ib. Pengagungan hari dan malam itu baru terjadi 400 tahun setelah Islam lahir. Mengenai hal ini, diriwayatkan sebuah hadits palsu berdasarkan kesepakatan para ulama, yang isinya menjelaskan keutamaan berpuasa pada hari itu dan melakukan shalat ini yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan nama shalat Ragha'ib. Sebahagian sahabat kami dan lainnya dari kalangan ulama muta'akkhirin menyebutkan shalat ini. Namun pendapat yang benar yang dipegang oleh para ulama yang melakukan pengkajian masalah ini adalah terlarangnya berpuasa secara khusus pada bulan Rajab, melakukan shalat bid'ah ini dan segala bentuk pengagungan hari ini berupa pembuatan makanan, menampilkan perhiasan dan sejenisnya, sehingga hari ini sama dengan hari-hari lainnya dan tidak memiliki keistimewaaan tersendiri. Demikian pula pada hari lain yang berada di pertengahan bulan Rajab, di mana pada hari ini dilakukan shalat yang disebut dengan shalat ibu Nabi Daud. Pengagungan hari ini sama sekali tidak memiliki dasar (dalil)." (Iqtidha' ash-Shirathil al-Mustaqim: 251).

Dalam kitabnya Al-Madkhal, Imam Ibnu Al-Haj Al-Maliki berkata, "Dan di antara bid'ah yang diadakan pada bulan yang mulia ini (yakni bulan Rajab) yaitu di malam Jum'at pertama dari bulan Rajab mereka melakukan shalat Raghaib di kota-kota dan masjid-masjid, mereka berkumpul di kota-kota dan masjid-masjid, mereka melakukan bid'ah ini dan menampakkannya di masjid-masjid dengan seorang imam dan jama'ah seolah-olah shalat yang disyariatkan." (Al-Madkhal: 1/294).

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah  berkata, “Semua hadits mengenai puasa Rajab dan shalat pada beberapa malam di bulan Rajab adalah dusta yang nyata.” (al-Manar al-Munif: 96)

Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi'i ditanya, "Apakah boleh melakukan shalat Raghaib secara berjama'ah atau tidak? Beliau menjawab: "Adapun shalat Raghaib itu sama dengan shalat nishfu Sya'ban. Kedua shalat ini bid'ah yang buruk dan tercela. Hadits keduanya palsu. Maka dimakruhkan melakukan kedua shalat ini baik sendirian maupun berjama'ah." (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra: 1/216).

Dalam kitab "al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah" disebutkan, "Para ulama Hanafiyyah dan Syafi'iyyah berpendapat bahwa shalat Raghaib pada malam Jum'at pertama atau malam nishfu Sya'ban dengan tatacara yang khusus atau dengan jumlah rakaat yang khusus adalah bid'ah munkar." (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyyah: 22/262)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata, “Tidak ada hadits shahih, atau yang hasan atau yang dhaif yang secara khusus menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab. Semua hadits yang diriwayatkan secara khusus merupakan hadits palsu, dusta dan sangat lemah.” (As-Sail Al-Jarrar: 2/143).

Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Puasa Rajab tidak memiliki keutamaan melebihi bulan-bulan lainnya kecuali ia termasuk bulan-bulan haram. Tidak ada sunnah yang shahih tentang keutamaannya. Dan apa yang datang mengenai hal itu tidak bisa dijadikan hujjah.” (Fiqh As-Sunnah: 1/318)

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaannya secara khusus atau puasa sesuatu darinya. Adapun apa yang dilakukan oleh sebahagian orang yang mengkhususkan puasa sebahagian hari darinya dengan meyakini adanya keutamaan padanya dari bulan-bulan lainnya adalah tidak ada dasarnya dalam agama.”

Syaikh Utsaimin berkata, "Para ulama berkata, "Semua hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan puasa bulan Rajab atau shalat padanya adalah dusta berdasarkan kesepakatan para ulama hadits. Imam Ibnu Hajar rahimahullah telah menulis buku kecil dalam masalah ini dengan judul "Tabyin al-Ajab Fi ma Warada Fi Fadhli Rajab". (asy-Syarhul al-Mumti': 6/476).

Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya, maka beliau menjawab, "Mengkhususkan puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya itu bid'ah. Dan setiap bid'ah itu kesesatan." (Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/440).

Syaikh Shalih Bin Fauzan berkata, “Puasa hari pertama bulan Rajab itu bid’ah, bukan ajaran syariat. Tidak ada hadits Nabi shallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam mengkhususkan puasa Rajab. Maka puasa hari pertama dari Rajab dan meyakininya sunnah ini salah dan bid’ah.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 1/33).

Syaikh Ibnu Al-Jibrin rahimahullah berkata, “Mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa, atau mengkhususkannya dengan berumrah yang sering disebut dengan umrah Rajabiyah, atau mengkhususkannya dengan menghidupkan satu malam yang dikenal dengan malam Raghaib yakni malam Jum’at pertama bulan Rajab, atau mengkhususkannya dengan menyembelih hewan yang dikenal dengan istilah ‘atirah, maka semua itu perbuatan bid’ah yang tidak memiliki dasar agama.” (Fatawa Ramadhan: 2/734)

Syaikh Hasan Ayyub berkata, “Tidak ada hadits yang shahih yang menganjurkan berpuasa dalam hari tertentu di bulan Rajab secara khusus kecuali apa yang dianjurkan untuk melakukan amal shalih pada bulan-bulan haram.” (Fiqh al-'Ibadat bi Adillatiha fi al-Islam, hal. 431)

Syaikh Abu Malik berkata, “Tidak ada satupun yang shahih dari Nabi shallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabatnya dalam keutamaan puasa Rajab secara khusus. Semua haditsnya ini lemah bahkan palsu.” (Shahih Fiqh As-Sunnah: 2/144).

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullah berkata, "Di antara puasa yang diharamkan yaitu puasa bid'ah yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hawa nafsu mereka, yang tidak disyariatkan oleh Allah ta'ala dan Rasul-Nya dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat khulafaurrasyidin dari para khalifah Rasul saw serta tidak pula dianjurkan oleh para imam mazhab. Di antara puasa bid'ah ini yaitu mengkhususkan puasa pada hari ke 12 bulan Rabiul Awwal, mengkhususkan puasa pada hari ke 27 bulan Rajab, dan mengkhususkan puasa Nishfu Sya'ban." (Fiqh ash-Shiyam: 136).

Dalam kitabnya yang berjudul "Mausu'ah As-Sunan wa al-Mubtadi'at" (telah diterjemahkan dengan judul "Buku Pintar Sunnah dan Bid'ah"), Syaikh Sa'ad Yusuf Abu Aziz berkata, "Tidak ada satu dalilpun yang bisa digunakan sebagai pegangan mengenai keutamaan bulan Rajab ini, baik berpuasa ataupun melakukan shalat malam secara khusus, demikian pendapat Al-Hafiz Ibnu Hajar. Akan tetapi, jika seorang muslim sudah terbiasa melakukan puasa sunnah yang dianjurkan dalam setiap bulan, maka ia dianjurkan untuk tidak menghentikan puasanya di bulan Rajab ini." (Buku Pintar Sunnah dan Bid'ah: 445).

Dalam kitabnya "Shiyamut Thathawwu': Fadhail wa ahkam" (telah diterjemahkan dengan judul "Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya"), Syaikh Usamah Abdul Aziz berkata, "Tidak ada hadits shahih dari Nabi shallahu'alaihi wa sallam. yang menjelaskan tentang puasa khusus pada bulan Rajab dan keutamaannya. Sementara hadits yang terdapat dalam masalah ini merupakan hadits-hadits lemah dan bahkan palsu yang sama sekali tidak shahih. Ini merupakan pendapat para ulama yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini." (Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya: 76).

Demikianlah penjelasan para ulama mengenai amalan khusus pada bulan Rajab. Mereka sepakat mengatakan tidak ada amalan khusus yang disyariatkan pada bulan Rajab karena tidak ada satupun dalil yang shahih mengenai hal ini. Semua hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalannya adalah dhaif (lemah) dan maudhu' (palsu) yang tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah. Oleh karena itu, amalan-amalan khusus bulan Rajab ini merupakan perbuatan bid'ah yang dikecam dan diharamkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Sebagai penutup, mari kita memperbanyak amal shalih pada bulan Rajab ini tanpa mengkhususkan waktu dan amalan tertentu, sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam. Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah ta'ala untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya agar ibadah kita diterima oleh Allah ta'ala dan tidak terjerumus perbuatan bid'ah yang dikecam dan diharamkan oleh Allah ta'ala dan Rasul-Nya. Amin...!

Rabu, 17 Januari 2024

AMALAN BID'AH BULAN RAJAB


Shalat Raghaib

Oleh: Dr. Tgk. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA.


Alhamdulillah, Was Sholatu was Salamu ala Rosulillah, wa ba'du;

Di antara amalan yang dikhususkan oleh sebahagian orang pada bulan Rajab adalah shalat Raghaib.
 Mereka melakukan amalan khusus ini karena menyangka adanya keutamaan amalan ini berdasarkan sebuah hadits maudhu" (palsu) yang beredar dalam masyarakat. Mereka menyangka bahwa shalat Raghaib ini dianjurkan dalam syariat Islam.

Sangat disayangkan, mereka melakukan suatu amalan atau ibadah tanpa ilmu. Mereka tidak mengetahui hukum atau derajat hadits mengenai shalat Raghaib. Mereka tidak pula mengetahui hukum menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits palsu. Selain itu, mereka tidak mengetahui bahwa shalat Raghaib ini perbuatan bid'ah. Ini akibat dari kejahilan mereka terhadap agama.

Oleh karena itu, penulis perlu mengkritisi amalan ini dan memberikan pencerahan kepada umat Islam dengan menjelaskan hukum atau derajat hadits shalat Raghaib dan hukum menyebarkan, menyampaikan serta mengamalkan hadits palsu, serta hukum shalat ini berdasarkan penjelasan para ulama. Tulisan ini bertujuan untuk memurnikan syariat Islam dan mengingatkan umat Islam agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan bid'ah.



Definisi Shalat Raghaib dan Tatacaranya


Shalat Raghaib adalah shalat yang bersifat khusus yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya pada malam Jum'at pertama di bulan Ra'jab sebanyak 12 rakaat. Shalat ini didahului dengan puasa pada hari Kamis pertama bulan Rajab, lalu dilanjutkan dengan shalat Raghaib pada malamnya yaitu antara Maghrib dan Isya.

Adapun tata cara shalat Raghaib yaitu dikerjakan 12 rakaat dengan cara dipisahkan setiap dua rakaat dengan salam. Pada setiap raka'at dibaca Al-Fatihah sebanyak sekali, surat Al-Qadr sebanyak 3 kali dan surat al-ikhlas sebanyak 12 kali. Setelah selesai shalat  membaca shalawat sebanyak 70 kali  dengan mengucapkan:  Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala alihi. Lalu sujud dengan membaca: subbuhun quddusan wa rabbul malaikah war ruh" sebanyak 70 kali. Lalu mengangkat kepalanya dengan membaca: ighfir war ham wa tajawaz 'amma ta'lam innaka antal azizul a'zham sebanyak 70 kali. Lalu sujud untuk kedua kalinya dengan membaca zikir seperti seperti pada sujud pertama.

Tata cara shalat ini diambil dari hadits yang dihukumi oleh para ulama sebagai hadits palsu yang diklaim diriwayatkan dari Anas bin Malik. Adapun haditsnya ini, penulis akan menyebutkannya di bawah ini.



Sejarah Shalat Raghaib


Shalat Raghaib tidak dikenal dan tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Demikian juga tidak pernah dikenal pada zaman tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Shalat Raghaib ini mulai dikenal dan dilakukan untuk pertama kalinya di Baitul Maqdis setelah tahun 480 H. 

Sebelum tahun tersebut, shalat Raghaib tidak dikenal, karena tidak dianjurkan dan tidak pula dilakukan oleh Nabi shalllahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula tidak dianjurkan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'n termasuk imam-imam mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi', dan Ahmad.

Imam ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi, Ia berkata, "Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya." (al-Hawadits wa al-Bida’, hal. 267 no.238).

Imam Abu Syamah Asy-Syafi'i (wafat 665 H) menjelaskan shalat Raghaib, "Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu Maghrib dan Isya, pada malam Jum'at pertama dari bulan Rajab." (al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 138).



Hadits Mengenai Shalat Raghaib


Berikut ini penulis menukilkan sebuah hadits palsu mengenai shalat Raghaib dan keutamaannya dengan maksud untuk menjelaskan kepalsuannya. 

Hadits ini diklaim riwayat dari Anas bin Malik yang dijadikan rujukan oleh sebahagian orang  untuk melakukan shalat Raghaib. Mereka menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits ini tanpa mengetahui hukum atau derajat hadits ini. 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhan bulan umatku. Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apa makna perkataanmu "Rajab bulan Allah"? Rasulullah menjawab, "Karena bulan ini dikhususkan dengan pengampunan. Padanya dapat menghentikan pertumpahan darah. Allah menerima taubat para Nabi-Nya padanya. Allah menyelamatkan para wali-Nya dari tangan musuh-musuh-Nya padanya. Barangsiapa yang berpuasa padanya maka mengharuskan atas Allah ta'ala tiga hal yaitu pengampunan semua dosanya yang lalu, terjaga dari dosa dalam sisa umurnya, dan aman dari kehausan pada hari Kiamat. Maka seorang yang lanjut usia berdiri lalu dia berkata, "Wahai Rasulullah, saya lemah (tidak sanggup) berpuasa padanya sebulan penuh. Maka Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Berpuasalah pada hari pertama bulan Rajab, karena kebaikan itu akan dilipat sepuluh kali lipat, dan berpuasalah pada hari pertengahan dan hari terakhir dari Rajab karena kamu akan diberikan pahala orang yang berpuasa pada bulan Rajab sebulan penuh. Akan tetapi, jangan kamu lalai dari malam Jum'at pertama dalam bulan Rajab, karena ia adalah malam yang dinamakan oleh para malaikat dengan nama Raghaib, yaitu bila berlalu sepertiga malam, tidak seorangpun malaikat di semua langit dan bumi yang ada, melainkan mereka berkumpul di Ka'bah dan sekitarnya, dan Allah azza wa jalla melihat mereka dengan berfirman, "Para malaikatku, mintalah kepadaku apa yang kalian inginkan. Lalu  mereka berkata, "Kami meminta agar engkau mengampuni orang-orang yang berpuasa bulan Rajab. Maka Allah 'azza wa jalla berfirman, "aku telah penuhi." Lalu Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang berpuasa pada hari Kamis pertama bulan Rajab, kemudian shalat di antara Maghrib dan Isya (pada malam Jum'at) sebanyak dua belas raka’at, pada setiap raka’at ia membaca surat Al Fatihah 1 kali dan surat Al Qadr 3 kali, serta surat Al Ikhlas 12 kali, ia memisahkan setiap dua raka’at dengan salam, jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil ummiyi wa alihi, kemudian ia sujud, lalu ia menyatakan dalam sujudnya “Subbuhun quddusun Rabbul malaikati war ruh” sebanyak 70 kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfir warham wa tajaawaz amma ta’lam inaka antal ‘Azizul a’zham” sebanyak 70 kali, kemudian ia sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama, lalu ia memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah mengampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada 700 keluarganya. Jika ia berada pada malam pertama di kuburnya, datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari Penolongmu (Allah) selama-lamanya’.” 


Hadits ini dinukilkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya "Al Maudhu’at" (Hadits-Hadits Palsu) untuk menjelaskan kepalsuannya.
 Lalu beliau memberi komentar terhadap hadits ini, ”Lafaz hadits ini dari Muhammad bin Nasir. 

Hadits ini maudhu' (palsu) dinisbatkan kepada Nabi shallahu'alaihi wa salam.

 Para ulama hadits menuduh Ibnu Jahdham bermasalah dan menyatakannya suka berdusta”. (Al-Maudhu'at: 2/438).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) menukilkan hadits ini dalam kitabnya "Tabyin al-'Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab" (Penjelasan Keanehan  Hadits-Hadits mengenai keutamaan bulan Rajab), 
Lalu beliau menukilkan perkataan Imam Ibnul Jauzi di atas. 
Beliau menghukuminya sebagai hadits  palsu. (Tabyin al-'Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab: 55).

Para ulama hadits sepakat mengatakan bahwa hadits mengenai shalat Raghaib tersebut palsu dan dusta yang di sandarkan  kepada Nabi shallahu 'alaihi wa sallam. 
Di antara mereka yaitu ; 

1- Imam Ibnu al-Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya "Al-Maudhu'at", 
2- Imam Ibnu ash-Shalah (wafat 643 H), 
3- Imam Ibnu al-Qayyim (wafat 751 H) dalam kitabnya "al-Manarul al-Munif", 
4- Imam al-Iraqi (wafat 806 H) dalam kitabnya "Takhrij Ahadits Ihya' Ulumiddin", 
5- Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H) dalam kitabnya "Tabyin al-'Ajab Bi Ma Warada fi Syahri Rajab", 
6- Imam as-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya "al-La’ali al-Mashnu”ah fii Ahadits al-Maudhu’ah", 
7- Imam al-Ajluni (wafat 1162 H) dalam kitabnya "Kasyful Khafa', 
8- Imam asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya "al-Fawa'id al-Majmu'ah", dan lainnya.

Adapun hukum menyampaikan, menyebarkan dan mengamalkan hadits palsu adalah haram (dosa besar). 
Karena, telah berdusta atas nama Nabi shallahu 'alaihi wasallam.
 Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).



Pendapat Para Ulama Mengenai Shalat Raghaib


Para ulama sepakat mengatakan bahwa  shalat Raghaib itu bid'ah, karena tidak ada dalil satupun yang shahih yang menjelaskan keutamaannya atau menganjurkannya. Begitu pula tidak dilakukan dan tidak pula dilanjurkan oleh para sahabat, tab'in dan tabiut tabi'in.

Di antara para ulama yang mengatakan bid'ahnya shalat Raghaib yaitu; 

1. Imam Ibnu ash-Shalah asy-Syafi'i (wafat 643 H), 
2. Imam Izzuddin Abdu as-Salam (wafat 660 H), 
3. Imam Abu Syamah asy-Syafi'i (wafat 665 H), 
4. Imam An-Nawawi (wafat 676 H), 
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H), 
6. Imam Ibnu al-Haj al-Maliki (wafat 737 H), 7. Imam Ibnu Rajab al-Hambali (wafat 795 H), 8. Imam Ibnu Hajar al-Haitsami asy-Syafi'i (wafat 974 H), dan lainnya.


Dalam kitabnya "At-Targhib 'an Shalah ar-Raghaib al-Maudhu'ah", Imam Izzuddin Abdis Salam berkata, "Dan di antara menunjukkan bid'ah shalat Raghaib adalah para ulama sebagai tokoh agama dan imam-imam kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in dan selain mereka yang menulis kitab-kitab dalam masalah syariat, dengan semangat mereka mengajarkan orang-orang mengenai kewajiban-kewajiban dan sunnat-sunnat, tidak seorangpun yang dinukilkan dari mereka yang menyebutkan shalat ini dan tidak pula menulisnya dalam kitab-kitab mereka serta tidak pula menyampaikannya dalam majelis-majelis mereka. Secara kebiasaan, mustahil sunnat seperti ini luput dari mereka sebagai tokoh agama dan teladan orang-orang mukmin, padahal mereka menjadi rujukan dalam semua persoalan hukum baik wajib, sunnat, halal dan haram." (At-Targhib 'An Shalah ar-Raghaib al-Maudhu'ah: 9, dalam topik al-Musalah al-'ilmiyyah).

Dalam kitabnya "Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wal al-Hawadits, Imam Abu Syamah Asy-Syafi'i menukilkan perkataan Imam Ibnu ash-Shalah asy-Syafi'i mengenai shalat Raghaib, "Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid'ah yang muncul tahun empat ratusan Hijriyah." (Al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 145).

Beliau menukil pendapat Imam Izzuddin Abdu as-Salam asy-Syafi'i, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid'ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam. (al-Ba’its ‘ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits: 149).

Imam An-Nawawi berkata, "Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum'at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya'ban sebanyak seratus raka'at adalah bid'ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa." (Al-Majmu': 3/476).

Imam An-Nawawi juga berkata, "Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan shalat Raghaib ini. Shalat ini bid'ah mungkar termasuk dalam bid'ah  kesesatan dan kebodohan. Dalam shalat ini terdapat banyak kemungkaran yang jelas. Sekelompok ulama telah menulis buku yang amat berharga dalam menyatakan keburukan shalat ini, kesesatan orang yang melakukan shalat ini dan pelaku bid'ahnya, dalil-dalil keburukannya, kebatilannya, dan penyesatan pelakunya. Buku-buku yang menjelaskan ini sangat banyak." (Syarah Muslim: 8/20).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Adapun melakukan shalat dengan jumlah rakaat tertentu dan bacaan tertentu pada waktu tertentu yang dengan jama'ah rawatib seperti shalat-shalat yang ditanya tentangnya seperti shalat Raghaib pada malam Jum'at pertama bulan Rajab dan shalat alfiah pada awal Rajab dan nishfu Sya'ban dan malam 27 Rajab dan sejenisnya maka ini tidak disyariatkan dengan kesepakatan para imam-imam Islam sebagaimana disampaikan oleh para ulama mu'tabar. Tidak ada yang melakukan seperti ini kecuali orang yang bodoh pelaku bid'ah. Membuka pintu seperti ini secara otomatis merusak hukum-hukum Islam dan mengambil bagian dosa orang-orang yang membuat aturan agama yang tidak diizinkan oleh Allah." (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/239).

Syaikhul Islam pernah ditanya mengenai shalat Raghaib, maka beliau menjawab: "Shalat ini tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula tidak seorang pun dari kalangan sahabat, tabi'in dan imam-imam kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkannya, begitu pula tidak seorangpun dari kalangan salaf dan imam-imam. Mereka tidak menyebut keutamaannya. Hadits yang diriwayatkan dalam hal itu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta dan palsu dengan kesepakatan para ulama. Oleh karena itu, para ulama muhaqiqun berkata, "Shalat Raghaib itu makruh, tidak dianjurkan." (Al-Fatawa Al-Kubra: 2/262).

Beliau juga berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut kesepakatan para ulama, adalah palsu.” (Majmu' Al-Fatawa: 23/132).

Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam, shalat Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, (menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.” (Majmu' Al-Fatawa: 23/134).

Imam Ibnu Al-Haj Al-Maliki berkata, "Dan di antara bid'ah yang diadakan pada bulan yang mulia ini (yakni Rajab) yaitu di malam Jum'at pertama dari bulan Rajab mereka melakukan shalat Raghaib di kota-kota dan masjid-masjid, berkumpul di kota-kota dan masjid-masjid, melakukan bid'ah ini dan menampakkannya di masjid-masjid dengan seorang imam dan jama'ah seolah-olah shalat yang disyariatkan." (Al-Madkhal: 1/294).

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, "Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha'ib pada malam Jum'at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid'ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta'akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma'il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam'ani, Abu Al-Fadhl bin Nashir, dan Abu Al-Faraj bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun tidak menyebutkannya karena shalat bid'ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Bid'ah ini mencul pertama kali setelah tahun 400 Hijriyyah. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi shallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa khusus Rajab ." (Lathaif Al-Ma'arif: 151).

Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi'i ditanya, "Apakah boleh melakukan shalat Raghaib secara berjama'ah atau tidak? Beliau menjawab: "Adapun shalat Raghaib itu sama dengan shalat nishfu Sya'ban. Kedua shalat ini bid'ah yang buruk dan tercela. Hadits keduanya palsu. Maka dimakruhkan melakukan kedua shalat ini baik sendirian maupun berjama'ah." (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra: 1/216).

Dalam kitab "Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah" disebutkan, "Para ulama Hanafiyyah dan Syafi'iyyah berpendapat bahwa shalat Raghaib pada malam Jum'at pertama atau malam nishfu Sya'ban dengan tatacara yang khusus atau dengan jumlah rakaat yang khusus adalah bid'ah munkar." (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyyah: 22/262).

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hukum shalat Raghaib adalah bid'ah. Karena, tidak berdasarkan dalil yang shahih dan menyelisihi tata cara shalat sunnat yang sudah dikenal dalam Islam. Selain itu, shalat ini tidak dianjurkan dan tidak pula dilakukan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in termasuk imam-imam mazhab empat. Maka, shalat ini tidak dikenal dalam Islam.

Sebagai penutup, mengingat keharaman  mengamalkan hadits palsu dan bid'ah, maka kita harus berhati-hati dalam beribadah. Pastikan suatu ibadah itu berdasarkan dalil yang shahih agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid'ah. Semoga kita diberi petunjuk oleh Allah ta'ala untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya agar ibadah kita diterima oleh Allah ta'ala dan terhindar dari dosa bid'ah. Amin..!


Kamis, 11 Januari 2024

MERUQYAH ORANG SAKIT

#DAURAH_SYAR’IYYAH_SOLO_MAHAD_IMAM_AL_BUKHARI
#PERTEMUAN_KEDELAPAN
KITAB 
سبيل الرشاد في تقرير مسائل الإعتقاد


Muqoddimah dari Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily hafizhahullah:
===========
 
*PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN RUQYAH*

1 - Menjelaskan hukum ruqyah dan apakah itu tawqifiyah atau ijtihadiyah:
Telah disebutkan bahwa ruqyah yang sesuai syar’I  adalah yang memenuhi tiga syarat ruqyah sebelumnya, antara lain ruqyah itu dengan Kalamullah, atau dengan nama dan sifat-sifat-Nya, dan dengan apa yang diturunkan dari Rasulullah ﷺ. Allah Ta’ala, mengenai ruqyah dan lafazh-lafazh doanya. Lalu apakah perkataan ruqyah hanya sebatas yang disebutkan dalam  as-sunnah, sehingga tidak dilakukan kecuali dengan surah, ayat, dan kata-kata yang disebutkan dalam sunnah, tanpa penambahan atau pengurangan, sehingga kata-kata ruqyah tersebut adalah tauqifiyyah dan itu Apakah tidak boleh terjadi pembaharuan padanya? Ataukah bukan termasuk tauqifiyyah, sehingga boleh ruqyah dengan setiap kalam Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan apa yang dijadikan permintaan perlindungan berupa lafazh-lafazh syar’iyyah dari apa saja yang tidak dikhususkan untuk ruqyah?
Yang disepakati sebagian besar ulama adalah bahwa ruqyah bukanlah ruqyah tauqifiyyah, melainkan boleh melakukan ruqyah dengan doa-doa yang disyari’atkan dan lafazh-lafazh yang dijadikan permintaan perlindungan, dan mereka menggunakan  landasan hadits Awf bin Malik al-Asja’iy sebagai dalilnya. –

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ مَا تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَتَشَهَّدُ ثُمَّ أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنْ النَّارِ أَمَا وَاللَّهِ مَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ قَالَ حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ

Rasulullah ﷺ bersabda kepada seorang lelaki, "Apa yang kamu ucapkan di dalam shalat?" Dia menjawab, "Aku membaca tasyahhud, kemudian meminta surga kepada Allah, dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Demi Allah, sesungguhnya ucapan-ucapan pujianmu sangat baik dan bukan ucapan pujiam-pujian dari Mu'adz." Beliau bersabda, "Semua dalam shalat kita mengucapkan pujian." (HR. Ibnu Majah no. 3847). 

وقد سئل الإمام مالك الله: «أيرقى الرجل ويسترقي ؟ فقال لا بأس بذلك بالكلام
الطيب» 

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya:  “Bolehkah seseorang meruqyah dan meminta untuk diruqyah? Beliau berkata, tidak ada mengapa yang demikian dengan perkataan yang baik. (Lihat at-Tamhiid: 8/129).

وقال الربيع: «سألت الشافعي عن الرقية فقال : لا بأس أن يُرْقَى بكتاب الله وما
يُعْرَفُ من ذكر الله)  

Ar-Rabi’ rahimahullah berkata, : “Saya bertanya kepada Imam as-Syafi’i tentang ruqyah, dan dia menjawab: Tidak mengapa ruqyah dengan Kitabullah dan apa yang dikenal dari dzikir-dzikir kepada Allah. (Lihat Syarah as-Sunnah lil Baghowi 12/159).


قال ابن عبد البر الله : « وفيه الرقي بالقرآن وفي معناه كل ذكر الله جائز الرقية به) (٤).

Ibnu Abdul-Barr Allah bersabda: “Di dalamnya terdapat ruqyah melalui Al-Qur'an, dan dalam maknanya dzikir kepada Allah dibolehkan untuk ruqyah dengannya”  (lihat at-Tamhiid 8/129).


 وقال البغوي رحمه الله : والمنهي من الرقى ما كان فيه شرك، أو كان يذكر مردة الشياطين أو ما كان منها بغير لسان العرب، ولا يدرى ما هو، ولعله يدخله سحر، أو كفر، فأما ما كان بالقرآن، وبذكر الله عز وجل، فإنه جائز مستحب» (٥).

Al-Baghawi rahimahullah berkata: Yang diharamkan dari ruqyah adalah jika menyangkut kemusyrikan, atau menyebutkan Syaitan atau yang dalam bahasa selain bahasa Arab, dan tidak diketahui apa itu, dan mungkin masuk ke dalam sihir atau kekafiran., Adapun apa yang ada dalam Al-Qur'an dan dzikir kepada Allah, maka hal itu diperbolehkan dan dianjurkan. » 
(lihat Syarah Sunnah lil Baghawy 12/159)


۲- جواز الرقية من كل الأمراض.
دلت الأدلة على جواز الرقية للاستشفاء من كل الأمراض دون تخصيص مرض دون
مرض.
2- Ruqyah diperbolehkan untuk segala penyakit.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa ruqyah diperbolehkan untuk kesembuhan segala penyakit tanpa menyebutkan penyakit tertentu.
Yang termasuk dalil tersebut adalah:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى الْإِنْسَانُ الشَّيْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جُرْحٌ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سُفْيَانُ سَبَّابَتَهُ بِالْأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا بِاسْمِ اللَّهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا

Dari 'Aisyah, bahwa apabila seseorang mengadukan suatu penyakit yang dideritanya kepada Rasulullah ﷺ, seperti sakit kudis, atau luka, maka Nabi ﷺ berdoa sambil menggerakkan anak jarinya seperti ini -Sufyan meletakkan telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya- (Dengan nama Allah, dengan debu di bumi kami, dan dengan ludah sebagian kami, semoga disembuhkan orang yang sakit di antara kami dengan izin Rabb kami). (HR. Muslim no. 2194). 

قال القرطبي الله : فيه دلالة على جواز الرقى من كل الآلام وأن ذلك كان أمرا فاشيا
معلوما» 

Al-Qurtubi rahimahullah berkata: Ini menunjukkan dibolehkannya ruqyah untuk segala macam rasa sakit, dan ini adalah masalah yang dikenal orang banyak lagi diketahui” (Lihat Fathul Bari Ibni Hajar 10/208)

Begitu juga ruqyah malaikat Jibril terhadap Nabi ﷺ dengan doa:

بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ اللَّهُ يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ

'Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu dan dari kejahatan segala makhluk atau kejahatan mata yang dengki. Allah lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu.' (HR. Muslim no. 2186)
Kedua hadis tersebut dan lainnya menunjukkan disyariatkannya  ruqyah untuk segala penyakit, tanpa mengkhususkan ruqyah untuk suatu penyakit tertentu saja.
 
وأما قول النبي ﷺ: « لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ

Sedangkan sabda Nabi ﷺ yaitu: "Tidak ada ruqyah kecuali karena 'ain (pandangan jahat/hasad) atau bisa (sengatan hewan berbisa)." (HR. Ahmad no. 19908, Abu Dawud no. 3884, Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shohih dan Dhoif Abi Dawud no. 3884).
Ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits diatas, dan tidak menunjukkan kepada pembatasan ruqyah hanya berlaku pada penyakit ain, sengatan hewan berbisa, namun maknanya adalah tidak ada ruqyah yang lebih utama dan lebih manfaat dari ruqyah terhadap penyakit ain, dan hummah (sengatan hewan berbisa). 

===HUKUM MENGAMBIL UPAH ATAS RUQYAH

Mengambil upah untuk ruqyah adalah dibolehkan secara hukum asalnya, dan dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiallahu’anhu, Dimana Beliau mendapatkan kambing setelah meruqyah dengan al-Fatihah kepala suatu suku yang terkena sengatan kalajengking (sebagaimana yang telah disebutkan). 
Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

"Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah." (HR. Al-Bukhari no. 5737).
Imam an-Nawawy rahimahullah mengatakan:

هذا تصريح بجواز أخذ الأجرة على الرقية بالفاتحة والذكر وأنها حلال لا كراهة فيها

“Ini adalah pernyataan membolehkan memungut biaya untuk membaca Al-Fatihah dan doa-doa lainnya, dan ruqyah tersebut diperbolehkan tanpa ada keberatan terhadapnya.” (Syarah an-Nawawi ‘Ala Sahih Muslim no. 14/188).

Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaily hafizhahullah berkata:

وينبه هنا إلى أن أخذ الأجرة إنما هو للانتفاع بالرقية والشفاء لا على مجرد القراءة
فإنه غير جائز.

Perlu diketahui di sini bahwa mengambil biaya tersebut adalah untuk mendapatkan manfaat ruqyah dan kesembuhan, bukan sekedar untuk membaca, maka hal ini tidak diperbolehkan.

قال شيخ الإسلام ابن تيمية الله : وأما الاستئجار لنفس القراءة والإهداء فلا يصح   ذلك، فإن العلماء إنما تنازعوا في جواز أخذ الأجرة على تعليم القرآن والأذان والإمامة والحج عن الغير؛ لأن المستأجر يستوفي المنفعة» 

Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Adapun menyewakan untuk bacaan yang sama dan memberi hadiah, maka tidak sah. karena para ulama hanya mempermasalahkan kebolehan mengambil upah untuk pengajaran Al-Qur'an, adzan, memimpin shalat. dan menunaikan haji atas nama orang lain. Karena penyewa mendapat manfaatnya”  (Lihat Majmu’ al-Fatawa 24/315).

===FENOMENA PENYIMPANGAN DALAM RUQYAH

Fenomena  penyimpangan dalam ruqyah banyak dan beragam, yang paling menonjol adalah:
1. Ruqyah menggunakan kata-kata syirik, seperti ruqyah yang menggunakan nama jin, setan, dan ruqyah lainnya. Dan mencari bantuan dengan amalan syirik, atau pergi ke dukun. 

2. Begitu pula ruqyah yang dilakukan dengan sesuatu yang tidak berbahasa Arab, atau dengan jimat dan simbol yang tidak dipahami maknanya, yang dikhawatirkan merupakan bentuk kesyirikan. 

3. Orang yang meruqyah jarak jauh tidak faham apa itu maksud ruqyah syar’iyyah karena itu ada bacaan dan ada sentuhan atau tiupan ke orang yang di ruqyah. Maka ini adalah suatu yang baru alias bid’ah. dilakukan dari jarak jauh melalui telepon atau televisi untuk semua orang yang mendengarkan atau menonton. Ini adalah hal yang baru, karena tiupan angin hanya dilakukan pada satu orang saja, bukan karena sakit atau kesakitan

4. Bid’ah dalam ruqyah yaitu beberapa pelaku ruqyah pada era ini memperkenalkan hal-hal bid’ah yang sebelumnya tidak diketahui dari Sunnah atau dari para pendahulu yang shalih, dan Itu termasuk:yang disebut ruqyah berkelompok, yaitu mengumpulkan orang-orang sakit dalam satu tempat, lalu pelaku ruqyah (Roqiy) membacakan pada mereka dan meniupnya sekaligus, bacaannya bisa dengan atau tanpa pengeras suara, dan maknanya adalah ruqyah. 

5. Ruqyah harus dilakukan langsung pada orang yang sakit, dan tidak boleh dilakukan Melalui pengeras suara, atau melalui telepon; Karena hal ini bertentangan dengan apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ, Para sahabatnya radhiyallahu 'anhu, dan para pengikutnya yang pandai ruqyah, dan beliau bersabda: “Barangsiapa yang berinovasi dalam urusan kami,

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Membaca ruqyah bersama untuk orang yang menderita bukanlah metode salaf, hal itu termasuk dibuat-buat.” (lihat Majmu; Fatawa Syaikh Ibnu Ustaimin 17-18).

6. Ruqyah dengan merekam ruqyah kemudian memutar alat perekamnya agar dapat didengar oleh pasien. Ini merupakan sesuatu yang baru dan bertentangan dengan maksud hukum ruqyah. Karena yang dimaksud dengan ruqyah adalah membaca Al-Qur'an, menyebut nama-nama Allah, kemudian meniupkan ludah pada tempat sakit yang dicampur dengan bacaan dan zikir, dan karena ruqyah memerlukan niat dan kesengajaan dalam melaksanakannya, dan itu semua. tidak terjadi melalui hal hal tersebut. Perangkat tidak dapat melakukan itu.”  

7. Ruqyah dalam tangki dan bejana besar untuk menampung air, dengan membaca Al-Qur'an atau dzikir Kemudian meniup ke dalam tangki dengan alasan bahwa ini adalah ruqyah umum bagi siapa saja yang minum atau mandi dari tangki tersebut. 

8. Ruqyah melalui (kulit serigala) dengan cara pasien mencium kulit serigala, untuk mengungkapkan keberadaannya Jin atau bukan, karena jin takut pada serigala, mengusirnya, dan merasa terganggu saat merasakannya. Dengan kehadirannya. Kemudian pasien bangkit setelah itu. Ini adalah suatu hal yang baru ditemukan dan belum ada buktinya, dan pernyataan bahwa jin tidak menyukai serigala adalah tidak benar. menjadi ilmu sihir: Penggunaan kulit serigala; Ini mungkin jenis jimat terlarang.

9. Hati menjadi melekat pada ruqyah dan penyimpangan-penyimpangan yang menyertainya
Diantaranya adalah:
A- Orang mukmin yang melaksanakan shalat tukang sihir yang menyatakan bahwa dukun itu mempunyai kesembuhan dan keterikatannya terhadapnya adalah batil, karena kesembuhan hanya dimiliki oleh Allah. Telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu syarat ruqyah yang sah adalah keyakinan bahwa kesembuhan ada di tangan Tuhan, dan bahwa ruqyah hanya sekedar alasan, dan hati yang melekat pada ruqyah bertentangan dengan syarat sah. ruqyah dan agak musyrik, makanya musyrik. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan pada bab Ruqyah.
B: Keyakinan para ruqyah bahwa ada rahasia khusus ruqyah yang hanya diketahui oleh para ruqyah: Salah satu penyimpangan ruqyah masa kini adalah keyakinan sebagian pasien, dan orang yang mencari ruqyah, bahwa beberapa ruqyah mempunyai rumusan khusus yang tidak diketahui orang lain, dan barangkali kesamaan ini menguatkan sebagian dari apa yang diklaim oleh ruqyah tersebut, bahwa ia mempunyai ruqyah yang dia melihatnya dalam mimpi, atau bahwa itu adalah ruqyah yang terbukti dan tidak ada orang lain yang mengetahuinya, maka dari itu dia mengklaimnya. Bahwa Dia  mempunyai rumusan ruqyah khusus untuknya dan tidak untuk yang lain. Tidak disyaria’atkan untuk menggunakan ruqyah ini. dan sebaliknya ruqyah yang menggunakannya apa saja yang haram, sehingga tidak ada manfaatnya bagi orang yang melakukan ruqyah atau orang yang ditawari ruqyah darinya.
Beberapa orang yang sakit percaya bahwa jika mereka melakukan ruqyah, mereka tidak akan sembuh:
Hal ini juga merupakan salah satu penyimpangan kekinian dimana sebagian orang sakit meyakini bahwa jika dia ruqyah sendiri, maka dia tidak akan sembuh karena dia mengetahui kekurangannya dalam menjalankan perintah Allah, dan bahwa Allah tidak akan menyembuhkannya jika dia ruqyah sendiri, jadi hatinya melekat pada sebagian ruqyah dari orang yang dikiranya Sholih, maka perkara itu kembali lagi pada pelanggaran hukum dalam urusan ruqyah. Dan orang yang membaca ruqyah itu tidak melakukan ruqyah karena yakin bahwa kesembuhan ada di tangan Allah. , dan bahwa ruqyah itu ada sebab kesembuhan, malahan ia meyakini kesembuhan itu ada pada ruqyah si fulan dan fulan yang menurutnya shalih. dan keyakinannya bahwa Allah tidak akan membalas ruqyahnya untuk dirinya sendiri, dan ini adalah buruk sangka kepada Allah dan kebodohan.
Allahu A’lam

Semoga bermanfaat.

Bersambung ke tulisan selanjutnya, inSya Allah.

Akhukum Zaki Rakhmawan Abu Usaid

RUQYAH

#DAURAH_SYAR’IYYAH_SOLO_MAHAD_IMAM_AL_BUKHARI
#PERTEMUAN_KETUJUH

KITAB 
سبيل الرشاد في تقرير مسائل الإعتقاد


Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily hafizhahullah menjelaskan:


PASAL KETIGA
*AQIDAH AHLUS SUNNAH TENTANG RUQYAH*

==Definisi Ruqyah secara bahasa dan syar’i:
Definisi secara bahasa adalah:  jamak dari ruqyah. Meminta perlindungan dengan bacaan terhadap orang yang mendapatkan gangguan dan sakit.
Ruqyah secara syar’i belum ada definisi yang bagus, oleh karena Syaikh  hafizhahullah berijtihad dengan definisi ruqyah yang Beliau nukilkan di dalam kitab ini:

هي القراءة على المريض بالقرآن وأسماء الله وصفاته وبما ورد في السنة من التعاويذ، مع النفث بالريق وبدونه.

Yaitu membacakan kepada orang yang sakit Al-Qur’an, nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan lafazh-lafazh doa  dari as-Sunnah yang termasuk meminta perlindungan, bersamaan tiupan  dengan air liur atau tanpanya.

MACAM-MACAM RUQYAH DAN HUKUMNYA

Macam yang pertama: Ruqyah yang dibolehkan secara syar’I, adalah adalah yang mencangkup berbagai syarat ruqyah yang shohihah dan ini dijelaskan bolehnya dengan berbagai hadits dari Nabi ﷺ yaitu:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

Dari 'Auf bin Malik Al Asyja'i dia berkata, "Kami biasa melakukan mantera pada masa jahiliah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, 'Ya Rasulullah! bagaimana pendapat Anda tentang mantera?' Jawab beliau: 'Peragakanlah manteramu itu di hadapanku. Mantera itu tidak ada salahnya selama tidak mengandung syirik.' (HR. Muslim no. 2200). 

Hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا

Dari 'Aisyah radhiallahu'anha bahwa Nabi ﷺ meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan Mu'awwidzat (surah An-Naas dan Al-Falaq) ketika beliau sakit menjelang wafatnya, dan tatkala sakit beliau semakin parah, sayalah yang meniup dengan kedua surat tersebut dan saya megusapnya dengan tangan beliau sendiri karena berharap untuk mendapat berkahnya." Aku bertanya kepada Az Zuhri, "Bagaimana cara meniupnya?" dia menjawab, "Beliau meniup kedua tangannya, kemudian beliau mengusapkan ke wajah dengan kedua tangannya." (HR. Al-Bukhari no. 5735).

Hadits yang Ketiga:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ نَزَلْنَا مَنْزِلًا فَأَتَتْنَا امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنَّ سَيِّدَ الْحَيِّ سَلِيمٌ لُدِغَ فَهَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ فَقَامَ مَعَهَا رَجُلٌ مِنَّا مَا كُنَّا نَظُنُّهُ يُحْسِنُ رُقْيَةً فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ فَأَعْطَوْهُ غَنَمًا وَسَقَوْنَا لَبَنًا فَقُلْنَا أَكُنْتَ تُحْسِنُ رُقْيَةً فَقَالَ مَا رَقَيْتُهُ إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ فَقُلْتُ لَا تُحَرِّكُوهَا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ مَا كَانَ يُدْرِيهِ أَنَّهَا رُقْيَةٌ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ مَعَكُمْ

 Dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata, Kami singgah pada suatu tempat, lalu datanglah seorang wanita kepada kami dan berkata, "Sesungguhnya pemimpin wilayah ini sedang sakit, maka apakah dari kalian ada seseorang yang bisa meruqyah?" Abu Sa'id berkata, "Maka berdirilah seorang laki-laki mengikuti wanita tersebut, padahal kami tidak mengira bahwa laki-laki tersebut pandai meruqyah. lalu ia meruqyahnya dengan surah Al-Fatihah hingga iapun sembuh. Lalu mereka memberi seekor kambing kepadanya dan memberi kami minuman susu." Maka kami bertanya kepadanya; Apakah kamu pandai meruqyah? Dia menjawab, Aku tidak meruqyahnya kecuali dengan surah Al-Fatihah. Abu Sa'id berkata, Aku lalu berkata, "Kalian jangan melakukan apapun (mengenai surah Al-Fatihah) sehingga kita datang kepada Rasulullah ﷺ, " lalu kami menemui Rasulullah ﷺ, kemudian aku menceritakan hal tersebut kepada beliau, maka beliau pun bersabda, "Tidakkah dia tahu bahwa itu adalah ruqyah, bagilah (hadiah itu) dan ikutkan aku dalam pembagian kalian." (HR. Muslim no. 2201)

Maka Ketiga hadits ini membolehkan ruqyah dengan tiga sudut pandang yaitu: dengan izin dari Rasulullah ﷺ, hadits yang kedua dengan perbuatan Nabi ﷺ dan hadits Ketiga dengan persetujuan ketetapn Nabi ﷺ, dan hadits yang seperti ini pun masih banyak yang lainnya.

Dokter itu adalah memberikan perawatan dan terapi, sedangkan yang memberikan kesembuhan adalah Allah Azza wa Jalla.

SYARAT RUQYAH SYAR’IYYAH:

Ibnu Hajar rahimahullah memberikan penjelasan tentang syarat Ruqyah syar’iyyah yaitu:
1. Dengan kalam Allah, atau dengan Nama dan Sifat-sifat Allah
2. dengan bahasa arab, (karena kalau menggunakan bahasa lain bisa jatuh kepada kesyirikan).
3. Ruqyah tidak memberikan pengaruh secara dzatnya namun yang memberikan kesembuhan  dan kemanfaatan adalah dari Allah.

Berikut Ketiga syarat tersebut secara detailnya:
===================
==Syarat yang pertama: 
===================
Harus dengan Kalam Allah  atau dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah yang ada dalilnya dari Nabi ﷺ dari ruqyah dan doa minta perlindungan kepada Allah. Dan para ulama menambahkan termasuk kedalamnya yaitu apa yang mempunyai makna yang berkaitan dengannya.
Seperti hadits Sa’id al-Khudry yang telah lalu yaitu Beliau pernah meruqyah pemimpin kaum yang terkena sengatan kalajengking, dan meruqyahnya dengan bacaan al-Fatihah

فَانْطَلَقَ فَجَعَلَ يَتْفُلُ وَيَقْرَأُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ 

Kemudian Beliau bergegas dan menjadikan ludahnya kemudian membaca alhamdulillah rabil ‘alamin .. (HR. Al-Bukhari no. 5749)
Dalam Riwayat yang Shohih:

فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ

"Lalu seorang sahabat Nabi membaca Ummul Qur'an dan mengumpulkan ludahnya seraya meludahkan kepadanya. (HR. Al-Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201). 

Hadits :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ مِنْ عَيْنِ الْجَانِّ ثُمَّ أَعْيُنِ الْإِنْسِ فَلَمَّا نَزَلَتْ الْمُعَوِّذَتَانِ أَخَذَهُمَا وَتَرَكَ مَا سِوَى ذَلِكَ

dari Abu Sa'id dia berkata, "Seringkali Rasulullah ﷺ berlindung dari 'Ain (tatapan mata) Jin dan manusia, tatkala turun surat Mu'awidzatain, beliau menggunakannya dan meninggalkan yang lainnya." (HR. Ibnu Majah no. 3511, dishohihkan Syaikh al-Albani dalam Shohih dan Dhoif Sunan Ibni Majah 8/11).

Ibnu Bathol rahimahullah berkata:

‌وإذا ‌جازت ‌الرقية ‌بالمعوذتين وهما سورتان من القرآن كانت الرقية بسائر القرآن مثلها فى الجواز؛ إذ كله قرآن

Jika dibolehkan ruqyah dengan dua surah Al-Qur'an yang merupakan dua surah Al-Qur'an, maka ruqyah dengan sisa Al-Qur'an juga diperbolehkan. Karena semuanya Al-Qur'an. (Lihat Syarah Shohih al-Bukhari 9/429).

===================
==Syarat yang kedua: 
===================

Harus dengan bahasa arab atau dengan apa yang difahami maknanya sesuai syar’i.
Dalilnya adalah:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

dari 'Auf bin Malik Al Asyja'i dia berkata, "Kami biasa melakukan mantera pada masa jahiliah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, 'Ya Rasulullah! bagaimana pendapat Anda tentang mantera?' Jawab beliau: 'Peragakanlah manteramu itu di hadapanku. Mantera itu tidak ada salahnya selama tidak mengandung syirik.' (HR. Muslim no. 2200)

وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحم الله : وعامة ما بأيدي الناس من العزائم والطلاسم والرقى التي لا تفقه بالعربية فيها ما هو شرك بالجن. ولهذا نهى علماء المسلمين عن الرقى التي لا يفقه معناها؛ لأنها مظنة الشرك وإن لم يعرف الراقي أنها شرك» 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Pada umumnya jimat, jimat, dan mantra yang ada di tangan manusia yang tidak bisa dipahami dalam bahasa Arab merupakan bentuk kesyirikan dengan jin. Inilah sebabnya para ulama melarang ruqyah yang tidak dipahami maknanya; Karena ruqyah yang seperti itu bisa disangka bentuk kesyirikan, bahkan orang yang meruqyah pun tidak mengetahui bahwa itu kesyirikan” (LIhat Majmu’ al-Fatawa 13/19)

===================
==Syarat yang ketiga 
===================
أن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها، وإنما هي سبب من الأسباب تنفع بإذن الله تعالى، وأن الشفاء بيد الله.

Ia harus meyakini bahwa ruqyah itu sendiri tidak mempunyai efek samping/pengaruh dari dzat ruqyahnya melainkan salah satu sebab yang manfaatnya, dengan izin Allah Ta’ala, dan kesembuhan itu hakekatnya ada di tangan Allah.
Dalilnya adalah:

عَلَى أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ فَقَالَ ثَابِتٌ يَا أَبَا حَمْزَةَ اشْتَكَيْتُ فَقَالَ أَنَسٌ أَلَا أَرْقِيكَ بِرُقْيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلَى قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
Maka Anas berkata, "Maukah kamu aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah ﷺ?" dia menjawab, "Tentu." Anas berkata, "ALLAAHUMMA RABBAN NAASI MUDZHIBAL BA`SA ISYFI ANTASY SYAAFI LAA SYAAFIYA ILLAA ANTA SYIFAA-AN LAA YUGHAADIRU SAQAMA (Ya Allah Rabb manusia, Dzat yang menghilangkan rasa sakit, sembuhkanlah, sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh, tidak ada yang dapat menyembuhkan melainkan Engkau, yaitu kesembuhan yang tidak menyisakan rasa sakit)." (HR. Al-Bukhari no. 5675)
Dalam hadits tersebut:
Beliau ﷺ mengingkari kesembuhan dari selain Allah, Ruqyah berasal dari perbuatan seorang hamba, dan itu termasuk di antara sebab-sebabnya. Sebab-sebab itu tidak terlepas melainkan dipengaruhi oleh kehendak Allah, maka jika Allah memerintahkan kesembuhan melalui sebab-sebab itu, maka itu dari Allah, dan jika Dia tidak menetapkannya sebagai suatu kesembuhan maka dipastikan tidak ada obatnya kecuali obat dari-Nya.

TATA CARA RUQYAH
1. Membaca dengan disertai tiupan dan ludahan.
Dalilnya adalah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا فَسَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ كَيْفَ يَنْفِثُ قَالَ كَانَ يَنْفِثُ عَلَى يَدَيْهِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ

Dari 'Aisyah radhiallahu'anha bahwa Nabi ﷺ meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan Mu'awwidzat (surah An-Naas dan Al-Falaq) ketika beliau sakit menjelang wafatnya, dan tatkala sakit beliau semakin parah, sayalah yang meniup dengan kedua surat tersebut dan saya megusapnya dengan tangan beliau sendiri karena berharap untuk mendapat berkahnya." (HR. Al-Bukhari no. 5735)

Hadits mulia:

فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ

"Lalu seorang sahabat Nabi membaca Ummul Qur'an dan mengumpulkan ludahnya seraya meludahkan kepadanya  (HR. Al-Bukhari no. 5736 dan Muslim no. 2201).

BEDA AN-NAFTS & AT-TAFL – النفث و التفل

- وقيل : إن النفث يكون معه ريق يسير والتفل أكثر منه في الريق

An-Nafts itu dengan tiupan yang ada ludah nya sedikit, sedangkan at-Tafl adalah  tiupan dengan ludah yang lebih banyak lagi. (itulah yang diambil oleh Ibnu Faris dan Ibnul Atsir).

2. Ruqyah tanpa dengan tiupan.
3. Ruqyah dengan meletakkan tangan menyentuh dan mengusap daerah yang sakit.
Dalilnya:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُهُ فِي جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ ثَلَاثًا وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Dari 'Utsman bin Abu Al 'Ash Ats Tsaqafi bahwa dia mengadukan kepada Rasulullah ﷺ suatu penyakit yang dideritanya sejak ia masuk Islam. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Letakkan tanganmu di tubuhmu yang terasa sakit, kemudian ucapkan Bismillah tiga kali, sesudah itu baca tujuh kali: A'udzu billahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhadziru." (Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari penyakit yang aku derita dan aku cemaskan). (HR. Muslim no. 2202).

4. Ruqyah dengan mencampurkan air liur dan tanah kemudian menyeka/mengusapkan kepada tempat yang sakit.
5. Ruqyah dengan air dan minyak atau benda cair lainnya.
Dalilnya:

عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ ثُمَّ أَخَذَ تُرَابًا مِنْ بَطْحَانَ فَجَعَلَهُ فِي قَدَحٍ ثُمَّ نَفَثَ عَلَيْهِ بِمَاءٍ وَصَبَّهُ عَلَيْهِ

Dari Tsabit bin Qais bin Syammas, "Kemudian beliau mengambil tanah dari Bathhan dan memasukkannya ke dalam sebuah gelas, beliau kemudian menyemburkan air ke dalamnya, lalu menuangkannya kepadanya."  (HR. Abu Dawud no. 3885, tapi sanadnya dhoif, lihat Dhoif Abi Dawud no. 3885).

6.  RUQYAH BAGI ORANG KERASUKAN DENGAN PUKULAN 

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ قَالَ لَمَّا اسْتَعْمَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الطَّائِفِ جَعَلَ يَعْرِضُ لِي شَيْءٌ فِي صَلَاتِي حَتَّى مَا أَدْرِي مَا أُصَلِّي فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ رَحَلْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ابْنُ أَبِي الْعَاصِ قُلْتُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَرَضَ لِي شَيْءٌ فِي صَلَوَاتِي حَتَّى مَا أَدْرِي مَا أُصَلِّي قَالَ ذَاكَ الشَّيْطَانُ ادْنُهْ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَجَلَسْتُ عَلَى صُدُورِ قَدَمَيَّ قَالَ فَضَرَبَ صَدْرِي بِيَدِهِ وَتَفَلَ فِي فَمِي وَقَالَ اخْرُجْ عَدُوَّ اللَّهِ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ الْحَقْ بِعَمَلِكَ قَالَ فَقَالَ عُثْمَانُ فَلَعَمْرِي مَا أَحْسِبُهُ خَالَطَنِي بَعْدُ

dari Utsman bin Abu Al 'Ash dia berkata, "Tatkala Rasulullah ﷺ menugaskan aku di Tha`if, tiba-tiba ada sesuatu yang selalu menggangguku di dalam shalat sehingga aku tidak menyadari shalat yang aku kerjakan. Ketika aku sadari, maka aku lekas pergi kembali menemui Rasulullah ﷺ, beliau lalu bertanya, "Ibnu Abu Al 'Ash?" Aku menjawab, Ya, wahai Rasulullah." Beliau bertanya lagi, "Kabar apa yang kamu bawa?" Aku menjawab, "Ada sesuatu yang mengganguku di dalam shalat, sehingga aku tidak menyadari shalat yang aku kerjakan." Beliau bersabda, "Itu adalah setan, mendekatlah kamu." Maka aku pun mendekat kepada beliau, dan aku duduk di atas kedua telapak kakiku. Dia melanjutkan, "Kemudian beliau menyentuh dadaku dengan tangannya, lalu meludah di mulutku dan bersabda, "Keluarlah wahai musuh Allah." Beliau melakukan hal itu hingga tiga kali, kemudian bersabda, "Kembalilah kepada tugasmu semula." (Perawi) berkata, "Utsman berkata, "Demi Dzat yang menghidupkan aku, aku tidak pernah lagi merasakan ada yang menggangguku." (HR. Ibnu Majah no. 3548 dan Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shohih dan Dhoif Ibni Majah no. 3548).
Ruqyah bagi orang yang kerasukan pernah dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibni Taimiyah dan inipun diceritakan oleh Ibnul Qoyyim  dan ini pun diakui oleh sebagian ulama zaman sekarang.
Syaikhul Islam Ibni Taimiyah rahimahullah berkata:

وَلِهَذَا قَدْ ‌يَحْتَاجُ ‌فِي ‌إبْرَاءِ ‌الْمَصْرُوعِ وَدَفْعِ الْجِنِّ عَنْهُ إلَى الضَّرْبِ فَيُضْرَبُ ضَرْبًا كَثِيرًا جِدًّا وَالضَّرْبُ إنَّمَا يَقَعُ عَلَى الْجِنِّيِّ وَلَا يَحُسُّ بِهِ الْمَصْرُوعُ حَتَّى يَفِيقَ الْمَصْرُوعُ وَيُخْبِرَ أَنَّهُ لَمْ يَحُسَّ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَلَا يُؤَثِّرُ فِي بَدَنِهِ وَيَكُونُ قَدْ ضُرِبَ بِعَصَا قَوِيَّةٍ عَلَى رِجْلَيْهِ نَحْوَ ثَلَاثِمِائَةٍ أَوْ أَرْبَعِمِائَةِ ضَرْبَةً وَأَكْثَرَ وَأَقَلَّ بِحَيْثُ لَوْ كَانَ عَلَى الْإِنْسِيِّ لَقَتَلَهُ وَإِنَّمَا هُوَ عَلَى الْجِنِّيِّ وَالْجِنِّيُّ يَصِيحُ وَيَصْرُخُ وَيُحَدِّثُ الْحَاضِرِينَ بِأُمُورٍ مُتَعَدِّدَةٍ كَمَا قَدْ فَعَلْنَا نَحْنُ هَذَا وَجَرَّبْنَاهُ مَرَّاتٍ كَثِيرَةً يَطُولُ وَصْفُهَا بِحَضْرَةِ خَلْقٍ كَثِيرِينَ

Oleh karena itu, untuk menyembuhkan penyakit epilepsinya dan mengusir jin darinya, maka ia perlu dipukul, maka ia akan sering dipukul, dan pemukulan itu hanya menimpa jin saja, dan orang yang mengidap penyakit itu tidak akan merasakannya sampai penderita epilepsi bangun dan diberitahu bahwa dia tidak merasakan semua itu dan itu tidak mempengaruhi tubuhnya, dan dia telah dipukul dengan tongkat yang kuat pada kaki Dia menimbulkan sekitar tiga atau empat ratus pukulan pada kakinya. apalagi kalau melawan manusia pasti sudah membunuhnya, tapi itu hanya terhadap jin, dan jin berteriak-teriak dan berbicara kepada yang hadir tentang berbagai hal, seperti Kami tidak melakukan ini. dan mengalaminya berkali-kali sehingga butuh waktu lama untuk menggambarkannya di hadapan banyak orang. (Lihat Majmu’ al-Fatawa: 60/19)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

شاهدت ‌شيخنا ‌يرسل ‌إلى المصروع من يُخاطب الروح التي فيه ويقول: قال لك الشيخ اخرجي، فإن هذا لا يحل لك، فيفيق المصروع ولا يحس بألم. وقد شاهدنا نحن وغيرنا منه ذلك مراراً. وكان كثيراً ما يقرأ في أذن المصروع: {أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ} [المؤمنون، الآية 115] . وحدثني أنه قرأها مرة في أذن المصروع، فقالت الروح: نعم. ومدّ بها صوته. قال: فأخذت له عصا، وضربته بها في عروق عنقه، حتى كلّت يداي من الضرب، ولم يشك الحاضرون أنه يموت لذلك الضرب، ففي أثناء الضرب قالت: أنا أحبه، فقلت لها: هو لا يُحبّك. قالت: أنا أُريد أن أحُجّ به، فقلت لها: هو لا يُريد أن يحجّ معك. فقالت: أنا أدعه كرامة لك. قال: قلت: لا، ولكن طاعة لله ولرسوله. قالت: فأنا أخرج منه. قال: فقعد المصروع يلتفت يميناً وشمالاً، وقال: ما جاء بي إلى حضرة الشيخ؟ قالوا له: وهذا الضرب كله؟ فقال: وعلى أي شيء يضربني الشيخ ولم أُذنب. ولم يشعر بأنه وقع به ضرب البتة

Aku melihat Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)  mengirimkan seseorang kepada orang lumpuh itu untuk menyapa roh yang ada di dalam dirinya dan berkata: Syaikh menyuruhmu keluar, karena hal ini tidak diperbolehkan bagimu, sehingga orang lumpuh itu bangun dan tidak merasakan sakit. Kami dan orang lain telah melihat hal ini berulang kali. Beliau (Syaikhul Islam) sering membacakan di telinga orang yang tertimpa musibah: “Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS Al-Mukminun : 115) . Dia menceritakan kepadaku bahwa dia pernah membacanya di telinga orang lumpuh, dan roh itu berkata: Ya. Dia memperluas suaranya padanya. Dia berkata: Maka aku mengambil tongkat untuknya dan memukul lehernya dengan tongkat itu, sampai tanganku lelah karena pemukulan itu, dan orang-orang yang hadir yakin bahwa dia sedang sekarat karena pemukulan itu. Aku mencintainya, dan aku berkata kepadanya: Dia tidak mencintaimu. Dia berkata: Aku ingin menunaikan haji bersamanya. Aku berkata kepadanya: Dia tidak ingin menunaikan haji bersamamu. Dia berkata: Saya akan meninggalkannya karena menghormati Anda. Dia berkata: Aku menjawab: Tidak, tapi karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia berkata: Saya akan keluar dari situ. Beliau berkata: Lalu orang yang terluka itu duduk sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, seraya berkata: Apa yang membawaku ke hadapan Syaikh? Mereka berkata kepadanya: Dan pemukulan ini secara keseluruhan? Dia berkata: Untuk apa Syaikh  memukulku, dan aku tidak berbuat dosa? Dia tidak merasa telah dipukuli sama sekali. (Lihat Zaadul Ma’ad 4/62-63).

وقد سئل الشيخ عبد العزيز بن باز تعم الله : هل يجوز للذي يعالج المرضى بقراءة القرآن
الكريم أن يضرب ويخنق ويتحدث مع الجن؟»
فأجاب: «هذا قد وقع شيء منه من بعض العلماء السابقين مثل شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى، فقد كان يخاطب الجني ويخنقه ويضربه حتى يخرج، أما المبالغة في هذه
الأمور مما نسمعه عن بعض القراء فلا وجه لها .) 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya: Bolehkah seseorang yang merawat pasien dengan membaca Al-Qur'an untuk  memukul, mencekik, dan berbicara dengan jin yang meerasukinya?
Beliau rahimahullah menjawab: "Beberapa ulama sebelumnya, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, rahimahullah, pernah mengalami hal seperti ini. Beliau rahimahullah biasa berbicara dengan jin, mencekiknya, dan memukulinya sampai dia keluar. Adapun hal yang berlebihan dalam hal ini,  dari Hal-hal yang kami dengar dari sebagian ahli ruqyah tidak ada dasarnya.) 

Semoga bermanfaat.

Bersambung ke tulisan selanjutnya, inSya Allah.


Rabu, 10 Januari 2024

TABARUK YANG SYAR`I

#DAURAH_SYAR’IYYAH_SOLO_MAHAD_IMAM_AL_BUKHARI
#PERTEMUAN_KEENAM

KITAB 
سبيل الرشاد في تقرير مسائل الإعتقاد


Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily hafizhahullah menjelaskan:


*TABARUK YANG DISYARI’ATKAN:*

1. Tabaruk dengan al-Qur’an (sudah dibahas di tulisan sebelumnya)
2. Tabaruk dengan dzikir kepada Allah (sudah dibahas di tulisan sebelumnya)
===========================
*3. TABARUK DENGAN NABI ﷺ 
==========================
--- ini ada tiga :
a. Tabaruk dengan cara beriman kepadanya
Yaitu dengan mentaati apa yang menjadi perintahnya, memegang teguh petunjuknya ﷺ dan ini adalah sebab terbesar bagi seorang muslim untuk bisa mendapatkan kebarokahan dalam umur, ilmu, amal dan rezkinya.
Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raaf: 96).

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)
Ini menunjukkan sebab kebarokahan itu dengan beriman kepada Nabi ﷺ.

b. Tabaruk dengan dzatnya Nabi ﷺ

Nabi ﷺ diberikan kebarokahan dalam jasadnya, anggota badannya dan telah banyak hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut. 
Hadits yang mulia:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفُثُ فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ بِيَدِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا
dari Aisyah radhiallahu'anha, Bahwasanya Rasulullah ﷺ apabila menderita sakit, maka beliau membacakan AL MU'AWWIDZAAT (surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas) untuk dirinya sendiri, lalu beliau meniupkannya. Dan ketika sakitnya parah, maka akulah yang membacakannya pada beliau, lalu mengusapkan dengan menggunakan tangannya guna mengharap keberkahannya. (HR. Al-Bukhari no. 5016 dan Muslim no. 2192).

c. Tabaruk dengan Peninggalan Nabi ﷺ

=====Tabaruk dengan peninggalan Nabi ﷺ ketika Beliau masih hidup:
Seperti:
1.) Tabaruk dengan rambut Nabi ﷺ
Sebagaimana hadits :

عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَلَّاقُ يَحْلِقُهُ وَأَطَافَ بِهِ أَصْحَابُهُ فَمَا يُرِيدُونَ أَنْ تَقَعَ شَعْرَةٌ إِلَّا فِي يَدِ رَجُلٍ

Dari Anas dia berkata, "Sungguh saya pernah melihat Rasulullah ﷺ sedang dicukur oleh seorang tukang cukur dengan dikerumuni oleh para sahabat beliau. Sebenarnya yang mereka inginkan adalah agar setiap helai rambut beliau yang tercukur itu jatuh ke tangan seorang sahabat yang mengerumuninya." (HR. Muslim no. 2325). 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَى الْبُدْنِ فَنَحَرَهَا وَالْحَجَّامُ جَالِسٌ وَقَالَ بِيَدِهِ عَنْ رَأْسِهِ فَحَلَقَ شِقَّهُ الْأَيْمَنَ فَقَسَمَهُ فِيمَنْ يَلِيهِ ثُمَّ قَالَ احْلِقْ الشِّقَّ الْآخَرَ فَقَالَ أَيْنَ أَبُو طَلْحَةَ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ

dari Anas bin Malik bahwasanya; Setelah Rasulullah ﷺ melempar Jamratul 'Aqabah, beliau langsung bergegas menuju Unta (hewan kurbannya) dan menyembelihnya. Sementarara tukang bekam sedang duduk di sekitar itu. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya ke arah kepala (agar ia mencukurnya). Lalu tukang cukur itu pun mencukur rambut beliau yang sebelah kanan dan kemudian beliau membagikannya kepada orang yang berada di dekatnya. Setelah itu, rambut yang sebelahnya lagi, kemudian beliau bertanya, "Mana Abu Thalhah?" maka beliau pun memberikan rambut itu padanya. (HR. Muslim no. 1305).

2.) Mengambil Keberkahan dari tahnik yang dilakukan oleh Nabi ﷺ: 

عَنْ أَسْمَاءَ أَنَّهَا حَمَلَتْ بِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ بِمَكَّةَ قَالَتْ فَخَرَجْتُ وَأَنَا مُتِمٌّ فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَنَزَلْتُ بِقُبَاءٍ فَوَلَدْتُهُ بِقُبَاءٍ ثُمَّ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَهُ فِي حَجْرِهِ ثُمَّ دَعَا بِتَمْرَةٍ فَمَضَغَهَا ثُمَّ تَفَلَ فِي فِيهِ فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ دَخَلَ جَوْفَهُ رِيقُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ حَنَّكَهُ بِالتَّمْرَةِ ثُمَّ دَعَا لَهُ وَبَرَّكَ عَلَيْهِ وَكَانَ أَوَّلَ مَوْلُودٍ وُلِدَ فِي الْإِسْلَامِ

dari Asma', Ketika dia mengandung anaknya 'Abdullah bin Zubair, dia masih berada di Makkah. Dia berkata, "Kemudian aku hijrah ke Madinah, padahal aku sudah hamil tua. Kemudian aku berhenti di Quba, dan aku melahirkan di sana. Lalu aku bawa anakku kepada Rasulullah dan meletakkannya di pangkuan beliau. Rasulullah meminta sebuah kurma lalu dikunyahnya. Sesudah itu disuapkannya ke mulut bayiku. Itulah makanan yang pertama kali masuk ke mulut bayi itu, kurma yang telah bercampur dengan air ludah beliau. Kemudian Nabi ﷺ mendoakan keberkahan baginya. Dialah bayi yang pertama-tama lahir dalam Islam." (HR. Al-Bukhari no. 5469 dan Muslim no. 2146).

3.) Tabaruk dengan keringat Nabi ﷺ:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِنْدَنَا فَعَرِقَ وَجَاءَتْ أُمِّي بِقَارُورَةٍ فَجَعَلَتْ تَسْلِتُ الْعَرَقَ فِيهَا فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ مَا هَذَا الَّذِي تَصْنَعِينَ قَالَتْ هَذَا عَرَقُكَ نَجْعَلُهُ فِي طِيبِنَا وَهُوَ مِنْ أَطْيَبِ الطِّيبِ

dari Anas bin Malik dia berkata, Nabi ﷺ pernah berkunjung ke rumah kami. kemudian beliau tidur sebentar (Qailulah) di rumah kami hingga berkeringat. Lalu Ibu saya mengambil sebuah botol dan berupaya memasukkan keringat Rasulullah ﷺ itu ke dalam botol tersebut. Tiba-tiba Rasulullah terjaga sambil berkata kepada ibu saya, 'Hai Ummu Sulaim, apa yang kamu lakukan terhadap diriku? Ibu saya menjawab, 'Kami hanya mengambil keringat engkau untuk kami jadikan wewangian kami.' keringat beliau merupakan salah satu wewangian yang paling harum wanginya. (HR. Muslim no. 2331).

Terdapat di Shohih Muslim hadits:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ بَيْتَ أُمِّ سُلَيْمٍ فَيَنَامُ عَلَى فِرَاشِهَا وَلَيْسَتْ فِيهِ قَالَ فَجَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَامَ عَلَى فِرَاشِهَا فَأُتِيَتْ فَقِيلَ لَهَا هَذَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَامَ فِي بَيْتِكِ عَلَى فِرَاشِكِ قَالَ فَجَاءَتْ وَقَدْ عَرِقَ وَاسْتَنْقَعَ عَرَقُهُ عَلَى قِطْعَةِ أَدِيمٍ عَلَى الْفِرَاشِ فَفَتَحَتْ عَتِيدَتَهَا فَجَعَلَتْ تُنَشِّفُ ذَلِكَ الْعَرَقَ فَتَعْصِرُهُ فِي قَوَارِيرِهَا فَفَزِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَصْنَعِينَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرْجُو بَرَكَتَهُ لِصِبْيَانِنَا قَالَ أَصَبْتِ

"Rasulullah ﷺ pernah berkunjung ke rumah Ummu Sulaim. Lalu beliau tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim, ketika ia sedang tidak berada di rumah. Anas berkata, 'Pada suatu hari, Rasulullah ﷺ datang ke rumah kami dan tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim disuruh pulang dan diberitahu bahwasanya Nabi ﷺ ﷺ sedang tidur di atas tempat tidurnya. Anas berkata, 'Ketika Ummu Sulaim tiba di rumah, Nabi ﷺ telah berkeringat, dan keringat beliau tergenang di tikar kulit di atas tempat tidur.' Maka Ummu Sulaim segera membuka tasnya dan segera mengusap keringat Rasulullah dengan sapu tangan dan memerasnya ke dalam sebuah botol. Tiba-tiba Nabi ﷺ terbangun dan terkejut seraya berkata, 'Apa yang kamu lakukan hai Ummu Sulaim? Ummu Sulaim menjawab, 'Ya Rasulullah, kami mengharapkan keberkahan keringat engkau untuk anak-anak kami. Rasulullah ﷺ bersabda, "Kamu benar hai Ummu Sulaim!" (HR. Muslim no.  2331)
Hadits ini menunjukkan bolehnya mengambil kebarokahan dengan keringat Nabi ﷺ dengan apa yang dilakukan oleh Ummu Sulaim dan dibenarkan oleh Rasulullah ﷺ.

4.  Mereka mengambil kebarokahan dari apa yang disentuh  oleh badan Nabi ﷺ yaitu:
a. Mereka mengambil kebarokahan dengan pakaian Nabi ﷺ
sebagaimana hadits di Shohih al-Bukhari 

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبُرْدَةٍ فَقَالَ سَهْلٌ لِلْقَوْمِ أَتَدْرُونَ مَا الْبُرْدَةُ فَقَالَ الْقَوْمُ هِيَ الشَّمْلَةُ فَقَالَ سَهْلٌ هِيَ شَمْلَةٌ مَنْسُوجَةٌ فِيهَا حَاشِيَتُهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْسُوكَ هَذِهِ فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجًا إِلَيْهَا فَلَبِسَهَا فَرَآهَا عَلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ الصَّحَابَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَحْسَنَ هَذِهِ فَاكْسُنِيهَا فَقَالَ نَعَمْ فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَامَهُ أَصْحَابُهُ قَالُوا مَا أَحْسَنْتَ حِينَ رَأَيْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مُحْتَاجًا إِلَيْهَا ثُمَّ سَأَلْتَهُ إِيَّاهَا وَقَدْ عَرَفْتَ أَنَّهُ لَا يُسْأَلُ شَيْئًا فَيَمْنَعَهُ فَقَالَ رَجَوْتُ بَرَكَتَهَا حِينَ لَبِسَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلِّي أُكَفَّنُ فِيهَا

Dari Sahl bin Sa'd dia berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ dengan membawa selimut bersulam. Sahal bertanya: Apa kalian tahu selimut apakah itu? Mereka menjawab, "Ya, ia adalah mantel." Sahal berkata, Ia adalah mantel bersulam yang ada rendanya. Lalu wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah! aku membawanya untuk mengenakannya pada Anda." Lalu Nabi ﷺ mengambilnya karena beliau sangat memerlukannya. Kemudian beliau mengenakan mantel tersebut ternyata salah seorang dari sahabat melihat beliau mengenakan mantel itu lalu berkata, "Alangkah bagusnya selimut ini, kenakanlah untukku wahai Rasulullah!" Rasulullah ﷺ bersabda, "Ya." Ketika Nabi ﷺ beranjak pergi, orang-orang pun mencela sahabat tersebut sambil berkata, "Demi Allah, kau berlaku kurang ajar. Kamu tahu, Rasulullah ﷺ diberi selimut itu saat beliau memerlukannya, malahan kau memintanya, padahal kau tahu beliau tidak pernah menolak seorang peminta pun." Sahabat itu berkata, "Aku hanya mengharap keberkahannya ketika Nabi ﷺ mengenakannya semoga kain itu menjadi kafanku pada saat aku meninggal." (HR. al-Bukhari no. 6036)

Hadits mulia:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتْ ابْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ فَأَعْطَانَا حِقْوَهُ فَقَالَ أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ تَعْنِي إِزَارَهُ

dari Ummu 'Athiyyah seorang wanita Anshar radhiallahu'anha, ia berkata, Rasulullah ﷺ menemui kami saat kematian putrinya, lalu beliau bersabda, "Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian) atau yang sejenis. Dan bila kalian telah selesa,i beritahu aku." Ketika kami telah selesai, kami memberitahu beliau. Maka kemudian beliau memberikan kain beliau kepada kami seraya bersabda, "Pakaikanlah ini kepadanya." Maksudnya pakaian beliau". (HR. Al-Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).

b. Mereka para shahabat mengambil kebarokahan dengan posisi jari-jarinya pada makanan. 
Shahabat Abu Ayub al-Anshori pernah menyaksikan:

فَكَانَ يَصْنَعُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَإِذَا جِيءَ بِهِ إِلَيْهِ سَأَلَ عَنْ مَوْضِعِ أَصَابِعِهِ فَيَتَتَبَّعُ مَوْضِعَ أَصَابِعِهِ

 Abu Ayyub Al Anshari pernah membuatkan makanan untuk Nabi ﷺ. Bila tempat makanan di kembalikan Abu Ayyub Al Anshari bertanya dimanakah tempat jari-jari Nabi ﷺ, lalu ia makan pada bekas jari-jari Nabi ﷺ. (HR. Muslim no. 2053)
Al-Nawawi rahimahullah berkata: jika makanan diberikan kepadanya dan Nabi ﷺ makan darinya sesuai kebutuhannya lalu mengembalikan sisanya, maka Abu Ayyub memakannya dari posisi jari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mencari berkah” (Lihat Syarah an-Nawawy 10/14)
c. Mereka para shahabat mengambil kebarokahan dengan posisi minum Rasulullah ﷺ dan kelebihan dari air minumnya.
Hadits yang mulia:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِشَرَابٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَعَنْ يَمِينِهِ غُلَامٌ وَعَنْ يَسَارِهِ الْأَشْيَاخُ فَقَالَ لِلْغُلَامِ أَتَأْذَنُ لِي أَنْ أُعْطِيَ هَؤُلَاءِ فَقَالَ الْغُلَامُ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا أُوثِرُ بِنَصِيبِي مِنْكَ أَحَدًا قَالَ فَتَلَّهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَدِهِ

dari Sahal bin Sa'ad As-Sa'idiy radhiallahu'anhu bahwa kepada Rasulullah ﷺ disuguhkan minuman, lalu beliau meminumnya sementara disamping kanan beliau ada seorang anak kecil sedangkan di sebelah kiri beliau ada para orang-orang tua. Maka beliau berkata, kepada anak kecil itu, "Apakah kamu mengizinkan aku untuk memberi minuman ini kepada mereka?" Anak kecil itu berkata, "Demi Allah, tidak wahai Rasulullah, aku tidak akan mendahulukan seorangpun daripadaku selain Anda." Maka beliau memberikan kepadanya. (HR. Al-Bukhari 2451 dan Muslim no. 2030) 

d. Mereka para shahabat mengambil kebarokahan dari sisa air wudhu Nabi ﷺ:
hadits Abu Juhaifah radhiallahu’anhu, pernah berkata:

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ فَأُتِيَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ

"Rasulullah ﷺ pernah keluar mendatangi kami di waktu tengah hari yang panas. Beliau lalu diberi air wudhu hingga beliau pun berwudhu, orang-orang lalu mengambil sisa air wudhu beliau seraya mengusap-ngusapkannya. (HR. Al-Bukhari no. 187 dan Muslim no. 503)

(فضل وضوئه) محتمل لمعنيين ذكرهما شراح الحديث

(Fadhlu wadhuihi) dimungkinkan karena dua makna yang disebutkan oleh para ahli tafsir hadis  
Yang pertama: sisa air wudhunya yang ada di dalam bejana, dan yang kedua: sisa air wudhunya yang mengalir dari anggota tubuh Beliau ﷺ. Dari sini jelas bahwa para sahabat bermaksud mencari keberkahan dari air yang menyentuh anggota badan dan badannya, dan tujuan mencari keberkahan dengan air tersebut didasarkan pada makna pertama bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah mengambil dengan tangannya dari bejana untuk membasuh organ-organ tubuhnya, maka sisa air itu mendapat keberkahannya karena Rasulullah ﷺ mencelupkan tangannya yang mulia ke dalamnya, Kedua: Air memperoleh keberkahannya dengan mengalir dari organ-organ tubuhnya ﷺ

===== Tabaruk dari peninggalan Nabi ﷺ setelah kematian Nabi ﷺ
Ini dibolehkan manakala ada dasar yang ilmiyah sebagaimana hadits mulia:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْكَسَرَ فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ قَالَ عَاصِمٌ رَأَيْتُ الْقَدَحَ وَشَرِبْتُ فِيهِ

Dari Anas bin Malik radhiallahu'anhu berkata, "Gelas milik Nabi ﷺ pecah lalu beliau mengumpulkan dan mengikatnya dengan Rantai terbuat dari perak." 'Ashim berkata, "Aku melihat gelas tersebut lalu kupergunakan untuk minum". (HR. Al-Bukhari no. 3109)

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ قَالَ أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ وَقَبَضَ إِسْرَائِيلُ ثَلَاثَ أَصَابِعَ مِنْ قُصَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الْإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ فَاطَّلَعْتُ فِي الْجُلْجُلِ فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرًا

Dari Utsman bin Abdullah bin Mauhab berkata, "Keluargaku pernah menyuruhku menemui Ummu Salamah istri Nabi ﷺ dengan membawa mangkuk berisi air, sementara Isra'il memegang mangkuk tersebut menggunakan tiga jarinya yang di dalamnya terdapat beberapa helai rambut Nabi ﷺ yang diikat, apabila ada seseorang yang terkena sihir atau sesuatu, maka tempat mewarnai rambut beliau diberikan kepada Ummu Salamah, lalu aku mendongakkan kepala ke wadah yang menyerupai lonceng, aku melihat rambut beliau sudah berubah merah." (HR. Al-Bukhari no. 5896)

FENOMENA PENYIMPANGAN DALAM TABARUK
1. Tabaruk dengan tempat-tempat yang Nabi ﷺ pernah singgah dan Beliau ﷺ lewati.
Seperti Jabal Tsur, Goa Hira, Jabal Arafah, Jabal Uhud, Jabal ar-Ramaah/Jabal ‘Ainain dekat Jabal Uhud, Tempat di khondaq, tempat perang badar, dan lainnya. Tempat-tempat tersebut tidak bisa diambil kebarokahannya.
2. Tidak Tabaruk dengan kubur Nabi ﷺ
3. Tidak Tabaruk dengan Masjidl Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsho, baik dengan menyentuhnya, tiangnya, pintu-pintunya dan lainnya.
4. Tabaruk dengan orang-orang Sholih dari ulama atau ahli ibadah dari badannya mereka ataupun peninggalan mereka ataupun bajunya mereka.

يقول ابن رجب رحمه الله : والتبرك بالآثار إنما كان يفعله الصحابة رضي الله عنهم مع النبي ولم يكونوا يفعلونه مع بعضهم بعضا ولا يفعله التابعون مع الصحابة مع علو قدرهم فدل على أن هذا لا يفعل إلا مع الرسول ﷺ مثل التبرك بالوضوء وغيره.» (۳).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: Tabaruk dengan peninggalan, itu hanya dilakukan oleh Para sahabat radhiyallahu 'anhu dengan peninggalan Nabi ﷺ, dan mereka tidak melakukannya sebagian kepada sebagian lainnya, dan para Tabi’in  tidak melakukannya dengan peninggalan para Sahabat, padahal kemampuan mereka tinggi, hal ini menandakan bahwa hal tersebut hanya dilakukan terhadap Rasulullah ﷺ, seperti mencari kebarokahan melalui wudhu dan lainnya. (Lihat Majmu’ Rasa’il Ibni Rajab 1/252)

Semoga bermanfaat.

Bersambung ke tulisan selanjutnya, inSya Allah.




==============