Rabu, 10 Januari 2024

UDZUR KARENA BODOH

UDZUR KARENA KEJAHILAN
العذر بالجهل

Syaikh Ibrahim bin 'Amir Ar-Ruhaily ditanya: 

"Kami ingin mengambil faidah dari antum -jazaakumullah khairan- tentang udzur bil jahli, sangat banyak diskusi, perdebatan tentangnya. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan"

JAWABAN: " udzur karena kebodohan termasuk dari pokok-pokok syariat yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Diantaranya:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Q.S. Al-Baqarah: 286

Diantara doa hamba yang beriman: 

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ 

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan" Q.S. Al-Baqarah:286

Karenanya manusia adalah orang yang berbuat salah dan diberikan udzur. Dan telah datang dalam sebuah hadits bahwa Allah telah mengijabah permintaan kaum mukminin.  Syaikhul Islam ketika menyebutkan ayat tersebut mengatakan:
 'telah ditetapkan bahwa Allah mengijabah doa kaum mukminin, sebagaimana dalam Shahih Muslim Bahwa Allah mengatakan: 'Aku telah mengabulkannya'.

Demikian pula firman Allah:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا 

"tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul." QS. Al-Isra: 15

Diutusnya seorang Rasul bukanlah tujuan, akan tetapi tujuannya adalah MENEGAKKAN HUJJAH. Allah berfirman:

{ رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ

"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus... "Q.S. An-Nisa:165

Tidak akan dihukum seseorang, kecuali karena dosa atau kekufuran yang telah tegak hujjah padanya. Dan dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori tentang seseorang yang berdosa melampaui batas, meminta kepada keluarganya untuk membakar dirinya setelah wafat dan abunya ditabur di laut dan di daratan, karena takut dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawaban. Ketika hari kiamat Allah perintahkan lautan dan daratan mengumpulkan jasadnya dan membangkitkannya.

 Kemudian Allah bertanya: "Wahai hambaku apa yang menyebabkan engkau berbuat ini?" 

Hamba menjawab: "Takut kepada engkau wahai Rabb"
Maka Allah mengampuninya.

Orang ini, tidak mengetahui (jahil) tentang kekuasaan dan kemampuan Allah untuk membangkitkan. Dan dia mendapatkan udzur karena kejahilannya. Dan sudah diketahui bahwa meyakini Allah tidak sanggup membangkitkan,  lebih kufur daripada menyembelih dan sujud kepada selain Allah; karena hal ini adalah bentuk mengingkari sifat Allah, dan syirik dalam rububiyah lebih besar dibandingkan syirik uluhiyyah. Walaupun demikian, Allah tetap memberikannya udzur.

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "orang ini mukmin, akan tetapi jahil terhadap kekuasaan Allah dalam membangkitkan."

Kemudian,  Ahlus Sunnah telah Ijma', bahwa mengingkari satu sifat Allah saja, hukumnya kafir. Dan telah diketahui bahwa sebagian ulama tafsir, fuqoha, ahli hadits, dengan kemampuan dan keilmuan mereka, banyak dari mereka yang menolak beberapa sifat Allah dan mentakwil beberapa sifat yang menyebabkan ditolaknya sifat Allah. 

Kalau sekiranya tidak ada udzur dengan kejahilan, maka orang yang paling berhak dikafirkan adalah para ulama tersebut sebelum orang-orang awamnya. Karena mereka hafal Al-Qur'an, mengerti Al-Qur'an, paham istidlal dan kandungan suatu dalil,akan tetapi tidak ada para ulama yang mengkafirkan mereka.

Dan mereka yang mengatakan tidak ada udzur terhadap kejahilan dan mengkafirkan orang awam yang tidak tahu dengan jatuhnya mereka terhadap kesyirikan, maka melazimi mereka untuk mengkafirkan para ulama tersebut. Tapi tidak dilakukan oleh mereka.

Ini adalah satu permasalahan, dan permasalahan lainnya Saya mengatakan: Bahwa saya siap untuk berdiskusi dengan orang yang tidak memberikan udzur terhadap kebodohan, dan sebatas melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, mengharuskan kafirnya mereka, untuk berdiskusi tentang beberapa permasalahan aqidah yang rinci yang tersembunyi bagi kebanyakan orang. Yang apabila kita jalankan hukum ini (yaitu tidak ada udzur terhadap kebodohan) maka tidak ada yang selamat dari kekafiran.

Kalau kita bertanya tentang beberapa nama dan sifat Allah, banyak yang syak dan ragu,  apakah ini sifat atau bukan sifat, apakah ini nama atau bukan nama Allah. Dan tuntutan dari tidak memberikan udzur terhadap kejahilan adalah kafir dan mengkafirkan, bisa karena ragu atau tidak tahu (jahil) tentang sifat dan nama Allah.

Saya mengingat seorang pemuda yang datang ke masjid Nabawi, kemudian ia berkata: 'Anda memberikan udzur bagi yang bodoh dan tidak mengkafirkan orang musyrik.!!

Saya menjawab: 'tidak! Saya mengkafirkan orang musyrik, akan tetapi memberi udzur bagi kaum muslimin yang jahil (bodoh)'

Ia menjawab: 'akan tetapi ilmu sudah tersebar!?'

Kemudian saya bertanya: 'kamu belajar di mana?' ia menjawab: 'di universitas Islam Madinah'

Saya bertanya: apakah kamu menetapkan sifat dhohik (tertawa) bagi Allah?'

Ia berkata: 'hah...?!' sambil mengangkat kepalanya.

Saya berkata: anda dengan kaidah yang anda pegang (yaitu tidak memberikan udzur terhadap kebodohan) maka berada pada satu dari dua keadaan:

1. Tidak tahu, dan dengan kaidah yang anda pegang anda telah kafir. 
2. Ragu/syak. Dan dengan keyakinan saya dan kamu, anda telah kafir.

Maka pemuda tersebut meninggalkan saya.

Dan orang yang berpegang dengan tidak adanya udzur dalam masalah kejahilan, kalau kita baca tulisan dalam kitab mereka, maka kita dapati bahwa banyak permasalahan, yang sekiranya tidak ada udzur terhadap kejahilan, mereka telah tervonis kafir.

Dan diantara yang aneh dari mereka, mereka mengatakan bahwa memberikan udzur bagi yang jahil adalah pendapat yang baru, dan mereka pura-pura bodoh tentang perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam banyak kitabnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang tidak mengkafirkan orang yang meminta kepada Husen dan Albadawi karena kebodohan mereka, mereka pura-pura bodoh terhadap perkataan para imam dakwah dan termasuk perkataan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin.

Apabila kita berpegang kepada tidak ada udzur pada orang yang jahil maka tidak akan ada yang tersisa dari umat ini kecuali dikafirkan atau minimal perbuatannya dikategorikan kekufuran.

Selain itu mereka kontradiksi dalam berpegang kepada kaidah mereka  ketika kita bertanya tentang Sayid Qutub yang mengatakan bahwa Surat An-Najm seperti suara not musik, apakah telah kafir dan tidak diberikan udzur?! Maka mereka marah dan emosi karena tokoh itu diagungkan mereka.

Mereka yang berpegang kepada kaidah ini, pada hakikatnya tidak mengerti perkataan para ulama dalam masalah ini. Mereka mengatakan bahwa memberi udzur kepada orang jahil adalah aqidah irja' (Murjiah). Padahal memberi udzur kepada orang yang jahil, tidak berarti mengingkari hukum kesyirikan secara mutlak, karena kesyirikan adalah kesyirikan. 

Berulang kali saya mengatakan bahwa apabila ada seorang yang beribadah kepada Allah puluhan tahun dan dia setelahnya menyembelih nyamuk atau lalat kepada selain Allah, dan mengetahui bahwa itu adalah kesyirikan, maka dia telah kafir dan kekal di neraka.  Tapi justru dinisbatkan kepada saya bahwa saya tidak mengkafirkan seseorang secara ta'yin (tertentu). Padahal saya mengkafirkan orang setelah menegakkan hujjah dan terpenuhi semua syarat pengkafiran.

Dan sayapun dengan tegas membantah tulisan:

لا ردة بعد الإسلام

TIDAK ADA KEMURTADAN SETELAH ISLAM

Tulisan ini salah dan saya telah bantah!!!

Untuk hukum secara mutlak, tidak perlu diragukan, akan tetapi untuk mengkafirkan secara muayyan maka harus tegak hujjah dan hilang syubhat. Dan inilah prinsip dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 

من ثبت إسلامه بيقين فلا يزيله بالشك

Barang siapa yang tetap Islamnya dengan yakin tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.

Dan hal ini sangat jelas, dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, barang siapa membantah ini, maka hendaknya dia pertama kali membantah Syaikhul Islam sebelum membantah yang lain. Dan selayaknya pelajar tidak terpengaruh kepada suatu pendapat apabila tidak berdasarkan dengan dalil.

Solo, 10 Januari 2024
28 Jumadal Akhiroh 1445 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar