Jumat, 22 Agustus 2025

HARI KIAMAT


 (Hari Kiamat) 


Khutbah Pertama

Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta berlindung kepada-Nya dari keburukan jiwa-jiwa kita dan dari kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka tiada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi kita, kekasih kita, dan teladan kita Muhammad bin ‘Abdillah adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga shalawat, salam, dan keberkahan senantiasa tercurah kepadanya, selama siang dan malam silih berganti.

Allah Ta‘ālā berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim.” (Ali Imran: 102)

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, lalu darinya Allah ciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah sebarkan banyak laki-laki dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta, serta peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa: 1)

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia memperoleh kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71)

Amma ba‘du, wahai hamba-hamba Allah:

Sungguh dunia telah melalaikan kita dengan hiburan, godaan, peristiwa, dan peperangannya. Dunia telah melalaikan kita dari Allah.

Majelis-majelis kita lebih banyak dipenuhi dengan pembicaraan tentang dunia dan urusannya. Kita pun lalai dari Kitabullah. Kita lalai dari mengingat kubur, kematian, dan hari kebangkitan.

Kita lalai dari hari yang paling agung, paling panjang, paling menakutkan, dan paling dahsyat; hingga hati-hati menjadi keras, dan dunia menjadi satu-satunya cita-cita dalam hati, kecuali orang-orang yang dirahmati Allah.

Hari itu adalah Hari Kiamat: hari akhir, hari kebangkitan, hari keluar dari kubur, hari kehancuran, hari keputusan, hari pembalasan, hari tiupan yang menggelegar, hari bencana besar, hari penyesalan, hari yang meliputi semua, hari keabadian, hari perhitungan, hari yang pasti terjadi, hari ancaman, hari yang dekat, hari perhimpunan, hari yang benar-benar pasti, hari pertemuan, hari panggilan, hari kerugian, dan hari ditampakkan amal.

Itu adalah hari yang sangat berat bagi orang-orang kafir, hari yang agung, hari yang disaksikan seluruh makhluk; baik manusia terdahulu maupun yang terakhir, jin, hewan, dan burung. Allah menyebutnya:

“Suatu hari yang penuh kesulitan dan sangat berat.” (Al-Insan: 10)

Allah menyebut hari itu ratusan kali dalam Al-Qur’an. Itu adalah bukti keagungan dan kedahsyatannya. Allah menggambarkannya dengan sifat-sifat yang amat dahsyat.

Allah berfirman:

“Dan jagalah diri kalian dari suatu hari yang seseorang tidak dapat menolong orang lain sedikit pun, dan tidak akan diterima syafa‘at darinya, tidak pula tebusan, dan mereka tidak akan ditolong.” (Al-Baqarah: 48)

“Bagaimanakah nanti apabila Kami mengumpulkan mereka pada suatu hari yang tidak diragukan adanya, lalu tiap jiwa diberikan balasan atas apa yang telah diusahakannya, dan mereka tidak akan dizalimi sedikit pun.” (Ali Imran: 25)

“Allah, tiada sesembahan selain Dia, sungguh Dia akan mengumpulkan kalian pada hari Kiamat yang tidak diragukan adanya. Siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah?” (An-Nisa: 87)

“Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang takut akan azab akhirat. Itulah hari di mana manusia dikumpulkan, dan itulah hari yang disaksikan. Dan tidaklah Kami menundanya melainkan sampai waktu yang ditentukan. Pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat berbicara kecuali dengan izin-Nya. Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia…” (Hud: 103–108)

“(Ingatlah) hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain, demikian pula langit, dan semua manusia tampil di hadapan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan engkau melihat para pendosa pada hari itu diikat dengan belenggu. Pakaian mereka dari cairan aspal, dan wajah mereka ditutupi api. (Semua itu terjadi) agar Allah memberi balasan kepada tiap-tiap jiwa sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya. Sungguh Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.” (Ibrahim: 48–51)

Hari itu, kehidupan dunia berakhir. Tidak ada lagi yang tersisa kecuali amal yang dilakukan karena Allah.

Allah berfirman:

“Dan terang-benderanglah bumi dengan cahaya Rabbnya, lalu diberikanlah kitab (catatan amal), didatangkanlah para nabi dan para saksi, dan diputuskanlah perkara di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dizalimi.” (Az-Zumar: 69)

Hari itu sangkakala ditiup. Semua makhluk di langit dan bumi binasa, kecuali yang Allah kehendaki. Lalu Allah berfirman:

“Milik siapakah kerajaan pada hari ini?” (Ghafir: 16)

Tidak ada yang menjawab, lalu Allah sendiri menjawab:

“Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Ghafir: 16)

Sangkakala itu dipegang oleh malaikat Israfil. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bagaimana aku bisa tenang, sementara pemilik sangkakala (Israfil) sudah meletakkan sangkakala di mulutnya, menundukkan kepalanya, dan menajamkan pendengarannya, menunggu kapan diperintahkan untuk meniup, lalu ia akan meniupnya…” (HR. Tirmidzi, shahih)

Setelah tiupan pertama, semua makhluk mati. Lalu Allah memerintahkan Israfil meniup tiupan kedua, maka manusia pun bangkit kembali dari kubur. Allah berfirman:

“Kemudian ditiup sangkakala sekali lagi, maka tiba-tiba mereka bangkit menunggu (keputusan Allah).” (Az-Zumar: 68)

“Dan ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kubur menuju Rabb mereka. Mereka berkata: ‘Celakalah kami, siapa yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami ini?’ Inilah yang dijanjikan Tuhan Yang Maha Pemurah, dan benarlah para rasul. Tidak lain itu hanyalah satu teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami.” (Yasin: 51–53)

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Aku adalah penghulu anak Adam pada hari kiamat. Aku adalah orang pertama yang tanah kuburnya dibuka, orang pertama yang memberi syafa‘at, dan orang pertama yang dikabulkan syafa‘atnya.” (HR. Muslim)

Hari itu semua makhluk dikumpulkan, maka disebutlah ia sebagai Yaumul Jam‘ (hari perhimpunan). Allah berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian benar-benar akan dikumpulkan pada waktu tertentu pada hari yang dikenal.” (Al-Waqi‘ah: 49–50)

Semua manusia hadir, tanpa jabatan, tanpa kedudukan, tanpa nama besar. Mereka datang kepada Allah sebagai hamba. Allah berfirman:

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi melainkan akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba. Sungguh Allah telah menghitung dan mencatat mereka dengan teliti. Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada-Nya pada hari kiamat seorang diri.” (Maryam: 93–95)

Manusia dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang, dan belum disunat. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah laki-laki dan perempuan saling melihat satu sama lain?” Beliau menjawab:

“Wahai ‘Aisyah, urusan pada hari itu jauh lebih dahsyat daripada sekadar saling melihat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hari itu lamanya 50.000 tahun. Matahari begitu dekat. Tidak ada naungan, tidak ada air, tidak ada makanan, tidak ada tempat beristirahat. Allah berfirman:

“Pada hari ketika kamu melihatnya, setiap wanita yang menyusui akan lalai dari anak yang disusuinya, setiap wanita hamil akan gugur kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk padahal mereka tidak mabuk; tetapi azab Allah itu sangat keras.” (Al-Hajj: 2)

Langit digulung, gunung dihancurkan, lautan meluap, bintang-bintang beterbangan, matahari digulung, bulan hilang cahayanya, dan semua makhluk ketakutan.

Allah berfirman:

“Apabila langit terbelah, bintang-bintang berjatuhan, lautan diluapkan, dan kubur dibongkar.” (Al-Infithar: 1–4)

“Apabila matahari digulung, bintang-bintang berjatuhan, gunung-gunung dihancurkan, unta-unta ditelantarkan, binatang liar dikumpulkan, lautan meluap, jiwa-jiwa dipertemukan, bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apa ia dibunuh, kitab-kitab amal dibuka, langit disingkapkan, neraka dinyalakan, surga didekatkan—maka setiap jiwa mengetahui apa yang telah dikerjakannya.” (At-Takwir: 1–14)

Wahai manusia, marilah kita bersiap menghadapi hari itu! Siapkan amal sekarang, karena yang menyelamatkan kita di hari itu hanyalah amal shalih, dengan rahmat Allah.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang yang aman dari kengerian terbesar, dan selamat dengan rahmat-Mu, wahai Dzat yang Maha Penyayang.

Aku cukupkan khutbah ini, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan kalian.


Khutbah Kedua

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga tercurah kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.

Amma ba‘du, wahai hamba-hamba Allah…

Setelah Allah menyelesaikan keputusan-Nya di hari itu, manusia terbagi menjadi dua golongan:

  1. Golongan celaka, yaitu orang-orang kafir. Allah berfirman:

    “Dan orang-orang kafir digiring ke neraka Jahanam secara berkelompok. Hingga apabila mereka sampai kepadanya, dibukakanlah pintu-pintunya, dan penjaga-penjaganya berkata: ‘Apakah belum pernah datang kepada kalian rasul-rasul dari kalangan kalian yang membacakan ayat-ayat Rabb kalian dan memperingatkan kalian akan pertemuan pada hari ini?’ Mereka menjawab: ‘Benar, tetapi sudah pasti berlaku ketetapan azab atas orang-orang kafir.’ Dikatakan (kepada mereka): ‘Masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya.’ Maka nerakalah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (Az-Zumar: 71–72)

  2. Golongan beruntung, yaitu orang-orang yang bertakwa. Allah berfirman:

    “Dan orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka digiring ke surga secara berkelompok. Sehingga apabila mereka sampai ke surga, dibukakanlah pintu-pintunya, dan para penjaganya berkata: ‘Salam sejahtera bagi kalian, kalian telah suci, maka masukilah surga ini, kekal di dalamnya.’ Mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan mewariskan bumi ini kepada kami. Kami dapat menempati surga ini di mana saja kami kehendaki. Maka surga inilah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.’” (Az-Zumar: 73–74)

Maka betapa bahagianya ahli surga! Betapa agung kemenangan mereka!

Wahai kaum Muslimin, semua ini adalah peringatan dan pelajaran bagi kita. Karena masih banyak peristiwa besar pada hari itu yang belum kita sebutkan.

Maka marilah kita bersiap menghadapi hari itu dengan bekal terbaik, yaitu takwa. Allah berfirman:

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

Mari kita isi hidup dengan taat kepada Allah: shalat berjamaah di masjid, amal shalih, akidah yang lurus sesuai Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Mari sucikan hati kita dari syirik, keraguan, kedengkian, kebencian, pengkhianatan, dan syahwat yang haram.

Allah berfirman:

“Pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu‘ara: 88–89)

Mari kita kembalikan hak-hak orang lain, menjauhi kezhaliman, ghibah, dan permusuhan. Karena itulah bekal akhirat dan jalan keselamatan di hadapan Allah pada hari yang agung itu.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang beruntung, bahagiakan kami di dunia dan akhirat, dan naungilah kami di bawah naungan ‘Arsy-Mu pada hari tiada naungan selain naungan-Mu.

Dan bershalawatlah kalian atas Nabi yang mulia, pembawa kabar gembira sekaligus pemberi peringatan.


📖 Sumber teks Arab asli: Khutbah Hari Kiamat – alukah.net



KEADAAN HARI KIAMAT


 "Aḥwāl Yawm al-Qiyāmah" 


(Kengerian Hari Kiamat)

karya Syaikh Sāmī bin Khālid al-Ḥamūd:


Khutbah Pertama

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Pemilik Hari Pembalasan. Dialah yang menjadikan kehidupan dunia sebagai tempat ujian dan cobaan, tempat untuk beramal dan mengambil pelajaran. Dia pula yang menjadikan akhirat sebagai dua negeri: negeri bagi orang-orang yang bertakwa, dekat dengan-Nya, penuh kemuliaan; dan negeri bagi orang-orang kafir dan durhaka, penuh kemurkaan dan siksa-Nya.

Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Dia Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Nabi pilihan, semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau, keluarga beliau, dan para sahabat beliau yang mulia, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Amma ba‘du.

Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, dan takutlah pada suatu hari ketika seorang ayah tidak dapat menolong anaknya sedikit pun, dan seorang anak tidak dapat menolong ayahnya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdaya kalian, dan janganlah kalian tertipu oleh setan yang menipu.

Wahai hamba-hamba Allah, aku bertanya kepada kalian dan kepada diriku yang penuh dosa ini: Mengapa keadaan kita rusak? Mengapa dosa-dosa kita banyak? Mengapa hati kita keras? Mengapa jiwa kita lemah?

Itu semua, wahai saudara-saudara tercinta, karena lemahnya iman kita terhadap hari kebangkitan, lemahnya keyakinan kita akan perjumpaan dengan Rabb kita, karena harapan kita lebih besar daripada rasa takut kita, hingga kita lebih mendahulukan dunia daripada akhirat, dan kita melupakan malapetaka besar: hari ketika kubur-kubur dibongkar, isi dada ditampakkan, dan orang yang lalai menyadari bahwa ia hidup dalam tipu daya.

Wahai hamba-hamba Allah, iman kepada hari akhir adalah salah satu rukun iman, pengokoh hati dalam pengenalan kepada Allah. Sering sekali Allah mengaitkan iman kepada-Nya dengan iman kepada hari akhir, seperti dalam firman-Nya:

  • "Itulah yang dinasihatkan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir."
  • "Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir."
  • "Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir."

Hal itu karena orang yang tidak beriman kepada kebangkitan, hisab, balasan, pahala, dan siksa, tidak mungkin ia benar-benar beriman kepada Allah, Rabb semesta alam.

Wahai hamba-hamba Allah, janganlah kalian tertipu oleh kehidupan dunia. Sesungguhnya:

"Setiap yang ada di atasnya akan binasa."

Semua yang hidup akan mati, semua yang baru akan usang. Hanya sekejap, ruh akan keluar menuju Penciptanya, dan hamba akan termasuk jajaran orang mati. Umur sudah lewat, wahai tawanan hawa nafsu, waktumu telah habis dalam kelalaian dan permainan, sementara engkau tetap dalam kesesatan, hingga dikatakan: telah mati.

Ya, demi Allah, syahwat sudah hilang, kesenangan sudah sirna, namun tanggungan dosa tetap tersisa. Lembaran amal telah ditutup, apakah berisi kebaikan atau keburukan.

Kematian bukanlah akhir perjalanan hidup, tetapi awal perjalanan panjang menuju akhirat. Barang siapa mati, maka kiamat kecilnya telah tegak.

Bila hamba telah mati, ia turun ke alam kubur, taman surga atau lubang neraka. Ia masuk ke sana seorang diri, tanpa teman, kecuali amalnya. Bumi terus menampung jenazah-jenazah hingga Allah berkehendak menegakkan kiamat.

Lalu Allah memerintahkan Isrāfīl meniup sangkakala. Tiupan pertama adalah tiupan kehancuran: semua makhluk mati, dunia seluruhnya sirna. Segala yang engkau lihat akan binasa: kekuatan manusia, teknologi mereka, lembaga antariksa mereka, kapal luar angkasa dan satelit mereka – semuanya hancur.

Ketika semua makhluk mati, dan tiada yang tersisa kecuali Allah, maka Allah berfirman:

"Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Milik siapakah kerajaan pada hari ini?"

Tak seorang pun menjawab, lalu Allah sendiri menjawab:

"Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa."

Dimanakah raja-raja dunia? Dimanakah pasukan-pasukan besar? Dimanakah negara-negara adidaya yang angkuh? Tiada tersisa kecuali Allah.

"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan."

Kemudian Allah menurunkan hujan antara dua tiupan, lalu manusia tumbuh dari tulang ekor mereka sebagaimana tumbuhnya tumbuhan. Semua jasad hancur kecuali tulang ekor. Pengecualian adalah para nabi, sebab bumi tidak memakan jasad mereka.

Setelah tubuh manusia tumbuh kembali, Isrāfīl meniup sangkakala kedua, tiupan kebangkitan. Ruh-ruh pun kembali ke jasad, lalu manusia bangkit, menyingkirkan debu dari kepala mereka. Yang pertama kali dibangkitkan adalah Nabi kita ﷺ, beliau pula yang pertama kali bumi terbelah darinya.

Seluruh manusia keluar dari kubur mereka tanpa alas kaki, telanjang, dan tidak berkhitan. Mereka dikumpulkan di bumi yang berbeda dengan bumi ini:

"Pada hari bumi diganti dengan bumi lain dan demikian pula langit, dan mereka semua muncul di hadapan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa."

Dalam hadits sahih disebutkan: Nabi ﷺ bersabda:

"Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat di bumi yang putih bersih, rata, seperti roti tipis dari tepung putih, tidak ada tanda bangunan di atasnya."

Manusia berkumpul di padang mahsyar. Kengerian menyelimuti mereka, ketakutan mencekam mereka, hingga anak kecil beruban, pandangan mata terbelalak, dan hati naik ke tenggorokan.

Matahari digulung, cahayanya padam. Bintang-bintang jatuh berserakan. Gunung-gunung dihancurkan hingga seperti kapas beterbangan. Harta benda ditinggalkan, perdagangan, properti, saham – semuanya dilupakan. Langit dilenyapkan, laut menjadi api, neraka dinyalakan, surga didekatkan.

Allah berfirman:

"Wahai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian. Sesungguhnya guncangan kiamat itu sesuatu yang sangat besar. Pada hari itu setiap wanita menyusui lalai terhadap anak yang disusuinya, setiap wanita hamil menggugurkan kandungannya, dan engkau melihat manusia mabuk padahal mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras."

Itulah hari kiamat – hari ledakan dahsyat, hari bencana besar, hari guncangan, hari kebinasaan, hari yang panjangnya lima puluh ribu tahun. Semua makhluk dari zaman Nabi Adam hingga kiamat dikumpulkan untuk diadili.

Matahari didekatkan sejauh satu mil. Manusia berkeringat sesuai amalnya: ada yang keringatnya sampai mata kaki, sampai lutut, sampai pinggang, sampai pundak, bahkan ada yang tenggelam oleh keringatnya. Hanya sekelompok orang yang berada dalam naungan Allah, ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya.

Allah memuliakan para nabi dengan memberikan telaga. Setiap nabi memiliki telaga, dan telaga Nabi Muhammad ﷺ adalah yang terbesar dan terbaik. Airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dari madu, lebih wangi dari kasturi, bejananya sebanyak bintang di langit. Siapa yang minum darinya tidak akan haus selamanya.

Orang-orang beriman mendatangi telaga itu, sedangkan orang-orang yang enggan mengikuti sunnah beliau akan terusir darinya.

Saat kegelisahan semakin memuncak, manusia mendatangi para nabi ulul azmi untuk meminta syafaat: Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa. Mereka semua mengatakan: "Nafsi, nafsi (diriku, diriku)." Hingga mereka mendatangi Nabi Muhammad ﷺ, maka beliau bersabda:

"Ana lahā, ana lahā (Akulah yang sanggup, akulah yang sanggup)."

Beliau sujud di bawah Arsy, memuji Allah dengan pujian yang belum pernah terdengar sebelumnya. Lalu Allah mengizinkan beliau memberi syafaat.

Setelah itu, malaikat turun dari langit pertama, lalu kedua, hingga ketujuh, mengelilingi manusia. Kemudian Allah datang untuk mengadili makhluk sesuai keagungan-Nya. ‘Arsy dipikul oleh delapan malaikat.

Ditegakkanlah timbangan amal. Barang siapa berat timbangan kebaikannya, dialah yang beruntung. Barang siapa ringan timbangannya, dialah yang merugi dan kekal di neraka.

Lalu dibagikan kitab catatan amal. Setiap orang diberi kitabnya:

"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung terhadapmu."

Orang beriman menerima dengan tangan kanan, bergembira seraya berkata:

"Ambillah, bacalah kitabku, aku yakin akan menghadapi hisabku."

Adapun orang kafir menerima dengan tangan kiri dari belakang punggungnya, penuh kehinaan, lalu berkata:

"Celakalah aku, seandainya aku tidak diberi kitab ini. Alangkah baiknya jika kematian itulah akhir segalanya. Hartaku tidak berguna bagiku, kekuasaanku hilang dariku."

Allah menghisab manusia, kecuali mereka yang diberi kemuliaan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab.

Allah berduaan dengan hamba-Nya yang beriman, menutupinya, tidak ada yang mendengar dan melihat. Allah berkata: "Engkau melakukan ini dan itu." Hamba itu mengakui dosanya, lalu Allah berfirman: "Aku telah menutupinya bagimu di dunia, dan Aku mengampunimu pada hari ini."

Adapun orang kafir, diserukan di hadapan khalayak:

"Mereka inilah orang-orang yang berdusta atas Rabb mereka. Laknat Allah menimpa orang-orang zalim."

Lalu mulut mereka ditutup, anggota tubuh mereka bersaksi: telinga, mata, tangan, kaki, kulit. Mereka berkata kepada kulit mereka: "Mengapa kalian bersaksi atas kami?" Kulit menjawab: "Allah yang menjadikan segala sesuatu dapat berbicara telah menjadikan kami berbicara. Dialah yang menciptakan kalian pertama kali, dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan."

Akhirnya, ditegakkan jembatan shirath di atas neraka Jahannam. Ia licin, tipis seperti rambut, tajam seperti pedang, ada kait-kait yang mencengkeram manusia. Orang beriman diberi cahaya, mereka menyeberang sesuai amal mereka: ada yang secepat kilat, ada yang seperti angin, ada yang seperti kuda, ada yang berlari, berjalan, merangkak, dan ada pula yang tersambar lalu terjerumus ke neraka.

Allah berfirman:

"Dan tidak ada seorang pun dari kalian melainkan pasti akan melewatinya; hal itu bagi Rabbmu adalah keputusan yang pasti. Kemudian Kami selamatkan orang-orang yang bertakwa, dan Kami biarkan orang-orang zalim di dalamnya berlutut."

Semoga Allah memberi manfaat kepadaku dan kepada kalian dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya ﷺ.


Khutbah Kedua

Segala puji bagi Allah Yang menghidupkan dan mematikan, Yang memulai dan mengembalikan, Yang berbuat sesuai kehendak-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, pemilik telaga, pemegang panji, serta keluarga dan sahabat beliau.

Amma ba‘du.

Wahai hamba-hamba Allah, barang siapa ingin hatinya baik dan urusannya lurus, hendaklah ia selalu mengingat perjumpaan dengan Rabbnya, saat berdiri di hadapan-Nya.

Wahai saudaraku tercinta, bayangkan dirimu di hari kiamat, berdiri di hadapan seluruh makhluk, lalu namamu dipanggil: "Fulan bin Fulan, majulah untuk diperlihatkan amalmu di hadapan Allah." Maka engkau berdiri gemetar, tubuhmu bergetar, anggota tubuhmu bergetar karena takut.

Bayangkan saat engkau berdiri di hadapan Allah Yang Maha Perkasa, dengan hati penuh ketakutan, mata tertunduk, tubuh hina, memegang kitab catatan amal berisi semua perbuatanmu, besar dan kecil. Lalu engkau membaca dengan lidah yang kaku, hati yang hancur, penuh rasa malu kepada Allah yang selalu berbuat baik kepadamu.

Dengan lisan apa engkau akan menjawab ketika Allah menanyaimu tentang dosa-dosamu? Dengan kaki apa engkau berdiri di hadapan-Nya? Dengan mata apa engkau memandang-Nya? Bagaimana jika Allah berkata:

"Wahai hamba-Ku, mengapa engkau tidak menghormati-Ku? Mengapa engkau tidak malu kepada-Ku? Apakah engkau meremehkan penglihatan-Ku kepadamu? Bukankah Aku telah berbuat baik kepadamu, memberi nikmat kepadamu? Lalu apa yang memperdayamu dari-Ku?"

"Apakah yang memperdayakanmu terhadap Rabbmu Yang Maha Mulia?"

Wahai saudaraku, ingatlah orang-orang beriman ketika keluar dari kubur dengan wajah bersinar karena amal saleh mereka. Mereka tidak ditimpa kegelisahan besar, malaikat menyambut mereka:

"Inilah hari yang dahulu dijanjikan kepada kalian."

Allah berfirman kepada malaikat:

"Bawalah hamba-hamba-Ku ke surga yang penuh kenikmatan, ke ridha-Ku yang agung."

Mereka pun hidup dalam kebahagiaan abadi, surga terbuka, bidadari dan pelayan mendampingi mereka, tiada lagi kesedihan, kesusahan, dan penderitaan.

Sebaliknya, bayangkan orang kafir yang berpaling dari agama Allah. Allah berfirman:

"Tangkaplah dia, belenggulah dia, lalu masukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala."

Mereka diseret ke neraka yang menggelegak, penuh kemarahan dan teriakan. Mereka berharap kembali ke dunia untuk bertobat, namun itu mustahil. Mereka dilemparkan terjungkal ke neraka, tersiksa dalam penyesalan.

Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Betapa besar perbedaan antara orang-orang beriman dan orang-orang durhaka. Benarlah firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang berbakti benar-benar berada dalam kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang durhaka benar-benar berada dalam azab."

Maka bertakwalah kalian kepada Allah, wahai hamba-hamba Allah. Bertakwalah pada hari ketika kalian dikembalikan kepada Allah, lalu setiap jiwa diberi balasan atas apa yang diperbuat, dan mereka tidak dizalimi.

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد ...


Minggu, 01 Juni 2025

KEUTAMAAN HARI-HARI SEPULUH DZULHIJJAH

Keutamaan Hari-Hari Sepuluh Dzulhijjah


Disusun dan diteliti oleh:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin


Disertai dengan beberapa hukum seputar kurban

Diterbitkan dari pelajaran Syaikh yang mulia:
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Semoga Allah merahmati beliau, kedua orang tuanya, dan seluruh kaum muslimin.


Penerbit: Madar Al-Watan untuk Penerbitan
(www.madar-alwatan.com)


Keutamaan Sepuluh Hari Dzulhijjah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam kepada penghulu para rasul. Amma ba'du:

Sesungguhnya termasuk dari karunia dan nikmat Allah adalah Dia menjadikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih beberapa musim (waktu-waktu utama) di mana mereka bisa memperbanyak amal shalih. Dan di antara musim-musim itu adalah:

Sepuluh Hari Dzulhijjah

  1. Telah datang dalam keutamaannya dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, di antaranya:
  • Firman Allah Ta'ala: "وَٱلۡفَجۡرِ * وَلَيَالٍ عَشۡرٍ"
    (Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh)
    Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Yang dimaksud dengan sepuluh malam itu adalah sepuluh hari Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan lainnya. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.
  1. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
    “Tidak ada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini.”
    Para sahabat bertanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?”
    Beliau ﷺ menjawab:
    “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatu pun dari itu.”

  2. Firman Allah Ta’ala: "وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٖ"
    (… dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…)
    Ibnu ‘Abbas berkata: “Hari-hari yang telah ditentukan itu adalah hari-hari sepuluh (Dzulhijjah).” (Tafsir Ibnu Katsir)

  3. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
    “Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan tidak ada amal yang lebih dicintai untuk dilakukan di dalamnya selain sepuluh hari ini. Maka perbanyaklah di dalamnya tahlil, takbir, dan tahmid.”
    Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

  4. Sa’id bin Jubair rahimahullah – dan beliau adalah yang meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abbas sebelumnya – jika masuk sepuluh hari (Dzulhijjah), beliau bersungguh-sungguh dalam amal ibadah sampai tak mampu lagi. HR Ad-Da'rimi. 


Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari berkata bahwa alasan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena di dalamnya berkumpul berbagai macam ibadah utama, yaitu: shalat, puasa, sedekah, dan haji — dan hal ini tidak terjadi di waktu lain.

Amalan yang Dianjurkan pada Hari-hari Ini:

1. Shalat:
Dianjurkan untuk menjaga shalat fardhu dan memperbanyak shalat sunnah (nawafil), karena ia termasuk amalan paling utama.
Dari sahabat Tsauban رضي الله عنه, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Perbanyaklah sujud kepada Allah, karena tidaklah engkau sujud kepada Allah satu sujud, melainkan Allah akan mengangkatmu satu derajat dan menghapus satu dosa karena itu."
(HR. Muslim) — dan ini berlaku sepanjang waktu.

2. Puasa:
Puasa dianjurkan di hari-hari ini sebagai bentuk amal shalih. Dari Hafshah رضي الله عنها, istri Nabi ﷺ, ia berkata:
"Rasulullah ﷺ biasa berpuasa sembilan hari dari Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa’i).

Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Puasa di sepuluh hari ini sangat dianjurkan secara kuat.”

3. Takbir, Tahlil, dan Tahmid:
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar رضي الله عنهما:
"Perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut."

Imam Al-Bukhari رحمه الله berkata:
"Ibnu Umar dan Abu Hurairah رضي الله عنهما biasa keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh itu lalu mengumandangkan takbir, dan orang-orang pun ikut bertakbir mengikuti mereka."

Dikatakan juga:
"Umar رضي الله عنه biasa bertakbir di kemahnya di Mina hingga orang-orang yang mendengar dari masjid pun ikut bertakbir. Maka penduduk Mina ikut bertakbir karena takbirnya Umar, Pasar-pasar dipenuhi dengan takbir hingga sampai ke Mina.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bertakbir di hari-hari itu (10 hari Dzulhijjah), baik di dalam tenda, di atas kasurnya, di tendanya, maupun di jalannya. Maka orang-orang pun mengikuti takbir Umar. Begitu pula putranya dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bertakbir dengan suara keras.

Sudah seharusnya bagi kita sebagai kaum muslimin untuk menghidupkan sunnah ini yang telah banyak dilalaikan pada zaman ini, hingga nyaris terlupakan kecuali oleh segelintir orang-orang saleh.

Lafal Takbir:

A. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabīran.

B. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allahu Akbar, Allahu Akbar, lā ilāha illallāh, waAllāhu Akbar, Allāhu Akbar wa lillāhil-ḥamd.

C. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, lā ilāha illallāh, waAllāhu Akbar, Allāhu Akbar wa lillāhil-ḥamd.

4. Puasa Hari Arafah:

Disunnahkan untuk berpuasa pada hari Arafah jika tidak sedang berhaji. Dari Nabi ﷺ, beliau bersabda tentang puasa hari Arafah:

"Aku mengharapkan dari Allah bahwa puasa hari Arafah akan menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya."
(HR. Muslim)

Namun bagi yang sedang berhaji dan sedang berada di Arafah, maka tidak disyariatkan berpuasa, karena Nabi ﷺ tidak berpuasa ketika di Arafah.

5. Keutamaan Hari Nahr (Hari Raya Qurban):

Banyak orang lalai dari keutamaan hari agung ini bagi kaum muslimin, padahal hari ini memiliki kemuliaan yang besar serta keutamaan yang agung di sisi Allah dan bagi kaum mukminin.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hari ini (10 Dzulhijjah) adalah hari yang paling utama sepanjang tahun, bahkan lebih utama daripada hari Arafah.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
"Hari yang paling utama di sisi Allah adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah), dan itulah yang disebut 'Hari Haji Akbar' sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Dawud."

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya hari-hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari penyembelihan (hari Nahr), kemudian hari qarr (hari setelahnya untuk menetap di Mina)."
(HR. Abu Dawud)

Hari qarr adalah hari menetap di Mina, yaitu hari ke-11 Dzulhijjah. Dan sebelumnya adalah hari Arafah yang lebih utama dari hari lainnya. Karena puasa pada hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun — setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Dan tidak ada hari yang Allah membebaskan lebih banyak hamba dari neraka dibanding hari Arafah, karena Allah turun (dengan cara yang layak bagi-Nya) ke langit dunia dan membanggakan hamba-hamba-Nya kepada para malaikat, seraya berfirman: "Apa yang mereka inginkan?"

Dan ada perselisihan pendapat apakah hari Arafah lebih utama ataukah hari Nahr (Idul Adha). Pendapat yang benar adalah bahwa hari Nahr adalah hari yang paling utama. Karena hadits tersebut menunjukkan bahwa itu adalah hari yang paling utama secara mutlak.

Dengan apa kita menyambut musim-musim kebaikan?

  1. Seorang Muslim hendaknya menyambut musim-musim kebaikan secara umum dengan:

    • Taubat yang jujur,
    • Niat yang ikhlas,
    • Meninggalkan dosa dan maksiat.

    Karena dosa-dosa adalah penghalang yang menghalangi seseorang dari keutamaan dan menjauhkan hatinya dari Tuhannya.

  2. Begitu pula, menyambut musim-musim kebaikan dengan:

    • Tekad kuat dan semangat yang jujur untuk memanfaatkannya dengan apa yang diridhai Allah.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(Surah Al-Ankabut: 69)

Maka wahai saudaraku Muslim, bersungguh-sungguhlah dalam memanfaatkan kesempatan emas ini sebelum ia berlalu dan engkau menyesal, dan tiada guna penyesalan saat itu.
Semoga Allah memberimu taufik dan menolongmu untuk memanfaatkan musim-musim kebaikan ini.
Kami memohon kepada-Nya agar menjadikan kita termasuk orang yang taat dan baik dalam beribadah kepada-Nya.

Beberapa Hukum dan Legalitas Kurban:

Hukum asal kurban adalah bahwa ia disyariatkan untuk orang-orang yang masih hidup. 

Sebagaimana Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya berkurban untuk diri mereka dan keluarga mereka. Adapun anggapan sebagian masyarakat umum bahwa berkurban hanya khusus untuk orang yang sudah meninggal, maka itu tidak benar. Berkurban untuk orang yang telah wafat terbagi menjadi tiga jenis:

Pertama: Berkurban atas nama orang yang sudah wafat sebagai bagian dari kurban untuk orang yang masih hidup, seperti seseorang berkurban untuk dirinya sendiri dan keluarganya, dan termasuk di dalamnya orang-orang yang telah meninggal dari keluarganya. Ini adalah dasar kurban Nabi ﷺ untuk dirinya dan keluarganya.

Kedua: Berkurban atas nama orang yang telah meninggal karena wasiat dari mereka. Maka ini termasuk pelaksanaan wasiat, dan dasarnya adalah firman Allah Ta'ala:

"Maka barang siapa mendengarnya lalu mengubahnya (wasiat itu), maka sesungguhnya dosanya hanyalah atas orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(Surah Al-Baqarah: 181)

Ketiga: Berkurban atas nama orang yang sudah wafat secara terpisah dari orang hidup, sebagai bentuk sedekah atas nama mereka. Ini diperbolehkan. Para ulama mazhab Hanbali secara eksplisit menyatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada mayit dan mereka menganalogikannya dengan sedekah atas nama mayit. Namun kami tidak melihat adanya dalil bahwa Nabi ﷺ mengkhususkan kurban untuk satu pun dari orang yang telah wafat di antara kerabatnya, padahal beliau memiliki banyak kerabat yang meninggal saat beliau masih hidup. Mereka adalah tiga anak perempuan yang telah menikah, tiga anak laki-laki yang masih kecil, dan juga istrinya Khadijah – yang merupakan wanita yang paling beliau cintai – serta tidak diriwayatkan bahwa para sahabat beliau mengkhususkan kurban untuk seseorang dari keluarga mereka yang telah meninggal.

Kami juga melihat sebagai suatu kesalahan apa yang dilakukan sebagian orang, yaitu berkurban atas nama orang yang telah meninggal pada tahun pertama kematiannya dan mereka menyebutnya “kurban tahunan” (أضحية الحفرة), dan mereka meyakini bahwa tidak boleh ada yang menyertai orang yang telah meninggal tersebut dalam pahalanya atau berkurban untuk mereka secara terpisah dari orang hidup.

Atau mereka menyembelih utk yang mati dalam rangka sedekah atau sesuai wasiat nya namun mereka tidak berkurban dari diri mereka dan keluarganya. Seandainya mereka mengetahui bahwa seorang lelaki yang berkurban dari hartanya atas nama dirinya dan keluarganya, maka amal mereka juga akan mencakup keluarganya dan orang-orang yang telah meninggal, niscaya mereka akan melakukan hal tersebut.

Larangan Bagi Orang yang Ingin Berkurban

Apabila seseorang ingin berkurban dan telah masuk bulan Dzulhijjah — baik terlihat hilal atau diyakini masuknya bulan dengan sempurna 30 hari — maka diharamkan baginya mengambil sedikit pun dari rambut, kuku, atau kulitnya sampai ia menyembelih hewan kurbannya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)

Dalam riwayat lain berbunyi:
“Janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut dan kulitnya hingga ia menyembelih kurban.”

Jika seseorang berniat untuk berkurban selama sepuluh hari itu, maka ia wajib menahan diri dari memotong rambut dan kukunya sejak ia berniat, dan tidak berdosa atas apa yang telah diambil sebelum berniat.

Hikmah dari larangan ini:

Karena orang yang berkurban ikut serta dalam beberapa ibadah haji, dan ia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan menyembelih hewan kurban, maka ia diajak untuk menyerupai sebagian dari orang-orang yang berihram yang juga menahan diri dari memotong rambut dan kuku.

Namun demikian, tidak diharamkan bagi anggota keluarganya untuk mengambil dari rambut dan kuku mereka di hari-hari sepuluh (awal Dzulhijjah), dan tidak dianjurkan bagi mereka untuk menahan diri. Larangan ini khusus bagi orang yang akan berkurban saja.

Larangan ini tidak berlaku bagi orang yang berkurban atas nama orang lain, karena Nabi ﷺ bersabda:
“Dan ingin berkurban…”
dan tidak mengatakan: “dan berkurban.”

Karena Nabi ﷺ sendiri berkurban atas nama keluarganya, dan tidak disebutkan bahwa beliau melarang mereka untuk menahan diri dari memotong rambut atau kuku. Jika seseorang yang ingin berkurban memotong sesuatu dari rambut atau kukunya, maka ia telah meninggalkan yang seharusnya, dan tidak membatalkan kurbannya.

Barang siapa melihat rambutnya atau kukunya rontok (karena lupa atau tidak sengaja sebelum menyembelih kurban), maka hendaknya ia segera bertaubat kepada Allah Ta'ala. Tidak ada kafarah (denda) baginya, dan hal tersebut tidak mencegahnya untuk berkurban, sebagaimana pandangan sebagian ulama. Jika seseorang mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya karena lupa, tidak tahu, atau tidak sengaja, maka tidak berdosa baginya. Namun jika ia melakukannya dengan sengaja, maka ia berdosa. Jika ia butuh mencabut sesuatu yang mengganggunya, maka tidak mengapa — seperti jika bulu matanya mengganggu penglihatannya, atau rambutnya menyebabkan luka dan sejenisnya.

Hukum dan Adab Hari Raya Idul Adha

Saudaraku tercinta,
Kami menyapamu dengan salam Islam dan berkata kepadamu:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kami mengucapkan selamat hari raya Idul Adha yang penuh berkah, dan berkata kepadamu: Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan darimu. Kami berharap kamu menerima pesan ini yang kami kirimkan kepadamu, dan kami mohon kepada Allah 'Azza wa Jalla agar ia menjadi manfaat bagimu dan bagi seluruh kaum muslimin di setiap tempat.

Saudaraku Muslim,
Kebaikan seluruhnya ada dalam mengikuti petunjuk Nabi ﷺ dalam semua urusan kehidupan kita. Dan keburukan seluruhnya ada dalam menyelisihi petunjuk Nabi ﷺ. Oleh karena itu, terkadang kami mengingatkanmu akan sebagian adab dan hukum yang disyariatkan untuk dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik — yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Poin-poin penting tersebut antara lain:

1. Takbir:

Disyariatkan untuk memperbanyak takbir mulai dari fajar hari Arafah hingga sore hari terakhir dari hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.

Allah Ta'ala berfirman:
“Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.”
(QS. Al-Baqarah: 203)

Sifat bacaan takbir tersebut adalah:
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallaah, wallaahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillaahil hamd."
(Lafaz ini disunnahkan dibaca dengan suara keras oleh para laki-laki di masjid, pasar, rumah, dan jalan, seusai shalat lima waktu, mengumandangkan pengagungan kepada Allah Ta’ala dan dalam rangka ibadah serta bersyukur kepada-Nya.)

2. Menyembelih hewan qurban:

Dilakukan setelah salat Id. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa menyembelih sebelum salat, maka itu hanya sembelihan biasa untuk keluarganya, dan bukan kurban. Dan barangsiapa belum menyembelih, maka hendaknya ia menyembelih."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Waktu penyembelihan berlangsung selama empat hari: hari raya dan tiga hari tasyriq.
Nabi ﷺ bersabda: "Semua hari-hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih."
Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 2476.

3. Mandi dan berhias untuk pria, dan memakai pakaian terbaik:

Tanpa berlebihan, boros, atau mencukur jenggot karena hal ini haram. Adapun wanita, disunnahkan keluar ke tempat salat Id tanpa berhias dan memakai wangi-wangian.
Tidak pantas pergi untuk menaati Allah dan melaksanakan salat dalam keadaan bermaksiat kepada-Nya dengan berhias dan memakai parfum di hadapan laki-laki.

4. Tidak makan sebelum salat Idul Adha:

Nabi ﷺ tidak makan apapun hingga pulang dari salat Id, lalu beliau memakan daging kurban.
(Zaadul Ma'ad 1/441)

5. Pergi ke tempat salat Ied dengan berjalan kaki jika mudah:

Dan disunnahkan menunaikan salat di tanah lapang (musalla), bukan di masjid, kecuali jika ada udzur.

6. Salat bersama kaum muslimin dan disunnahkan menghadiri khutbah:

Mayoritas ulama berpendapat, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa salat Id hukumnya wajib.
Karena firman Allah Ta'ala:
"Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan sembelihlah (hewan kurban)."
(QS. Al-Kawtsar: 2)

Kewajiban ini tidak gugur kecuali dengan udzur.
Wanita juga dianjurkan untuk menyaksikan salat Id bersama kaum muslimin, termasuk wanita haid dan yang belum baligh. Namun mereka menjauh dari tempat salat (mushalla).

7. Menyelisihi jalan (ketika pergi dan pulang ke tempat salat Ied):

Disunnahkan bagimu untuk pergi ke tempat salat Id melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain, karena mengikuti sunnah Nabi ﷺ.

8. Ucapan selamat Ied:
Disyariatkan mengucapkan selamat Id. Hal ini diriwayatkan dari para sahabat Rasulullah ﷺ.

9. Waspadalah wahai saudaraku muslim dari jatuh ke dalam sebagian kesalahan yang banyak terjadi di kalangan manusia, di antaranya:

⛔. Takbir berjamaah:
Dengan satu suara atau mengikuti seseorang yang mengucapkan takbir.

⛔. Mengisi hari-hari Ied dengan hal-hal yang haram:
Seperti mendengarkan lagu, menonton film, percampuran laki-laki dengan wanita yang bukan mahram, dan hal-hal mungkar lainnya.

⛔ Memotong rambut atau kuku sebelum menyembelih hewan kurban, bagi orang yang ingin berkurban. Nabi ﷺ melarang hal tersebut.

⛔ Berlebihan dan mubazir dalam hal yang tidak ada manfaatnya, bahkan mungkin membawa keburukan. Hal ini tidak ada maslahatnya, dan tidak ada faedah darinya. Allah Ta‘ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al-An‘am: 141)

✺ Terakhir:
Jangan lupa wahai saudaraku muslim untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan amal kebaikan dan kebajikan seperti menyambung silaturahmi, menjenguk orang sakit, berbuat baik kepada orang tua, menyenangkan hati orang lain, menyayangi fakir miskin, anak yatim, membantu mereka, dan memasukkan kebahagiaan ke dalam hati mereka.

Kami memohon kepada Allah agar Dia memberi taufik kepada kita untuk melakukan hal yang dicintai dan diridhai-Nya, agar kita istiqamah dalam agama kita, dan agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang beramal pada hari-hari ini – hari-hari 10 Dzulhijjah – dengan amal yang saleh dan ikhlas karena wajah-Nya yang mulia.

Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.

*****

Minggu, 25 Mei 2025

TAUHID RUBUBIYAH


Penjelasan “Uṣūl al-Maqāṣid al-Dīniyyah” karya al-‘Allāmah al-Sa‘dī rahimahullāh


Oleh: PROF.DR. Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Utsman Sindy Hafizhahullah. 


Asal yang Pertama: 

Tauhid

Definisi Tauhid secara menyeluruh dengan berbagai jenisnya:

Tauhid adalah keyakinan terhadap keesaan Tuhan dan pengesaan-Nya dalam sifat-sifat kesempurnaan, serta pembacaan jenis-jenis ibadah yang terkandung dalam hal ini:
Tauhid Rububiyah, yaitu keyakinan bahwa Tuhan itu satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur segala urusan.


Penjelasan Syaikh Sindy Hafizhahullah;

Beliau memulai dengan fondasi pertama, yaitu tauhid. Tauhid berasal dari kata wahhada, yaitu menjadikan sesuatu itu satu, atau meyakini sesuatu itu satu. Kata wahda datang dengan makna menjadikan sesuatu itu satu atau meyakini sesuatu itu satu.

Beliau (rahimahullah) menyebutkan definisi tauhid secara menyeluruh dengan semua jenisnya. Dan definisi itu harus bersifat komprehensif (menyeluruh) dan pencegah (mencegah masuknya hal yang bukan darinya); mencakup semua cabang yang ada padanya dan mencegah dari masuknya yang bukan darinya.

Syaikh (rahimahullah) menyebutkan bahwa tauhid itu ada dua jenis:

  1. Tauhid dalam pengetahuan dan keyakinan.
  2. Tauhid dalam kehendak dan permintaan.

Sebagian ulama menyebutnya dua pembagian tauhid, dan sebagian lain menyebut tiga pembagian tauhid. Dan sebenarnya tidak ada perbedaan antara dua pembagian dan tiga pembagian tersebut. Semuanya kembali kepada satu makna, seperti yang akan dijelaskan insya Allah Ta‘ālā.

Setiap kali memungkinkan untuk merinci permasalahan akidah, menjelaskannya, mengulanginya dengan gaya bahasa yang berbeda-beda, maka itu lebih baik. Karena hal itu lebih membantu pemahaman bagi setiap orang. Sebab, seseorang mungkin memahami dengan satu gaya, namun tidak dengan gaya lainnya. Jadi, menjelaskan dengan berbagai cara dan pendekatan akan memberikan manfaat yang lebih besar dalam bab akidah.

Beliau rahimahullah berkata:
“(Yang dimaksud dengan akidah seorang hamba dan keyakinannya) adalah keyakinan dan pengakuannya bahwa Allah semata memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan keesaan-Nya dalam berbagai jenis ibadah.”
Pernyataan ini menggabungkan dua makna tauhid.

(Keyakinan dan pengakuan bahwa Allah semata memiliki sifat-sifat kesempurnaan) ini adalah tauhid keyakinan. Dan keyakinan ini harus dibangun atas dasar bahwa seseorang yakin bahwa Allah adalah yang dijelaskan oleh syekh, lalu ia melakukan konsekuensinya. Demikian pula (ibadah kepada-Nya dalam berbagai jenis ibadah), seperti yang dijelaskan oleh syekh, juga merupakan konsekuensi dari keyakinan tersebut, yaitu dalam bentuk tauhid ibadah. Dan ini mencakup tauhid uluhiyyah dan tauhid ibadah.

Tauhid uluhiyyah mencakup keimanan dan pengamalan, sedangkan tauhid rububiyyah hanya mencakup keimanan terhadap keesaan Allah. Dan inilah yang dimaksud oleh syekh dengan kata “makna”. Karena sebagian ulama tauhid mengatakan bahwa tauhid terbagi menjadi: tauhid ilmiy (berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan), atau mereka menyebutnya tauhid ma’rifah dan itsbat (pengakuan), dan tauhid qasdi wa thalabi (berkaitan dengan tujuan dan permintaan). Maka, sebagian ulama mengatakan: tidak ada perbedaan antara ungkapan ini, karena ia kembali kepada tauhid asma’ wa sifat.

Akan datang bersama kita, insyaAllah, penjelasan dari syekh rahimahullah dari uraian ini bahwa beliau memandang bahwa tauhid rububiyyah termasuk dalam tauhid asma’ wa sifat. Dan inilah yang benar. Bahwa tauhid rububiyyah itu hanyalah sebagian dari tauhid asma’ wa sifat.

Beliau rahimahullah berkata:
“Maka yang termasuk dalam tauhid rububiyyah yang dimaksud adalah keyakinan dan pengakuan bahwa Tuhan itu satu dalam hal penciptaan, pemberian rezeki, dan pengaturan segala urusan.”


Kalimat: 

(Allah Subhanahu wa ta‘ālā dengan penciptaan, pemberian rezeki, dan berbagai jenis pengaturan urusan makhluk)

Dimana letaknya pembicaraan tentang iman kepada adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā? Kita dapati Syaikh hanya membahas tentang keyakinan bahwa Allah-lah yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur (alam semesta), lalu ia mengikuti itu dengan pembahasan yang berkaitan dengan tauhid al-asmā’ wa al-shifāt. Maka apakah pembicaraan tentang iman kepada adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā tidak termasuk dalam tauhid?

Jawabannya: Para ulama yang menjelaskan bab ini menyebutkan bahwa iman kepada keberadaan Allah subhanahu wa ta‘ālā termasuk dalam tauhid rubūbiyyah, sebab seseorang tidak akan mempercayai bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur kecuali jika ia sudah meyakini adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā. Maka tidak diragukan lagi bahwa iman kepada wujud Allah subhanahu wa ta‘ālā adalah sesuatu yang mendahului keyakinan bahwa Allah adalah Rabb yang menciptakan dan mengatur. Siapa yang beriman bahwa Allah subhanahu wa ta‘ālā adalah Rabb yang esa, maka ia pasti telah beriman terhadap keberadaan-Nya, maka tidak perlu lagi disebutkan secara khusus. Oleh karena itu, para ulama tidak menyebutkan pembahasan tentang iman terhadap wujud Allah subhanahu wa ta‘ālā secara terpisah, karena itu sudah termasuk di dalam tauhid rubūbiyyah.

Disebutkan: "Tauhid rubūbiyyah adalah keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur berbagai urusan kehidupan." Maka semua perbuatan rubūbiyyah, dan segala sesuatu selainnya, bila dikembalikan kepada penciptaan dan pemberian rezeki serta pengaturan, maka itu adalah bagian dari perbuatan rubūbiyyah Allah subhanahu wa ta‘ālā dan sifat-sifat rubūbiyyah-Nya. Maka hal-hal ini masuk ke dalam tiga prinsip besar.

Kemudian ia berkata: "(Tauhid al-asmā’ wa al-shifāt)," perhatikan bahwa yang dimaksud dengan tauhid al-asmā’ wa al-shifāt adalah: mengimani bahwa Allah Maha Esa dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Adapun mengesakan Allah dalam ibadah (tauhid ulūhiyyah), maka itu akan dibahas nanti, setelah pembahasan tentang tauhid al-asmā’ wa al-shifāt dan rubūbiyyah.

Maka hubungan antara tauhid al-asmā’ wa al-shifāt dan rubūbiyyah adalah bahwa tauhid al-asmā’ wa al-shifāt mencakup nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lebih umum dari rubūbiyyah. Dan tauhid rubūbiyyah adalah bagian dari tauhid al-asmā’ wa al-shifāt, karena tauhid rubūbiyyah mencakup sifat-sifat rubūbiyyah Allah subhanahu wa ta‘ālā.

Sifat-sifat lebih umum daripada tauhid rububiyyah. Sebagian dari tauhid rububiyyah adalah tauhid rububiyyah itu sendiri. Maksudnya: tauhid rububiyyah adalah keyakinan terhadap perbuatan-perbuatan Allah dengan menetapkan bahwa semua perbuatan itu bersumber dari rububiyyah-Nya kepada makhluk-Nya. Oleh karena itu, keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala berkaitan dengan rububiyyah-Nya terhadap makhluk adalah maksud dari tauhid rububiyyah.

Ketika kita mengatakan: "Keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur"—ini adalah tauhid rububiyyah. Maka penciptaan, rezeki, dan pengaturan adalah termasuk dari sifat-sifat Allah. Jika tauhid rububiyyah mencakup sebagian dari tauhid nama dan sifat, maka tauhid rububiyyah adalah bagian khusus, sedangkan tauhid nama dan sifat lebih umum.

Namun, mengapa para ulama memisahkannya?

Jawabnya:

  • Karena mereka ingin menyebut tauhid rububiyyah secara khusus dengan menyebutnya bersama dengan tauhid nama-nama dan sifat-sifat karena pentingnya dan demi kemaslahatan yang dicapai. Maka disebutkan tauhid rububiyyah agar menjadi pembeda antara seorang mukmin yang beriman kepada Tuhan yang mengatur segala sesuatu, dengan orang atheis yang mengingkari Tuhan secara mutlak. Maka siapa yang beriman kepada rububiyyah Allah secara umum berbeda dengan orang atheis yang meniadakannya secara total.

  • Lalu, disebutkan tauhid rububiyyah untuk menjelaskan perbedaan antara kaum musyrikin yang menyelisihi kebenaran, mereka yang mengakuinya, namun tidak merealisasikan keimanan mereka kepada rububiyyah Allah secara total. Maka tidak diragukan bahwa mereka mengakui rububiyyah Allah dalam bentuk umum, tapi mereka tidak beriman secara sempurna dan tidak meyakininya sebagaimana keimanan ahli Islam. Maka mereka dalam bentuk umum beriman kepada rububiyyah Allah, namun mereka menyeru selain Allah.

 Dia (Allah Ta’ala) merupakan Dzat yang menciptakan segala sesuatu, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Ini adalah kadar yang mengharuskan tauhidullah (mengesakan Allah) dalam beribadah kepada-Nya. Dan karena mereka (kaum musyrik) tidak melakukan itu, maka penyebutan tauhid rububiyyah tidak bermanfaat bagi mereka dan mereka tetap termasuk musyrikin, karena di dalamnya ada kekurangan terhadap hak (tauhid uluhiyyah) yang merupakan hak Allah atas mereka.

Kemudian, ada faedah ketiga dari penyebutan tauhid rububiyyah, yaitu: dalil atas tauhid ibadah. Karena di antara dalil terbesar atas tauhid ibadah adalah tauhid rububiyyah. Jika engkau yakin bahwa Allah adalah Pencipta bagimu, bahwa Dia adalah satu-satunya yang memberi rezeki kepadamu, maka hendaknya engkau menyembah-Nya saja. Inilah yang ditunjukkan oleh puluhan ayat dari kitab Allah dan dari sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Maka demi manfaat yang besar dan maslahat yang benar, para ulama menyebut tauhid rububiyyah. Dan dalam kebanyakan pembagian tauhid oleh para ulama bukanlah untuk membuat-buat hal baru, namun untuk menjelaskan, memudahkan pemahaman, dan menyampaikan ilmu. Karena penjelasan terhadap makna-makna agama ini dengan cara yang mudah dan jelas, maka ia menjadi ilmu yang bermanfaat yang dibicarakan oleh para ulama. Maka ketika hal itu dibagi menjadi beberapa bagian, ia menjadi hal yang diyakini dengan iman yang lebih kokoh, dan urusan menjadi lebih mudah.

🔆🔆🔆🔆🔆


Senin, 12 Mei 2025

PERUMPAMAAN ORANG-ORANG KAFIR



 PERUMPAMAAN ORANG KAFIR 



﴿وَمَثَلُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِی یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ إِلَّا دُعَاۤءࣰ وَنِدَاۤءࣰۚ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡیࣱ فَهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ﴾ [البقرة ١٧١]



Al Imam Al Baghowy rahimahullah berkata: 

"Dan perumpamaan orang-orang kafir seperti orang yang memanggil sesuatu yang tidak mendengar..."

Kata "an-na‘îq" dan "an-naq" adalah suara penggembala kepada kambing. Maknanya: perumpamaanmu, wahai Muhammad, dan perumpamaan orang-orang kafir dalam nasihat dan seruanmu kepada mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah seperti penggembala yang berseru kepada kambing.

Ada juga yang mengatakan: perumpamaan orang yang menasihati dan menyeru orang kafir itu seperti penggembala yang berseru kepada kambing, padahal kambing itu tidak mendengar kecuali suara dan panggilan semata.

Perumpamaan ini dikaitkan kepada orang-orang kafir karena konteks pembicaraan mengarah kepada mereka, sebagaimana firman Allah: “Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada negeri itu...” (QS. Yusuf: 82), padahal yang dimaksud adalah penduduk negeri tersebut.

Maksudnya adalah: sebagaimana binatang ternak mendengar suara penggembala tetapi tidak memahami dan tidak mengerti apa yang dikatakannya, maka demikian pula orang kafir — mereka tidak mengambil manfaat dari nasihatmu, mereka hanya mendengar suaramu.

Ada juga yang mengatakan bahwa makna ayat ini adalah: perumpamaan orang-orang kafir dalam lemahnya akal dan pemahaman mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya, seperti binatang yang dipanggil tetapi tidak mengerti perintah dan larangan kecuali sekadar suara. Maka makna ayatnya diarahkan kepada yang dipanggil (yakni binatang), sedangkan pengucapnya (yakni penggembala) tidak disebut. Ini adalah gaya bahasa yang umum dalam bahasa Arab, untuk menjelaskan makna dengan lebih terang. Mereka biasa berkata: "Si Fulan takut kepadamu seperti takut kepada singa," maksudnya: takut seperti takutnya kepada singa.

Allah juga berfirman: “Sesungguhnya kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sekelompok orang yang kuat” (QS. Al-Qashash: 76) — padahal secara makna, seharusnya: sekelompok orang itu merasa berat memikul kuncinya.

Ada pula yang mengatakan bahwa maknanya adalah: perumpamaan orang-orang kafir yang menyeru berhala-berhala yang tidak bisa mengerti dan tidak memiliki akal, seperti penggembala yang berseru kepada kambing, yang mana kambing itu tidak mendapatkan manfaat apapun dari seruan itu — selain sekadar mendengar suara dan panggilan saja. Begitu pula orang kafir: mereka tidak mendapatkan manfaat dari doa dan ibadah mereka kepada tuhan-tuhan selain Allah, kecuali keletihan dan penderitaan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu. Dan jika mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan (permintaanmu)” (QS. Fathir: 14).

Ada juga yang mengatakan: makna ayat ini adalah perumpamaan orang kafir dalam menyeru berhala-berhala seperti orang yang berteriak di tengah gunung, yang hanya mendengar gema suaranya sendiri — yang disebut dengan “shadā” — tetapi tidak memahami apapun dari suara itu. Maka makna ayatnya adalah seperti orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar, dan tidak mendapat dari seruannya itu kecuali panggilan dan suara.

"Tuli" — orang Arab menyebut orang yang tidak mendengar dan tidak mengerti sebagai “seolah-olah ia tuli.”
"Bisu" — dari kebaikan, mereka tidak mengucapkannya.
"Buta" — dari petunjuk, mereka tidak melihatnya.
"Maka mereka tidak berakal."

(1) Lihat: Tafsir at-Ṭabarī, jilid 3, halaman 305.



Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir rahimahullah; 

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa‘id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Yahudi yang diajak Rasulullah ﷺ untuk masuk Islam, namun mereka berkata: “Tidak, kami tetap mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla membuat perumpamaan untuk mereka, sebagaimana firman-Nya: “Bagi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat adalah perumpamaan yang buruk” (QS. An-Nahl: 60). Maka Allah berfirman: “Dan perumpamaan orang-orang kafir” — maksudnya: dalam keadaan mereka yang berada dalam kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan, seperti hewan ternak yang dibiarkan lepas; tidak memahami apa yang dikatakan kepadanya. Bahkan jika penggembalanya berseru padanya — yakni memanggil untuk membimbingnya — ia tidak memahami ucapannya dan tidak mengerti maksudnya. Ia hanya mendengar suara tanpa memahami isi.

Demikian pula diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Abu Al-‘Aliyah, Mujahid, Ikrimah, ‘Aṭā’, Al-Hasan, Qatadah, ‘Aṭā’ Al-Khurasani, dan Ar-Rabi‘ bin Anas dengan makna yang serupa.

Dan dikatakan juga: ini adalah perumpamaan yang diberikan untuk mereka dalam hal mereka menyeru berhala-berhala yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak mengerti apa pun. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Namun pendapat pertama lebih utama, karena berhala-berhala itu sama sekali tidak mendengar, tidak mengerti, tidak melihat, tidak memiliki kekuatan, dan tidak memiliki kehidupan.

Firman-Nya: “Tuli, bisu, dan buta” — maksudnya: tuli dari mendengar kebenaran, bisu yang tidak mengucapkan kebenaran, dan buta dari melihat jalan petunjuk.

“Maka mereka tidak berakal” — artinya: mereka tidak memahami apa pun dan tidak mengerti, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli dan bisu dalam kegelapan. Barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk disesatkan) niscaya Dia akan menyesatkannya, dan barang siapa yang dikehendaki-Nya niscaya Dia akan menjadikannya berada di atas jalan yang lurus” (QS. Al-An‘ām: 39).



 Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini ; 

QS. Al-Baqarah ayat 171: “Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti orang yang berteriak kepada (kumpulan) yang tidak mendengar selain seruan dan panggilan saja—mereka tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak berakal.”

Penjelasan Ibnu Qayyim:

Perumpamaan ini mencakup dua pihak: yang menyeru (si peniup suara) seperti penggembala yang memanggil ternaknya dengan suara, dan pihak yang diseru, yaitu hewan ternak. Ada yang mengatakan bahwa yang menyeru itu adalah penyembah berhala (yang berdoa kepada berhala), dan berhala itu adalah pihak yang diseru. Maka keadaan orang kafir dalam doanya kepada berhala seperti orang yang menyeru sesuatu yang tidak mendengar. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Abdurrahman bin Zaid dan lainnya.

Namun, al-Zamakhsyari dalam al-Kashshaf dan sejumlah lainnya merasa ganjil dengan pendapat ini. Mereka berkata: “Firman Allah: ‘kecuali panggilan dan seruan’ tidak mendukung pemahaman itu, karena berhala tidak mendengar seruan atau panggilan sama sekali.”

Ada tiga jawaban atas keberatan ini:

  1. Bahwa kata “إِلَّا” (illa) dianggap sebagai tambahan (za'idah), sehingga maknanya adalah: “tidak mendengar panggilan dan seruan.” Mereka menyebut syair Arab sebagai bukti, seperti perkataan penyair:
    “Haraajîj maa tanfakku illa munaakhatan”
    Artinya: "Tak pernah berhenti kecuali untuk berlutut." Maksudnya: selalu berlutut. Namun jawaban ini dianggap lemah, karena kata "illa" tidak digunakan secara tambahan dalam kalimat seperti itu.

  2. Bahwa yang diserupakan dalam ayat bukan pada objek seruan (berhala), tapi pada tindakan menyerunya itu sendiri, yakni proses doanya.

  3. Bahwa maknanya adalah: perumpamaan orang kafir ketika mereka menyeru tuhan-tuhan mereka yang tidak memahami doa mereka itu seperti penggembala yang menyeru kambingnya. Kambing itu tidak mendapat manfaat apapun dari seruan si penggembala, selain sekadar mendengar suara. Demikian pula orang musyrik, tidak memperoleh apapun dari ibadah dan doanya, selain kesia-siaan semata.

Ada juga yang berkata: maksudnya adalah perumpamaan orang kafir seperti hewan ternak yang tidak memahami apapun dari perkataan si penggembala, kecuali hanya suara semata. Maka, si penggembala adalah penyeru kepada orang kafir, dan orang kafir adalah hewan yang diseru.

Sibawaih berkata: makna ayat ini adalah: “Perumpamaanmu, wahai Muhammad, dan perumpamaan orang kafir itu seperti si penyeru dan hewan yang diseru.” Maka menurutnya, maksudnya: "Perumpamaan orang kafir dan penyeru mereka seperti kambing dan penggembala."

Perumpamaan ini bisa dianggap sebagai tasybih murakkab (perumpamaan kompleks), yaitu menyamakan keadaan orang kafir yang tidak memahami atau mendapatkan manfaat dari ajakan ke jalan kebenaran, dengan hewan ternak yang hanya mendengar suara penggembala tanpa memahaminya.

Jika dipahami sebagai tasybih mufarraq (perumpamaan terpisah), maka:

  • Orang kafir seperti hewan ternak.
  • Seruan penyeru kepada mereka seperti suara penggembala.
  • Doa dan ajakan kepada petunjuk seperti suara penggembala itu.
  • Mereka hanya mendengar suara tanpa memahami maknanya — seperti hewan yang mendengar suara namun tidak memahaminya.
    Wallahu a’lam.

Kemudian, firman-Nya:
“Tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti.”

Juga firman-Nya:
“Tuli, bisu, buta, maka mereka tidak kembali.”

Menunjukkan bahwa orang kafir tidak memahami kebenaran.
Adapun orang munafik, mereka sebelumnya melihat lalu menjadi buta, mengetahui lalu berpura-pura tidak tahu, mengakui lalu mengingkari, beriman lalu kafir kembali. Maka, orang seperti ini lebih keras kekafirannya, lebih buruk hatinya, dan lebih membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu mereka layak mendapat tingkatan neraka yang paling bawah.

Ada makna lain juga, yaitu: orang-orang munafik itu bersikap nifaq (munafik) karena mencari kemuliaan dan kedudukan dari dua golongan — yakni dari orang-orang beriman dan dari orang kafir. Mereka ingin menyenangkan hati orang beriman agar dimuliakan, dan menyenangkan hati orang kafir agar juga dimuliakan. Inilah sebab musibah mereka. Karena mereka tidak benar-benar ingin iman dan Islam, tidak pula taat kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan hati mereka cenderung kepada orang kafir. Maka sebagai balasan, Allah menjadikan tempat kembali mereka sebagai tempat paling hina, yaitu dalam neraka paling bawah, di bawah orang-orang kafir.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik seperti:

  • Menipu Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman,
  • Mengejek orang-orang yang beriman,
  • Berdusta dalam keyakinan dan agama,
  • Menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran,

— membuat kekafiran mereka lebih parah dan layak berada di tingkat paling rendah dalam neraka.

Oleh karena itu, ketika Allah menyebutkan golongan manusia di awal surat al-Baqarah:

  • Golongan yang beriman lahir dan batin: disebut dalam 3 ayat [2:3-5],
  • Golongan kafir lahir dan batin: disebut dalam 2 ayat [2:6-7],
  • Golongan munafik (beriman secara lahir, kafir secara batin): disebut dalam sekitar 13 ayat [2:8-20].

Dalam ayat-ayat itu, Allah mencela dan membuka aib mereka, menyebut mereka sebagai:

  • Orang bodoh,
  • Perusak di muka bumi,
  • Penipu,
  • Pengejek agama dan kaum mukmin,
  • Tertipu karena menukar petunjuk dengan kesesatan,
  • Tuli, bisu, buta,
  • Berpenyakit hati,
  • Dan bahwa Allah menambahkan penyakit itu.

Tak ada celaan dan aib yang tidak ditujukan kepada mereka, yang menunjukkan betapa besar murka Allah terhadap mereka, dan bahwa mereka adalah musuh Allah yang paling dibenci.

Maka sungguh, hikmah Allah sangat besar dalam menjadikan mereka khusus menempati tingkatan paling bawah dalam neraka.

Kita berlindung kepada Allah dari keadaan seperti mereka, dan memohon kepada-Nya perlindungan dan rahmat-Nya.

Siapa pun yang merenungi sifat-sifat orang munafik dalam al-Qur'an, maka ia akan memahami mereka memang layak mendapatkan neraka paling bawah. Karena mereka:

  • Menipu Allah dan hamba-Nya,
  • Hatinya berpenyakit (penyakit syubhat dan keraguan),
  • Merusak di bumi,
  • Mengejek agama dan orang-orangnya,
  • Melampaui batas,
  • Menukar petunjuk dengan kesesatan,
  • Tuli, bisu, buta,
  • Ragu-ragu,
  • Malas dalam ibadah,
  • Berzina,
  • Sedikit mengingat Allah,
  • Bimbang,
  • Tidak jelas berpihak ke mana — tidak kepada kaum beriman, dan tidak pula kepada kaum kafir.



 Al Imam ابن عاشور (Ibn ‘Āshūr) rahimahullah dalam kitab At-Tahrīr wa at-Tanwīr menerangkan; 

" Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar, selain sekadar panggilan dan seruan. Mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti."
[Al-Baqarah: 171]

Setelah Allah menyebutkan bagaimana mereka menyambut dakwah untuk mengikuti agama dengan sikap berpaling—sampai firman-Nya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah Allah turunkan, mereka berkata: Bahkan kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami."
[Al-Baqarah: 170]

Dan setelah disebutkan kerusakan akidah mereka, sampai firman-Nya:

"Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah."
[Al-Baqarah: 165]

Maka yang dimaksud dengan "orang-orang kafir" yang dibuat perumpamaan di sini adalah sama dengan yang dimaksud dalam ayat sebelumnya sebagai "manusia""orang-orang zalim", serta "mereka" dalam berbagai bentuk kata ganti. Kemudian semuanya diakhiri dengan perumpamaan yang mengerikan tentang keadaan mereka, guna memperjelas dan menghadirkan gambaran mereka melalui ilustrasi.

Tujuan dari perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan dengan lebih tajam sikap mereka dalam menyambut dakwah. Dan faedah dari penggunaan perumpamaan sudah dijelaskan sebelumnya dalam ayat:

"Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api."
[Al-Baqarah: 17]

Allah menggunakan huruf "wawu" (‘dan’) di sini tanpa menjelaskan panjang lebar seperti ayat sebelumnya, karena maksudnya adalah menjadikan ini sebagai gambaran yang berdiri sendiri tentang bagaimana mereka menerima dakwah Islam. Kalau tidak dengan "wawu", maka hal itu tidak akan sesuai secara makna.

Perumpamaan ini, ketika disandarkan kepada "orang-orang kafir", dengan jelas menggambarkan keadaan mereka saat mendengar seruan Nabi ﷺ kepada Islam, seperti hewan ternak yang mendengar suara penggembala namun tidak memahami maknanya. Mereka hanya mendengar suara tanpa pengertian, sebagaimana Nabi ﷺ menyeru mereka agar mengikutinya tanpa mereka meneliti bukti kebenarannya.

Jadi dalam kedua sisi perumpamaan—baik yang dibandingkan maupun yang membandingkan—terdapat unsur:

  • penyeru,
  • yang diseru,
  • seruan,
  • pemahaman,
  • penolakan,
  • dan tekad.

Setiap unsur dalam bagian-bagian perumpamaan tersebut bisa disejajarkan satu dengan yang lainnya. Ini termasuk bentuk perumpamaan yang sangat indah dan efektif, dan ayat ini menyampaikannya secara ringkas namun luar biasa.

Tujuan utama dari perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan keadaan orang-orang kafir, namun hal itu juga membawa dampak perumpamaan terhadap keadaan Nabi dan dakwah beliau.

Dalam perumpamaan ini, ada dua kondisi orang kafir:

  1. Mereka berpaling dari penyeru Islam.
  2. Mereka justru cenderung kepada penyembahan berhala.

Kedua kondisi ini telah disinggung dalam ayat sebelumnya:

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka berkata: Bahkan kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami."
[Al-Baqarah: 170]

Dan bentuk paling parah dari sikap mereka adalah menyembah berhala. Maka perumpamaan ini datang untuk menjelaskan secara eksplisit apa yang sebelumnya hanya tersirat.

Jika kamu berkata: “Tampaknya secara zahir semestinya dikatakan: 'Perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti domba yang diseru oleh penggembalanya', karena orang-orang kafirlah yang menjadi objek perumpamaan, dan yang menyeru itu semestinya mewakili Nabi.” Maka mengapa tidak begitu? Apakah ini berarti Nabi ﷺ yang diserupakan dengan penggembala?

Aku (Ibn ‘Āshūr) jawab: Tidak demikian. Kedua hal tersebut tidak dimaksudkan. Karena frasa "perumpamaan orang-orang kafir..." sudah sangat jelas bahwa yang dibandingkan adalah suatu keadaan dengan keadaan lain, seperti dalam ayat:

"Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api."
[Al-Baqarah: 17]

Jika demikian, maka bagian-bagian dari perumpamaan yang kompleks tidak harus disebutkan secara eksplisit. Mana saja yang kamu sebut dari sisi pihak yang dibandingkan dan yang membandingkan, sudah cukup. Biasanya kalimat perumpamaan memulai dengan menyebut sisi yang menjadi pembanding secara eksplisit, namun tidak selalu harus demikian.

Contohnya:

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di dunia ini adalah seperti angin yang mengandung hawa dingin."
[Ali ‘Imrān: 117]

Yang sebenarnya sejajar dengan "apa yang mereka nafkahkan" adalah ladang milik suatu kaum, yang hanya disebut secara tidak langsung. Dan ayat:

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir."
[Al-Baqarah: 261]

Yang sebenarnya sejajar dengan orang-orang yang menafkahkan adalah petani yang menanam, tapi petaninya tidak disebutkan dalam lafaz.

Dan ayat:

"Seperti batu licin yang di atasnya terdapat tanah lalu ditimpa hujan deras."
[Al-Baqarah: 264]

Yang sejajar dengan batu adalah harta yang dinafkahkan, bukan orang yang menafkahkan.

Dan dalam hadits sahih:

"Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi dan Nasrani seperti seorang lelaki yang menyewa pekerja…"

Yang sejajar dengan lelaki yang menyewa dalam hal ini adalah Allah Ta‘ala dalam hal memberi pahala kepada umat-umat tersebut, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit. Ini adalah bentuk penggunaan perumpamaan yang sangat sering, dan atas dasar inilah para mufassir membuat berbagai takdir (penafsiran tersirat) untuk menjelaskan makna.

Maka ayat ini dapat dimaknai bahwa perumpamaan yang dimaksud adalah gambaran keadaan kaum musyrikin dalam berpaling dari seruan.

Maka, yang menjadi maksud dari perumpamaan ini adalah menggambarkan keadaan kaum musyrikin yang berpaling dari dakwah Nabi ﷺ. Mereka mendengarnya sebagai suara semata, tanpa adanya perhatian atau pemahaman, sebagaimana seekor hewan yang mendengar suara panggilan penggembalanya, tapi tak tahu apa maksudnya. Karena hewan itu hanya memahami dari suara tersebut bahwa ia dipanggil, namun ia tidak tahu perintah atau larangannya.

Begitulah pula kaum kafir: mereka mendengar seruan Nabi ﷺ, namun tidak mengambil manfaat darinya. Maka mereka disamakan dengan binatang ternak. Sebutan “hewan ternak” (الأنعام) secara khusus dipilih karena binatang seperti itulah yang terbiasa digembalakan dan mendengar panggilan, namun tak memahami maknanya.

Adapun kata "ينعق" (yan‘iqu) berasal dari kata kerja untuk "berteriak atau berseru dengan suara keras", dan digunakan secara khas untuk seruan kepada hewan ternak. Maka penggunaan kata ini memberi kesan merendahkan dan memperjelas betapa jauhnya mereka dari kemampuan berpikir dan merespons dengan akal.

Kata "ما لا يسمع إلا دعاءً ونداءً"
Artinya: sesuatu yang tidak mendengar, kecuali sekadar suara seruan dan panggilan. Maksudnya bukan bahwa mereka bisa mendengar secara hakiki, tapi mereka hanya mendengar sebagai suara kosong, tanpa pengertian. Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki pendengaran secara fisik, namun mereka tidak menggunakan fungsi akalnya, sebagaimana hewan tidak mengerti makna bahasa.

Adapun kalimat "صمّ بكم عمي" (tuli, bisu, buta) adalah sifat-sifat yang ditegaskan Allah terhadap mereka, bukan karena mereka tidak punya indera, tetapi karena mereka tidak menggunakannya untuk kebenaran.

Mereka tuli terhadap kebenaran, karena tidak mau mendengarkan dengan hati.
Mereka bisu, karena tidak mau mengucapkan kebenaran.
Mereka buta, karena tidak melihat petunjuk Allah dalam ciptaan dan ayat-ayat-Nya.

Dan penutup ayat ini: "فهم لا يعقلون" (maka mereka tidak mengerti), adalah penegasan bahwa akar dari semua penyimpangan ini adalah karena mereka tidak menggunakan akal mereka dengan benar. Seandainya mereka mau merenung dan menggunakan akalnya, tentu mereka akan terbimbing kepada kebenaran.

Kesimpulan dari tafsir Ibn ‘Āshūr tentang ayat ini adalah bahwa:

  • Kaum kafir diserupakan dengan hewan ternak yang hanya mendengar suara tanpa memahami maknanya.
  • Dakwah Nabi ﷺ disamakan dengan seruan kepada makhluk yang tak paham kata-kata.
  • Keadaan mereka dalam menyikapi kebenaran sangat buruk: hati tertutup, akal tidak dipakai, dan indra tidak digunakan sebagaimana mestinya.
  • Ayat ini menegaskan kehinaan orang yang berpaling dari seruan kebenaran, meskipun ia memiliki pendengaran, penglihatan, dan lidah.



Disebutkan dalam tafsir Imam As-Sa‘dī rahimahullah; 

" Dan perumpamaan orang-orang yang kafir adalah seperti (penggembala) yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan. Mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti."

Kemudian Allah Ta‘ālā berfirman:
"Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti perumpamaan orang yang berseru kepada sesuatu yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan..."
Yakni: setelah Allah menjelaskan bahwa mereka tidak mau tunduk kepada apa yang dibawa oleh para rasul, dan bahwa mereka menolaknya karena taqlid (mengikuti nenek moyang), maka hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak siap menerima kebenaran dan tidak akan meresponsnya.

Bahkan, setiap orang dapat mengetahui bahwa mereka tetap dalam sikap keras kepala dan penolakan. Maka Allah mengabarkan bahwa perumpamaan mereka ketika diseru kepada iman adalah seperti binatang ternak yang diseru oleh penggembalanya, namun binatang itu tidak tahu apa yang dikatakannya. Ia hanya mendengar suara saja, yang dengannya hujjah bisa ditegakkan atasnya, tetapi tidak memahami ucapan itu dengan pemahaman yang memberi manfaat.

Karena itu, mereka itu tuli—tidak mendengar kebenaran dengan pendengaran yang mengandung pemahaman dan penerimaan.
Bisu—tidak mengucapkan kebaikan yang bermanfaat bagi mereka.
Buta—tidak melihat dengan pandangan yang mengandung pelajaran dan pengambilan ibrah.

Dan sebab utama dari semua itu adalah karena mereka tidak memiliki akal yang lurus, bahkan mereka adalah orang-orang yang paling bodoh dan paling dungu.

Maka, apakah seorang yang berakal akan ragu bahwa siapa saja yang diajak kepada petunjuk, dicegah dari kerusakan, dilarang dari jalan menuju siksadiperintah untuk sesuatu yang baik dan membawa kebahagiaan, kesuksesan dan kenikmatan, namun ia membangkang terhadap pemberi nasihat, berpaling dari perintah Tuhannya, terjun ke dalam neraka dengan sadar, mengikuti kebatilan dan meninggalkan kebenaran, — maka orang seperti ini tidak punya sedikit pun akal?

Meskipun ia tampak memiliki tipu daya, kelicikan dan kecerdikan, namun ia sebenarnya termasuk orang yang paling dungu.


Disebutkan dalam tafsir As Syaikh Abu Bakar al-Jazairi rahimahullah(dari kitab Aysar al-Tafasir) :

Firman Allah:

وَمَثَلُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِی یَنۡعِقُ بِمَا لَا یَسۡمَعُ إِلَّا دُعَاۤءࣰ وَنِدَاۤءࣰۚ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡیࣱ فَهُمۡ لَا یَعۡقِلُونَ

Penjelasan kata-kata:

  • مثل: Perumpamaan atau keadaan.
  • ينعق: Berteriak atau bersuara keras; “nahiq” berarti suara keras.
  • الدعاء: Seruan kepada yang dekat, seperti doa seorang mukmin kepada Rabbnya.
  • النداء: Seruan kepada yang jauh, seperti azan.
  • الصم: Orang-orang tuli, yang kehilangan pendengaran.
  • البكم: Orang-orang bisu, yang kehilangan kemampuan bicara.
  • لا يعقلون: Tidak memahami makna ucapan karena alat pemahamannya (akal) tidak berfungsi.

Makna Ayat:

Setelah ayat sebelumnya (2:170) mencela perilaku taqlid dan orang-orang yang hanya mengikuti pendahulu mereka tanpa berpikir atau menggunakan akal dan pancaindra, ayat ini datang dengan gambaran yang mengagumkan dan perumpamaan yang unik terhadap orang-orang yang mematikan akal dan hanya hidup dalam kepatuhan membabi buta.

Perumpamaannya seperti kambing yang digiring oleh penggembalanya: ketika penggembala berseru kepadanya, ia merespons, baik seruan itu untuk kebaikan maupun untuk penyembelihan—kambing itu tetap datang karena terbiasa mengikuti suara tersebut, tanpa memahami maksudnya.

Begitu pula keadaan orang-orang kafir dan para pengekor buta: jika diajak kepada kebenaran, mereka mendengar suara tapi tidak mengerti maknanya, karena mereka tuli, bisu, dan buta. Tidak ada akal yang berfungsi.

Petunjuk dari Ayat:

  1. Ayat ini menghibur para da’i yang menghadapi orang-orang yang keras kepala dan hanya mengikuti tradisi sesat.
  2. Haram hukumnya mengikuti ahli bid’ah dan hawa nafsu secara membabi buta.
  3. Wajib menuntut ilmu agar seorang mukmin mengetahui alasan dari setiap perbuatannya dan apa yang ditinggalkannya.
  4. Hanya boleh mengikuti orang-orang yang berilmu dan memiliki wawasan dalam agama; mengikuti orang bodoh termasuk taqlid yang tercela.




 Al Imam Al-Biqāʿī rahimahullah dalam Tafsir Naẓm al-Durar menjelaskan: 

"Dan perumpamaan orang-orang yang kafir adalah seperti orang yang berteriak memanggil sesuatu yang tidak mendengar kecuali hanya suara dan panggilan; mereka tuli, bisu, buta, maka mereka tidak mengerti." (QS. Al-Baqarah: 171)

 Maksudnya adalah: 

maka perumpamaan mereka adalah seperti orang yang mengikuti orang buta di jalan yang curam dan tersembunyi, di padang pasir yang luas, penuh bahaya, maka Allah menyambungnya dengan apa yang menunjukkan maksud ini melalui firman-Nya, menyingkap bahwa mereka telah menjadi seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. Karena binatang, meskipun tidak berakal, masih bisa mendengar dan melihat, lalu ia mendapatkan manfaatnya.

Firman Allah:

"Perumpamaan..."
Menjelaskan sifat yang menyebabkan mereka sampai pada kebodohan ini, 

yaitu:

"Orang-orang yang kafir"
Yakni, mereka menutupi apa yang mereka ketahui tentang keagungan Allah, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan hikmah-Nya, karena mengikuti hawa nafsu. Mereka tidak mendengar dari seruan kecuali hanya bunyi nada dan gema suara, tanpa merenungkan atau memperhatikan isinya.

"Seperti orang yang berteriak..."
Al-Harallī berkata:
Perumpamaan adalah sesuatu yang terserap dalam pemahaman batin dari hakikat-hakikat yang terindra, sehingga menjadi lebih halus dari hal yang kasat mata, maka jadilah ia penjelas makna maknawi dengan bentuk yang dapat dipahami. Oleh karena itu, perumpamaan digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang tak kasat mata melalui sesuatu yang nyata, agar menjadi penjelasan yang lebih halus.

Dalam ayat ini, dijelaskan perumpamaan dengan dua sisi:

  • Perumpamaan antara dua hal yang mirip (yakni, penyeru dan orang yang diseru),
  • Dan jauhnya dua hal yang diperumpamakan (yakni, orang kafir dan binatang).

Dalam penyebutan dua perumpamaan ini, ada keseimbangan yang menunjukkan bahwa dalam satu perumpamaan terkandung dua makna:

  • Perumpamaan orang kafir, dan
  • Perumpamaan penyerunya,
    seperti perumpamaan seorang gembala dan binatang gembalaannya.

Ini adalah puncak kefasihan dalam bahasa Arab. Siapa yang tidak mampu memahami kedua sisi perumpamaan ini akan mengira bahwa ayat ini hanya menyebut satu perumpamaan, dan akan mengartikan kalimat: "Dan perumpamaan orang yang menyeru orang kafir adalah seperti orang yang berteriak..."

"berteriak" berarti bersuara keras, dan penafsiran ini dibawa kepada makna tak tersurat, sedangkan pemahaman mendalam menunjukkan bahwa al-Qur’an membawa kata-katanya dengan kadar yang sempurna dan dalam bentuk yang paling tepat.

Firman Allah:
"Dengan sesuatu..."
yakni, karena sesuatu dari binatang ternak yang tidak berakal, yang hanya bisa mendengar suara dari orang yang memanggilnya untuk makanan dan keturunan, dan mendengar panggilan dari arah suara tersebut.

Panggilan menunjukkan jarak, dan seruan menunjukkan permulaan mendekat. Maka, orang-orang kafir, karena mereka tidak kembali dari kesesatannya meskipun telah mendengar dalil-dalil kebenaran—padahal mereka memiliki akal, pendengaran, dan penglihatan—mereka disamakan dengan binatang yang hanya mendengar dan melihat, tetapi tidak memiliki akal, sehingga tidak dapat memahami perkataan.

Binatang hanya mendengar suara secara lahiriah, tanpa memahami maknanya. Ia tidak akan kembali (ke arah yang benar) kecuali dengan lemparan batu atau cambukan. Ketika gembala ingin memalingkannya dari arah tertentu, ia berteriak dan melempar batu ke depan binatang itu, maka binatang itu pun berbalik arah.

Jadi, binatang menjadi tempat perumpamaan karena tidak memiliki kesadaran atau pengertian. Binatang tidak kembali hanya dengan seruan, tetapi dengan sesuatu yang menyakitkan—seperti orang tuli, bisu, dan buta, yang tidak bisa kembali kecuali dengan pukulan yang keras yang mengenai wajahnya, sehingga ia mundur.

Penyeru mereka, dalam hal ia berbicara tanpa pengaruh pada yang mendengarnya, seperti gembala binatang. Dan gembala itu, dari sisi binatang yang tidak kembali kecuali dengan pukulan batu atau cambuk, seperti orang yang memukul si tuli.

Maka hasil dari perumpamaan itu adalah firman-Nya:

"Mereka tuli" – tidak mendengar,
"bisu" – tidak berbicara,
"buta" – tidak melihat.

Sudah diketahui bahwa ayat ini mengandung gaya bahasa iḥtibāk (penghilangan bagian kalimat yang dipahami dari konteks), yaitu:

  • Penghilangan perumpamaan penyeru di bagian pertama karena telah cukup disebut “yang berteriak,” dan
  • Penghilangan pihak yang diseru di bagian kedua karena telah cukup disebutkan bahwa mereka tidak mendengar.

Karena keberadaan akal bergantung pada persepsi terhadap hal-hal yang terindra, dan karena Allah telah menafikan kemampuan mereka dalam merasakan hal yang terindra, maka konsekuensinya disebutkan:

"Maka mereka tidak mengerti."
Disebut dengan huruf "fa" (maka) yang menunjukkan hubungan sebab-akibat dan kelangsungan.

Penafian ini menggunakan "lā" (tidak) yang menunjukkan ketidakmungkinan, dan bentuk fi'il mudhāriʿ (kata kerja masa kini/berkelanjutan) yang menunjukkan kelanggengan kebodohan mereka.


Kamis, 08 Mei 2025

TAQWA


Oleh: As-Syaikh Abdul Qo'dir bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Junaid Hafizhahullah. 

Keutamaannya, Maknanya, Pintu-Pintunya, Buahnya, dan Akhir Orang-Orangnya"

Khutbah Pertama:

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) sebagai penjelas segala sesuatu, penyembuh dari segala kebodohan, dan petunjuk dari setiap kesesatan. Salawat dan salam tercurah kepada Muhammad, yang diutus dari kabilah paling mulia dan bangsa paling terhormat, serta kepada keluarga dan sahabatnya, selama orang yang kehausan mencari tempat minum.

Amma ba‘d, 

wahai manusia:
Sesungguhnya taqwa adalah wasiat Allah bagi umat ini, juga wasiat-Nya bagi Ahli Kitab sebelum mereka, 

sebagaimana firman-Nya:
"Dan sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang telah diberi Kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu, agar bertakwa kepada Allah."


Orang-orang bertakwa adalah yang dicintai oleh Allah. Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya. 

Allah memberi kabar gembira kepada mereka dengan firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa."

Orang-orang bertakwa menjalani kehidupan di dunia ini dengan jiwa yang tenang, hati yang lapang, keteguhan, kekuatan, dan keyakinan. Sebab, Allah bersama mereka dengan perlindungan dan pertolongan-Nya, 

sebagaimana firman-Nya yang menenangkan dan menggembirakan:
"Dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa."


Dengan taqwa, seseorang merasa aman ketika orang-orang ketakutan, bahagia saat yang lain bersedih, dan penuh harapan saat yang lain putus asa, 

sebagaimana firman-Nya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan akhirat."

Bahkan, surga yang kekal dan kebahagiaan abadi—yang di dalamnya terdapat segala kebaikan, rezeki yang besar, kenikmatan yang luas dan kebahagiaan—tidak disiapkan kecuali untuk orang-orang bertakwa. 

Mereka berada di tempat paling tinggi di dalamnya, sebagaimana firman-Nya:
"Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa."

Dan firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman dan sungai-sungai, di tempat duduk yang penuh kebenaran di sisi Raja Yang Maha Kuasa."

Orang-orang yang saling bersahabat, mencintai, dan menolong di dunia ini akan saling bermusuhan di hari kiamat, walaupun mereka punya hubungan dekat dan kekerabatan, kecuali orang-orang yang bertakwa. 

Allah berfirman:
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa."

Taqwa adalah ukuran keutamaan di sisi Allah. Ia adalah medan persaingan yang baik dan dasar kemuliaan, 

sebagaimana firman-Nya:
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dalam khutbah beliau pada hari-hari Tasyriq:
"Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, dan bapak kalian juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, tidak juga orang non-Arab atas orang Arab, tidak pula orang putih atas orang hitam, atau orang hitam atas orang putih, kecuali dengan taqwa. Apakah aku telah menyampaikan?"

Orang yang bertakwa kepada Rabb-nya, Allah akan anugerahkan kepadanya furqan dan cahaya. Apa itu furqan dan cahaya? Yaitu ilmu yang bermanfaat, yang sesuai dengan Al-Qur'an, Sunnah Nabi dan jalan para sahabat. 

Dengannya seseorang mampu membedakan antara yang halal dan haram, membedakan yang benar dari yang keliru, keluar dari bid'ah menuju sunnah. 

Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan kepada kalian."

Dan juga:
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan kepada kalian dua bagian dari rahmat-Nya dan menjadikan bagi kalian cahaya untuk berjalan."

Dengan taqwa, dosa-dosa dihapuskan, pahala dilipatgandakan, 

sebagaimana firman Allah:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan melipatgandakan pahalanya."

Dengan taqwa, seseorang akan selamat dari kesulitan, rintangan akan dihilangkan, keraguan akan lenyap, Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap kesusahan, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. 

Keberkahan akan menyertainya walau rezekinya sedikit, dan jiwanya merasa cukup dan puas. 

Allah berfirman:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka."

Juga firman-Nya:
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan kemudahan dalam urusannya."

Makna taqwa secara umum:
Bahwa seorang hamba menjadikan antara dirinya dan murka Allah, kemarahan-Nya, serta azab-Nya, sebuah pelindung yang menjaganya.

Pelindung itu terdiri dari dua hal:

Pertama: Melakukan ketaatan, ibadah, dan amal kebaikan—baik ibadah hati, lisan, maupun anggota tubuh.

Kedua: Menjauhi dosa dan maksiat—baik dosa hati, dosa lisan, maupun dosa anggota tubuh.

Secara lebih terperinci, taqwa berarti:

  • Berpegang teguh pada tauhid dan sunnah, serta menjauhi syirik dan bid'ah.
  • Beribadah kepada Allah sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah sahih, sebagaimana diamalkan para salaf shalih, terutama para sahabat.
  • Meninggalkan segala bentuk dosa besar maupun kecil, seperti:
    • Dosa hati: dengki, dendam, sombong, cinta kepada orang kafir, dan benci kepada ahli tauhid dan sunnah.
    • Dosa lisan: dusta, ghibah, namimah, mencela, melaknat, mengejek, merendahkan, dan membuka aib orang.
    • Dosa anggota tubuh: mendengar yang haram, melihat yang mungkar, menyentuh hal yang keji, dan terang-terangan bermaksiat.

Sebagaimana dikatakan Ibnu Al-Mu‘tamir:
"Tinggalkanlah dosa besar maupun kecil, itulah taqwa.
Jadilah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri, dia berhati-hati dengan apa yang dia lihat.
Jangan kau remehkan dosa kecil, karena gunung pun terbentuk dari kerikil kecil."

Taqwa juga berarti:

  • Banyak membaca Al-Qur’an, berdoa, bertaubat, dan istighfar.
  • Menjaga dzikir dan wirid harian sesuai waktu, tempat, dan kondisi.
  • Selalu mengingat Allah dalam setiap waktu dan keadaan.
  • Menampakkan ketaatan di tempat yang Allah perintahkan, dan tidak terlihat di tempat yang dilarang-Nya.

Taqwa juga berarti:

  • Menuntut ilmu syar‘i agar bisa bertakwa dengan ilmu, bukan hanya semangat semata.
  • Mengamalkan ilmu: jika mempelajari tauhid, ia wujudkan dalam hidup; jika mengenal syirik, ia jauhi; jika tahu sunnah, ia pegang teguh; jika kenal bid‘ah, ia hindari dan jauhi para pelakunya dan majelis mereka.
  • Mengetahui hukum-hukum syar‘i agar beribadah sesuai tuntunan.
  • Melakukan kebaikan yang diketahui dan meninggalkan maksiat yang dipahami.

Taqwa adalah:
Menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dimurkai Allah, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, saat sendirian maupun bersama orang lain, di kampung halaman maupun saat safar, ketika muda maupun tua, dengan orang dekat maupun asing, disertai dengan terus merasa diawasi oleh Allah dalam segala ucapan, niat, perbuatan, dan rencana.

Allah Maha Mengetahui isi hati, ucapan, dan perbuatan kita. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya di bumi maupun di langit, baik besar maupun kecil,

 sebagaimana firman-Nya:
"Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu."

Artinya: Allah mengetahui dan mengawasi segala hal, mencakup semua makhluk, perbuatan, dan perkataan.

Menutup semua itu adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ringkas namun mendalam:
"Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik."

Seorang penyair pun berkata:
"Jika kau sendirian dalam kegelapan dan hatimu terdorong berbuat maksiat,
Maka malulah kepada pandangan Allah, dan katakanlah padanya:
Sesungguhnya Tuhan yang menciptakan kegelapan ini sedang melihatku."

Semoga Allah menganugerahi kita dan kalian ketakwaan sejati, dan menjadikan kita termasuk orang-orang bertakwa yang tidak merasa takut dan tidak pula bersedih. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.


Khutbah Kedua:

Segala puji bagi Allah, Dzat yang Maha Membuka dan Maha Mengetahui. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Dzat yang Maha Baik lagi Maha Penyayang. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada beliau, juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

Amma ba‘du;

wahai sekalian manusia:

Inilah yang disebut takwa, inilah makna-maknanya, inilah jalan-jalannya, dan inilah pintu-pintunya. 

Maka berbekallah dengannya, karena ia adalah sebaik-baik bekal dan pakaian untuk kalian di dunia ini, di dalam kubur kalian, dan di akhirat kalian. Tuhan kalian telah berfirman memerintahkan kepada kalian:

"Dan berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal."
(QS. Al-Baqarah: 197)

Dan Dia juga berfirman:

"Wahai anak-anak Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutup aurat kalian dan sebagai perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang terbaik."
(QS. Al-A‘raf: 26)

Dan Allah berfirman:

"Daging-daging dan darah-darah (hewan kurban) itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian."
(QS. Al-Hajj: 37)

Maka takwa adalah harta yang amat berharga. Jika engkau berhasil meraihnya, sungguh banyak permata mulia yang akan engkau temukan di dalamnya: kebaikan yang melimpah, rezeki yang mulia, kemenangan yang besar, keuntungan yang agung, dan kerajaan yang megah. 

Bahkan seluruh kebaikan dunia dan akhirat dikumpulkan dan diletakkan di bawah satu sifat ini. Allah — Mahasuci dan Maha Tinggi — telah memerintahkan untuk bertakwa dan memberi kabar gembira tentang berbagai kebaikan yang disediakan untuk orang-orang bertakwa:

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah memperoleh kemenangan yang besar."
(QS. Al-Ahzab: 70–71)

Allah — Mahaagung dan Mahasuci — adalah Dzat yang paling berhak untuk ditakwa dan disembah, karena Dialah Tuhan yang tidak layak disembah kecuali hanya Dia semata. 

Dia juga berhak untuk mengampuni siapa saja yang bertakwa kepada-Nya dan mengikuti keridhaan-Nya, sebagaimana firman-Nya:

"Dan mereka tidak akan mengingat (peringatan itu) kecuali jika Allah menghendakinya. Dia-lah Dzat yang berhak untuk ditakwa dan berhak untuk memberikan ampunan."
(QS. Al-Muddatsir: 56)

Semoga Allah menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang apabila diberi peringatan, mereka mengingat; apabila diberi nasihat, mereka mengambil pelajaran; apabila diberi nikmat, mereka bersyukur; apabila diuji, mereka bersabar; dan apabila berbuat dosa, mereka memohon ampunan. Wahai Rabb, ampunilah dan rahmatilah kami. Sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Mulia lagi Maha Dermawan.

Ya Allah, perbaikilah para pemimpin dan wakil-wakil mereka, serta pasukan mereka. Bimbinglah mereka menuju apa yang Engkau ridhai. Sungguh, Engkau Maha Mendengar doa.

Aku sampaikan hal ini, dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian.