Minggu, 25 Mei 2025

TAUHID RUBUBIYAH


Penjelasan “Uṣūl al-Maqāṣid al-Dīniyyah” karya al-‘Allāmah al-Sa‘dī rahimahullāh


Oleh: PROF.DR. Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Utsman Sindy Hafizhahullah. 


Asal yang Pertama: 

Tauhid

Definisi Tauhid secara menyeluruh dengan berbagai jenisnya:

Tauhid adalah keyakinan terhadap keesaan Tuhan dan pengesaan-Nya dalam sifat-sifat kesempurnaan, serta pembacaan jenis-jenis ibadah yang terkandung dalam hal ini:
Tauhid Rububiyah, yaitu keyakinan bahwa Tuhan itu satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur segala urusan.


Penjelasan Syaikh Sindy Hafizhahullah;

Beliau memulai dengan fondasi pertama, yaitu tauhid. Tauhid berasal dari kata wahhada, yaitu menjadikan sesuatu itu satu, atau meyakini sesuatu itu satu. Kata wahda datang dengan makna menjadikan sesuatu itu satu atau meyakini sesuatu itu satu.

Beliau (rahimahullah) menyebutkan definisi tauhid secara menyeluruh dengan semua jenisnya. Dan definisi itu harus bersifat komprehensif (menyeluruh) dan pencegah (mencegah masuknya hal yang bukan darinya); mencakup semua cabang yang ada padanya dan mencegah dari masuknya yang bukan darinya.

Syaikh (rahimahullah) menyebutkan bahwa tauhid itu ada dua jenis:

  1. Tauhid dalam pengetahuan dan keyakinan.
  2. Tauhid dalam kehendak dan permintaan.

Sebagian ulama menyebutnya dua pembagian tauhid, dan sebagian lain menyebut tiga pembagian tauhid. Dan sebenarnya tidak ada perbedaan antara dua pembagian dan tiga pembagian tersebut. Semuanya kembali kepada satu makna, seperti yang akan dijelaskan insya Allah Ta‘ālā.

Setiap kali memungkinkan untuk merinci permasalahan akidah, menjelaskannya, mengulanginya dengan gaya bahasa yang berbeda-beda, maka itu lebih baik. Karena hal itu lebih membantu pemahaman bagi setiap orang. Sebab, seseorang mungkin memahami dengan satu gaya, namun tidak dengan gaya lainnya. Jadi, menjelaskan dengan berbagai cara dan pendekatan akan memberikan manfaat yang lebih besar dalam bab akidah.

Beliau rahimahullah berkata:
“(Yang dimaksud dengan akidah seorang hamba dan keyakinannya) adalah keyakinan dan pengakuannya bahwa Allah semata memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan keesaan-Nya dalam berbagai jenis ibadah.”
Pernyataan ini menggabungkan dua makna tauhid.

(Keyakinan dan pengakuan bahwa Allah semata memiliki sifat-sifat kesempurnaan) ini adalah tauhid keyakinan. Dan keyakinan ini harus dibangun atas dasar bahwa seseorang yakin bahwa Allah adalah yang dijelaskan oleh syekh, lalu ia melakukan konsekuensinya. Demikian pula (ibadah kepada-Nya dalam berbagai jenis ibadah), seperti yang dijelaskan oleh syekh, juga merupakan konsekuensi dari keyakinan tersebut, yaitu dalam bentuk tauhid ibadah. Dan ini mencakup tauhid uluhiyyah dan tauhid ibadah.

Tauhid uluhiyyah mencakup keimanan dan pengamalan, sedangkan tauhid rububiyyah hanya mencakup keimanan terhadap keesaan Allah. Dan inilah yang dimaksud oleh syekh dengan kata “makna”. Karena sebagian ulama tauhid mengatakan bahwa tauhid terbagi menjadi: tauhid ilmiy (berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan), atau mereka menyebutnya tauhid ma’rifah dan itsbat (pengakuan), dan tauhid qasdi wa thalabi (berkaitan dengan tujuan dan permintaan). Maka, sebagian ulama mengatakan: tidak ada perbedaan antara ungkapan ini, karena ia kembali kepada tauhid asma’ wa sifat.

Akan datang bersama kita, insyaAllah, penjelasan dari syekh rahimahullah dari uraian ini bahwa beliau memandang bahwa tauhid rububiyyah termasuk dalam tauhid asma’ wa sifat. Dan inilah yang benar. Bahwa tauhid rububiyyah itu hanyalah sebagian dari tauhid asma’ wa sifat.

Beliau rahimahullah berkata:
“Maka yang termasuk dalam tauhid rububiyyah yang dimaksud adalah keyakinan dan pengakuan bahwa Tuhan itu satu dalam hal penciptaan, pemberian rezeki, dan pengaturan segala urusan.”


Kalimat: 

(Allah Subhanahu wa ta‘ālā dengan penciptaan, pemberian rezeki, dan berbagai jenis pengaturan urusan makhluk)

Dimana letaknya pembicaraan tentang iman kepada adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā? Kita dapati Syaikh hanya membahas tentang keyakinan bahwa Allah-lah yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur (alam semesta), lalu ia mengikuti itu dengan pembahasan yang berkaitan dengan tauhid al-asmā’ wa al-shifāt. Maka apakah pembicaraan tentang iman kepada adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā tidak termasuk dalam tauhid?

Jawabannya: Para ulama yang menjelaskan bab ini menyebutkan bahwa iman kepada keberadaan Allah subhanahu wa ta‘ālā termasuk dalam tauhid rubūbiyyah, sebab seseorang tidak akan mempercayai bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur kecuali jika ia sudah meyakini adanya Allah subhanahu wa ta‘ālā. Maka tidak diragukan lagi bahwa iman kepada wujud Allah subhanahu wa ta‘ālā adalah sesuatu yang mendahului keyakinan bahwa Allah adalah Rabb yang menciptakan dan mengatur. Siapa yang beriman bahwa Allah subhanahu wa ta‘ālā adalah Rabb yang esa, maka ia pasti telah beriman terhadap keberadaan-Nya, maka tidak perlu lagi disebutkan secara khusus. Oleh karena itu, para ulama tidak menyebutkan pembahasan tentang iman terhadap wujud Allah subhanahu wa ta‘ālā secara terpisah, karena itu sudah termasuk di dalam tauhid rubūbiyyah.

Disebutkan: "Tauhid rubūbiyyah adalah keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur berbagai urusan kehidupan." Maka semua perbuatan rubūbiyyah, dan segala sesuatu selainnya, bila dikembalikan kepada penciptaan dan pemberian rezeki serta pengaturan, maka itu adalah bagian dari perbuatan rubūbiyyah Allah subhanahu wa ta‘ālā dan sifat-sifat rubūbiyyah-Nya. Maka hal-hal ini masuk ke dalam tiga prinsip besar.

Kemudian ia berkata: "(Tauhid al-asmā’ wa al-shifāt)," perhatikan bahwa yang dimaksud dengan tauhid al-asmā’ wa al-shifāt adalah: mengimani bahwa Allah Maha Esa dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Adapun mengesakan Allah dalam ibadah (tauhid ulūhiyyah), maka itu akan dibahas nanti, setelah pembahasan tentang tauhid al-asmā’ wa al-shifāt dan rubūbiyyah.

Maka hubungan antara tauhid al-asmā’ wa al-shifāt dan rubūbiyyah adalah bahwa tauhid al-asmā’ wa al-shifāt mencakup nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lebih umum dari rubūbiyyah. Dan tauhid rubūbiyyah adalah bagian dari tauhid al-asmā’ wa al-shifāt, karena tauhid rubūbiyyah mencakup sifat-sifat rubūbiyyah Allah subhanahu wa ta‘ālā.

Sifat-sifat lebih umum daripada tauhid rububiyyah. Sebagian dari tauhid rububiyyah adalah tauhid rububiyyah itu sendiri. Maksudnya: tauhid rububiyyah adalah keyakinan terhadap perbuatan-perbuatan Allah dengan menetapkan bahwa semua perbuatan itu bersumber dari rububiyyah-Nya kepada makhluk-Nya. Oleh karena itu, keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala berkaitan dengan rububiyyah-Nya terhadap makhluk adalah maksud dari tauhid rububiyyah.

Ketika kita mengatakan: "Keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur"—ini adalah tauhid rububiyyah. Maka penciptaan, rezeki, dan pengaturan adalah termasuk dari sifat-sifat Allah. Jika tauhid rububiyyah mencakup sebagian dari tauhid nama dan sifat, maka tauhid rububiyyah adalah bagian khusus, sedangkan tauhid nama dan sifat lebih umum.

Namun, mengapa para ulama memisahkannya?

Jawabnya:

  • Karena mereka ingin menyebut tauhid rububiyyah secara khusus dengan menyebutnya bersama dengan tauhid nama-nama dan sifat-sifat karena pentingnya dan demi kemaslahatan yang dicapai. Maka disebutkan tauhid rububiyyah agar menjadi pembeda antara seorang mukmin yang beriman kepada Tuhan yang mengatur segala sesuatu, dengan orang atheis yang mengingkari Tuhan secara mutlak. Maka siapa yang beriman kepada rububiyyah Allah secara umum berbeda dengan orang atheis yang meniadakannya secara total.

  • Lalu, disebutkan tauhid rububiyyah untuk menjelaskan perbedaan antara kaum musyrikin yang menyelisihi kebenaran, mereka yang mengakuinya, namun tidak merealisasikan keimanan mereka kepada rububiyyah Allah secara total. Maka tidak diragukan bahwa mereka mengakui rububiyyah Allah dalam bentuk umum, tapi mereka tidak beriman secara sempurna dan tidak meyakininya sebagaimana keimanan ahli Islam. Maka mereka dalam bentuk umum beriman kepada rububiyyah Allah, namun mereka menyeru selain Allah.

 Dia (Allah Ta’ala) merupakan Dzat yang menciptakan segala sesuatu, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Ini adalah kadar yang mengharuskan tauhidullah (mengesakan Allah) dalam beribadah kepada-Nya. Dan karena mereka (kaum musyrik) tidak melakukan itu, maka penyebutan tauhid rububiyyah tidak bermanfaat bagi mereka dan mereka tetap termasuk musyrikin, karena di dalamnya ada kekurangan terhadap hak (tauhid uluhiyyah) yang merupakan hak Allah atas mereka.

Kemudian, ada faedah ketiga dari penyebutan tauhid rububiyyah, yaitu: dalil atas tauhid ibadah. Karena di antara dalil terbesar atas tauhid ibadah adalah tauhid rububiyyah. Jika engkau yakin bahwa Allah adalah Pencipta bagimu, bahwa Dia adalah satu-satunya yang memberi rezeki kepadamu, maka hendaknya engkau menyembah-Nya saja. Inilah yang ditunjukkan oleh puluhan ayat dari kitab Allah dan dari sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Maka demi manfaat yang besar dan maslahat yang benar, para ulama menyebut tauhid rububiyyah. Dan dalam kebanyakan pembagian tauhid oleh para ulama bukanlah untuk membuat-buat hal baru, namun untuk menjelaskan, memudahkan pemahaman, dan menyampaikan ilmu. Karena penjelasan terhadap makna-makna agama ini dengan cara yang mudah dan jelas, maka ia menjadi ilmu yang bermanfaat yang dibicarakan oleh para ulama. Maka ketika hal itu dibagi menjadi beberapa bagian, ia menjadi hal yang diyakini dengan iman yang lebih kokoh, dan urusan menjadi lebih mudah.

🔆🔆🔆🔆🔆


Tidak ada komentar:

Posting Komentar