Senin, 12 Mei 2025

PERUMPAMAAN ORANG-ORANG KAFIR



 PERUMPAMAAN ORANG KAFIR 



﴿وَمَثَلُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِی یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ إِلَّا دُعَاۤءࣰ وَنِدَاۤءࣰۚ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡیࣱ فَهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ﴾ [البقرة ١٧١]



Al Imam Al Baghowy rahimahullah berkata: 

"Dan perumpamaan orang-orang kafir seperti orang yang memanggil sesuatu yang tidak mendengar..."

Kata "an-na‘îq" dan "an-naq" adalah suara penggembala kepada kambing. Maknanya: perumpamaanmu, wahai Muhammad, dan perumpamaan orang-orang kafir dalam nasihat dan seruanmu kepada mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah seperti penggembala yang berseru kepada kambing.

Ada juga yang mengatakan: perumpamaan orang yang menasihati dan menyeru orang kafir itu seperti penggembala yang berseru kepada kambing, padahal kambing itu tidak mendengar kecuali suara dan panggilan semata.

Perumpamaan ini dikaitkan kepada orang-orang kafir karena konteks pembicaraan mengarah kepada mereka, sebagaimana firman Allah: “Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada negeri itu...” (QS. Yusuf: 82), padahal yang dimaksud adalah penduduk negeri tersebut.

Maksudnya adalah: sebagaimana binatang ternak mendengar suara penggembala tetapi tidak memahami dan tidak mengerti apa yang dikatakannya, maka demikian pula orang kafir — mereka tidak mengambil manfaat dari nasihatmu, mereka hanya mendengar suaramu.

Ada juga yang mengatakan bahwa makna ayat ini adalah: perumpamaan orang-orang kafir dalam lemahnya akal dan pemahaman mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya, seperti binatang yang dipanggil tetapi tidak mengerti perintah dan larangan kecuali sekadar suara. Maka makna ayatnya diarahkan kepada yang dipanggil (yakni binatang), sedangkan pengucapnya (yakni penggembala) tidak disebut. Ini adalah gaya bahasa yang umum dalam bahasa Arab, untuk menjelaskan makna dengan lebih terang. Mereka biasa berkata: "Si Fulan takut kepadamu seperti takut kepada singa," maksudnya: takut seperti takutnya kepada singa.

Allah juga berfirman: “Sesungguhnya kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sekelompok orang yang kuat” (QS. Al-Qashash: 76) — padahal secara makna, seharusnya: sekelompok orang itu merasa berat memikul kuncinya.

Ada pula yang mengatakan bahwa maknanya adalah: perumpamaan orang-orang kafir yang menyeru berhala-berhala yang tidak bisa mengerti dan tidak memiliki akal, seperti penggembala yang berseru kepada kambing, yang mana kambing itu tidak mendapatkan manfaat apapun dari seruan itu — selain sekadar mendengar suara dan panggilan saja. Begitu pula orang kafir: mereka tidak mendapatkan manfaat dari doa dan ibadah mereka kepada tuhan-tuhan selain Allah, kecuali keletihan dan penderitaan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu. Dan jika mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan (permintaanmu)” (QS. Fathir: 14).

Ada juga yang mengatakan: makna ayat ini adalah perumpamaan orang kafir dalam menyeru berhala-berhala seperti orang yang berteriak di tengah gunung, yang hanya mendengar gema suaranya sendiri — yang disebut dengan “shadā” — tetapi tidak memahami apapun dari suara itu. Maka makna ayatnya adalah seperti orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar, dan tidak mendapat dari seruannya itu kecuali panggilan dan suara.

"Tuli" — orang Arab menyebut orang yang tidak mendengar dan tidak mengerti sebagai “seolah-olah ia tuli.”
"Bisu" — dari kebaikan, mereka tidak mengucapkannya.
"Buta" — dari petunjuk, mereka tidak melihatnya.
"Maka mereka tidak berakal."

(1) Lihat: Tafsir at-Ṭabarī, jilid 3, halaman 305.



Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir rahimahullah; 

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa‘id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Yahudi yang diajak Rasulullah ﷺ untuk masuk Islam, namun mereka berkata: “Tidak, kami tetap mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla membuat perumpamaan untuk mereka, sebagaimana firman-Nya: “Bagi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat adalah perumpamaan yang buruk” (QS. An-Nahl: 60). Maka Allah berfirman: “Dan perumpamaan orang-orang kafir” — maksudnya: dalam keadaan mereka yang berada dalam kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan, seperti hewan ternak yang dibiarkan lepas; tidak memahami apa yang dikatakan kepadanya. Bahkan jika penggembalanya berseru padanya — yakni memanggil untuk membimbingnya — ia tidak memahami ucapannya dan tidak mengerti maksudnya. Ia hanya mendengar suara tanpa memahami isi.

Demikian pula diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Abu Al-‘Aliyah, Mujahid, Ikrimah, ‘Aṭā’, Al-Hasan, Qatadah, ‘Aṭā’ Al-Khurasani, dan Ar-Rabi‘ bin Anas dengan makna yang serupa.

Dan dikatakan juga: ini adalah perumpamaan yang diberikan untuk mereka dalam hal mereka menyeru berhala-berhala yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak mengerti apa pun. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Namun pendapat pertama lebih utama, karena berhala-berhala itu sama sekali tidak mendengar, tidak mengerti, tidak melihat, tidak memiliki kekuatan, dan tidak memiliki kehidupan.

Firman-Nya: “Tuli, bisu, dan buta” — maksudnya: tuli dari mendengar kebenaran, bisu yang tidak mengucapkan kebenaran, dan buta dari melihat jalan petunjuk.

“Maka mereka tidak berakal” — artinya: mereka tidak memahami apa pun dan tidak mengerti, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli dan bisu dalam kegelapan. Barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk disesatkan) niscaya Dia akan menyesatkannya, dan barang siapa yang dikehendaki-Nya niscaya Dia akan menjadikannya berada di atas jalan yang lurus” (QS. Al-An‘ām: 39).



 Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini ; 

QS. Al-Baqarah ayat 171: “Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti orang yang berteriak kepada (kumpulan) yang tidak mendengar selain seruan dan panggilan saja—mereka tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak berakal.”

Penjelasan Ibnu Qayyim:

Perumpamaan ini mencakup dua pihak: yang menyeru (si peniup suara) seperti penggembala yang memanggil ternaknya dengan suara, dan pihak yang diseru, yaitu hewan ternak. Ada yang mengatakan bahwa yang menyeru itu adalah penyembah berhala (yang berdoa kepada berhala), dan berhala itu adalah pihak yang diseru. Maka keadaan orang kafir dalam doanya kepada berhala seperti orang yang menyeru sesuatu yang tidak mendengar. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Abdurrahman bin Zaid dan lainnya.

Namun, al-Zamakhsyari dalam al-Kashshaf dan sejumlah lainnya merasa ganjil dengan pendapat ini. Mereka berkata: “Firman Allah: ‘kecuali panggilan dan seruan’ tidak mendukung pemahaman itu, karena berhala tidak mendengar seruan atau panggilan sama sekali.”

Ada tiga jawaban atas keberatan ini:

  1. Bahwa kata “إِلَّا” (illa) dianggap sebagai tambahan (za'idah), sehingga maknanya adalah: “tidak mendengar panggilan dan seruan.” Mereka menyebut syair Arab sebagai bukti, seperti perkataan penyair:
    “Haraajîj maa tanfakku illa munaakhatan”
    Artinya: "Tak pernah berhenti kecuali untuk berlutut." Maksudnya: selalu berlutut. Namun jawaban ini dianggap lemah, karena kata "illa" tidak digunakan secara tambahan dalam kalimat seperti itu.

  2. Bahwa yang diserupakan dalam ayat bukan pada objek seruan (berhala), tapi pada tindakan menyerunya itu sendiri, yakni proses doanya.

  3. Bahwa maknanya adalah: perumpamaan orang kafir ketika mereka menyeru tuhan-tuhan mereka yang tidak memahami doa mereka itu seperti penggembala yang menyeru kambingnya. Kambing itu tidak mendapat manfaat apapun dari seruan si penggembala, selain sekadar mendengar suara. Demikian pula orang musyrik, tidak memperoleh apapun dari ibadah dan doanya, selain kesia-siaan semata.

Ada juga yang berkata: maksudnya adalah perumpamaan orang kafir seperti hewan ternak yang tidak memahami apapun dari perkataan si penggembala, kecuali hanya suara semata. Maka, si penggembala adalah penyeru kepada orang kafir, dan orang kafir adalah hewan yang diseru.

Sibawaih berkata: makna ayat ini adalah: “Perumpamaanmu, wahai Muhammad, dan perumpamaan orang kafir itu seperti si penyeru dan hewan yang diseru.” Maka menurutnya, maksudnya: "Perumpamaan orang kafir dan penyeru mereka seperti kambing dan penggembala."

Perumpamaan ini bisa dianggap sebagai tasybih murakkab (perumpamaan kompleks), yaitu menyamakan keadaan orang kafir yang tidak memahami atau mendapatkan manfaat dari ajakan ke jalan kebenaran, dengan hewan ternak yang hanya mendengar suara penggembala tanpa memahaminya.

Jika dipahami sebagai tasybih mufarraq (perumpamaan terpisah), maka:

  • Orang kafir seperti hewan ternak.
  • Seruan penyeru kepada mereka seperti suara penggembala.
  • Doa dan ajakan kepada petunjuk seperti suara penggembala itu.
  • Mereka hanya mendengar suara tanpa memahami maknanya — seperti hewan yang mendengar suara namun tidak memahaminya.
    Wallahu a’lam.

Kemudian, firman-Nya:
“Tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti.”

Juga firman-Nya:
“Tuli, bisu, buta, maka mereka tidak kembali.”

Menunjukkan bahwa orang kafir tidak memahami kebenaran.
Adapun orang munafik, mereka sebelumnya melihat lalu menjadi buta, mengetahui lalu berpura-pura tidak tahu, mengakui lalu mengingkari, beriman lalu kafir kembali. Maka, orang seperti ini lebih keras kekafirannya, lebih buruk hatinya, dan lebih membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu mereka layak mendapat tingkatan neraka yang paling bawah.

Ada makna lain juga, yaitu: orang-orang munafik itu bersikap nifaq (munafik) karena mencari kemuliaan dan kedudukan dari dua golongan — yakni dari orang-orang beriman dan dari orang kafir. Mereka ingin menyenangkan hati orang beriman agar dimuliakan, dan menyenangkan hati orang kafir agar juga dimuliakan. Inilah sebab musibah mereka. Karena mereka tidak benar-benar ingin iman dan Islam, tidak pula taat kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan hati mereka cenderung kepada orang kafir. Maka sebagai balasan, Allah menjadikan tempat kembali mereka sebagai tempat paling hina, yaitu dalam neraka paling bawah, di bawah orang-orang kafir.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik seperti:

  • Menipu Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman,
  • Mengejek orang-orang yang beriman,
  • Berdusta dalam keyakinan dan agama,
  • Menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran,

— membuat kekafiran mereka lebih parah dan layak berada di tingkat paling rendah dalam neraka.

Oleh karena itu, ketika Allah menyebutkan golongan manusia di awal surat al-Baqarah:

  • Golongan yang beriman lahir dan batin: disebut dalam 3 ayat [2:3-5],
  • Golongan kafir lahir dan batin: disebut dalam 2 ayat [2:6-7],
  • Golongan munafik (beriman secara lahir, kafir secara batin): disebut dalam sekitar 13 ayat [2:8-20].

Dalam ayat-ayat itu, Allah mencela dan membuka aib mereka, menyebut mereka sebagai:

  • Orang bodoh,
  • Perusak di muka bumi,
  • Penipu,
  • Pengejek agama dan kaum mukmin,
  • Tertipu karena menukar petunjuk dengan kesesatan,
  • Tuli, bisu, buta,
  • Berpenyakit hati,
  • Dan bahwa Allah menambahkan penyakit itu.

Tak ada celaan dan aib yang tidak ditujukan kepada mereka, yang menunjukkan betapa besar murka Allah terhadap mereka, dan bahwa mereka adalah musuh Allah yang paling dibenci.

Maka sungguh, hikmah Allah sangat besar dalam menjadikan mereka khusus menempati tingkatan paling bawah dalam neraka.

Kita berlindung kepada Allah dari keadaan seperti mereka, dan memohon kepada-Nya perlindungan dan rahmat-Nya.

Siapa pun yang merenungi sifat-sifat orang munafik dalam al-Qur'an, maka ia akan memahami mereka memang layak mendapatkan neraka paling bawah. Karena mereka:

  • Menipu Allah dan hamba-Nya,
  • Hatinya berpenyakit (penyakit syubhat dan keraguan),
  • Merusak di bumi,
  • Mengejek agama dan orang-orangnya,
  • Melampaui batas,
  • Menukar petunjuk dengan kesesatan,
  • Tuli, bisu, buta,
  • Ragu-ragu,
  • Malas dalam ibadah,
  • Berzina,
  • Sedikit mengingat Allah,
  • Bimbang,
  • Tidak jelas berpihak ke mana — tidak kepada kaum beriman, dan tidak pula kepada kaum kafir.



 Al Imam ابن عاشور (Ibn ‘Āshūr) rahimahullah dalam kitab At-Tahrīr wa at-Tanwīr menerangkan; 

" Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar, selain sekadar panggilan dan seruan. Mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti."
[Al-Baqarah: 171]

Setelah Allah menyebutkan bagaimana mereka menyambut dakwah untuk mengikuti agama dengan sikap berpaling—sampai firman-Nya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah Allah turunkan, mereka berkata: Bahkan kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami."
[Al-Baqarah: 170]

Dan setelah disebutkan kerusakan akidah mereka, sampai firman-Nya:

"Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah."
[Al-Baqarah: 165]

Maka yang dimaksud dengan "orang-orang kafir" yang dibuat perumpamaan di sini adalah sama dengan yang dimaksud dalam ayat sebelumnya sebagai "manusia""orang-orang zalim", serta "mereka" dalam berbagai bentuk kata ganti. Kemudian semuanya diakhiri dengan perumpamaan yang mengerikan tentang keadaan mereka, guna memperjelas dan menghadirkan gambaran mereka melalui ilustrasi.

Tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan dengan lebih tajam sikap mereka dalam menyambut dakwah. Dan faedah dari penggunaan perumpamaan sudah dijelaskan sebelumnya dalam ayat:

"Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api."
[Al-Baqarah: 17]

Allah menggunakan huruf "wawu" (‘dan’) di sini tanpa menjelaskan panjang lebar seperti ayat sebelumnya, karena maksudnya adalah menjadikan ini sebagai gambaran yang berdiri sendiri tentang bagaimana mereka menerima dakwah Islam. Kalau tidak dengan "wawu", maka hal itu tidak akan sesuai secara makna.

Perumpamaan ini, ketika disandarkan kepada "orang-orang kafir", dengan jelas menggambarkan keadaan mereka saat mendengar seruan Nabi ﷺ kepada Islam, seperti hewan ternak yang mendengar suara penggembala namun tidak memahami maknanya. Mereka hanya mendengar suara tanpa pengertian, sebagaimana Nabi ﷺ menyeru mereka agar mengikutinya tanpa mereka meneliti bukti kebenarannya.

Jadi dalam kedua sisi perumpamaan—baik yang dibandingkan maupun yang membandingkan—terdapat unsur:

  • penyeru,
  • yang diseru,
  • seruan,
  • pemahaman,
  • penolakan,
  • dan tekad.

Setiap unsur dalam bagian-bagian perumpamaan tersebut bisa disejajarkan satu dengan yang lainnya. Ini termasuk bentuk perumpamaan yang sangat indah dan efektif, dan ayat ini menyampaikannya secara ringkas namun luar biasa.

Tujuan utama dari perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan keadaan orang-orang kafir, namun hal itu juga membawa dampak perumpamaan terhadap keadaan Nabi dan dakwah beliau.

Dalam perumpamaan ini, ada dua kondisi orang kafir:

  1. Mereka berpaling dari penyeru Islam.
  2. Mereka justru cenderung kepada penyembahan berhala.

Kedua kondisi ini telah disinggung dalam ayat sebelumnya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka berkata: Bahkan kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami."
[Al-Baqarah: 170]

Dan bentuk paling parah dari sikap mereka adalah menyembah berhala. Maka perumpamaan ini datang untuk menjelaskan secara eksplisit apa yang sebelumnya hanya tersirat.

Jika kamu berkata: “Tampaknya secara zahir semestinya dikatakan: 'Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti domba yang diseru oleh penggembalanya', karena orang-orang kafirlah yang menjadi objek perumpamaan, dan yang menyeru itu semestinya mewakili Nabi.” Maka mengapa tidak begitu? Apakah ini berarti Nabi ﷺ yang diserupakan dengan penggembala?

Aku (Ibn ‘Āshūr) jawab: Tidak demikian. Kedua hal tersebut tidak dimaksudkan. Karena frasa "perumpamaan orang-orang kafir..." sudah sangat jelas bahwa yang dibandingkan adalah suatu keadaan dengan keadaan lain, seperti dalam ayat:

"Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api."
[Al-Baqarah: 17]

Jika demikian, maka bagian-bagian dari perumpamaan yang kompleks tidak harus disebutkan secara eksplisit. Mana saja yang kamu sebut dari sisi pihak yang dibandingkan dan yang membandingkan, sudah cukup. Biasanya kalimat perumpamaan memulai dengan menyebut sisi yang menjadi pembanding secara eksplisit, namun tidak selalu harus demikian.

Contohnya:

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di dunia ini adalah seperti angin yang mengandung hawa dingin."
[Ali ‘Imrān: 117]

Yang sebenarnya sejajar dengan "apa yang mereka nafkahkan" adalah ladang milik suatu kaum, yang hanya disebut secara tidak langsung. Dan ayat:

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir."
[Al-Baqarah: 261]

Yang sebenarnya sejajar dengan orang-orang yang menafkahkan adalah petani yang menanam, tapi petaninya tidak disebutkan dalam lafaz.

Dan ayat:

"Seperti batu licin yang di atasnya terdapat tanah lalu ditimpa hujan deras."
[Al-Baqarah: 264]

Yang sejajar dengan batu adalah harta yang dinafkahkan, bukan orang yang menafkahkan.

Dan dalam hadits sahih:

"Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi dan Nasrani seperti seorang lelaki yang menyewa pekerja…"

Yang sejajar dengan lelaki yang menyewa dalam hal ini adalah Allah Ta‘ala dalam hal memberi pahala kepada umat-umat tersebut, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit. Ini adalah bentuk penggunaan perumpamaan yang sangat sering, dan atas dasar inilah para mufassir membuat berbagai takdir (penafsiran tersirat) untuk menjelaskan makna.

Maka ayat ini dapat dimaknai bahwa perumpamaan yang dimaksud adalah gambaran keadaan kaum musyrikin dalam berpaling dari seruan.

Maka, yang menjadi maksud dari perumpamaan ini adalah menggambarkan keadaan kaum musyrikin yang berpaling dari dakwah Nabi ﷺ. Mereka mendengarnya sebagai suara semata, tanpa adanya perhatian atau pemahaman, sebagaimana seekor hewan yang mendengar suara panggilan penggembalanya, tapi tak tahu apa maksudnya. Karena hewan itu hanya memahami dari suara tersebut bahwa ia dipanggil, namun ia tidak tahu perintah atau larangannya.

Begitulah pula kaum kafir: mereka mendengar seruan Nabi ﷺ, namun tidak mengambil manfaat darinya. Maka mereka disamakan dengan binatang ternak. Sebutan “hewan ternak” (الأنعام) secara khusus dipilih karena binatang seperti itulah yang terbiasa digembalakan dan mendengar panggilan, namun tak memahami maknanya.

Adapun kata "ينعق" (yan‘iqu) berasal dari kata kerja untuk "berteriak atau berseru dengan suara keras", dan digunakan secara khas untuk seruan kepada hewan ternak. Maka penggunaan kata ini memberi kesan merendahkan dan memperjelas betapa jauhnya mereka dari kemampuan berpikir dan merespons dengan akal.

Kata "ما لا يسمع إلا دعاءً ونداءً"
Artinya: sesuatu yang tidak mendengar, kecuali sekadar suara seruan dan panggilan. Maksudnya bukan bahwa mereka bisa mendengar secara hakiki, tapi mereka hanya mendengar sebagai suara kosong, tanpa pengertian. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki pendengaran secara fisik, namun mereka tidak menggunakan fungsi akalnya, sebagaimana hewan tidak mengerti makna bahasa.

Adapun kalimat "صمّ بكم عمي" (tuli, bisu, buta) adalah sifat-sifat yang ditegaskan Allah terhadap mereka, bukan karena mereka tidak punya indera, tetapi karena mereka tidak menggunakannya untuk kebenaran.

Mereka tuli terhadap kebenaran, karena tidak mau mendengarkan dengan hati.
Mereka bisu, karena tidak mau mengucapkan kebenaran.
Mereka buta, karena tidak melihat petunjuk Allah dalam ciptaan dan ayat-ayat-Nya.

Dan penutup ayat ini: "فهم لا يعقلون" (maka mereka tidak mengerti), adalah penegasan bahwa akar dari semua penyimpangan ini adalah karena mereka tidak menggunakan akal mereka dengan benar. Seandainya mereka mau merenung dan menggunakan akalnya, tentu mereka akan terbimbing kepada kebenaran.

Kesimpulan dari tafsir Ibn ‘Āshūr tentang ayat ini adalah bahwa:

  • Kaum kafir diserupakan dengan hewan ternak yang hanya mendengar suara tanpa memahami maknanya.
  • Dakwah Nabi ﷺ disamakan dengan seruan kepada makhluk yang tak paham kata-kata.
  • Keadaan mereka dalam menyikapi kebenaran sangat buruk: hati tertutup, akal tidak dipakai, dan indra tidak digunakan sebagaimana mestinya.
  • Ayat ini menegaskan kehinaan orang yang berpaling dari seruan kebenaran, meskipun ia memiliki pendengaran, penglihatan, dan lidah.



Disebutkan dalam tafsir Imam As-Sa‘dī rahimahullah; 

" Dan perumpamaan orang-orang yang kafir adalah seperti (penggembala) yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan. Mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti."

Kemudian Allah Ta‘ālā berfirman:
"Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti perumpamaan orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan..."
Yakni: setelah Allah menjelaskan bahwa mereka tidak mau tunduk kepada apa yang dibawa oleh para rasul, dan bahwa mereka menolaknya karena taqlid (mengikuti nenek moyang), maka hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak siap menerima kebenaran dan tidak akan meresponsnya.

Bahkan, setiap orang dapat mengetahui bahwa mereka tetap dalam sikap keras kepala dan penolakan. Maka Allah mengabarkan bahwa perumpamaan mereka ketika diseru kepada iman adalah seperti binatang ternak yang diseru oleh penggembalanya, namun binatang itu tidak tahu apa yang dikatakannya. Ia hanya mendengar suara saja, yang dengannya hujjah bisa ditegakkan atasnya, tetapi tidak memahami ucapan itu dengan pemahaman yang memberi manfaat.

Karena itu, mereka itu tuli—tidak mendengar kebenaran dengan pendengaran yang mengandung pemahaman dan penerimaan.
Bisu—tidak mengucapkan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka.
Buta—tidak melihat dengan pandangan yang mengandung pelajaran dan pengambilan ibrah.

Dan sebab utama dari semua itu adalah karena mereka tidak memiliki akal yang lurus, bahkan mereka adalah orang-orang yang paling bodoh dan paling dungu.

Maka, apakah seorang yang berakal akan ragu bahwa siapa saja yang diajak kepada petunjuk, dicegah dari kerusakan, dilarang dari jalan menuju siksadiperintah untuk sesuatu yang baik dan membawa kebahagiaan, kesuksesan dan kenikmatan, namun ia membangkang terhadap pemberi nasihat, berpaling dari perintah Tuhannya, terjun ke dalam neraka dengan sadar, mengikuti kebatilan dan meninggalkan kebenaran, — maka orang seperti ini tidak punya sedikit pun akal?

Meskipun ia tampak memiliki tipu daya, kelicikan dan kecerdikan, namun ia sebenarnya termasuk orang yang paling dungu.


Disebutkan dalam tafsir As Syaikh Abu Bakar al-Jazairi rahimahullah(dari kitab Aysar al-Tafasir) :

Firman Allah:

وَمَثَلُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِی یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ إِلَّا دُعَاۤءࣰ وَنِدَاۤءࣰۚ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡیࣱ فَهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ

Penjelasan kata-kata:

  • مثل: Perumpamaan atau keadaan.
  • ينعق: Berteriak atau bersuara keras; “nahiq” berarti suara keras.
  • الدعاء: Seruan kepada yang dekat, seperti doa seorang mukmin kepada Rabbnya.
  • النداء: Seruan kepada yang jauh, seperti azan.
  • الصم: Orang-orang tuli, yang kehilangan pendengaran.
  • البكم: Orang-orang bisu, yang kehilangan kemampuan bicara.
  • لا يعقلون: Tidak memahami makna ucapan karena alat pemahamannya (akal) tidak berfungsi.

Makna Ayat:

Setelah ayat sebelumnya (2:170) mencela perilaku taqlid dan orang-orang yang hanya mengikuti pendahulu mereka tanpa berpikir atau menggunakan akal dan pancaindra, ayat ini datang dengan gambaran yang mengagumkan dan perumpamaan yang unik terhadap orang-orang yang mematikan akal dan hanya hidup dalam kepatuhan membabi buta.

Perumpamaannya seperti kambing yang digiring oleh penggembalanya: ketika penggembala berseru kepadanya, ia merespons, baik seruan itu untuk kebaikan maupun untuk penyembelihan—kambing itu tetap datang karena terbiasa mengikuti suara tersebut, tanpa memahami maksudnya.

Begitu pula keadaan orang-orang kafir dan para pengekor buta: jika diajak kepada kebenaran, mereka mendengar suara tapi tidak mengerti maknanya, karena mereka tuli, bisu, dan buta. Tidak ada akal yang berfungsi.

Petunjuk dari Ayat:

  1. Ayat ini menghibur para da’i yang menghadapi orang-orang yang keras kepala dan hanya mengikuti tradisi sesat.
  2. Haram hukumnya mengikuti ahli bid’ah dan hawa nafsu secara membabi buta.
  3. Wajib menuntut ilmu agar seorang mukmin mengetahui alasan dari setiap perbuatannya dan apa yang ditinggalkannya.
  4. Hanya boleh mengikuti orang-orang yang berilmu dan memiliki wawasan dalam agama; mengikuti orang bodoh termasuk taqlid yang tercela.




 Al Imam Al-Biqāʿī rahimahullah dalam Tafsir Naẓm al-Durar menjelaskan: 

"Dan perumpamaan orang-orang yang kafir adalah seperti orang yang berteriak memanggil sesuatu yang tidak mendengar kecuali hanya suara dan panggilan; mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti." (QS. Al-Baqarah: 171)

 Maksudnya adalah: 

maka perumpamaan mereka adalah seperti orang yang mengikuti orang buta di jalan yang curam dan tersembunyi, di padang pasir yang luas, penuh bahaya, maka Allah menyambungnya dengan apa yang menunjukkan maksud ini melalui firman-Nya, menyingkap bahwa mereka telah menjadi seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. Karena binatang, meskipun tidak berakal, masih bisa mendengar dan melihat, lalu ia mendapatkan manfaatnya.

Firman Allah:

"Perumpamaan..."
Menjelaskan sifat yang menyebabkan mereka sampai pada kebodohan ini, 

yaitu:

"Orang-orang yang kafir"
Yakni, mereka menutupi apa yang mereka ketahui tentang keagungan Allah, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan hikmah-Nya, karena mengikuti hawa nafsu. Mereka tidak mendengar dari seruan kecuali hanya bunyi nada dan gema suara, tanpa merenungkan atau memperhatikan isinya.

"Seperti orang yang berteriak..."
Al-Harallī berkata:
Perumpamaan adalah sesuatu yang terserap dalam pemahaman batin dari hakikat-hakikat yang terindra, sehingga menjadi lebih halus dari hal yang kasat mata, maka jadilah ia penjelas makna maknawi dengan bentuk yang dapat dipahami. Oleh karena itu, perumpamaan digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang tak kasat mata melalui sesuatu yang nyata, agar menjadi penjelasan yang lebih halus.

Dalam ayat ini, dijelaskan perumpamaan dengan dua sisi:

  • Perumpamaan antara dua hal yang mirip (yakni, penyeru dan orang yang diseru),
  • Dan jauhnya dua hal yang diperumpamakan (yakni, orang kafir dan binatang).

Dalam penyebutan dua perumpamaan ini, ada keseimbangan yang menunjukkan bahwa dalam satu perumpamaan terkandung dua makna:

  • Perumpamaan orang kafir, dan
  • Perumpamaan penyerunya,
    seperti perumpamaan seorang gembala dan binatang gembalaannya.

Ini adalah puncak kefasihan dalam bahasa Arab. Siapa yang tidak mampu memahami kedua sisi perumpamaan ini akan mengira bahwa ayat ini hanya menyebut satu perumpamaan, dan akan mengartikan kalimat: "Dan perumpamaan orang yang menyeru orang kafir adalah seperti orang yang berteriak..."

"berteriak" berarti bersuara keras, dan penafsiran ini dibawa kepada makna tak tersurat, sedangkan pemahaman mendalam menunjukkan bahwa al-Qur’an membawa kata-katanya dengan kadar yang sempurna dan dalam bentuk yang paling tepat.

Firman Allah:
"Dengan sesuatu..."
yakni, karena sesuatu dari binatang ternak yang tidak berakal, yang hanya bisa mendengar suara dari orang yang memanggilnya untuk makanan dan keturunan, dan mendengar panggilan dari arah suara tersebut.

Panggilan menunjukkan jarak, dan seruan menunjukkan permulaan mendekat. Maka, orang-orang kafir, karena mereka tidak kembali dari kesesatannya meskipun telah mendengar dalil-dalil kebenaran—padahal mereka memiliki akal, pendengaran, dan penglihatan—mereka disamakan dengan binatang yang hanya mendengar dan melihat, tetapi tidak memiliki akal, sehingga tidak dapat memahami perkataan.

Binatang hanya mendengar suara secara lahiriah, tanpa memahami maknanya. Ia tidak akan kembali (ke arah yang benar) kecuali dengan lemparan batu atau cambukan. Ketika gembala ingin memalingkannya dari arah tertentu, ia berteriak dan melempar batu ke depan binatang itu, maka binatang itu pun berbalik arah.

Jadi, binatang menjadi tempat perumpamaan karena tidak memiliki kesadaran atau pengertian. Binatang tidak kembali hanya dengan seruan, tetapi dengan sesuatu yang menyakitkan—seperti orang tuli, bisu, dan buta, yang tidak bisa kembali kecuali dengan pukulan yang keras yang mengenai wajahnya, sehingga ia mundur.

Penyeru mereka, dalam hal ia berbicara tanpa pengaruh pada yang mendengarnya, seperti gembala binatang. Dan gembala itu, dari sisi binatang yang tidak kembali kecuali dengan pukulan batu atau cambuk, seperti orang yang memukul si tuli.

Maka hasil dari perumpamaan itu adalah firman-Nya:

"Mereka tuli" – tidak mendengar,
"bisu" – tidak berbicara,
"buta" – tidak melihat.

Sudah diketahui bahwa ayat ini mengandung gaya bahasa iḥtibāk (penghilangan bagian kalimat yang dipahami dari konteks), yaitu:

  • Penghilangan perumpamaan penyeru di bagian pertama karena telah cukup disebut “yang berteriak,” dan
  • Penghilangan pihak yang diseru di bagian kedua karena telah cukup disebutkan bahwa mereka tidak mendengar.

Karena keberadaan akal bergantung pada persepsi terhadap hal-hal yang terindra, dan karena Allah telah menafikan kemampuan mereka dalam merasakan hal yang terindra, maka konsekuensinya disebutkan:

"Maka mereka tidak mengerti."
Disebut dengan huruf "fa" (maka) yang menunjukkan hubungan sebab-akibat dan kelangsungan.

Penafian ini menggunakan "lā" (tidak) yang menunjukkan ketidakmungkinan, dan bentuk fi'il mudhāriʿ (kata kerja masa kini/berkelanjutan) yang menunjukkan kelanggengan kebodohan mereka.


Kamis, 08 Mei 2025

TAQWA


Oleh: As-Syaikh Abdul Qo'dir bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Junaid Hafizhahullah. 

Keutamaannya, Maknanya, Pintu-Pintunya, Buahnya, dan Akhir Orang-Orangnya"

Khutbah Pertama:

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) sebagai penjelas segala sesuatu, penyembuh dari segala kebodohan, dan petunjuk dari setiap kesesatan. Salawat dan salam tercurah kepada Muhammad, yang diutus dari kabilah paling mulia dan bangsa paling terhormat, serta kepada keluarga dan sahabatnya, selama orang yang kehausan mencari tempat minum.

Amma ba‘d, 

wahai manusia:
Sesungguhnya taqwa adalah wasiat Allah bagi umat ini, juga wasiat-Nya bagi Ahli Kitab sebelum mereka, 

sebagaimana firman-Nya:
"Dan sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang telah diberi Kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu, agar bertakwa kepada Allah."


Orang-orang bertakwa adalah yang dicintai oleh Allah. Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya. 

Allah memberi kabar gembira kepada mereka dengan firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa."

Orang-orang bertakwa menjalani kehidupan di dunia ini dengan jiwa yang tenang, hati yang lapang, keteguhan, kekuatan, dan keyakinan. Sebab, Allah bersama mereka dengan perlindungan dan pertolongan-Nya, 

sebagaimana firman-Nya yang menenangkan dan menggembirakan:
"Dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa."


Dengan taqwa, seseorang merasa aman ketika orang-orang ketakutan, bahagia saat yang lain bersedih, dan penuh harapan saat yang lain putus asa, 

sebagaimana firman-Nya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan akhirat."

Bahkan, surga yang kekal dan kebahagiaan abadi—yang di dalamnya terdapat segala kebaikan, rezeki yang besar, kenikmatan yang luas dan kebahagiaan—tidak disiapkan kecuali untuk orang-orang bertakwa. 

Mereka berada di tempat paling tinggi di dalamnya, sebagaimana firman-Nya:
"Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa."

Dan firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman dan sungai-sungai, di tempat duduk yang penuh kebenaran di sisi Raja Yang Maha Kuasa."

Orang-orang yang saling bersahabat, mencintai, dan menolong di dunia ini akan saling bermusuhan di hari kiamat, walaupun mereka punya hubungan dekat dan kekerabatan, kecuali orang-orang yang bertakwa. 

Allah berfirman:
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa."

Taqwa adalah ukuran keutamaan di sisi Allah. Ia adalah medan persaingan yang baik dan dasar kemuliaan, 

sebagaimana firman-Nya:
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dalam khutbah beliau pada hari-hari Tasyriq:
"Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, dan bapak kalian juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, tidak juga orang non-Arab atas orang Arab, tidak pula orang putih atas orang hitam, atau orang hitam atas orang putih, kecuali dengan taqwa. Apakah aku telah menyampaikan?"

Orang yang bertakwa kepada Rabb-nya, Allah akan anugerahkan kepadanya furqan dan cahaya. Apa itu furqan dan cahaya? Yaitu ilmu yang bermanfaat, yang sesuai dengan Al-Qur'an, Sunnah Nabi dan jalan para sahabat. 

Dengannya seseorang mampu membedakan antara yang halal dan haram, membedakan yang benar dari yang keliru, keluar dari bid'ah menuju sunnah. 

Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan kepada kalian."

Dan juga:
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan kepada kalian dua bagian dari rahmat-Nya dan menjadikan bagi kalian cahaya untuk berjalan."

Dengan taqwa, dosa-dosa dihapuskan, pahala dilipatgandakan, 

sebagaimana firman Allah:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan melipatgandakan pahalanya."

Dengan taqwa, seseorang akan selamat dari kesulitan, rintangan akan dihilangkan, keraguan akan lenyap, Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap kesusahan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. 

Keberkahan akan menyertainya walau rezekinya sedikit, dan jiwanya merasa cukup dan puas. 

Allah berfirman:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka."

Juga firman-Nya:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan kemudahan dalam urusannya."

Makna taqwa secara umum:
Bahwa seorang hamba menjadikan antara dirinya dan murka Allah, kemarahan-Nya, serta azab-Nya, sebuah pelindung yang menjaganya.

Pelindung itu terdiri dari dua hal:

Pertama: Melakukan ketaatan, ibadah, dan amal kebaikan—baik ibadah hati, lisan, maupun anggota tubuh.

Kedua: Menjauhi dosa dan maksiat—baik dosa hati, dosa lisan, maupun dosa anggota tubuh.

Secara lebih terperinci, taqwa berarti:

  • Berpegang teguh pada tauhid dan sunnah, serta menjauhi syirik dan bid'ah.
  • Beribadah kepada Allah sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah sahih, sebagaimana diamalkan para salaf shalih, terutama para sahabat.
  • Meninggalkan segala bentuk dosa besar maupun kecil, seperti:
    • Dosa hati: dengki, dendam, sombong, cinta kepada orang kafir, dan benci kepada ahli tauhid dan sunnah.
    • Dosa lisan: dusta, ghibah, namimah, mencela, melaknat, mengejek, merendahkan, dan membuka aib orang.
    • Dosa anggota tubuh: mendengar yang haram, melihat yang mungkar, menyentuh hal yang keji, dan terang-terangan bermaksiat.

Sebagaimana dikatakan Ibnu Al-Mu‘tamir:
"Tinggalkanlah dosa besar maupun kecil, itulah taqwa.
Jadilah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri, dia berhati-hati dengan apa yang dia lihat.
Jangan kau remehkan dosa kecil, karena gunung pun terbentuk dari kerikil kecil."

Taqwa juga berarti:

  • Banyak membaca Al-Qur’an, berdoa, bertaubat, dan istighfar.
  • Menjaga dzikir dan wirid harian sesuai waktu, tempat, dan kondisi.
  • Selalu mengingat Allah dalam setiap waktu dan keadaan.
  • Menampakkan ketaatan di tempat yang Allah perintahkan, dan tidak terlihat di tempat yang dilarang-Nya.

Taqwa juga berarti:

  • Menuntut ilmu syar‘i agar bisa bertakwa dengan ilmu, bukan hanya semangat semata.
  • Mengamalkan ilmu: jika mempelajari tauhid, ia wujudkan dalam hidup; jika mengenal syirik, ia jauhi; jika tahu sunnah, ia pegang teguh; jika kenal bid‘ah, ia hindari dan jauhi para pelakunya dan majelis mereka.
  • Mengetahui hukum-hukum syar‘i agar beribadah sesuai tuntunan.
  • Melakukan kebaikan yang diketahui dan meninggalkan maksiat yang dipahami.

Taqwa adalah:
Menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dimurkai Allah, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, saat sendirian maupun bersama orang lain, di kampung halaman maupun saat safar, ketika muda maupun tua, dengan orang dekat maupun asing, disertai dengan terus merasa diawasi oleh Allah dalam segala ucapan, niat, perbuatan, dan rencana.

Allah Maha Mengetahui isi hati, ucapan, dan perbuatan kita. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya di bumi maupun di langit, baik besar maupun kecil,

 sebagaimana firman-Nya:
"Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu."

Artinya: Allah mengetahui dan mengawasi segala hal, mencakup semua makhluk, perbuatan, dan perkataan.

Menutup semua itu adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ringkas namun mendalam:
"Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik."

Seorang penyair pun berkata:
"Jika kau sendirian dalam kegelapan dan hatimu terdorong berbuat maksiat,
Maka malulah kepada pandangan Allah, dan katakanlah padanya:
Sesungguhnya Tuhan yang menciptakan kegelapan ini sedang melihatku."

Semoga Allah menganugerahi kita dan kalian ketakwaan sejati, dan menjadikan kita termasuk orang-orang bertakwa yang tidak merasa takut dan tidak pula bersedih. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.


Khutbah Kedua:

Segala puji bagi Allah, Dzat yang Maha Membuka dan Maha Mengetahui. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Dzat yang Maha Baik lagi Maha Penyayang. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada beliau, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

Amma ba‘du;

wahai sekalian manusia:

Inilah yang disebut takwa, inilah makna-maknanya, inilah jalan-jalannya, dan inilah pintu-pintunya. 

Maka berbekallah dengannya, karena ia adalah sebaik-baik bekal dan pakaian untuk kalian di dunia ini, di dalam kubur kalian, dan di akhirat kalian. Tuhan kalian telah berfirman memerintahkan kepada kalian:

"Dan berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal."
(QS. Al-Baqarah: 197)

Dan Dia juga berfirman:

"Wahai anak-anak Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutup aurat kalian dan sebagai perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang terbaik."
(QS. Al-A‘raf: 26)

Dan Allah berfirman:

"Daging-daging dan darah-darah (hewan kurban) itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian."
(QS. Al-Hajj: 37)

Maka takwa adalah harta yang amat berharga. Jika engkau berhasil meraihnya, sungguh banyak permata mulia yang akan engkau temukan di dalamnya: kebaikan yang melimpah, rezeki yang mulia, kemenangan yang besar, keuntungan yang agung, dan kerajaan yang megah. 

Bahkan seluruh kebaikan dunia dan akhirat dikumpulkan dan diletakkan di bawah satu sifat ini. Allah — Mahasuci dan Maha Tinggi — telah memerintahkan untuk bertakwa dan memberi kabar gembira tentang berbagai kebaikan yang disediakan untuk orang-orang bertakwa:

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah memperoleh kemenangan yang besar."
(QS. Al-Ahzab: 70–71)

Allah — Mahaagung dan Mahasuci — adalah Dzat yang paling berhak untuk ditakwa dan disembah, karena Dialah Tuhan yang tidak layak disembah kecuali hanya Dia semata. 

Dia juga berhak untuk mengampuni siapa saja yang bertakwa kepada-Nya dan mengikuti keridhaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:

"Dan mereka tidak akan mengingat (peringatan itu) kecuali jika Allah menghendakinya. Dia-lah Dzat yang berhak untuk ditakwa dan berhak untuk memberikan ampunan."
(QS. Al-Muddatsir: 56)

Semoga Allah menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang apabila diberi peringatan, mereka mengingat; apabila diberi nasihat, mereka mengambil pelajaran; apabila diberi nikmat, mereka bersyukur; apabila diuji, mereka bersabar; dan apabila berbuat dosa, mereka memohon ampunan. Wahai Rabb, ampunilah dan rahmatilah kami. Sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Mulia lagi Maha Dermawan.

Ya Allah, perbaikilah para pemimpin dan wakil-wakil mereka, serta pasukan mereka. Bimbinglah mereka menuju apa yang Engkau ridhai. Sungguh, Engkau Maha Mendengar doa.

Aku sampaikan hal ini, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian.


Selasa, 25 Maret 2025

ANTARA KESALEHAN DAN IHSAN

Pesan Pembangunan dan Ihsan

Karena banyaknya dorongan kuat dalam Al-Qur'an terhadap kehidupan akhirat dan peringatan agar tidak terbuai dengan dunia, sebagian sahabat beranggapan bahwa kesalehan terletak pada kesibukan dalam ibadah dan meninggalkan dunia. Di antara mereka adalah Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, yang begitu giat dalam beribadah hingga meninggalkan perhiasan kehidupan dunia.

Ketika Salman Al-Farisi mengunjunginya, ia melihat Ummu Darda’ dalam keadaan lusuh. Maka ia bertanya, "Apa yang terjadi padamu?" Ia menjawab, "Saudaramu, Abu Darda’, tidak memiliki kebutuhan terhadap dunia."

Lalu datanglah Abu Darda’, dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Kemudian ia berkata, "Makanlah, aku sedang berpuasa." Salman menjawab, "Aku tidak akan makan sampai engkau juga makan." Maka Abu Darda’ pun ikut makan.

Saat malam tiba, Abu Darda’ bangun untuk shalat malam, tetapi Salman berkata kepadanya, "Tidurlah!" Maka Abu Darda’ pun tidur. Kemudian ia bangun lagi untuk shalat, tetapi Salman kembali berkata, "Tidurlah!" Hingga pada sepertiga malam terakhir, Salman berkata, "Sekarang bangunlah." Maka mereka pun shalat bersama.

Setelah itu, Salman berkata kepadanya, "Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu. Maka berikanlah setiap yang berhak akan haknya."

Abu Darda’ kemudian menemui Nabi ﷺ dan menceritakan hal itu. Nabi ﷺ pun bersabda, "Salman benar." (HR. Bukhari)

Di sini, Salman mengembalikan keseimbangan dan meluruskan pemahaman, dan Rasulullah ﷺ membenarkannya. Rasulullah ﷺ juga menyampaikan hal serupa dalam beberapa kesempatan lain.

Dalam Sunan Abu Dawud dan Musnad Ahmad, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

"Sesungguhnya Nabi ﷺ mengutus seseorang kepada Utsman bin Mazh’un (yang meninggalkan dunia untuk beribadah) lalu ia datang kepadanya. Nabi ﷺ berkata, ‘Wahai Utsman, apakah engkau berpaling dari sunnahku?’ Utsman menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku hanya mencari sunnahmu.’ Maka Nabi ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya aku tidur dan aku shalat, aku berpuasa dan aku berbuka, serta aku menikahi wanita. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai Utsman. Sesungguhnya keluargamu memiliki hak atasmu, tamumu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu. Maka berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah.’”

Dalam Shahih Ibnu Hibban dan Sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqi, Abdullah bin Amr berkata:

"Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, ‘Wahai Abdullah bin Amr, aku mendengar bahwa engkau berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam. Jangan lakukan itu! Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu. Berpuasalah tiga hari dalam setiap bulan, itu seperti puasa sepanjang tahun.’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mampu lebih dari itu.’ Maka beliau bersabda, ‘Puasalah seperti puasa Nabi Dawud, yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.’" Abdullah bin Amr kemudian berkata, ‘Andai saja aku menerima keringanan itu.’”

Al-Qur'an juga memperkenalkan kepada manusia berbagai model dari hamba-hamba Allah yang saleh. Di antara mereka adalah para nabi yang menggabungkan antara kezuhudan dan kekayaan, serta akhlak yang mulia dan kekuatan. Mereka adalah Yusuf, Dawud, Sulaiman, dan Dzulkarnain.

Model-model ini menunjukkan bahwa Islam tidak membatasi kesalehan dan ketakwaan dalam satu bentuk tertentu. Ada kesalehan dan ketakwaan dalam keadaan hidup susah, seperti kisah Nabi Isa dan Nabi Ayyub ‘alaihimas salam, tetapi kesalehan dan ketakwaan juga bisa terwujud dalam kelimpahan dan kekayaan, dan itu adalah hal yang diakui dan diperbolehkan dalam Islam.

Islam dan Konsep Kesejahteraan

Maqashid syariah (tujuan syariah) tidak hanya membatasi manusia dalam memenuhi kebutuhan darurat (ḍarūriyyāt), tetapi juga mencakup kebutuhan sekunder (ḥājiyyāt) dan penyempurnaan (taḥsīniyyāt).

Di sini, perlu diperjelas bahwa konsep penyempurnaan dalam Islam bukanlah mengejar kemewahan atau mengumpulkan kenikmatan yang berlebihan, sebagaimana yang dipahami sebagian orang. Jika demikian, itu bisa masuk dalam kategori pemborosan yang terlarang. Sebaliknya, taḥsīniyyāt dalam Islam adalah mencapai tingkat ihsan dalam segala aspek kehidupan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan dalam segala sesuatu." (HR. Muslim)

Perintah untuk berbuat ihsan ini bersifat umum dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan ihsan..." (QS. An-Nahl: 90)

"Dan berbuat ihsanlah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan." (QS. Al-Baqarah: 195)

Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan kecintaan-Nya kepada orang-orang yang berbuat ihsan sebanyak lima kali.

Ihsan tidak akan terwujud kecuali jika seseorang telah memiliki kebutuhan dasar dan sekunder yang memadai. Jika tidak, maka amalnya akan tetap memiliki kekurangan, karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak bisa memberikannya kepada orang lain.

Tiga Dimensi Ihsan

  1. Ihsan dalam ibadah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

    "Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Bukhari dan Muslim)

  2. Ihsan dalam muamalah, yang mencakup ihsan kepada keluarga, berbakti kepada orang tua, menyantuni fakir miskin, dan lain sebagainya.

  3. Ihsan dalam pekerjaan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

    "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mencintai jika salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, hendaknya ia menyempurnakannya." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Ath-Thabarani dalam Al-Awsath)

Kesimpulan

Inilah pesan Islam dalam membangun peradaban, yang menggabungkan antara pembangunan dunia yang maju dan kembali kepada akhirat dengan husnul khatimah. Semua itu dilakukan dalam bingkai sistem nilai keimanan dan akhlak yang sempurna.

Ya Allah, bimbinglah kami di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, berilah kami kesehatan di antara orang-orang yang Engkau beri kesehatan, uruslah urusan kami di antara orang-orang yang Engkau urus, berkahilah bagi kami dalam apa yang Engkau berikan, dan lindungilah kami dari keburukan apa yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau Maha Memberi berkah dan Maha Tinggi...

Doha, 25 Ramadan 1446 H / 25 Maret 2025 M
#Seri_Faedah_Ramadhan_1446H

Minggu, 23 Maret 2025

MEMANFAATKAN WAKTU YANG MULIA



Tentang Memanfaatkan Waktu-Waktu yang Mulia untuk Berdoa dan Keutamaan Doa kepada Allah atas Makhluk-Nya


Segala puji bagi Allah, Raja Yang Maha Tinggi, Maha Besar, Yang Maha Esa, Satu-Satunya, Tempat Bergantung. Maha Mendengar, Maha Sabar, Maha Menghukum dan Maha Merendahkan, serta Maha Memberi dan Maha Mencegah. Dialah Tuhan yang Maha Mulia, Maha Kuasa, Maha Mengetahui segala sesuatu secara menyeluruh dan Maha Bijaksana. Segala sesuatu bergantung pada-Nya, dan Dia adalah Tuhan Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui.

Dia memperbaiki keadaan hamba-hamba-Nya dengan rahmat-Nya. Dia menutupi kekurangan makhluk dengan kasih sayang dan kemurahan-Nya. Dia adalah Hakim yang tidak pernah menzalimi seorang pun dan tidak tergesa-gesa dalam menghukum. Dialah Yang Maha Lembut yang mengetahui rahasia dunia yang tersembunyi dan mengetahui segala dosa besar manusia, mengampuni dosa-dosa orang yang berdosa, membangkitkan orang-orang yang lalai dengan kelembutan-Nya, serta memberikan pengampunan atas dosa, kesalahan, dan kelalaian mereka.

"Ruh para pecinta merasa tenang dengan mengingat Allah, dan orang-orang bertauhid berhenti di hadapan karunia-Nya. Jiwa para hamba merasa lemah dalam memahami hak Allah, dan orang-orang arif menyadari bahwa mereka tidak akan mampu memahami-Nya sepenuhnya."

Maha Suci Allah, yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan mata dan tidak dapat dibandingkan dengan siapa pun. Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah yang bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, memiliki segala yang ada di langit dan di bumi serta segala yang ada di bawah tanah.

Allah Ta’ala berfirman; 

ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ ﴿٥

لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ ٱلثَّرَىٰ ﴿٦

وَإِن تَجْهَرْ بِٱلْقَوْلِ فَإِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلسِّرَّ وَأَخْفَى ﴿٧

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ﴿٨

"(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas 'Arsy."

"Milik-Nyalah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah."

"Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi."

"(Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang terbaik." (QS.Taahaa; 5-8)

Aku memuji-Nya dan bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat dan kebaikan yang pertama dan terakhir.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, tiada lawan, tiada bandingan, dan tiada tandingan. Aku menyimpan kesaksianku ini selamanya hingga datang waktu hari kiamat, agar dengannya aku selamat dari siksa api neraka Sa'ir.

Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, seorang pemberi peringatan yang nyata, serta pelita yang menerangi. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, keluarganya, serta para sahabatnya yang penuh ketakwaan dan kemuliaan.

Allah Ta'ala berfirman:


وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ﴿٦٠﴾


"Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan keadaan hina dina" (QS. Ghafir: 60)

Ini adalah bagian dari karunia-Nya yang Maha Mulia. Dia menganjurkan kita untuk beribadah dengan berdoa kepada-Nya dan menjanjikan akan mengabulkan doa-doa tersebut.

 Sebagaimana Sufyan ats-Tsauri berkata: 'Wahai Dzat yang paling mencintai hamba-Nya yang meminta kepada-Nya, maka semakin banyak seseorang meminta kepada-Nya, semakin Dia mencintainya. Dan wahai Dzat yang paling membenci hamba-Nya yang tidak meminta kepada-Nya. Tidak ada seorang pun yang seperti Engkau, ya Rabb.'"

Dalam hal ini, seorang penyair berkata:

"Allah murka jika Engkau meninggalkan permintaan kepada-Nya,
sedangkan manusia murka jika sering diminta."

Imam Ahmad meriwayatkan dari Nu‘man bin Basyir, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya doa adalah ibadah." Kemudian beliau membaca firman Allah:
*"Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina’" (QS. Ghafir: 60).

Dan diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang tidak berdoa kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya."

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya."

Berdoa di waktu-waktu seperti bulan ini (Ramadan) dan saat-saat utama lainnya adalah mustajab.

Diriwayatkan juga bahwa ketika seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an, maka doanya akan dikabulkan, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ad-Darimi dari Hamid Al-A‘raj, ia berkata:

"Barang siapa yang membaca Al-Qur’an, kemudian berdoa dan diaminkan doanya, maka ia akan mendapatkan pahala empat ribu malaikat."

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwa beliau menugaskan seseorang untuk mengawasi seorang laki-laki yang membaca Al-Qur'an. Jika laki-laki tersebut hendak menyelesaikan bacaan (khatam), maka orang itu memberitahu Ibnu Abbas, lalu beliau pun menghadiri khataman tersebut dan menyaksikannya.

Mujahid berkata: Dahulu mereka berkumpul ketika khatam Al-Qur'an, dan mereka berkata: "Rahmat turun."

Diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Mujahid dan Ubaidah bin Abi Lubabah mengutus seseorang kepada Al-Hakam bin Utaibah dan berkata: "Kami mengutusmu kepadamu karena kami ingin mengkhatamkan Al-Qur'an."

Doa dikabulkan ketika khatam Al-Qur'an, sehingga dianjurkan untuk menghadiri majelis khataman baik bagi yang membaca maupun yang tidak bisa membaca dengan baik.

Sebaiknya imam memilih waktu-waktu yang memiliki keutamaan, khususnya pada malam yang diharapkan sebagai Lailatul Qadr. Imam mengakhirkan rakaat terakhir tarawih sebelum witir dan berdoa, serta diaminkan oleh makmum.

Imam Ahmad menegaskan hal ini, dan Sufyan bin Uyaynah berkata: "Aku melihat penduduk Makkah melakukan hal tersebut.

Abbas ibnu Abdul Hakim berkata: "Aku mendapatkan orang-orang yang tinggal di kota Basroh dan Makkah melakukan hal ini, Juga disebutkan dari Utsman radhiyallahu anhu".

Dianjurkan bagi imam untuk memperbanyak doa dengan mengangkat kedua tangannya dan memanjangkannya, serta berdoa dengan ungkapan-ungkapan yang penting dan kata-kata yang mencakup makna luas. Hendaknya mayoritas doanya berkaitan dengan urusan akhirat dan ia berdoa untuk kaum Muslimin, kebaikan bagi para pemimpin mereka, serta seluruh rakyatnya.

Dianjurkan juga untuk mewangikan masjid dan menghiasinya pada malam yang diharapkan sebagai Lailatul Qadar. Dianjurkan mandi, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian terbaik, sebagaimana hal ini juga disyariatkan pada hari-hari berkumpul dan perayaan.

Begitu pula dalam semua shalat, disunnahkan untuk berhias diri sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Wahai anak Adam, pakailah perhiasanmu di setiap (memasuki) masjid."

Tsabit al-Bannani dan Hamid ath-Thawil dahulu mengenakan pakaian terbaik mereka dan memakai wewangian, serta mewangikan masjid dengan dupa dan kayu gaharu pada malam yang diharapkan sebagai Lailatul Qadar.

Sahabat Nabi Tamim Al-Da'riy radhiyallahu  anhu memiliki pakaian berharga seribu dirham yang ia beli khusus. Ia mengenakannya pada malam yang ia harapkan sebagai Lailatul Qadar.

Wahai orang yang ketika shalat hanya melakukannya sekadarnya, ketika berpuasa merasa lemah, ketika diajak kepada kebaikan menunda-nunda, dan ketika diminta untuk bertaubat berkata, “Nanti!” Tak ada yang menggugah hatinya dari nasihat dan peringatan. Namun, ia masih berharap dapat tergolong dalam barisan orang-orang saleh? Tidak, sungguh itu mustahil.

Lihatlah orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah, sementara engkau hanya duduk diam. Mereka melangkah maju, sedangkan engkau tertinggal jauh. Berapa banyak orang yang masih bimbang antara keinginan dunia dan kezuhudan? Berapa banyak yang menghabiskan malam mereka untuk beribadah, sementara yang lain terlelap dalam tidur? Apa yang membuat mereka sibuk hingga melupakan manisnya hubungan dengan Tuhan mereka? Dengarlah kisah mereka, meskipun engkau tak dapat melihat mereka.

Sungguh mengherankan dirimu, saudaraku! Mengapa engkau masih lalai? Nasihat tidak menyentuh hatimu, peringatan tak menggugah jiwamu. Ketahuilah, kuburan telah dipenuhi oleh para sanak, saudara, anak-anak, kerabat, pejabat, dan orang-orang kaya yang dahulu terhormat. Kini mereka semua telah sama, terkubur dalam tanah, tanpa lagi kemuliaan dan kehormatan dunia.

Abu Nu‘aym meriwayatkan dari Anas bahwa Nabi ﷺ apabila memasuki bulan Ramadhan, beliau beribadah dan juga tidur. Namun, ketika memasuki malam ke-24, beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah dan mengurangi tidurnya.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Wākil bin al-Asqa‘ dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
"Suhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan, Taurat diturunkan pada malam keenam Ramadan, Injil diturunkan pada malam ketiga belas Ramadan, dan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat Ramadan."

Ada sekelompok dari kalangan salaf yang bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam ke-24 Ramadan, di antara mereka adalah Anas, al-Hasan, dan penduduk Bashrah.

Diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda:
"Aku melihat matahari pada pagi hari setelah malam ke-24, ia terbit tanpa memiliki sinar yang kuat."
Demikian juga disebutkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas.
Namun, yang lebih kuat dalam riwayat adalah bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-23.

Disebutkan bahwa Abu Ayyub As-Sikhtiyani biasa mandi pada malam kedua puluh tiga dan malam kedua puluh tujuh, mengenakan pakaian terbaiknya, dan berkata: "Malam kedua puluh tiga adalah malam penduduk Madinah, dan malam kedua puluh tujuh adalah malam penduduk Bashrah."

Dan di antara mereka yang mengatakan bahwa (Lailatul Qadar) adalah malam kedua puluh empat, mereka berdalil dengan turunnya Al-Qur'an, karena itu adalah malam pertama dari tujuh terakhir jika bulan tersebut sempurna tiga puluh hari.

Ada pula yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar adalah malam kedua puluh lima, dan mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ: "Dalam malam-malam yang ganjil." Dan Allah lebih mengetahui.

Aku (penulis) berkata: Yang benar dan yang lebih diharapkan adalah malam kedua puluh tujuh, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits, kabar, ayat, dan petunjuk lainnya, insya Allah Ta’ala. Ini juga merupakan pendapat Imam Ahlus Sunnah, Ahmad bin Hanbal, semoga Allah merahmatinya.

Wahai ini, di manakah engkau dari kaum yang menjadikan akhirat sebagai tujuan mereka, lalu mereka bersabar? Maka berbahagialah bagi mereka bagian dari kesabaran mereka. Demi Allah, betapa sedikitnya perniagaan para pedagang (di dunia ini) dibandingkan dengan apa yang mereka jual ketika mereka melihat apa yang mereka lihat. Dengan memperbaiki jualan mereka, mereka mendapatkan hasil yang sedikit, dan betapa ringannya apa yang mereka tinggalkan! Mereka tidak pernah berhenti hingga mendapatkan apa yang mereka tuntut. Mereka membeli kesungguhan di pasar ujian, lalu mereka tertawa di rumah keselamatan, sedangkan engkau tertidur di tempat tidur kelalaian.

Kapankah engkau akan menempuh jalan mereka, wahai pecinta perbuatan dosa?

Sesungguhnya itu hanyalah malam setelah malam, dan puasa sehari setelah sehari, serta bulan yang berlanjut ke bulan yang baru, hingga mereka masuk ke dalam kubur yang telah diketahui.

Dalam hadis yang masyhur disebutkan:
“Dusta orang yang mengaku mencintai-Ku, tetapi ia tidur dari-Ku. Bukankah setiap pecinta menyukai untuk menyendiri bersama kekasihnya? Maka, Aku melihat kepada para kekasih-Ku ketika kegelapan malam menutupi mereka. Aku menjadikan cahaya-Ku dalam hati mereka, lalu mereka berbicara kepada-Ku dengan kehadiran-Ku.

Esoknya, Aku akan menyinari para kekasih-Ku dengan cahaya-Ku di sisi-Ku.”

Maka, para kekasih-Ku telah berkumpul untuk mendengar dan menaati-Ku.

Mereka memiliki hati yang dengan rahasiaku menjadi terpikat,
Di atas jalanku dan petunjukku mereka telah dibentuk.
Mereka berjalan, tidak lemah dan tidak pula lemah semangat,
Dan mereka menghubungkan tali kekerabatanku, maka mereka tidak terputus.


Sabtu, 22 Maret 2025

SHOLAT TAHAJUD


SHOLAT TAHAJUD


Allah Ta'ala berfirman:

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا ﴿٧٩

وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنًا نَّصِيرًا ﴿٨٠

"Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji."

Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku)." (QS. Al-Isra: 79-80)

Ketahuilah bahwa shalat malam (qiyamullail) adalah kewajiban bagi Nabi ﷺ. Perintah ini datang dari Allah Ta’ala untuk Nabi-Nya ﷺ agar senantiasa mengerjakan shalat malam secara terus-menerus. Dan beliau ﷺ telah mendahului kita dalam mengamalkannya.

Qiyamullail memiliki manfaat yang besar.

Di antaranya:

  • Mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ.
  • Aisyah Ummul Mukminin berkata: Rasulullah ﷺ bersabda kepada seseorang, "Janganlah engkau tinggalkan qiyamullail, karena sesungguhnya Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau lemah, beliau mengerjakannya dalam keadaan duduk," atau beliau berkata, "karena lelah."

Dan dalam sebuah riwayat dari Aisyah, ia berkata: Telah sampai kepadaku tentang suatu kaum yang berkata, “Sesungguhnya kami tidak melakukan hubungan suami istri, tidak makan daging, dan tidak tidur di tempat tidur.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Tetapi aku mendekati istri, memakan daging, dan tidur. Maka barang siapa yang membenci sunnahku, ia bukan bagian dariku.”

Aisyah mengisyaratkan bahwa shalat malam memiliki dua keutamaan besar:

  1. Meneladani sunnah Rasulullah ﷺ. Allah berfirman:
    "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu."

  2. Menghapus dosa. Sebab telah disebutkan dalam riwayat bahwa shalat malam dapat menghapus dosa, mencegah penyakit dari tubuh, serta menjauhkan penyakit dari badan, dan lebih mendekatkan kepada keikhlasan.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Said al-Muqbiri dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Boleh jadi seorang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar, dan boleh jadi seseorang yang shalat malam tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah."

Al-Hasan berkata: Suatu kaum dulu melakukan kebaikan, namun mereka khawatir jika amalan mereka tidak diterima, sehingga mereka menangis karena takut akan azabnya.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam."

Dalam Syair di katakan;

Wahai jiwa, orang-orang saleh telah menang dengan ketakwaan.
Wahai kesedihanku, malam telah menutupi mereka.
Mereka bermunajat dengan zikir di mihrab mereka,
Hati mereka untuk zikir telah tercerahkan.

Fajar mereka telah bersinar bagi mereka,
dan engkau, wahai jiwaku, tidakkah engkau sadar?
Waktu telah berlalu dalam kelalaian dan hawa nafsu,
dan pintu ampunan telah terbuka, itulah sebaik-baik bagian.
Apakah itu akan bermanfaat sebelum kakiku tergelincir?
Maka manfaatkanlah apa yang masih tersisa, dan ambillah kesempatan!

Saudara-saudaraku, manfaatkanlah waktu untuk berbuat kebajikan.

Hari-hari musim ini terbatas. Manfaatkanlah sisa malam-malam puasa yang jumlahnya sedikit. Bersungguh-sungguhlah dalam mencari kebaikan, karena amal orang yang berpuasa berlipat ganda.

Diceritakan bahwa seorang saleh shalat dua rakaat di malam hari, dalam shalatnya ia mengkhatamkan bacaan Al-Qur'an, lalu ia menghabiskan malam dengan menangis.

Wahai orang yang selalu berbuat maksiat! Kapan akan dikatakan: "Si Fulan telah bertaubat?"

Wahai orang yang lupa akan perjanjian lama dan khianat! Siapakah yang telah menciptakanmu dalam bentuk manusia? Siapakah yang telah menyesuaikan anggota tubuhmu dengan keagungan-Nya? Siapakah yang telah membuat tempatmu menakjubkan? Siapakah yang telah memberimu pendengaran dengan kebijaksanaan-Nya? Siapakah yang telah membuat akal menjadi pembimbing dan cahaya bagimu?

Mengapa engkau tetap lalai dan tidak sadar? Mengapa engkau tetap dalam kesalahan, padahal engkau menutupi kemaksiatan dengan pakaian ketaatan? Siapakah yang engkau abaikan rasa syukurnya, sehingga engkau tidak merasa takut kepada-Nya seperti kepada manusia?

Berapa banyak penyimpangan yang engkau lakukan, tetapi engkau tidak merasa malu di hadapan-Nya? Engkau berinteraksi dengan kehormatan yang tidak diridai oleh Tuhan para makhluk! Apakah engkau tidak merasa takut dengan akibatnya? Engkau berusaha keras untuk meraih kemuliaan manusia, tetapi mengabaikan kemuliaan Allah.

Jika manusia tahu apa yang engkau sembunyikan saat duduk di tempat sepi, niscaya mereka akan mengusirmu dari tempat itu. Maka bagaimana dengan Dzat yang Maha Mengetahui segala rahasia?

Sungguh, celaan bagi orang yang lalai, dan aman bagi orang yang berbuat kebajikan!

Dalam Syair:
Aku menangis atas dosa-dosaku karena besarnya kesalahanku,
Dan sudah seharusnya orang yang haus akibat kepahitan tangisan,
Seandainya tangisan dapat mendinginkan panasnya kesedihanku,
Maka air mataku akan bercampur dengan darah.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dari Nafi‘ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhu;
“Bahwa ada beberapa orang dari sahabat Nabi ﷺ bermimpi tentang Lailatul Qadr pada tujuh malam terakhir. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Aku melihat bahwa mimpi kalian bersepakat bahwa Lailatul Qadr ada pada tujuh malam terakhir. Maka barang siapa yang ingin mencarinya, hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir.’”

Dikatakan; 

Bulan puasa telah datang mulia,
Bulan amanah, kesabaran, dan takwa.
Di dalamnya surga terbuka menyambutnya,
Jalan ibadah tampak jelas puasanya.

Di malamnya ada yang berdiri membaca wiridnya,
Bulan yang lebih utama dari semua bulan lainnya.
Maka bersungguh-sungguhlah, semoga kau meraihnya,
Dan berhati-hatilah, jangan sampai kau lalai.

Kau akan sembuh dari segala duka yang dalam,
Dan kemenangan bagi siapa yang menghendaki.
Bidadari di dalamnya berhias indah,
Menyambut mereka yang mendapatkan keutamaannya.

Tinggalkan orang lalai yang sibuk dengan permainan,
Yang tenggelam dalam hawa nafsu yang menipu.
Bulan ini lebih baik dari seribu bulan,
Dengan pahala yang besar dan keberkahan.

Berjuanglah, semoga kau mendapat balasannya,
Dan waspadalah, jangan sampai terlewatkan ampunannya.

Saudara-saudaraku, bagaimana mungkin seseorang tidak tertarik untuk berpuasa di bulan Ramadan dan menegakkan malam-malamnya? Bagaimana mungkin seseorang tidak bersedih atas bulan di mana semua dosa hamba diampuni? Bagaimana mungkin seseorang tidak menangis atas bulan yang berlalu, yang di dalamnya terdapat keuntungan yang besar dan kesempatan yang berharga?

Ada seorang pemuda yang selalu menangis lama dalam kegelapan. Ketika dikatakan kepadanya, “Kasihanilah dirimu sendiri,” ia menjawab, “Aku menangis hanya karena kelalaianku sendiri.”

Yazīd bin Murshid adalah seorang yang selalu menangis. Istrinya berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis terus-menerus?” Ia menjawab, “Kesedihan yang panjang telah membuat mataku mengering.”

Bisyr al-Hāfī tidak pernah tidur di malam hari. Ketika ditanya, “Kenapa kau tidak tidur?” Ia menjawab, “Aku takut perintah Allah datang kepadaku sementara aku dalam keadaan tidur.”

Setiap kali mereka merasakan pahitnya keinsafan, mereka berteriak dengan suara lantang:
Saudara-saudaraku, wahai betapa hati ini merasakan penderitaannya yang amat dalam,
Atau wahai betapa jiwanya merasakan kepedihan tangisan itu.

Dan ketahuilah, di atas anggota tubuh yang menundukkan diri dengan ketaatan, ada keutamaan bagi perbuatan yang baik dan mulia. Di atas punggung yang tidak terbebani ketakutan kepada Raja Yang Maha Mulia, di atas hati yang tidak hancur karena kematian dan kehilangan, di atas seorang lelaki yang tidak terusir dan tertimpa kezaliman. Atau di atas hati yang keras, yang telah berjalan menuju api neraka dan angin yang beracun. Atau di atas minuman dari rantai yang terikat dan siksa yang pedih. Atau di atas hati yang dipenuhi dosa yang berat. Atau di atas ketaatan yang kuat, sehingga ia tampak mulia dan terhormat. Atau di atas jalan menuju petunjuk yang jelas.

Wahai orang miskin, apakah engkau akan memutuskan hubungan dengan Tuhanmu? Apakah engkau tidak ingin kembali ke pintu Tuhanmu? Bukankah Dia yang menciptakanmu dan memberimu rezeki? Apakah engkau tidak tersentuh oleh kelembutan-Nya terhadap hati dan rezeki-Nya yang mencukupimu? Apakah engkau tidak diingatkan dengan Islam dan nikmatnya? Apakah engkau tidak mendekat kepada-Nya dengan anugerah dan pemberian-Nya? Tidakkah matamu melihat bagaimana keadaanmu yang lalai, selalu menunda-nunda, dan lebih memilih untuk bergegas menuju dosa dan kesalahan? Aku melihat bahwa bulan ini sedang berlalu, dan engkau tidak menjaga dirimu dari apa yang bisa membinasakanmu. Apakah engkau tidak merasa malu terhadap orang-orang yang menjaga dirinya dari hal-hal yang haram dan menjauhi larangan-Nya? Jika engkau kembali kepada-Nya dengan taubat dan ridha, dan jika engkau tetap teguh dalam ketakwaan dan kebaikan, maka sampai kapan engkau akan memutuskan hubungan dengan Tuhanmu?

Dan di antara yang dikatakan oleh sebagian mereka:

Wahai Dzat yang melihat segala yang ada dalam hati dan mendengarnya,
Wahai Dzat yang diharapkan pertolongannya dalam segala kesulitan yang berat,
Wahai Dzat yang memiliki perbendaharaan kerajaan dengan firman "Jadilah!" maka jadilah,
Tiadalah bagiku selain kuburku sebagai tempat berlindung dan jalan permohonan.
Tiadalah bagiku selain berharap kepada kemurahan-Mu dengan penuh harapan.
Dan siapakah yang aku panggil serta aku takut dengan namanya,
Tetapi kemurahan-Mu terlalu suci untuk melepaskan seorang hamba dalam keadaan marah?
Dengan kehinaan aku datang dan aku berdiri di hadapan pintu-Mu dengan penuh ilmu.

Engkau adalah tempat bersandar bagi setiap yang berharap,
Wahai keturunan dari ayah yang penyayang dan pemaaf,
Berilah keamanan, karena kebaikan itu seluruhnya ada pada-Mu.
Karena kehinaan, aku menyandarkan diriku ke kuburmu sebagai tempat berlindung,
Maka jika aku diusir, pintu mana lagi yang akan aku ketuk?
Seandainya kemurahan-Mu menolak orang yang datang ke kuburmu,
Niscaya keutamaan itu menjadi lebih besar, dan anugerah menjadi lebih luas,
Karena memang merendahkan diri di hadapan pintu-Mu justru membawa manfaat.

"Berdirilah, wahai orang miskin yang hina, dan merendahlah kepada Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Bersimpuhlah dengan hati yang hancur dan katakan: 'Wahai Tuhan semesta alam, wahai Dzat Yang Maha Mulia, Dzat Yang Maha Pemurah, aku adalah hamba-Mu, tawanan dosa-dosa, pemilik kesalahan dan keburukan.'

Berdirilah di depan pintu kemurahan-Nya, menantikan limpahan rahmat-Nya, menunggu kebaikan dan pemberian-Nya yang kekal, serta kebijaksanaan-Nya yang mendalam. Jadikan puncak keinginan kami adalah keridhaan-Mu, dan tujuan tertinggi kami adalah melihat-Mu, serta jauhkan kami dari syahwat karena kami ingin berjumpa dengan-Mu dan Engkau telah ridha kepada kami.

Sungguh, Dia memanggil orang yang berpaling, maka bagaimana mungkin Dia tidak menerima orang yang menghadap kepada-Nya? Maka apakah engkau tidak ingin mendapatkan setetes dari lautan kemurahan-Nya sehingga engkau bisa melampaui keburukan amalmu dengan keindahan pemberian-Nya? Sungguh, siapa yang berlindung dalam perlindungan-Nya, niscaya Dia akan mencukupinya. Siapa yang menuju-Nya, maka Dia akan memberinya petunjuk. Dan siapa yang beruntung bisa singgah di pintu-Nya, maka sungguh dia telah mencapai kemenangan. Sebaliknya, siapa yang berpaling dari panggilan-Nya dan melampaui batas dalam mengikuti hawa nafsunya, maka ia akan semakin jauh dan tersingkir."

Sebagian ulama rahimahumullah berkata: Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berlemah lembut kepada umat Muhammad ﷺ di bulan Ramadan. Dikatakan bahwa setan-setan dari kalangan jin dibelenggu agar mereka tidak bisa menggoda manusia sebagaimana yang mereka lakukan di waktu lain. Hal ini disebutkan dalam hadis-hadis sahih."

"Dan untuk itu – segala puji bagi Allah – maksiat berkurang di bulan Ramadan. Sebabnya adalah bahwa puasa menghalangi dari berbagai bentuk maksiat. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: 'Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka hendaklah ia menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.' (Diriwayatkan oleh Ibn Majah dan lainnya).

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: 'Sesungguhnya di bulan Ramadan terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang terhalang darinya, maka sungguh ia telah terhalang dari seluruh kebaikan.' (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasa'i, dan Ibn Majah).

Dalam riwayat Ibn Majah disebutkan: 'Sesungguhnya bulan ini telah mendatangi kalian, dan di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang terhalang dari keberkahannya, maka sungguh ia telah terhalang dari seluruh kebaikan, dan tidaklah seseorang terhalang dari kebaikannya kecuali ia adalah orang yang benar-benar terhalang.'

Juwaibir berkata: Aku bertanya kepada Ḍaḥḥāk: "Apakah wanita nifas, wanita haid, musafir, dan orang yang tidur mendapatkan bagian dari malam Lailatul Qadar?"

Dia menjawab: "Ya, siapa pun yang Allah terima amalnya akan diberikan bagian dari malam Lailatul Qadar."

Dan ketahuilah bahwa wanita nifas, wanita haid, musafir, dan orang yang tidur memperoleh bagian mereka dari malam Lailatul Qadar melalui zikir. 

Adapun orang yang tidur, maka tidak diragukan bahwa setiap orang yang tidur kehilangan bagiannya dari malam itu. Namun, yang dimaksud dengan orang yang tidur di sini adalah hatinya tetap berzikir, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf:

"Ada orang yang shalat tetapi sebenarnya ia terhalang (dari pahala), dan ada orang yang tidur tetapi sebenarnya ia memperoleh pahala. Orang yang shalat tetapi terhalang adalah yang shalat namun hatinya lalai, sedangkan orang yang tidur tetapi memperoleh pahala adalah yang tidur namun hatinya tetap berzikir."

Mereka memahami rahasia dari pertanyaan ini, dan semoga Allah memberi mereka pahala.

Saudara-saudaraku,
Yang menjadi tolok ukur diterimanya amal bukan hanya pada kerja keras (ijtihad), tetapi juga pada kondisi hati. Betapa banyak orang yang bangun malam, tetapi hanya mendapatkan begadang semata. Berapa banyak orang yang bangun malam tetapi tetap terhalang (dari rahmat)? Dan berapa banyak orang yang tidur tetapi justru dirahmati? Yang ini bangun, tetapi hatinya lalai. Yang itu tidur, tetapi hatinya selalu berzikir.

Namun, seorang hamba diperintahkan untuk berusaha mendapatkan kebaikan dan bersungguh-sungguh dalam amal saleh. Setiap orang dimudahkan untuk tujuan ia diciptakan. Maka, bersegeralah dalam memanfaatkan kesempatan beramal di sisa bulan ini, agar dapat mengganti apa yang telah hilang dari umur (waktu yang terlewat).

Telah berlalu umur dalam kelalaian,
Betapa sia-sia apa yang telah kuhabiskan.
Apa yang tersisa dariku hanyalah kelemahan,
Lalu apa yang telah aku lakukan dengan kesadaran?

Jika kami diampuni, maka itu adalah anugerah,
Namun jika kami dihukum, itu adalah keadilan Allah.
Bulan yang diberkahi menjadi saksi turunnya rahmat,
Bulan yang di dalamnya cahaya zikir bersinar terang.

Adakah bulan yang sebanding,
dan di dalamnya ada malam Lailatul Qadar?
Betapa banyak kebaikan yang telah tetap,
haji pun tidak menyamai kebaikan yang ada di dalamnya.

Apa yang kau cari di malam ganjil,
beruntunglah orang yang menyadarinya.
Di dalamnya para malaikat turun,
membawa cahaya dan kabar gembira.

Dan dikatakan: "Salam,"
hingga terbitnya fajar.
Maka pilihlah malam itu,
betapa banyak yang dimerdekakan dari neraka,

namun siapa yang mengetahuinya?

Seorang dari kalangan salaf melihat dalam mimpinya sebuah tenda yang dipancangkan. Lalu ia bertanya, “Untuk siapa ini?” Dijawab, “Untuk orang-orang yang menghafal Al-Qur'an.” Maka setelah itu, ia tidak pernah tidur lagi.

Diriwayatkan bahwa Jibril berseru setiap malam: “Apakah ada yang ingin bangun? Apakah ada yang ingin bangun?”

Maha Suci Allah yang telah memilih sebagian makhluk-Nya dengan keutamaan yang diberikan kepada mereka, mengokohkan mereka di atas keyakinan, dan mengabaikan siapa yang Dia kehendaki dari keadaan orang-orang yang lalai. 

۞  وَلَٰكِن كَرِهَ ٱللَّهُ ٱنۢبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ ٱقْعُدُوا۟ مَعَ ٱلْقَٰعِدِينَ ﴿٤٦

"tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Dia melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan (kepada mereka), "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu."" (Q.S.9:46)

Dalam Syair dikatakan :

Beruntunglah orang yang bersegera meraih ridha Allah,
Menuju jalan yang akan membimbingnya ke perjalanan akhirat.

Ia berdiri dan shalat dalam kegelapan malam,
Air matanya mengalir di pipinya, berlinang dari kedua mata yang penuh duka.

Ia mengikhlaskan qiyamnya hanya untuk Allah Yang Maha Agung,
Menjalankannya secara rahasia dan terang-terangan.

Kadang kala ia menghidupkan malamnya dengan rukuk dan sujud,
Menghadap Tuhannya di waktu malam hingga datangnya fajar.

Ketika itu, ia berpindah dari dunia fana,
Dengan pujian kepada Allah dalam keharuman istirahatnya.

Doa:

Ya Allah, terimalah dari hamba-hamba-Mu yang ikhlas apa yang telah mereka amalkan.
Janganlah Engkau menghinakan mereka, rahmatilah mereka,
Karena mereka telah menggantungkan rahmat hanya kepada-Mu.
Ampunilah dosa-dosa yang telah mereka kumpulkan, dan bebaskanlah mereka darinya.

Tuhanku, jika Engkau hanya merahmati orang-orang yang bersungguh-sungguh, lalu bagaimana dengan orang-orang yang lalai?
Jika Engkau hanya menerima orang-orang yang ikhlas, lalu bagaimana dengan orang-orang yang bercampur niatnya?
Jika Engkau hanya memuliakan orang-orang yang berbuat ihsan, lalu bagaimana dengan orang-orang yang bersalah?

Tuhanku, hidupkanlah hati yang telah mati karena jauhnya dari-Mu, dan janganlah Engkau siksa dengan pedihnya hukuman-Mu.
Tuhanku, berikanlah ampunan kepada hamba yang sering mengingat-Mu namun tetap lalai, dan kepada pendosa yang tetap berpaling.
Tuhanku, anugerahkanlah keutamaan-Mu kepada kami semua, ampunilah kami, kedua orang tua kami, serta seluruh kaum Muslimin, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihi.


Kamis, 20 Maret 2025

POTRET SALAFUSH SHALIH


POTRET PARA SALAF 


Segala puji bagi Allah yang memilih di antara hamba-hamba-Nya orang-orang yang layak untuk beribadah dan bertakwa, menjadikan mereka sebagai pelayan dan membagi-bagikan bagian mereka serta meninggikan kedudukan mereka. 

Dia mengkhususkan mereka dengan kedekatan-Nya, memandang mereka dengan rahmat-Nya, dan mengambil perjanjian atas mereka dengan janji yang kuat dan teguh. 

Maka Dia mendekatkan mereka, menghubungkan mereka dengan perjumpaan dan pertemuan dari kedekatan diri mereka ke hadirat kedekatan-Nya.

Dia memberi mereka minum dengan cawan tasbih dan pensucian, minuman yang telah dituangkan sejak dahulu. 

Maka setiap orang di antara mereka meneguk seteguk minuman-Nya, nyaman ketika mendengar khitab-Nya, dan terangkat ke hadirat keagungan-Nya serta mencapai tempat yang tinggi. Dia menjadikan mereka sebagai tempat penyimpanan rahasia-rahasia kekasih-Nya.

Ketika mereka berpaling dari selain-Nya, Dia membukakan bagi mereka pintu yang tidak terkunci, lalu terpancarlah hembusannya ke dalam relung-relung hati, sehingga mereka mencium aroma keghaiban yang tersembunyi dan menyebarkan wewangian rahasia-Nya.

Aku memuji-Nya, dan Dia adalah ahlinya pujian, kedermawanan, dan keutamaan. Aku bersyukur kepada-Nya dengan rasa syukur yang lebih tinggi dari tempat tertinggi rahasia-Nya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, satu-satunya, tiada sekutu bagi-Nya. Kesaksian yang dengannya aku berharap memperoleh keselamatan pada hari pertemuan dengan-Nya. 

Dan aku bersaksi bahwa junjungan kita, Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga Allah melimpahkan salawat dan salam kepada beliau serta para sahabatnya, yang setelah kepergian beliau, penduduk bumi merasa asing dan rindu.

Imam al-Wa‘izh Abu al-Faraj ‘Abd al-Rahman ibn al-Jawzi—semoga rahmat Allah atasnya—menyebutkan dalam beberapa kitab dan nasihat terkenalnya dari Wahb ibn Munabbih, bahwa ia pernah ditanya oleh sekelompok Khawariyiin (pengikut setia Nabi Isa alaihisalam):

"Wahai Utusan Allah!

 Siapakah para wali Allah yang tidak ada rasa takut atas mereka, dan mereka tidak bersedih hati?"

Isa ‘alayhis-salam menjawab:
"Mereka adalah orang-orang yang menatap batin dunia, sedangkan manusia memandang lahirnya. Mereka melihat dunia sebagaimana manusia melihat bangkainya, lalu mereka menjauhinya karena takut akan najisnya. 

Mereka mengetahui bahwa dunia akan membinasakan mereka, maka mereka pun membencinya dan meninggalkannya. Mereka menyadari bahwa dunia akan pergi meninggalkan mereka, maka mereka pun menganggapnya rendah dan menghindarinya. 

Dunia menimpa mereka sebagai cobaan, namun mereka bersabar; menimpa mereka sebagai musibah, namun mereka berserah diri. 

Apa yang datang kepada mereka dari dunia, mereka makan sekadar kebutuhan, dan mereka buang sisanya seperti orang yang takut terhadap racun.

Mereka melihat kemegahan dunia sebagai kehinaan, kebanggaannya sebagai kebodohan, kekayaannya sebagai kefakiran, dan kenikmatannya sebagai duka. 

Dunia bukanlah tujuan mereka, bukan pula kebahagiaan yang mereka cari, melainkan mereka jadikan dunia sebagai tempat persinggahan, seperti orang yang mengadakan perjalanan. 

Mereka menunda mengingat dunia, dan mendahulukan mengingat kematian. Mereka beriman kepada janji Allah, dan mereka merasakan kebahagiaan dengan janji-Nya, sebagaimana seseorang bergembira dengan berita baik.

Mereka adalah kaum yang membaca kitab-Nya, lalu mengamalkannya. Mereka memperhatikan perintah Tuhan mereka, lalu melaksanakannya. 

Mereka berpuasa di siang hari, tidak berharap akan balasan kecuali dari-Nya. Mereka salat di malam hari tanpa rasa takut terhadap siksa-Nya. 

Mereka menghindari kebinasaan, mereka mengamalkan kebaikan, dan mereka berada di jalan petunjuk."

Wahai saudara-saudaraku, dengarkanlah sifat-sifat kaum ini! 

Mereka menyembunyikan kehormatan, menegakkan malam dengan shalat, menyebarkan kedamaian, memberikan makanan, melazimkan puasa, dan shalat di malam hari ketika manusia sedang tidur.

Mereka menjauhi dosa dan memisahkan diri dari maksiat, serta menyendiri dalam munajat kepada Raja (Allah) dalam kegelapan malam. Mereka menaati Allah, maka Allah menghapus dosa-dosa mereka, mengangkat derajat mereka, membersihkan hati mereka, menutupi aib mereka, mengampuni dosa-dosa mereka, dan ketika mereka dizalimi, mereka memaafkan.

Mereka mengenali Tuhan mereka, maka mereka pun mengenal-Nya. Mereka melihat dunia sebagai ladang untuk beribadah, maka mereka pun berusaha menanam amal. Mereka menemukan keuntungan dalam ketaatan mereka, dan mereka berpegang teguh pada kejujuran serta kesetiaan dalam pergaulan.

Mereka berdoa di waktu sahur, sementara air mata mereka mengalir deras di atas pipi. Wahai, siapakah yang tidak terselimuti oleh kegelapan? Janganlah suara-suara mengganggu kami. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kegelapan berbagai bencana.

Wahai Tuhan yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mengampuni kesalahan mereka, siapakah yang akan kembali kepada-Mu jika Engkau menutup pintu harapan? Dan siapakah yang akan mencapai derajat yang tinggi jika tidak memiliki semangat dalam perjalanan menuju-Mu?

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:
"Ketika Rasulullah ﷺ bangun pada malam hari untuk tahajjud, beliau berdoa:

'Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Engkaulah Pengatur langit dan bumi serta segala isinya. Bagi-Mu segala puji, Engkaulah Pemilik langit dan bumi serta segala isinya. Bagi-Mu segala puji, Engkaulah Cahaya langit dan bumi serta segala isinya. Bagi-Mu segala puji, Engkaulah Kebenaran, janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, para nabi adalah benar, Muhammad ﷺ adalah benar, hari kiamat adalah benar.

Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali, dengan-Mu aku berargumen, dan kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah aku atas dosa-dosa yang telah kulakukan dan yang akan kulakukan, yang aku sembunyikan dan yang aku nampakkan. Engkaulah yang Maha Mendahulukan dan Maha Mengakhirkan. Tiada Tuhan selain Engkau.'"

Diriwayatkan pula dari sebagian ulama rahimahumullah, bahwa ada seorang salih yang menghabiskan malamnya dalam shalat. Setelah selesai, ia bersujud dan menangis dengan tangisan yang sangat dalam. 

Lalu ia berkata dalam munajat nya ;

Tuhanku, pintu para raja telah tertutup, tetapi pintu-Mu tetap terbuka bagi mereka yang meminta.
Tuhanku, bintang-bintang telah menghilang, mata telah terpejam, dan Engkaulah Yang Maha Hidup, Maha Tegak, yang tidak pernah mengantuk dan tidak tidur.

Tuhanku, semua orang telah membentangkan tempat tidurnya dan setiap kekasih telah berbaring di samping kekasihnya. Namun, Engkaulah Kekasih para hamba yang bangun di waktu malam dan Penghibur mereka yang merasa kesepian.

Tuhanku, jika Engkau mengusirku dari pintu-Mu, lalu kepada siapa aku harus berlindung? Jika Engkau memutuskan aku dari rahmat-Mu, kepada siapa aku harus mencari perlindungan?

Tuhanku, jika Engkau menyiksaku, maka aku pantas menerima siksa dan hukuman. Namun, jika Engkau mengampuniku, Engkaulah Tuhan yang penuh kemurahan dan kemuliaan.

Kemudian, ia duduk, mengangkat kedua tangannya, menangis, dan berkata:
"Wahai Tuhanku, orang-orang yang mengenal-Mu telah mencapai kesucian, dengan karunia-Mu orang-orang saleh selamat, dan dengan rahmat-Mu orang-orang yang berdosa berani berharap. Wahai Tuhan yang memiliki ampunan yang indah, limpahan rahmat, dan manisnya pengampunan, jika Engkau tidak mengampuni, lalu siapa lagi yang berhak atas ketakwaan dan ampunan?"

Saudara-saudaraku: 

Ketahuilah bahwa ini adalah bulan yang diberkahi hari-harinya. Bulan ini adalah sebab untuk menghapus dosa-dosa dan kesalahan. Di dalamnya tersedia pahala dan kebaikan yang berlimpah, dan di akhir bulan ini, Allah memilih dari hamba-hamba-Nya orang-orang yang dibebaskan dari neraka.

Saudara-saudaraku: 

Ini adalah bulan puasa. Apakah kalian melihat orang yang menjaga batasan puasanya, menahan diri dari perkataan sia-sia dan dusta di dalamnya, serta mempersiapkan amal saleh untuk hari kebangkitan agar selamat? Berapa banyak puasa yang rusak tetapi tidak menggugurkan kewajibannya, dan berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dihinakan oleh hisab (perhitungan) pada hari perhitungan? Berapa banyak orang yang durhaka di bulan ini sehingga bumi mengeluh darinya dan langit bersaksi atasnya?

Maka, siapakah di antara kita yang termasuk golongan yang diterima dan siapa yang termasuk golongan yang ditolak? Siapa yang mendekat dan siapa yang menjauh? Siapa yang bahagia dan siapa yang celaka? Sungguh, urusan ini telah menjadi serius. Demi Allah, betapa banyak orang yang bahagia di bulan ini dengan menjaga hari-harinya dan menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa.

Kebinasaan bagi orang yang tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.
Sekelompok orang dari kalangan para wali Allah berpuasa dengan sempurna, lalu Allah menolong mereka untuk menegakkan malam dengan salat, sehingga mereka berdiri dalam ibadah sepanjang malam. Mereka mengosongkan tubuh mereka dari segala kesibukan duniawi dan menyibukkan diri mereka hanya dengan ibadah. Keinginan mereka terhadap ibadah begitu besar sehingga mereka tidak memikirkan hal lain.

Orang yang beruntung adalah orang yang sibuk dengan pelayanan kepada Allah, sementara mereka yang lain sibuk dengan urusan duniawi. Mereka merasakan kenikmatan dalam munajat kepada-Nya, sehingga mereka berkata:
"Sungguh luar biasa keutamaan ini, kami menabungnya sebagai bekal untuk perpisahan dengan bulan puasa, dan kami merasa sedih dengan kepergian malam-malam tahajud dan qiyamullail, karena ini adalah musim untuk meraih rahmat dan ampunan."

Sebagian ulama salaf berkata: "Qiyamul lail meringankan panjangnya hari kiamat."
Diriwayatkan bahwa orang-orang yang rajin bangun malam akan memasuki surga dengan hisab yang ringan, dan mereka akan merasa nyaman dari lamanya waktu penantian di Padang Mahsyar.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"Waktu yang paling dekat bagi seorang hamba dengan Rabbnya adalah di sepertiga malam terakhir. Jika engkau mampu termasuk di antara orang-orang yang berzikir kepada Allah pada saat itu, maka lakukanlah!"

Dalam Syair dikatakan;

"Barang siapa yang tidak menangisi masa mudanya sebelum uban menghiasi kepalanya dan semangatnya meredup, maka hendaklah ia tetap bersedih dengan penuh penyesalan."

 Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, hingga susu kembali ke dalam putingnya (yang artinya mustahil terjadi).”

 Hasan al-Basri berkata:
"Jika seorang hamba menangis karena takut kepada Allah, maka Allah akan merahmati orang-orang di sekitarnya, meskipun jumlah mereka dua puluh ribu orang."

Kisah-kisah tentang tangisan karena takut kepada Allah:

  • Air mata Ibn Abbas mengalir deras bagaikan tali air yang mengalir.
  • Sa‘id bin Jubair menangis di malam hari hingga matanya tertutup (membengkak).
  • Sebagian orang berkata: "Para penceramah seharusnya lebih banyak menyesali dosa-dosa dan bersegera melakukan kebaikan daripada hanya mengingatkan orang lain."


Ingatlah saat berdirimu di hari kebangkitan dalam keadaan asing,
Api menyala dengan dahsyat karena kemurkaan dan kemarahan Tuhan.
Di tempat di mana Tuhan menampakkan keadilannya,
Dikatakan kepada orang yang berbuat dosa:

"Bacalah kitabmu, wahai hamba-Ku, dengan perlahan.

Ketika engkau membaca kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun (dari amal perbuatanmu),
Allah Yang Maha Agung berfirman: 'Ambillah dia, wahai malaikat-Ku!'
Wahai Tuhan, janganlah Engkau membuat kami bersedih pada hari perhitungan.

Lihatlah apa yang ada di dalamnya, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.
Bawalah hamba-Ku menuju timbangan (untuk ditimbang amalnya).
Dosa-dosa kami sungguh besar,
Maka jadikanlah keberkahan-Mu ada dalam diri kami pada hari ini, wahai Penguasa kami."

Maka bayangkanlah dirimu, wahai saudaraku, ketika sakaratul maut telah menimpamu, dan engkau telah turun ke dalam kuburan serta ditinggalkan sendirian di dalamnya.

Kemudian ada seseorang berkata: "Si Fulan telah berwasiat," dan orang lain berkata: "Si Fulan telah meninggal dunia." Namun, lidahnya sudah membisu, ia telah melupakan orang-orang yang dikasihinya, tidak dapat berbicara dengan saudara-saudaranya, tidak mampu menjawab pertanyaan, dan tidak bisa lagi menanggapi ucapan orang lain.

Demikian pula dirimu, engkau akan diambil dari ranjangmu menuju papan jenazahmu, dan orang-orang akan membawa jenazahmu dari rumahmu. Mereka akan memandikanmu, mengafanimu, lalu membawamu ke liang kubur.

Keluarga, sahabat, dan saudara-saudaramu akan menangis karena kepergianmu. Setelah itu, mereka akan meninggalkanmu sendirian, dan engkau pun akan lenyap dari dunia ini tanpa keberadaan dan tanpa perasaan.

Maka bersegeralah dalam melakukan kebaikan selama engkau masih hidup di dunia, dan manfaatkanlah waktu di saat kesempatan masih ada. Hadapkanlah dirimu kepada karunia Allah, karena sungguh ada pintu anugerah yang hanya berada di tangan-Nya, khususnya pada bulan Ramadan.

Betapa banyak orang yang meraih derajat tinggi karena ketaatan, dan mereka menikmati waktu-waktu mereka dalam kesendirian dengan doa dan munajat kepada-Nya.

Dalam Syair dikatakan:
Apabila malam telah menjadi gelap seperti hati mereka,
Rasa takut mengusir tidur mereka, maka mereka pun bangun.
Sementara orang-orang yang merasa aman di dunia terlelap dalam tidur,
Mereka berada dalam kegelapan malam, namun mereka dalam keadaan sujud.
Dari malam itu, dada-dada mereka merasa lapang.


Imam al-Wa‘izh Ibn al-Jawzi menyebutkan dalam sebagian kitabnya, ia berkata:
Yusuf bin Asbath menulis surat kepada Hudzaifah al-Mar‘ashi, semoga Allah merahmati keduanya:
"Adapun setelah itu, maka aku berwasiat kepadamu ; 

**"Bertakwalah kepada Allah dan amalkanlah apa yang telah engkau ketahui dari-Nya, serta laksanakanlah kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya. Berhati-hatilah dari sifat riya, karena sesungguhnya tidak ada yang diberkahi selain Allah. Maka, tanggalkanlah dari kepalamu topeng orang-orang lalai, dan sadarilah bahwa engkau berada dalam perjalanan menuju kematian. Bersiaplah untuk perlombaan esok hari, karena dunia ini adalah medan perlombaan bagi para pesaing. Janganlah engkau tertipu oleh orang yang menampakkan keraguan dan menyibukkan diri dengan status serta meninggalkan amal.

Ketahuilah, wahai saudaraku tercinta, bahwa tidak ada pilihan lain bagiku selain berdiri di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, yang akan meminta pertanggungjawaban kita atas perkara-perkara yang halus dan tersembunyi, serta dari Tuhan Yang Maha Agung atas segala yang nyata. Aku tidak merasa aman dari ujian-Nya, begitu pula engkau.

Maka, berhati-hatilah dari bisikan-bisikan hati, lirikan mata, dan ketertarikan dalam mendengarkan sesuatu yang tidak baik. Ketahuilah, wahai saudaraku tercinta, bahwa engkau harus memanfaatkan waktu untuk amal saleh pada waktunya, serta meninggalkan perkara-perkara yang dilarang dan mencintai orang-orang miskin, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh junjungan kita, pemimpin orang-orang terdahulu dan yang akan datang."**

Dan di antara mereka ada yang berkata:

Apakah engkau terjaga ataukah tidur?
Bagaimana tidur dapat menutup matamu, wahai orang yang terbuai?
Seandainya engkau bangun di pagi hari dengan cemas,
Air matamu akan membanjiri pelupuk mata.

Siang harimu terbuai oleh kelalaian dan permainan,
Malam harimu terlelap dalam tidur dan kesenangan.
Sebagaimana seseorang bermimpi dalam tidurnya,
Demikian pula dunia itu hanyalah ilusi yang berlalu.

Engkau sibuk dengan sesuatu yang akan engkau tinggalkan,
Dan terlena dalam sesuatu yang akan engkau sesali kehilangannya.

Dan disebutkan dalam beberapa kitab bahwa Manshur bin Zadhan biasa mengkhatamkan Al-Qur'an antara waktu Zuhur dan Asar.
Ia mengkhatamkannya kembali antara Maghrib dan Isya'.
Kemudian ia menangis sepanjang malam hingga fajar tiba.
Air matanya membasahi seluruh janggutnya,
Dan tidak berhenti mengalir hingga seluruh janggutnya benar-benar basah.
Lalu ia meremas dan mengeringkan janggutnya di antara kedua tangannya.

Ia terus melakukan demikian hingga dua puluh tahun.
Kemudian dikatakan kepadanya,
"Jika Engkau mati hari atau besok, maka ia tidak mampu lagi untuk menambah amal ibadah nya ( karena sudah sangat banyak)."

Dan Ibnu Mas'ud berkata:

"Sungguh, bagi seorang pembaca Al-Qur'an,
seharusnya ia dikenal di malam hari ketika manusia tidur,
dikenal di siang hari ketika manusia sibuk,
dikenal dengan tangisannya ketika manusia tertawa,
dikenal dengan kesedihannya ketika manusia bergembira,
dikenal dengan ketundukannya ketika manusia sombong,
dikenal dengan diamnya ketika manusia banyak bicara."

Wahb bin al-Ward berkata:
Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Tidakkah engkau tidur?” Ia menjawab, “Sesungguhnya keajaiban-keajaiban Al-Qur’an telah menghalangiku untuk tidur.”

Tiada Tuhan selain Allah!
Allah-lah yang telah memperbaiki keadaan orang-orang terdahulu. Kita bukanlah mereka, dan mereka pun bukanlah kita. Jika dunia ini hanya sekadar tanah liat yang dapat digenggam dengan tangan, maka betapa seringnya ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan kepada kita, tetapi hati kita tetap keras, bahkan lebih keras dari batu.

Berapa banyak bulan Ramadan yang telah berlalu atas kita, dan keadaan kita tetap seperti keadaan orang-orang yang lalai? Tidak ada pemuda di antara kita yang menjauhi maksiat, tidak ada orang tua yang menahan diri dari hal yang buruk, dan orang tua yang seharusnya menjadi panutan malah tenggelam dalam kefasikan.

Maka, di manakah kita dibandingkan dengan mereka yang, ketika mendengar seruan Allah, segera memenuhi panggilan-Nya?
Ketika ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, hati mereka gemetar, kulit mereka merinding, dan mata mereka menangis. Tetapi kita? Lidah kita membaca Al-Qur’an, tetapi hati kita tidak memahami maknanya, telinga kita mendengar, tetapi tidak meresapi, dan mata kita melihat, tetapi tidak mengambil pelajaran.

Berapa banyak perbedaan antara kita dan orang-orang yang ikhlas?
Berapa banyak jarak antara kita dan orang-orang yang murni dalam keimanan? Setiap kali ucapan kita baik, perbuatan kita buruk.

Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.