Sabtu, 02 Mei 2015

 الضوابط  الشرعية لموقف المسلم في الفتن KAIDAH SYARI’AH BAGI SEORANG MUSLIM MENGHADAPI FITNAH 



Alhamdulillah, wassholatu wassalamu ala Rosulillah, wa ba'du;  

Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menjamin untuk memberikan penjagaan terhadap agama Islam ini. Allah Aza wa Jalla berfirman:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an , dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”(Al-Hijr:9)

Dan termasuk bagian dari penjagaan Allah terhadap agama ini adalah menciptakan para ulama yang kokoh ilmunya yang senantiasa melakukan pembelaan terhadap agama ini . 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Senantiasa ada sekelompok umatku yang tampil di atas al-haq (kebenaran). Tidak akan memudharatkan mereka orang menyelisihi mereka tidak pula yang menelantarkan mereka, hingga datang ketentuan dari Allah (hari kiamat) dan senantiasa mereka di atas kondisi tersebut.”(Muttafaq ‘alaihi )

Wahai saudaraku, berlindunglah kalian kepada Allah Ta'ala dari fitnah, dikarenakan fitnah apabila terjadi niscaya akan merobek, mengoyak, mencabik-cabik agama, akal, badan dan segala kebaikan. Oleh karena nya, Nabi Sallallahu alaihi wa sallam senantiasa berlindung kepada Allah Ta'ala dari fitnah. 

Fitnah jika datang, tidak hanya menimpa kepada orang-orang yang dzalim dan aniaya saja, akan tetapi akan menimpa kepada siapa saja secara umum, dan akan muncul berbagai kerusakan, dan merupakan kesempurnaan agama islam, bahwasanya syariat islam telah memperingatkan umat ini dari berbagai bentuk fitnah yang nampak ataupun yang tidak nampak.  

Pada kesempatan ini kita ulas tentang kaidah - kaidah syar'iyah untuk membentengi diri bagi seorang muslim dari berbagai ancaman fitnah - fitnah, diantara nya sebagai berikut :

( 1 ) Membentengi hati di saat fitnah datang

Dari Hudzaifah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: " Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas. Maka hati mana saja yang menyerapnya akan ditorehkan padanya satu titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya akan ditorehkan padanya satu titik putih hingga menjadilah keadaan kedua jenis hati tadi, hati yang sangat putih bagaikan batu putih yang sangat licin ,tidak akan ada satu fitnahpun yang akan memudharatkannya selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan hati yang lain adalah hati yang hitam dan kotor, bagaikan gelas yang terbalik. Hati yang tidak mengetahui perkara yang mungkar, kecuali yang mencocoki hawa nafsunya.”(HR. Muslim )

Dan hadits ini merupakan seruan nabawiyah agar kita berusaha untuk menjaga hati-hati kita. Betapa butuhnya kaum muslimin untuk menyambut seruan tersebut dan menggigitnya dengan dengan gigi geraham (memegangnya dengan sekuat-kuatnya.).

( 2 )  Berlindung dari Fitnah adalah tuntutan syar’i

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “ Berlindunglah kalian dari fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim )

( 3 ) Menyibukkan diri untuk beribadah adalah jaminan keselamatan dari fitnah

Dari Maqbil bin Yasir Radhiyallahu Anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Beribadah dimasa terjadinya al-harj (berkecamuk fitnah) seperti berhijrah kepadaku.” (HR Muslim)

Yang dimaksud dengan al-harj adalah pembunuhan dan peperangan serta perkara-perkara yang mendahuluinya seperti ‘ashabiyah (fanatisme), hizbiyah (yakni menjadikan seseorang sebagai prinsip dalam menetapkan sikap loyal dan benci),dan lain-lain. Adapun lafazh ibadah di hadits ini mencakup seluruh jenis ibadah, seperti shidiq (sikap jujur), ikhlas, muraaqabah (merasa senantiasa diawasi Allah), taqwa, wara’ (meninggalkan perkara yang berbahaya di akhirat), sabar, sikap tegar di atas kebenaran, menjaga diri untuk terus menuntut ilmu yang bermanfaat serta mengajarkannya; dan masuk didalammnya amalan shalih seperti shalat, puasa, baik di dalam muamalah, dan berakhlak baik. Semua perkara tadi dan yang semisalnya merupakan ibadah.

Seandainya seorang muslim  menghadapkan dirinya untuk beribadah sebagaimana yang diinginkan oleh Allah, niscaya tidak akan tersisa satu waktupun untuk dihabiskan bersama fitnah dan perdebatan. Sesungguhnya benar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau bersabda, " Dua kenikmatan, di mana kebanyakan manusia lalai dari keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”(HR. Al-Bukhari )

Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda, " Bersegeralah beramal shalih dalam menghadapi fitnah-fitnah yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita.Di pagi hari seseorang dalam keadaan mu’min, di sore hari sudah menjadi kafir. Di sore hari seseorang dalam keadaan mu’min, di pagi hari sudah menjadi kafir. Menjual agamanya demi mendapatkan sedikit dari perkara  dunia.”(HR. Muslim )

( 4 ) Selamat dari berbagai fitnah merupakan keutamaan dari Allah semata

Fitnah yang demikian banyak dengan berbagai jenisnya senantiasa menampilkan bentuk yang baru dari masa ke masa. Setiap muslim yang berpegang teguh dengan agama Allah, setiap waktunya dihadapkan pada berbagai fitnah tersebut. Barangsiapa yang selamat dari fitnah-fitnah tadi, tidak lain sebabnya adalah dua perkara   besar, yaitu keutamaan Allah padanya dan terus-menerusnya taufiq Allah menyertainya.

Maka sungguh sebuah kenyamanan bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk menjauhi berbagai fitnah,  baik fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi.

( 5 ) Berlari dari fitnah dan kewajiban setiap orang untuk istiqomah diatas amalan shalihnya

Dari Abu Bakrah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Sesungguhnya akan terjadi berbagai fitnah. Ketahuilah, sesungguhnya akan terjadi suatu fitnah di mana seorang yang duduk pada saat terjadi fitnah tersebut lebih baik daripada orang yang berjalan (menyambut fitnah). Dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari kecil. Ketahuilah, jika fitnah tersebut turun atau terjadi, barangsiapa yang memiliki onta maka berkumpullah (sibukkan dirinya) dengan onta-ontanya, dan barangsiapa memiliki kambing maka sibukkan dirinya kambing-kambungnya, dan barangsiapa memiliki tanah (pertanian) maka sibukkan dirinya dengan tanah pertaniannya.”

(Abu Bakrah Radhiyallahu Anhu berkata); Salah seorang sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan orang yang tidak memiliki onta, tidak pula kambing ataupun tanah?

Beliau menjawab:

“Dia  dia hendaknya menuju pedangnya, lalu dia pukulkan bagian yang tajam dari pedang tersebut ke batu, kemudian hendaknya dia mencari jalan selamat untuk tidak ikut dalam fitnah tersebut. Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah,telah bukankah aku telah menyampaikan?”

Salah seorang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana seandainya aku dipaksa sampai harus mendatangi salah satu di antara dua pasukan yang berseteru atau salah satu di antara dua kelompok tersebut, kemudian salah seorang memukulkan pedangnya kepadaku (menebasku) atau datang panah yang membunuhku?

Beliau menjawab: “Orang tersebut akan menanggung dosanya dan dosamu, kemudian dia akan menjadi penghuni neraka.”(HR. Muslim)

Ini merupakan  obat yang sangat agung  dan pemberitahuan kepada manusia tentang perkara yang sangat bermanfaat bagi mereka. Seandainya manusia berpaling dari fitnah dan  menyibukkan dengan amalan mereka, pasti fitnah tidak akan terjadi, baik itu fitnah dalam bentuk demonstrasi ataupun penggulingan kekuasaan, semua ini termasuk fitnah. Betapa agungnya obat yang ada dalam syariat ini, akan tetapi betapa sedikitnya orang yang mau memanfaatkan obat tersebut!

( 6 ) Melakukan ‘Uzlah (Menjauh dari Manusia) dan Khulthah (Berinteraksi dengan Mereka) sesuai syariat

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Seorang muslim yang berinteraksi dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada seorang muslim yang tidak mau berinteraksi dengan mereka dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka.”(HR. At-Tirmidzi )

Adapun ‘uzlah yang diserukan oleh syari’at untuk ditempuhnya ada dua bentuk:

1.’Uzlah yang sifatnya umum dan terus-menerus, yaitu menjauhi kejelekan dan pelakunya. Uzlah jenis ini senantiasa dituntut dari setiap pribadi muslim dan muslimah.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Seorang mujahid adalah seseorang yang bersungguh-sungguh menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah, sedangkan seorang muhajir (yang hijrah) adalah seseorang yang menjauhi kesalahan-kesalahan dan dosa.”(HR. Ahmad )

2.’Uzlah yang sifatnya khusus, terkait dengan waktu terjadinya sebuah fitnah. Jika datang sebuah fitnah maka seorang muslim diseru oleh syariat ini untuk menjauh dari fitnah tersebut.Dan dalam permasalahan ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Hampir-hampir harta paling berharga yang dimiliki seorang muslim adalah kambing, yang dia menggiringnya di puncak-puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan. Dia berlari membawa agamanya untuk menjauh dari fitnah.”(HR.Al-Bukhari).

( 7 ) Sikap para Shahabat radhyallahu anhum dalam menghadapi fitnah

Sikap-sikap yang ditempuh oleh pada shahabat Radhiyallahu Anhum dalam menghadapi fitnah adalah sikap yang lurus dan benar. Di antara sikap yang paling nampak adalah ketidakmauan untuk menerima fitnah serta bergabung dalam fitnah tersebut.

Perhatian sikap para shahabat dalam memerangi orang-orang Khawarij(para pemberontak di masa khilafah ‘Ali Radhiyallahu Anhu). Para shahabat bersepakat untuk memerangi para pemberonyak tersebut dan mereka telah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Hal itu karena hadits-hadits yang memerintahkan untuk memerangi orang-orang Khawarij demikian jelas, tidak ada kesamaran padanya.

Perhatikan pula sikap tanaazul (mengalah) mereka dalam perkara-perkara besar demi meraih keselamatan dari fitnah dan demi keselamatan masyarakat mereka.

Al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu Anhuma mundur dari khilafah (dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu Anhuma) sementara beliau orang pantas untuk mengembannya. Sikap beliau merupakan pembenaran terhadap sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Sesungguhnya putraku ini adalah pemimpin. Semoga Allah mendapaikan dengan perantaraannya dua kelompok besar muslimin.” (HR. Al-Bukhari )

Perhatikan sikap mengalah demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam ini!! Perhatikan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang luar biasa ini! Al-Hasan Radhiyallahu Anhu mengalah bukan karena sedikitnya pengikut, bukan pula karena merasa hina, akan tetapi beliau lakukan demi menjauhi fitnah.

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari membicarakan perkara-perkara yang berkobar di kalangan para shahabat Radhiyallahu Anhum, karena posisi mereka antara dua kemungkinan. Bisa jadi sebagai seorang mujtahid yang tepat dalam ijtihadnya sehingga dia mendapatkan dua pahala, atau sebagai mujtahid yang keliru dalam ijtihadnya dan baginya satu pahala. Sehingga tidak boleh mencela seorangpun di antara mereka.
Prinsip yang dipegang oleh Ahlus Sunnah, bahwa di antara para shahabat yang terjatuh dalam fitnah, mereka lebih mulia dibandingkan generasi yang datang setelahnya, dan kesalahan mereka terkalahkan dan tertutupi oleh keutamaan-keutamaan mereka.

Para shahabat Radhiyallahu Anhum yang masuk dalam fitnah sungguh telah menyesali tragedi tersebut. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan ‘Aisyah Radhiyallahu Anhuma.

Ibnu Tiamiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ‘Aisyah tidak berperang dan tidak pula keluar untuk berperang (yakni tragedi Perang Jamal). Beliau keluar untuk mendamaikan kaum muslimin, dan beliau menyangka dengan keluarnya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin. Kemudian tampak setelah kejadian tersebut bahwa yang lebih baik adalah adalah sikap tidak keluar. Dan beliau jika mengingat kejadian keluarnya tersebut menangis sampai kerudung beliau basah.

Demikian pula seluruh generasi pendahulu dalam Islam ini, mereka menyesali masuknya mereka ke dalam kancah peperangan di antara muslimin ketika itu.Thalhah, Az-Zubair dan ‘Ali Radhiyallahu Anhum menyesali kejadian tersebut. Tidak ada niatan mereka dalam kejadian Perang Jamal untuk melakukan peperangan. Peperangan tersebut terjadi bukan atas dasar pilihan mereka.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah : 4/316).

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “ Tidak diragukan lagi bahwa ‘Aisyah telah menyesali dengan penyesalan yang mendalam atas kejadian keluarnya menuju Bashrah dan hadirnya dalam Perang Jamal. Beliau tidak menyangka bahwa perkaranya akan sampai pada apa yang terjadi tersebut. Dari ‘Umarah bin ‘Umair, bahwa dia mendengar jika ‘Aisyah Radhiyallahu Anha membaca ayat:

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian……..”(Al-Ahzab :33). Beliau menangis sampai kerudung beliau basah.”

Juga telah diriwayatkan dari  ‘Ali Radhiyallahu Anhu, bahwa beliau berkata: “ Seandainya saja aku dimatikan 20 atau 40 tahun sebelum kejadian ini.” (yakni sebelum beliau menyaksikan kejadin perang Jamal)

Ketika ‘Ali melewati Thalhah Radhiyallahu Anhuma yang sudah dalam keadaan terbunuh, beliau mengusap debu yang ada di wajah shahabatnya tersebut dan menangis.Beliau berkata: “ Sangat berat bagiku, wahai Abu Muhammad, meyaksikanmu terbujur dibawah cahaya bintang-bintang di langit seperti ini. Hanya kepada Allah aku mengeluhkan bencana dan malapetaka ini.”

( 8 ) Ahlus Sunnah adalah manusia yang paling jauh dari fitnah

Sesungguhnya Ahlus Sunnah telah mendapatkan keyakinan yang kuat dalam hati mereka disebabkan terangnya kebenaran di sisi mereka dan kokohnya kebenaran tertanam di hati mereka, juga kesiapan mereka untuk mengamalkan setiap kebenaran tersebut. Inilah konsekuensi manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah. Karena lafazh “As Sunnah” maknanya adalah beramal dengan seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan lafazh “Al-Jamaa’ah” maknanya adalah berkumpul di atas kebenaran, beramal dengannya serta berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh As-Salaf (generasi pendahulu umat ini).

Khilaf (perselisihan) tidak akan pernah masuk ke dalam tubuh Ahlus Sunnah ditinjau dari sisi manhaj (cara pemahaman agama) mereka. Hanyalah khilaf terjadi dari sisi pribadi mereka disebabkan munculnya kejahatan, kezhaliman dan permusuhan sebagian mereka terhadap yang lainnya. Bisa juga karena sikap terburu-buru dalam perkara yang dibutuhkan adanya ta’anni (kecermatan dan kesabaran), ataupun disebabkan kejahilan terhadap hakikat sebuah perkara yang sampai padanya.

Berbeda halnya dengan ahlu bid’ah dan kesesatan. Sesungguhnya khilaf (perselisihan) yang terjadi pada mereka disebabkan cacatnya manhaj mereka. Bagaimanapun mereka menginginkan untuk sampai pada kebenaran selamanya tidak mungkin akan bisa meraihnya disebabkan manhaj-manhaj yang menympang yang mereka tempuh. Terkadang mereka bersatu dan sepakat, akan tetapi tidak di atas kebenaran. Tidak mungkin mereka akan sampai kepada kebenaran kecuali dengan kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah menurut pemahaman  salaful ummah.

( 9 ) Menjauhi dan menghindari fitnah

Allah Aza wa Jalla berfirman , " Dan jagalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kalian.” (Al-Anfal: 25).

Maka perhatikanlah, bagaimana Allah memerintahkan agar menjaga diri dari segala fitnah. Barangsiapa yang tidak mau tunduk kepada perintah-Nya, maka balasannya sebagaimana yang Allah Aza wa Jalla firmankan, " …….maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa  adzab yang pedih.” (An-Nur: 63).

Demi Allah, demi Allah, sungguh-sungguh kita tidak mampu untuk menghadapi fitnah, tidak pula adzab yang pedih. Maka sungguh mengherankan jika ada seseorang yang berakal, menjerumuskan dirinya kepada suatu perkara yang akibatnya tidak terpuji.

Di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu,beliau berkata bahwa Radulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Sesungguhnya akan terjadi berbagai fitnah. Seorang yang duduk pada saat terjadi fitnah tersebut lebih baik daripada orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan. Dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berlari kecil. Barangsiapa menyeret dirinya kedalam fitnah tersebut, maka fitnah tadi akan membinasakannya.” (Muttafaq ‘alaihi).

Berapa banyak kita menyaksikan orang-orang yang terburu-buru dalam menhadapi fitnah, telah bergeser dari kebenaran. Ketika sebelumnya mereka dikenal sebagai orang-orang yang jujur, sekarang lebih mengedepankan dusta. Ketika sebelumnya dikenal sebagai orang yang membela Islam, sekarang telah berubah menjadi orang yang berupaya untuk membela ambisi pribadi. Ketika sebelumnya dikenal sebagai orang yang menjauhi gangguan, celaan dan cacian kepada manusia, sekarang telah berubah menjadi orang yang kegiatannya menjatuhkan kehormatan mereka.

Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dalam menjaga keselamatan agamamu, wahai muslim!! Jika datang fitnah hendaklah jaga keselamatan lisan dan kalbumu. Bersihkan pendengaranmu. Jangan engkau melakukan perdebatan dalam perkara yang tidak engkau kuasai. Jangan engkau berbicara dalam perkara yang tidak engkau ketahui. Jangan engkau senang mendengar semua berita yang beredar dan dibicarakan, sehingga engkau akan terjatuh ke dalam kekacauan, kebingungan dan keraguan. Wallahul musta’aan.

(10) Haram mencari-cari aib manusia, terlebih lagi para ‘Ulama

Dari Abu Barzah Al-Aslami Radhiyallahu Anhu. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu Anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Wahai orang-orang yang telah menyatakan keislaman dengan lisannya dan keimanan belum masuk ke dalam kalbunya, janganlah kalian mengghibahi muslimin dan jangan pula menelusuri aurat (aib) mereka. Barangsiapa menelusuri aurat saudaranya muslim maka Allah akan menelusuri auratnya. Barangsiapa yang Allah menelusuri auratnya, Allah akan bongkar walaupun dia berada di dalam rumahnya.”(HR. Ahmad dan At-Tirmizdi)

(11) Dosa  adalah penyakit yang akan merusak persaudaraan 

Dari Anas Radhiyallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Tidaklah dua orang yang saling mencintai karena Allah, kemudian Allah pisahkan di antara keduanya kecuali disebabkan oleh dosa yang diperbuat salah satunya.” (HR. Al-Bukhary)

Perhatikanlah, semoga Allah menjagamu, bagaimana satu dosa menjadi sebab perpecahan di antara dua orang yang saling mencintai? Bagaimana lagi jika yang terjadi adalah sekian banyak dosa? Sama saja dosa itu terjadi dari seorang muslim terkait dengan hak saudaranya ataupun antara dia dengan Rabb-nya.

Ya Allah, betapa bahaya akibat dosa terhadap kami! Wahai Dzat yang Maha Mengetahui perkara ghaib, jauhkan kami dari dosa, mudahkan kami untuk bertaubat dan jagalah kami dari kejahatan jiwa dan hati kami.

Wahai saudaraku, hati-hatilah dalam bermu’amalah dengan saudaramu dari bertindak zhalim, melakukan ghibah, namimah (mengadu domba), buruk sangka, berdusta atas namanya, ataupun engkau menipunya!

Termasuk di antara perkara yang akan menyebabkan permusuhan adalah adanya jalinan kerjasama (perserikatan) dalam urusan-urusan dunia. Bisa jadi sebelumnya mereka saling mencintai, tetapi ketika masuk dalam suatu syirkah (usaha bersama) terjadi permusuhan. 

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (Shad :24).

(12) Ketidak Ikhlasan adalah salah satu sebab gagalnya seseorang di tengah perjalanannya

Al-Imam Ibnu Jauzi Rahimahullah berkata, " Sesungguhnya hanyalah yang akan terjatuh ditengah perjalanannya adalah orang yang tidak mengikhlaskan amalannya kepada Allah semata.”

Sesungguhnya ketergelinciran ini terkadang menjadi penutup kehidupannya. 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Sesungguhnya seseorang melakukan amalan penduduk neraka (amal jelek), sedangkan dia termasuk penghuni jannah. Dan sesungguhnya seseorang melaklukan amalan penghuni jannah sedangkan dia adalah penghuni neraka. Sesungguh nilai amalan tergantung di akhirnya.” (HR. Al-Bukhary)

Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah berkata: “Su’ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek) bisa terjadi disebabkan perkara tersembunyi yang masuk kepada seorang hamba, yang tidak terlihat oleh manusia. Bisa jadi dari sisi amalan yang jelek dan yang semisalnya. Sehingga karakter yang tersembunyi ini mewajibkan terjadinya su’ul khatimah (akhir yang jelek) menjelang kematian…..(hingga kepada ucapan beliau): “Sehingga semestinya seorang mu’min merasa takut atas dirinya untuk tertimpa nifaq asghar (kecil), dan sangat mengkhawatirkan penyakit tadi mengalahkan dirinya di saat menjelang akhir kehidupan sehingga mengeluarkan dirinya hingga menjadi nifaq akbar (yang merupakan kekufuran).” 

Aku katakan: “Waspadalah, waspadalah dalam memperhatikan keikhlasan amal untuk Allah pada kalbumu dan pada tingkah lakumu.”

(13) At-Tafaqquh fid-Din (Mempelajari dan Memahami Ilmu Agama

Sesungguhnya di antara keutamaan memahami ilmu agama Allah adalah menempuh jalan yang akan menyelamatkan diri dari berbagai fitnah. Hal yang demikian merupakan karunia ilahi yang diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki dari para hamba-Nya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya niscaya Allah jadikan orang tersebut memahami urusan agamanya ". (Muttafaq ‘alaih).

 Sesungguhnya keagungan agama Islam terkandung pada setiap ayat dalam kitabullah dan pada setiap hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. 

Umat Islam telah merasakan berbagai musibah, sedangkan solusi (jalan keluar) dari musibah-musibah tersebut ada di dalam sekian ayat Al-Qur’an atau hadits. Satu ayat atau satu hadits di dalamnya mengandung satu bahkan lebih solusi terhadap permasalahan umut ini. Islam datang telah membawa obat untuk berbagai jenis fitnah. Akan tetapi sangat sedikit sekali orang yang mau berobat.

(14) Berpegang teguh dengan tali Allah

Yang dimaksud dengan tali Allah adalah mengikuti Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah yang suci di atas pemahaman As-Salafush Shalih. Berpegang teguh dengan keduanya merupakan jaminan keamanan dari kesesatan dan penyimpangan.

Allah Subhaqnahu wa Ta’ala berfirman, " Maka barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak  akan celaka.” (Thaha: 123).

Berpegang teguh kepada tali Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah terwujud dengan tiga perkara:

1.Menerima ayat-ayat Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam yang shahih dengan penerimaan yang jujur secara lahir dan bathin. Tidak  ada keraguan sedikitpun dalam menerima ayat dan hadits tersebut. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran , dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr : 9).

2.Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas pemahaman para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik.

3.Pengamalan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara lahir dan bathin di atas amalan yang ditempuh oleh para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik. Menjalankan perkara yang terakhir ini lebih sulit dibandingkan dengan dua perkara sebelumnya. Tidak ada yang selamat dari sikap meremehkan ini kecuali segelintir orang dari kalangan hamba yang shalih.

Mengembalikan sikap kepada amalan salaf di saat menghadapi fitnah merupakan perkara yang sangat penting, serta berpegang teguh dengan tiga perkara ini dalam seluruh sisi kehidupan kita akan mewujudkan sikap berpegang teguh dengan kitabullah yang sesungguhnya.

(15)  Menyatukan kalimat kaum muslimin merupakan prinsip di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya berpegang dengan jama’ah dan persatuan termasuk dari prinsip agama, sementara perkara cabang diperselisihkan di dalam agama ini termasuk dari cabang-cabang yang tersembunyi. Sehingga bagaimana mungkin menodai perkara prinsip (yakni persatuan) dengan melestarikan perkara cabang (perselisihan)?!”

Beliau Rahimahullah juga berkata: Termasuk perkara paling agung yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali(agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (di masa jahiliyah)  bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadikan kalian  orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imran:103-105)

Prinsip yang agung ini –yaitu berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak bercerai-berai- termasuk di antara prinsip paling agung yang ada dalam Islam.”

(16) Kedudukan para “Ulama Ahli Hadits

Di antara perkara yang harus diketahui bahwa kedudukan ‘ulama ahli hadits dalam agama ini memiliki tingkatan yang demikian agung. Mereka wajib untuk dihormati, diposisikan, dan diambil ilmunya. Barangsiapa yang dipersaksikan oleh para ulama ahli hadits sebagai seorang Ahlus Sunnah, maka dia benar-benar telah meraih martabat yang agung.

Sebagaimana diketahui, bahwa para shahabat seluruhnya di atas martabat yang sama, yaitu Allah telah mensucikan bahkan meridhai mereka. Bersamaan kita bahwa keutamaan-keutamaan dan kekhususan-kekhususan mereka berbeda-beda. Akan tetapi kita tidak boleh menjadikannya sebagai kesempatan untuk mencela para shahabat yang tidak yang tidak mencapai keutamaan-keutamaan sebagaimana yang didapatkan oleh para khalifah yang empat.

Oleh karena itu, para shahabat di sisi Ahlus Sunnah ada pada satu tingkatan, yaitu dihormati dan dimuliakan. Tidak dikenal adanya cercaan terhadap sebagian shahabat atau bahkan seluruhnya kecuali datangnya dari ahli bid’ah dan orang-orang sesat.

( 17 ) Pentingnya kembali kepada Para ‘Ulama di saat terjadi fitnah

Sesungguhnya para ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah manusia yang paling agung dalam menghadang berbagai fitnah, baik yang terjadi di masa lalu maupun sekarang.

Merekalah yang telah menghadang dan mengintai berbagai dakwah bid’ah serta pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Siang dan malam mereka membela kebenaran yang dibawa oleh Al-Qur’an dan As- Sunnah di atas pemahaman As-Salafush Shalih. Sehingga orang yang tidak mau rujuk kepada mereka ada beberapa kemungkinan:

Bisa jadi dia mengatakan bahwa semuanya baik dan di atas kebenaran. Dan orang ini memaksudkan dengan kata “semua”mencakup Ahlus Sunnah, para da’i kebid’ahan dan hizbiyin. Hakikatnya ucapan ini ingin menyamakan antara kebenaran dengan kebatilan.
Bisa jadi dia bergabung dalam salah satu kelompok bid’ah dan hizbiyah, kemudian berusaha untuk memerangi al haq(kebenaran) dan da’wah Allah dan Rasul-Nya.
Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata, " Seorang ‘alim merasakan fitnah ketika fitnah sebelum datang, sedangkan manusia secara umum tidaklah melihatnya kecuali ketika fitnah tersebut telah berlalu.”

Berapa banyak ‘ulama yang memperingatkan dari fitnah-fitnah tersebut.  Akan tetapi nasehat mereka tidak diterima, sehingga terjadilah apa yang terjadi dari berbagai musibah yang demikian dahsyatnya.

Akan tetapi yang sering terjadi pada orang-orang yang mencintai kebaikan adalah sikap tergesa-gesa sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada sebagian shahabatnya, " Demi Allah , sesungguhnya Dia akan menyempurnakan urusan (agama) ini, hingga seorang penunggang kendaraan berjalan sendirian dari Shan’a menuju Hadramaut, dia tidak takut kecuali kepada Allah, sementara srigala menunggu kambingnya. Akan tetapi kalian ini tergesa-gesa.”(HR. Al-Bukhary)

(18) Para penuntut Ilmu adalah penyambung antara para ‘Ulama dan masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa para penuntut ilmu adalah orang-orang yang menimba ilmu dan bimbingan dari para ‘ulama, dan mereka kembali ke kaum mereka sebagai para da’i dan pengajar ilmu. Barangsiapa yang dipersaksikan oleh para ‘ulama sebagai orang yang baik dan pantas diambil ilmunya, maka sikap yang dituntut dari kita adalah pembelaan dan berbaik sangka kepadanya.

Dan bukan termasuk dari keshalihan (kebaikan) dari para ‘ulama sikap menelantarkan para penuntut ilmu, dan bukan pula merupakan keshalihan para penuntut ilmu yang menyempal dari para ‘ulamanya.

(19) Perlunya Filter (Penyaringan) terhadap berita yang tersebar, terkhusus di masa-masa fitnah

Menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk melakukan tatsabbut (crosscheck) dalam menghadapi berita-berita yang tersebar, dan jangan sampai menyampaikan setiap petkara yang dia dengar, serta kewajiban untuk mengembalikan perkara tersebut kepada orang yang memiliki ilmu.

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Seandainya mereka memnyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (An-Nisa’ : 83).

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  bersabda, " Bagaimana nasib kalian, jika kalian hidup di sebuah zaman di mana manusia benar-benar diadu-domba, dan tinggallah orang-orang rendahan yang menyia-nyiakan janji dan amanah, sehingga manusia berselisih sehingga keadaan mereka seperti ini.” –Kemudian Rasulullah menjalinkan jari-jemarinya-. Para shahabat bertanya: Apa yang harus kita tempuh, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ambil yang telah kalian ketahui (dari kebenaran) dan tinggalkan apa yang kalian tidak ketahui.”(HR. Ibnu Majah )

Berita-berita yang dinukilkan melalui buletin dan majalah tidak bisa dijadikan sebagai sandaran, karena sumber-sumbernya tidak terpercaya, dan mayoritas penulisnya memiliki pemikiran-pemikiran yang aneh dan arahan-arahan yang menyimpang, kecuali yang dirahmati oleh Allah.

Pembicaraan yang dilakukan oleh orang-orang terpercaya tentang kesalahan-kesalahan Fulan, maka diterima selama tidak bertentangan dengan berita yang lebih terpercaya. Adapun orang tidak yang tidak diketahui ketsiqahannya, maka harus ada penyaringan dan penelitian terhadap berita yang dibawanya untuk bisa diputuskan apakah beritanya diterima atau ditolak.

( 20 ) Berhias dengan sifat sabar

Telah datang dalam hadits Al-Miqdad Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah yang betul-betul dijauhkan dari fitnah, sesungguhnya orang yang berbahagia adalah yang betul-betul dijauhkan dari fitnah, sesungguhnya orang yang berbahagia adalah yang betul-betul dijauhkan dari fitnah. Dan barangsiapa diuji dengan suatu fitnah kemudian dia bersabar, maka sungguh menakjubkan keadaannya.” (HR. Abu Dawud )

Yakni: Urusannya sungguh menakjubkan. Bagaimana dia mendapatkan ujian dan bersabar. Berapa banyak orang yang tidak bersabar dan semakin bertambah keluh kesahnya, serta hilang kekuatannya di saat terjadi fitnah!!

Wahai sudaraku muslim, Allah Aza wa Jalla telah berfirman, " Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai kebruntungan yang besar.” (Fushshilat:35).

Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu, beliau berkata,Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Tidak ada yang lebih sabar daripada Allah dalam menghadapi gangguan yang didengarnya. Sesungguhnya Dia dipersekutukan oleh manusia dan mereka menjadikan anak bagi Allah, kemudian Allah tetap menjaga mereka dan memberi rezki kepada mereka.”(HR. Muslim) 

Tidaklah seorang muslim menjadikan sesuatu sebagai penolong dalam melawan kedengkian orang yang dengki yang lebih besar manfaatnya dibandingkan dengan menjadikan dirinya senantiasa di atas kesabaran dan ketakwaan.

(21) Bersikap Al-Hilm (lemah lembut)

Sesungguhnya al-hilm (sikap lembut) merupakan perkara yang terpuji di setiap waktu. Dan sifat tersebut semakin terpuji di saat terjadi fitnah, khususnya jika sikap lembut tadi bergandengan dengan dimilikinya ilmu syar’i.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda ketika memuji Al-Asyajj Radhiyallahu Anhu, " Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu sifat lembut dan hati-hati.”(HR. Muslim )

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Sikap lembut merupakan benih ilmu.Jika keduanya (sikap lembut dan ilmu) bertemu maka terlahir kepemimpinan di urusan dunia dan akhirat. Sehingga diraihlah manfaat denganilmu yang dimiliki oleh seorang ‘alim.Jika dua perkara tersebut masing-masing berdiri sendiri, maka hilanglah manfaat dan pemanfaatan ilmu tersebut.”

Al Mawardi Rahimahullah berkata: “Kelembutan termasuk dari akhlak yang paling mulia dan paling berhak dimiliki oleh orang-orang yang berakal, karena di dalamnya terkandung keselamatan harga diri, ketenangan jasad, dan didapatkannya sifat terpuji.”

Wahai sekalian da’i illallah ! Apa beda kalian dengan orang awam jika kalian tidak memiliki sifat lembut, hati-hati, dan tabah? Bukankah Allah Aza wa Jalla telah berfirman kepada Nabi-Nya, " Jadilah engkau orang yang pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-Araaf:199).

Bukankah Allah Aza wa Jalla telah berfirman, " Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat : 34).

Maka kelembutan dan dan kehati-hatian termasuk dari sifat ‘ulama.

(22) Sifat Ta’anni (Berhati-hati) dalam memutuskan hukum di saat terjadi fitnah

Sikap tergesa-gesa merupakan naluri yang Allah jadikan sebagai tabiat pada manusia. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa.” (Al-Anbiya’:37).
Allah Ta'ala berfirman, " Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (Al-Israa’:11)

Berapa banyak orang yang tergesa-gesa akhirnya menderita kerugian karena tidak berhati-hati dalam menghadapi berbagai perkara.

Ada perbedaan antara sikap bersegera dengan tergesa-gesa.

Bersegera maknanya berusaha meraih kesempatan pada waktunya dan tidak membiarkannya, sehingga jika dia luput akan berusaha mengejarnya. Dia tidak mencari perkara-perkara setelah hilang, tidak pula sebelum datang waktunya. Bahkan jika waktu datangnya dia bersegera untuk mendapatkannya.

Tergesa-gesa maknanya adalah mencari sesuatu sebelum datang waktunya. Yang demikian merupakan kebodohan dan sikap gegabah. Sikap ini termasuk meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, yang akan berujung dengan penyesalan.

(23) Adil dalam bersikap dan menghukumi

Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, sebagai yang dibimbingkan oleh syari’at Nabi Nuhammad Shallallahu alaihi wa Sallam.

Ketahuilah, wahai saudaraku muslim! Sesungguhnya keadilan merupakan sesuatu yang sangat sedikit (susah didapatkan) di tengah kehidupan kaum muslimin di masa ini. Jika engkau mendapati seorang yang adil, maka dia lebih berharga bagimu dibandingkan permata merah.Allah Aza wa Jalla berfirman, " Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” (An-Nisaa’:135).
Allah Ta'ala berfirman, " Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil.” (Al-An’am: 152).

Allah Ta'ala berfirman, " Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil.” (Al-Maidah:8).

(24) Berupaya untuk mengenali pihak yang mengobarkan fitnah

Suatu perkara yang ma’lum bahwa tidak ada satu fitnahpun yang terjadi antara seorang muslim dan saudaranya kecuali masuk didalamnya orang yang bukan ahlinya, entah itu karena niatan yang baik maupun niatan yang jelek. Yang dituntut dalam kondisi ini adalah mencari orang-orang yang menjadi penggerak fitnah dan penghalang antara pihak yang akan mendamaikan dengan pihak-pihak yang berselisih. Pihak-pihak yang menjadi penggerak fitnah adalah:

Para setan dari jenis jin
Para setan dari jenis manusia
Adapun para setan dari jenis manusia di antaranya adalah tukang sihir, tukang ramal(Ahli astrologi/perbintangan), orang-orang munafik, para da’i kesesatan, mata-mata, dan yang lainnya.

Orang yang sangat suka mendengar perkataan para setan dari jenis manusia sebagaimana telah disebutkan di atas tadi, golongan inilah yang disebutkan secara tegas didalam Al-Qur’an, " Jika mereka berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian, untuk mengadakan kekecauan di antara kalian; sedang di antara kalian ada orang-orang yang sangat suka mendengarkan perkataan mereka.” (At-Taubah:47).

Oleh karena itu kita ,menyaksikan di saat suatu fitnah terjadi dan mencuat ke permukaan, muncul sekelompok manusia yang sangat bersemangat untuk menyebarkannya, dan seolah menampakkan kecemburuan agama yang tidak ada tandingannya. Sementara mereka tidak dikenal sebagai orang-orang yang memiliki peran-peran agama yang terpuji. Bahkan mereka dikenal sebagai orang-orang yang kacau balau dan semangat dalam meraih dunia. Golongan ini sangat sulit untuk diketahui dan dibedakan kecuali di saat terjadi fitnah. Jika kita memperhatikan perkara tersebut, kita akan tahu siapa yang berada di balik sebuah fitnah.

Adapun kondisi para ‘ulama ketika tidak mengetahui semua musuh, maka yang demikian bukanlah sesuatu yang menjadikan mereka kemudian dicela. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan Allah lebih mengetahui(daripada kalian) tentang musuh-musuh kalian. Dan cukuplah Allah menjadi pelindung(bagi kalian). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagi kalian).” (An-Nisaa’:45).

Allah Ta'ala berfirman, " Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kkuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya sedang Allah mengetahuinya.” (Al-Anfal: 60).

Atas dasar ini semua, merupakan perkara yang dituntut dari setiap orang yang berakal agar memiliki sikap hati-hati, sabar dan cermat di dalam memahami bagaimana berkobarnya sebuah fitnah dan siapa yang berada di balik fitnah tersebut.

Setan-setan dari jenis jin dan usaha mereka untuk merusak orang yang beriman.  Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan apa yang diperbuat oleh setan terhadap orang-orang yang beriman. 

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu Anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Sesungguhnya setan merasa putus asa untuk bisa diibadahi oleh orang-orang yang shalat di Jazirah ‘Arab. Akan tetapi setan berusaha untuk merusak mereka dengan cara mengadu domba mereka,”(HR.  Muslim)

Adu domba merupakan sebuah pintu yang luas dengan pola-pola yang bermacam-macam, di mana asas semua bentuk adu domba adalah bisikan-bisikan setan. Di antaranya sebagaimana dalam firman Allah Aza wa Jalla, " Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (An-Naas : 4-5).

Di antara bentuk adu domba adalah perselisihan.Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan katakankah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (Al-Israa’:53).

Di antaranya adalah tuduhan dusta. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh manusia bagaikan aliran darah. Dan aku khawatir setan menimpakan prasangka buruk terhadapku pada hati kalian berdua.”(Muttafaq ‘alaih)

Di antaranya juga adalah tipu daya. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Maka setan (Iblis) membujuk keduanya (Adam dan Hawa) untuk memakan buah itu dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah pohon itu, sehingga terbukalah aurat keduanya.” (Al-A’raaf:22).

Di antaranya pula adalah sikap tidak peduli, merintangi,  menjauhkan, menyelewengkan dan janji-janji palsu.

Seandainya orang-orang yang beriman memahami berbagai sepak terjang yang dilakukan para musuh Allah terhadap mereka, niscaya mereka akan berhati-hati dan menjaga diri dari musuh tersebut. Akan tetapi kelalaian kebanyakan manusia menjadikan musuh mereka tersebut berhasil menguasai sebagian mereka. Hanya Allah-lah tempat kita meminta agar menjaga kita dari kejahatan jiwa kita dan kejahatan setan serta sekutunya.

Hendaklah kita melazimi dzikir-dzikir pagi dan petang, dzikir menjelang tidur dan bangun tidur serta dzikir-dzikir lainnya. Hendaknya kita menjaga ketaatan kepada Allahdan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Aza wa Jalla.

Hendaknya kita memahami berbagai pintu setan dalam upayanya untuk memasuki kita, dan hendaknya kita berusaha sekuat tenaga untuk menutupnya.

(25) Menjauhi melakukan pembalasan karena pribadi (Balas Dendam)

Di antara penyakit berbahaya yang tersebar di masa fitnah adalah upaya untuk membalas karena kepentingan pribadi dengan berbagai upaya pembenaran yang sangat lemah. Pembalasan karena dendam pribadi merupakan perkara yang akan mengubur persaudaraan, dia akan menelanjangi saudaranya dari seluruh kebaikan, keshalihan dan ilmu yang dimilikinya. Engkau akan mendapati orang tadi siap memusuhi saudaranya dengan sebab yang sangat remeh.

Tidak samar bagimu, wahai saudaraku yang mulia, perbedaan antara membela diri dengan membalas dendam. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak  ada  suatu dosapun atas mereka.” (Asy-Syuraa:41).
Allah Ta'ala berfirman, " Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim, mereka membela diri.” (Asy-Syuraa:39).

Bahkan bersamaan bolehnya melakukan pembelaan diri, syariat mengajak untuk memaafkan dan bersikap sabar terhadap orang yang melakukan kezhaliman tersebut. Dan yang lebih baik bagi seorang muslim adalah bersabar, jika ternyata upaya membela diri tersebut akan memunculkan fitnah atau menimbah fitnah yang ada. Adapun membalas dendam merupakan tindakan kezhaliman dan melampaui batas. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat tersebut.

(26) Cinta ketenaran akan mematahkan tulang punggung

Di antara manusia ada yang senang dengan ketenaran sehingga memanfaatkan fitnah sebagai tunggangan untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal ini mengandung berbagai kerusakan dimana tidak ada yang mampu menghitungnya kecuali Allah, entah itu berupa sikap aniaya, dengki, zhalim ataupun dendam. 

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash:83)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, " Hati-hatilah dari syahwat yang tersembunyi.”Beliau ditanya: Apakah syahwat yang tersembunyi itu? Beliau menjawab:”Cinta kepemimpinan”.

Sedangkan yang kita minta kepada Allah untuk diri kita adalah bagaimana kita menjadi para pemimpin dalam agama ini.

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyhakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah:24)

Dengan sabar akan tertolak berbagai syahwat, dan dengan yakin akan tertolak berbagai syubhat.

( 27 ) Mendamaikan dua pihak yang saling berselisih

Allah Aza wa Jalla telah memerintahkan di dalam kitab-Nya dan juga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam sunnahnya kepada yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki hubungan. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian memang orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal:1)

Allah Ta'ala berfirman, " Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudara kaliaan dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mndapat rahmat.” (Al-Hujurat :10)

Raululullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Maukah kalian aku kabari dengan perkara yang lebih utama derajatnya dengan puasa, shalat dan sedekah?” Para shahabat menjawab: Tentu saja. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  bersabda: “Mendamaikan dua saudaramu yang berselisih. Dan sesungguhnya kerusakan hungan di antara dua saudara adalah haliqah(perkara yang mengikis amalan shalih.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)

(28) Keselamatan hati dan lisan termasuk amal yang paling utama

Telah datang dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya tentang siapa yang paling utama. Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, " Setiap orang yang bersih hatinya dan jujur lisannya.” Mereka berkata: Wahai Rasulullah, adapun orang yang lisannya jujur kami sudah paham. Lalu apa yang dimaksud yang hatinya bersih? Beliau nebjawab: “Seseorang yang bertakwa dan suci. Tidak ada dosa dan permusuhan tidak pula dendam dan kedengkian dalam hatinya.” (HR.Ibnu Majah)

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), kereka bordoa: “Wahai Rabb kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Kebaikan seluruhnya ada dalam perbaikan dan pembersihan hati dari berbagai permusuhan, kezhaliman, kedengkian dan hasad.

(29) Meninjau akibat - akibat yang mungkin terjadi

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Diwajibkan atas kalian untuk berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.”(Al-Baqarah:216)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Barang siapa yang benar pengenalan dan pemahaman kepada Rabb-nya, dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dia akan mengetahui dengan yakin bahwa perkara-perkara yang dibenci yang menimpanya dan ujian yang mengenainya mengandung berbagai maslahat dan manfaat yang tidak mungkin bisa dihitung olehnya dan pikirannya. Bahkan maslahat seorang hamba yang ada dalam perkara yang dia benci lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang ada dalam perkara yang dia cintai.”

Beliau Rahimahullah juga berkata : “Tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba dibandingkan melaksanakan perintah Rabb-nya walaupun di awalnya perkara tersebut berat baginya. Karena akibat yang didapatkannya seluruhnya adalah kebaikan, kegembiraan, kelezatan dan kesenangan. Walaupun jiwanya tak menyenanginya, tetapi perkara yang diperintahkan itu lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Demikian pula dengan melakukan sebuah larangan. Walaupun hawa nafsunya menyenanginya dan senderung padanya, tetapi seluruh akibatnya adalah kepedihan, kesedihan, kejelekan dan bencana. Dan kekhususan akal adalah kemampuan untuk tabah dalam menghadapi kepedihan sesaat yang akan diiringi dengan kelezatan yang besar serta kebaikan yang melimpah.”

Sampai kepada ucapan beliau Rahimahullah:

“Pandangan seorang yang bodoh tidak bisa menembus antara dasar sampai ke puncak sesuatu. Sedangkan seorang yang berakal dan cerdas senantiasa memandang kepada puncak(tujuan) dibalik tabir-tabir dasarnya. Dia melihat apa yang ada di balik tabir-tabir tersebut dari berbagai tujuan yang terpuji maupun yang tercela.”

Wahai saudaraku muslim, wajib bagimu untuk melihat berbagai akibat dari perkara yang ada di saat engkau akan berbicara dam berbagai perkara. 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Sungguh seorang hamba mengucapkan satu ucapan, yang dia tidak berusaha mencari kejelasan kebenarannya, dengan sebab itu dia tergelincir ke dalam neraka yang lebih jauh daripada arah timur dan barat.”(Muttafaq alaih)

(30)  Bersikap lembut dalam seluruh perkara

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu Anha, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Pelan-pelan wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam seluruh perkara.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, " Pelan-pelan wahai ‘Aisyah! Wajib bagimu untuk bersikap lembut dan jauhilah sikap kasar dan ucapan yang keji.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, " Sesungguhnya bahwa kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan memperindah keadaannya. Dan tidaklah tercabut dari sesuatu kecuali akan memperburuk keadaannya.”

Dari hadits-hadits tersebut engkau mengetahui bahwa pokok agama kita dibangun di atas kelembutan. Kelembutan akan membuat sesuatu menjadi bagus dan indah. Sedangkan sikap kasar akan membuat sesuatu menjadi jelek dan buruk. Sesungguhnya kelembutan dibangun di atas rasa kasih sayang. Dan tidaklah tersembunyi bagi orang yang berakal bahwa bersikap keras pada tempatnya dengan didasari patokan-patokan syariat merupakan perkara yang dituntut. Bahkan terkadang sikap keras ini merupakan bagian dari kelembutan.

(31) Berani untuk mengakui kesalahan dan Ruju’(Kembali) kepada kebenaran

Ruju’ (kembali) kepada kebenaran merupakan suatu kemuliaan, sedangkan terus-menerus di atas kesalahan merupakan kehinaan.

Telah datang dalam rakyat Al-Baihaqi (10/119), bahwa sesungguhnya ‘Umar Radhiyallahu Anhu telah menulis surat untuk Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallhu Anhu dimana dalam surat tersebut dikatakan:

“Janganlah satu keputusan yang telah engkau putuskan hari ini yang kemudian engkau mengoreksinya kembali dan engkau ditunjuki kepada jalan yang lurus menghalangimu untuk kembali kepada kebenaran. Karena sesungguhnya kebenaran itu sesuatu yang sudah lama,dan tidak ada sesuatupun yang bisa membatalkannya. Sedangkan kembali kepada kebenaran lebih baik dibandingkan terus-menerus di atas kebatilan.”

Engkau mendapati kebanyakan manusia merasa berat untuk kembali kepada kebenaran. Rahasianya tidak lain kecuali aebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah, "Jiwa itu bagaikan gunung tinggi yang menghalangi perjalanan menuju Allah. Setiap orang yang berjalan, tidaklah dia berhasil melewatinyan kecuali akan sampai kepada tujuannya. Akan tetapi ada yang merasakan berat, ada pula yang merasakan ringan dalam melaluinya. Dan sesungguhnya perjalanan tersebut akan mudah bagi orang yang Allah mudahkan".

Sementara pada gunung tersebut ada lembah-lembah, jalan, bukit-bukit, jurang-jurang, duri-duri, tumbuh-tumbuhan, dan para begal(penjahat yang menghadang setiap orang yang lewat di jalanan). Terlebih lagi bagi orang-orang yang berjalan di malam hari. Maka dia harus memiliki bekal iman dan lentera keyakinan yang dinyalakan dengan minyak ke-tawadhu-an. Jika tidak, dia akan terhenti disebabkan penghalang-penghalang tersebut, di mana penghalang-penghalang tadi begitu kuat bagi mereka dalam menghalangi mereka dari perjalanan tadi.

Sesungguhnya kebanyakan orang yang menempuh perjalanan tadi, berbalik arah ketika tidak mampu melintasi perjalanan tadi, berbalik arah ketika tidak mampu melintasi dan mencebur ke dalam cobaan yang ada dalam perjalanan yang ada dalam perjalanan tersebut. Sementara setan berada di puncak gunung tersebut, memperingatkan dan menakut-nakuti manusia agar jangan mendaki gunung tersebut. Sehingga bertemulah antara beratnya pendakian gunung tadi, duduknya setan di puncak gunung tadi yang berusaha menakut-nakuti manusia, serta lemahnya tekad dan niat orang yang ingin melintasinya, yang mengakibatkan terputusnya dan kembalinya orang yang berusaha untuk menempuhnya tadi. Orang yang selamatadalah yang dijaga oleh Allah.

Setiap kali si pendaki tersebut mendaki, semakin keras teriakan, peringatan dan ancaman dari orang yang berusaha memutuskan perjalanan tersebut. Jika dia terus berusaha untuk menempuhnya hingga sampai di puncak gunung tersebut maka berbagai ketakutan itu akan berbalik menjadi keamanan, dan di saat itu perjalannannya menjadi mudah dan hilanglah seluruh penghalang serta beratnya melintasi perbukitannya. Dia akan melihat jalan yang akan ditempuhnyya begitu lebar dan aman yang akan menyampaikannya ketempat-tempat persinggahan dan peristirahatan. Sehingga untuk sorang hamba sampai pada kebahagiaan dan kemenangan harus ada kekuatan tekad, kesabaran, keberanian jiwa, serta kekokohan hati untuk meraihnya.

Dan disebabkan tidak adanya ketundukan jiwa dengan ketundukkan yang sempurna kepada Allah dan Rasul-Nya, menjadi sulit bagi mereka untuk kembali kepada kebenaran .

 Allah Aza wa Jalla berfirman, " Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’:65).

Allah Ta'ala berfirman, " Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab:36)

(32) Berhenti pada batas-batas syar’i

Diantara batasan syariat adalah :

* Cinta kepada seorang muslim

Rasululah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah kalian akan masuk jannah sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan sempurna) sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu perkara yang jika kalian melakukannya akan saling mencintai? Tebarkan salam di antara kalian!”(HR. Muslim)

Nabi Sallallahu alaihi wa sallam bersabda, " Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Muttafaq Alaih)

Kecintaan kepada seorang muslim harus dilandasi karena Allah Aza wa Jalla. Juga kecintaan tersebut harus sesuai dengan kadar kebaikan yang ada pada seorang muslim. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda, " Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

* Kasih sayang kepada seorang muslim

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath:29)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Allah tidak meletakkan rahmat-Nya kecuali pada orang yang penyayang.” Para shahabat berkata: Kami semua menyayangi wahai Rasulullah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab:”Bukanlah yang dimaksud penyayang jika salah seorang di antara kalian menyayangi temannya.Tetapi yang diinginkan adalah menyayangi semua manusia.”(HR. Abu Ya’la' )

Kasih sayang kepada kaum muslimin harus diikat dengan patokan-patokan syar’i. Termasuk kesalahan,terkadang sebagian manusia menyayangi satu orang dan menzhalimi masyarakat banyak. Allah Aza wa Jalla berfirman ketika menjelaskan tentang para pezina, " Maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah, dan hari akhirat.” (An-Nuur:2)

* Menjauhi sikap bencian kepada seorang muslim

Hukum asal pada seorang muslim adalah ridha kepada saudaranya se islam. Akan tetapi dibolehkan terjadi kemarahan kepadanya karena Allah, dan harus dengan patokan-patokan syar’i.

* Memberikan pertolongan dan pembelaan kepada seorang muslim

Telah datang dalam hadits Anas Radhiyallahju Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi  wa Sallam bersabda, " Tolonglah saudara yang menzhalimi atau yang dizhalimi!” Seseorang berkata: Wahai Rasulullah, Aku akan menolongnya jika dia dizhalimi.Lalu bagaimana aku menolong orang yang berbuat zhalim?” Beliau menjawab:  ”Engkau menghalanginya dari kezhalimannya.” (Muttafaq Alaih)

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (An-Nisaa’:105)

Allah Ta'ala berfirman, " Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.”(An-Nisaa’:107)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Orang yang dizhalimi yang dalam posisi di atas kebenaran, yang tidak meremehkan ilmunya, maka diperintahkan untuk bersabar. Jika dia tak bersabar, maka dia telah meninggalkan perkara yang diperintahkan.” Firman Allah Aza wa Jalla, " Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka,”(Asy-Syuraa:41)

akan tetapi dipersyaratkan dua persyaratan berikut ini:

- Kemampuan untuk melakukan pembelaan diri tersebut.
- Tidak melempaui batas dalam melakukannya.

* Memberikan pujian terhadap seorang muslim

Al-Qur’an dan As-Sunnah penuh dengan pujian dan sanjungan terhadap seorang muslim. Seorang muslim dipuji karena kejujurannya kepada Allah, takutnya kepada-Nya, kezuhudan dari dunia, kekokohan diatas kebenaran, dan perkara-perkara lainnya. Akan tetapi pujian ini harus ditempuh dengan patokan-patokan syar’i sebagaimana berikut ini:

Orang yang memberikan pujian mengucapkannya dalam rangka ibadah, bukan dalam rangka menjilat.
Pujian tersebut berdasarkan kenyataan yang ada pada orang yang dipuji. Adapun pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan merupakan kedustaan.
Pujian tersebut diucapkan di saat dibutuhkan, bukan terus-menerus.
Hendaknya memperhatikan sisi kemaslahatan orang dipuji. Jika pujian tadi akan menyebabkan orang yang dipuji terjatuh dalam sikap ‘ujub (bangga diri), maka dia tidak dipuji di hadapannya. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam bersabda kepada seseorang yang sedang menuji seorang lelaki(dihadapan lelaki tersebut):
“Celaka kamu, kamu telah mematahkan leher temanmu.” (Muttafaq ‘alaih)

* Ta’ashshub (fanatik) ketika Bersengketa dengan Seorang Muslim.

Sesungguhnya sikap fanatik ketika bersengketa dengan seorang muslim merupakan dosa besar dan peninggalan jahiliyah. 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Apakah kalian menyeru dengan seruan jahiliyah, sementara aku masih berada di tengah kalian? Tinggalkan seruan jahiliyah tersebut, karena sesungguhnya hal itu adalah perkara yang busuk.”

* Su’uzh Zhann (berburuk sangka) terhadap Seorang Muslim

Berburuk sangka merupakan perkara yang dilarang oleh syari’at. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam  bersabda, 
“Jauhilah berburuk sangka, karena buruk sangka itu sedusta-dusta ucapan.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim )

Bahkan Allah Aza wa Jalla telah berfirman, " Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat:12)

(33) Bahaya Mata-mata terhadap Da’wah- Semoga Allah Menhancurkan Mereka

Allah telah mengharamkan tindakan memata-matai(untuk mencari-cari kesalahan) kaum muslimin dalam firman-Nya, " Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” (Al-Hujurat:12)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Jangan kalian mencari kesalahan-kesalahan orang lain, dan jangan pula mengorek-ngorek berita tentangnya.”

Mata-mata merupakan musuh agama dan da’wah kita. Bukanlah ucapan kami bertujuan menuduh manusia dengan tuduhan sebagai mata-mata tanpa indikasi-indikasi yang jelas, akan tetapi seruan agar semuanya tersadar dan tergugah.

(34)  Rujuk dan kembali dalam  kaidah-kaidah Al-Jarh wat Ta’dil (Kritikan dan Pujian) secara benar

Orang yang melihat realita kehidupan kaum muslimin akan melihat bahwa banyak di antara mereka yang men-jarh (mengkritik) atau men-ta’dil (memuji), bersamaan berbeda-bedanya perkara yang yang dikritik dan dipuji. Dengan sebab itu muncul celaan pada kehormatan manusia dan masuk dalam kancah menjatuhkan kehormatan mereka. Yang demikian merupakan kezhaliman yang sangat besar. 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Sesungguhnya riba yang paling besar dosanya adalah mencemarkan kehormatan seorang muslim tanpa alasan yang benar.”(HR. Abu Dawud )

Allah telah menakdirkan adanya para ‘ulama hadits yang meletakkan kaidah-kaidah ilmu hadits ini. Sehingga para ahli haditslah yang berhak meletakkan kaidah-kaidah al-jarh wat ta’dil dengan patokan-patokannya. Mereka adalah orang-orang yang menguasai medan ini dan para tokohnya. Sehingga hampir-hampir engkau tidak mendapati jarh ataupun ta’dil yang benar dari selian mereka. Dan senantiasa pada setiap masa ada ‘ulama hadits yang memiliki keahlian dalam men-jarh dan men ta’dil, seperti bapak kami dan guru kami Muqbil bin Haadi Al-Waadi’i, Al-‘Allamah Al-Abani, dan Ibnu Baaz-rahimahumullah.

(35) Perbedaan antara Para ‘Ulama dan Orang-orang yang mengaku - aku sebagai ulama

Perbedaan ini sangat penting untuk diketahui agar manusia bisa diposisikan sesuai dengan kedudukannya, dan agar para ‘ulama benar-benar dijadikan rujukan di saat terjadi berbagai fitnah.

Dan orang-orang yang menyerupai ‘ulama terkadang berusaha untuk memutuskan jalan yang menghubungkan manusia dengan para ‘ulama. Tidaklah engkau mendapati satu masapun kecuali manusia mengeluhkan keberadaan golongan yang pura-pura berilmu ini.

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, " Tidak ada penyakit yang lebih berbahaya terhadap ilmu dan pemiliknya dibandingkan orang-orang yang masuk ke dalam ilmu sementara mereka bukan ahlinya. Karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bodoh dalam keadaan menyangka diri mereka berilmu. Mereka melakukan kerusakan dalam keadaan memposisikan diri mereka sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan.”

Sebagian ulama berkata, " Ilmu itu ada tiga jengkal. Barangsiapa yang baru masuk dalam jengkal yang pertama maka dia akan takabbur (sombong). Barangsiapa yang telah masuk dalam jengkal yang kedua maka dia akan tawadhu’ (merendah).Dan barangsiapa yang telah masuk ke dalam jengkal yang ketiga maka dia akan tahu bahwa dirinya tidak tahu.”

Sebagian ‘ulama yang lain berkata, " Seandainya seseorang yang tidak berilmu mau diam sampai orang yang berilmu berbicara, niscaya fitnah akan selesai.”

Siapakah Orang-orang yang Menyerupai Para ‘Ulama tersebut? Di antara mereka adalah:

* Para pemikir dan ahli tsaqafah(budayawan).

Kebanyakan pemikir kosong dari ilmu syari’at Islam. Hendaknya mereka kembali kepada para ‘ulama Islam. Adapun ahli tsaqafah, mayoritas mereka menampilkan simbol-simbol Islam secara global, sementara berbagai pemikiran dan pendapat yang disusupkan ke dalam Islam telah ,menutupi simbol-simbol tersebut. Maka waspadalah dari terperdaya oleh mereka. Kalaupun di antara mereka melakukan tindakan perbaikan dalam satu perkara, sesungguhnya mereka telah melakukan pengrusakan dalam sekian bayak perkara.

* Orang-orang yang pandai bicara dan pandai khutbah. 

Mereka berada pada posisi terdepan dalam menjaga perbatasan Islam, seandainya mereka mencukupkan diri dengan yang mereka kuasai dan ilmui. Akan tetapi kebanyakan mereka memposisikan dirinya pada kedudukan para ‘ulama. Tidakkah semestinya mereka mengetahui kadar diri-diri mereka?

* Para juru tulis dan wartawan. 

Umat Islam juga telah diuji dengan banyaknya para penulis di masa kita ini yang menulis berbagai tulisan di koran-koran dan majalah-majalah. Mereka menulis berbagai tulisan dan berusaha untuk menanduk gunung-gunung menurut sangkaan mereka. Setiap kali datang suatu kejadian mereka telah mendahului para ‘ulama untuk memberikan komntar, saran pandang, dan solusi permasalahan menurut persangkaan mereka. Sungguh benar apa yang telah disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Sesungguhnya menjelang hari kiamat akan datang tahun-tahun yang penuh dengan tipu daya. Orang yang jujur didustakan dan sebaliknya pendusta dibenarkan beritanya. Orang amanah dianggap pengkhianat, sedangkan pengkhianat dianggap sebagai orang yang amanah. Di masa itu para ruwaibidah berbicara.” Rasulullah ditanya: Apa yang dimaksud ruwaibidah? Beliau menjawab: “Orang-orang rendahan yang berbicara tentang urusan umat.”(HR. Ahmad)

(36)  Menyampaikan ucapan dengan hikmah dan bijak. 

Sesungguhnya termasuk di antara perkara yang harus dipahami oleh orang-orang yang yang menegakkan da’wah ilallah adalah perbedaan antara ucapan yang disampaikan untuk orang-orang khusus dan yang disampaikan untuk keumuman manusia. Karena yang dituntut adalah agar manusia diajak berbicara dalam perkara yang mudah dipahami oleh mereka. Oleh karena itu “Ali bin Abi Thalib  Radhiyallahu Anhu berkata, " Berbicaralah kepada manusia dengan perkara yang mereka mengerti! Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasul-Nya didustakan.” (HR. Al-Bukhary )

(37) Perbedaan antara Hajr (Boikot) yang disyari’atkan dengan Hajr yang dilarang.

Ini merupakan permasalahan yang sangat besar manfaatnya, jika diterapkan sesuai dengan yang semestinya. Sebaliknya akibat-akibatnya sangat berbahaya jika diterapkan tidak di atas patokan-patokan syar’i.

Sedangkan hajr sebatas dzatnya adalah perkara yang disyari’atkan berdasarkan penunjukkan Al-Qur’anul Karim atas perkara tersebut. 

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka.” (An-Nisa’:140)

Allah Ta'ala berfirman, " Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’aam:68)

Dan di antara dalil dari As-Sunah adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Seorang yang berhijrah adalah yang meninggalkan perkara yang Allah larang darinya.” (HR. Al-Bukhary)

Al-Hajr terbagi menjadi dua:

- Hajr karena hak Allah
- Hajr karena hak hamba

Adapun hajr karena hak Allah adalah meninggalkan perkara-perkara yang jelek dan para pelaku kejelekan, sama saja pelakunya sampai pada tingkatan mubtadi’(ahli bid’ah) ataupun hanya sekedar pelaku maksiat.

Sedangkan hajr karena hak hamba, yang demikian itu diijinkan oleh Allah, seperti dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya (se-Islam) di atas tiga malam, di mana keduanya bertemu yang satu berpaling dan yang lainnyapun berpaling.” (Muttafiq ‘alaih)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Hajr(pemboikotan) terkadang bisa menjadi obat bagi orang yang di-hajr jika tidak dipadatkan obat yang selain ini. Dimana penggunaannya tidak boleh melebihi kadar dan tata cara yang telah ditetapkan oleh syariat sehingga justru akan membinasakan orang yang diobati, jika memang yang diinginkan dengan hajr tersebut adalah memperbaikinya bukan membinasakannya.”

(38) Perbedaan antara Jidal (perdebatan) yang Disyari’atkan dengan Jidal yang Dilarang

Allah Aza wa Jalla telah berbicara kepada Nabi-Nya Shallallahu Alaihi wa Salam dalam firman-Nya, " Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl:125)

Dan Allah Ta'ala telah berbicara kepada kaum mu’minin dalam firman-Nya, " Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” (Al-‘Ankabuut:46)

Adapun kaidah debat dengan cara yang baik adalah sebagai berikut:

- Yang diinginkan oleh orang yang berdebat adalah pembelaan terhadap al-haq(kebenaran), dan memberikan petunjuk kepada orang yang didebati.
- Orang yang mendebat harus di atas ilmu dan pemahaman yang benar terhadap ilmu tersebut.
- Orang yang mendebat harus berpegang dengan adab-adab syar’i, seperti berakhlak baik, sabar, lembut, dan akhlak terpuji yang lainnya.

Adapun perdebatan yang dilarang adalah kebalikan dari kaidah yang telah disebutkan di atas, di mana hakikatnya adalah perdebatan yang dilakukan atas dasar kezhaliman, permusuhan, kebodohan, kedustaan, cacian, laknat, menang-menangan dan memutuskan kebaikan.

 Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Tidaklah suatu kaum menjadi tersesat setelah sebelumnya mereka di atas hidayah kecuali karena mereka senang berdebat.” (HR. At-Tirmidzi )

Perdebatan dengan cara-cara yang menyelisihi syari’at merupakan naluri yang ada pada manusia. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Al-Kahfi:54

Tidak ada yang selamat dari sifat tersebut kecuali yang Allah selamatkan.

(39) Perbedaan antara Khilaf (Perselisihan) yang dibolehkan dengan perselisihan yang dilarang

Perbedaan ini sangat penting untuk dipahami dan dijadikan sebagai pegangan.

Kelompok-kelompok yang dihukumi oleh Ahlus Sunnah yang dulu maupun yang sekarang sebagai kelompok bid’ah dalam agama dan merupakan hizbiyah (sempalan umat) merupakan perselisihan yang tercela dikarenakan bertentangan dengan satu prinsip atau lebih di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan kelompok-kelompok tersebut tidak akan kembali kepada sunnah kecuali dengan meninggalkan perkara yang telah mengeluarkan sunnah tersebut dari mereka. Macam-macam perselisihan yang masyhur ada tiga:

- lkhtilaafut Tadhaadh (Perselisihan yang berseberangan dengan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah)
- lkhtilafut Tanawwu’, dimana jenis ini termasuk bagian dari syari’at (seperti perbedaan bacaan do’a istiftah, do’a ruku’, do’a sujud dan yang semisalnya).
- lkhtilaful Afham (perbedaan yang terjadi dalam pemahaman terhadap nash). Yang demikian dibolehkan dengan dibatasi batasan syar'i’, di antaranya:
- Orang yang menyelisihi harus berjalan di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara ilmu dan amalan.
- Tidak muncul darinya penyelisihan yang banyak terhadap perkara yang dipegangi oleh Ahlus Sunnah.
- Keharusan baginya merujuk kepada kebenaran jika telah nampak kesalahannya
- Dia termasuk ahli ijtihad (mujtahid)
- Suatu keharusan bahwa batasan tersebut dibawah pandangan para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

(40) Manhaj Nabawi mengajak untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di awal kemunculannya

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajari kita bagaimana cara menutup pintu-pintu perselisihan dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Di antaranya adalah hadits yang datang dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhuma. Beliau berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam keadaan beliau menahan rasa sakit parah yang menjadi sebab wafatnya:

“Datangkan aku sebuah kitab, yang aku akan tuliskan kitab tertsebut sebagai wasiat untuk kalian, dengan itu kalian tidak akan tersesat sepeninggalku.” Maka para shahabatpun berselisih. Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

“Menyingkirlah kalian dariku. Tidak sepantasnya kalian berselisih di sisiku.” (HR. Al-Bukhari)

Al-Imaam Al-Bukhari rahimahullah telah meriwayatkan dari Jundab Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Bacalah Al-Qur’an apa yang akan bisa merekatkan hati kalian. Jika kalian berselisih maka tinggalkan perselisihan tersebut ".

Jika perselisihan ditinggalkan tanpa upaya pengobatan, maka akan merebak kejelekannya dan akan membesar bahayanya, dan akan masuk pada perselisihan tersebut orang-orang yang tidak pandai menyelesaikan, tidak bisa memperbaiki, bahkan justru merusak.

(41) Cara munaazharah (Dialog/Debat) yang sesuai syariat. 

Dan diantara kaidah munaadzarah yaitu :

1.menyebutkan ucapan lawan bicara dengan persis sebagaimana yang diucapkan.

2.kemudian mulai melihat ucapan itu untuk dibantah satu persatu.

Hal ini merupakan perkara yang tidak dilalaikan oleh seorang ahli dirayah pun dalam berbagai disiplin ilmu serta pembahasan tentang hakikat serta ketekunan untuk mempelajari detil-detil kandungannya. Hanyalah terjadi perbedaan madzhab para ahli kritik dalam perkara tersebut. Mereka terbagi dalam dua madzhab:

MADZHAB PERTAMA : Mendatangkan ucapan lawan debat secara persis, dan menghindar dari tuduhan adanya perubahan atau pengurangan. Inilah madzhab yang diridhai di sisi para tokoh cabang-cabang ilmu nazhari dan para imam uslub (pola-pola) perdebatan. Ketahuilah bahwa meninggalkan ucapan lawan debat merupakan kezhaliman yang nampak dan tindakan aniaya yang nyata. Karena sesungguhnya dia berbicara agar ucapannya dibandingkan dengan ucapan lawan bicaranya dalam wadah timbangan pemikiran dan perbandingan dalam medan perdebatan. Karena sesuatu yang sendirian (tanpa pembanding) akan menang dalam timbangan walaupun ringan, dan akan menang dalam medan perlombaan walaupun lemah. Ini semua dilakukan jika lawan bicara memiliki ucapan yang terjaga dan pilihan yang pantas untuk diurai dan dibantah. Maka termasuk bagian dari keadilan adalah menerangkan ucapannya dan membawakan lafazh ucapannya. Adapun jika lawan bicara sama sekali tidak diatas satu madzhab, atau dianggap dia di atas madzhab itu, atau dituduhkan padanya dengan suatu ucapan yang tidak dia katakan, maka yang demikian adalah kezhaliman di atas kezhaliman, dan kegelapan di atas kegelapan.

MADZHAB YANG KEDUA : adalah membawakan pendapat-pendapat lawan bicara secara makna. Dalam madzhab ini terkandung adanya unsur kezhaliman. Karena lawan bicara terkadang telah memilih lafazh dan memperhatikan ungkapan dalam pendalilannya yang dia ridhai untuk menjelaskan maksud ucapannya yang dipilih untuk cara pendalilannya. Sedangkan susunan-susunan pembicaraan demikian p;ula tingkatan-tingkatan bentuk kalimat berbeda-beda. Sementara setiap lafazh memiliki makna sendiri-sendiri, dan susunan kalimat merupakan kendaraan orang-orang yang berdebat. Orang yang bertarung tidak ridhai dengan tombak pendek yang bukan senjatanya. Tidak pula akan ridha orang yang meninggikan bangunan bukan di atas pondasinya. Bersamaan di antara maksud terbesar adanya dialog adalah memutuskan ‘udzur(alasan) kawan.

Dan menukilkan ucapan lawan debat harus diambil dari sumber yang terpercaya di sisi para ‘ulama.

( 42) Perbedaan antara nasehat dan celaan

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Nasehat adalah perbuatan ihsan terhadap yang engkau nasehati dengan menunjukkan sikap sayang, kasihan, dan kecemburuan. Yang demikian merupakan perbuatan kebaikan yang murni..Dan yang menjadi keinginan dari orang yang menasehati adalah mengharap wajah Allah dan ridha-Nya, serta berbuat ihsan kepada makhluk-Nya, sehingga dia akan berusaha bersikap selembut mungkin dalam mencurahkan nasehatnya dan tabah dalam menghadapi gangguan serta celaan orang yang dinasehatinya…

Adapun orang yang mencela adalah seseorang yang tujuannya adalah menghinakan, merendahkan, dan mencela orang yang dia cela dan dia caci dengan gambaran seorang yang menasehati. Dia akan mengatakan : “Wahai pelaku perbuatan ini dan itu!” (sampai pada ucapan beliau):

“Dan di antara perbedaan antara orang yang menasehati dengan orang yang mencela adalah seseorang yang menasehatimu dengan orang yang mencela adalah seseorang yang menasehatimu tidak akan memusuhimu jika kamu tidak menerima nasehatnya …dan akan mendoakanmu ketika tidak dihadapanmu, tidak pula menyebut aib-aibmu, tidak pula membeberkannya. Adapun orang mencela maka kebalikan dari sifat-sifat tersebut.”

Aku katakan: Tidak tersembunyi bagi seorang muslim bahwa asas memperbaiki orang-orang yang diajak bicara adalah nasehat kepada mereka, berdalilkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Agama ini nasehat.” Kami bertanya: Untuk siapa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslim dan seluruh muslim.” (HR. Muslim )

(43) Perbedaan antara Munaafasah(Berlomba-lomba/Bersaing) dan Hasad

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Munaafasah adalah bersegera untuk mendapatkan kesempurnaan yang engkau lihat dari selainmu, kemudian engkau berusaha untuk mendapatkannya sehingga engkau bisa setingkat dengan orang tersebut atau bahkan bisa melampauinya. Yang demikian itu termasuk dari kemuliaan diri, ketinggian cita-cita dan keagungan kedudukan.Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan untuk yang demikian itu hendaknya manusia berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin:26).

“Adapun hasad merupakan akhlak jiwa yang tercela dan rendah, yang tidak ada di dalamnya semangat untuk meraih kebaikan. Sehingga karena kelemahan dan kerendahannya dia akan mendengki terhadap siapa saja yang mendapatkan kebaikan dan pujian, dan dengan sifat itu pula dia akan merasa senang jika orang lain berada dibwahnya.”

Maka terhadap orang-orang yang hasad kepadamu hendaklah engkau lawan kedengkian mereka dengan bertakwa kepada Allah. Allah Aza wa Jalla berfirman, " Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudaratan kepada kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali “Imran:120)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " Jagalah (syari’at) Allah, pasti Allah akan menjagamu.”(HR. At-Tirmidzi)

(44)  Perbedaan antara Kemuliaan Diri dan Keangkuhan

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun kemuliaan diri adalah penjagaan diri dari segala sifat yang rendah dan hina serta keserakahan yang akan memutuskan leher orang-orang yang memiliki kedudukan. Dengan sifat tersebut dia akan menyayangi dirinya dari terjerumus ke dalam perkara-perkara yang mencelakakan tadi.

Berbeda halnya dengan seorang yang angkuh. Sesungguhnya keangkuhan ini merupakan akhlak yang terlahir dari salah satu di antara dua perkara, yaitu ‘ujub(kagum) terhadap diri dan sikap meremehkan orang lain. Maka terlahirlah dari dua perkara tadi sikap angkuh.

Adapun sifat yang pertama,(Yaitu menjaga kemuliaan diri) terlahir dari dua sifat yang mulia, yaitu memuliakan diri serta mengagungkan pemiliknya dan tuannya(yaitu Allah).Dengan itu hamba tadi merasa dan hina (dihadapan_Nya).

Pokok dari semua itu adalah kesiapan jiwa dan pertolongan dari pembela dan kekasihnya (yaitu Allah) pada jiwa tersebut. Jika luput darinya kesiapan jiwa dan pertolongan Allah, maka luputlah darinya seluruh kebaikan.’

(45) benih kebajikan 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Mencari ilmu adalah benih keimanan.Jika keimanan bertemu dengan pencarian ilmu tadi maka akan membuahkan amalan shalih.

Berbaik sangka kepada Allah adalah benih perasaan butuh kepada-Nya.Jika keduanya bertemu akan membuahkan terkabulnya doa.

Rasa takut adalah benih kecintaan. Jika keduanya bertemu akan mewariskan kepemimpinan dalam agama.

 Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”(As-Sajdah:24)

Benarnya sikap mencontoh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merupakan benih keikhlasan. Jika keduanya bertemu akan membuahkan diterima dan diperhitungkannya amalan.

Amal adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka akan terwujud kemenangan dan kebahagiaan. Jika terpisah satu dengan yang lainnya tidak akan memberi manfaat apa-apa.

Kelembutan adalah benih ilmu.Jika keduanya bertemu maka pemiliknya akan meraih kebaikan dunia dan akhirat, dan akan terwujud pemanfaatan ilmu dari orang ‘alim. Jika salah satu terpisah dari yang lainnya maka akan hilang manfaat dan pemanfaatan ilmu tersebut.

Kesungguhan adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka pemiliknya akan meraih kebaikan dunia dan akhirat, dan akan mendapat puncak tertinggi darin aetiap posisi yang mulia. Maka tertinggalnya seseorang dari kesempurnaan-kesempurnaan tadi bisa jadi karena tidak adanya ilmu, bisa jadi pula karena tidak adanya kesungguhan.

Niat yang baik merupakan benih sehatnya akal. Jika tidak ada niat yang baik maka hilang seluruh kebaikan. Jika keduanya ( niat yang baik dan akal yang sehat) bertemu maka akan diraih kemenangan dan bagian yang banyak. Jika tidak ada maka yang didapatkan adalah kehinaan dan kerugian.

Jika didapati suatu kecerdasan tanpa adanya keberanian, maka hal itu msrupakan sifat penakut dan kelemahan.Jika ada keberanian tanpa didukung dengan kecerdasan maka yang ada kekacauan dan kerusakan

Kesabaran adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka seluruh kebaikan pada pertemuan keduanya

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, " Jika engkau ingin melihat orang yang berilmu tetapi tidak punya kesabaran maka lihatlah dia. Dan jika engkau ingin melihat orang sabar tetapi tidak punya ilmu maka lihatlah dia. Dan jika engkau melihat orang yang sabar dan berilmu,itulah orang yang berbahagia.”

Nasehat adalah benih bagi akal.Semakin kuat nasehat maka akal semakin kuat dan bercahaya.

Mengingat dan berfikir keduanya merupakan benih bagi yang lainnya. Jika keduanya bertemu maka akan melahirkan sikap zuhud terhadap dunia dan kecibtaan kepada akhirat.

Ketakwaan adalah benih tawakkal. Jika keduanya bertemu maka hati akan istiqaamah.

Mengambil (memanfaatkan) karunia adalah persiapan untuk bertemu dengan istana yang diangankan. Jika keduanya bertemu maka seluruh kebaikan pada pertemuan keduanya, serta kejelekan pada perpisahan keduanya.

Benih dari ketinggian cita-cita adalah niat yang benar. Jika keduanya bertemu seorang hamba akan mencapai puncak keinginannya.

( 46 ) Mutiara nasehat. 

Sesungguhnya perselisihan yang muncul di antara Ahlus Sunnah akan hilang –dengan ijin Allah – dengan ditempuh beberapa perkara berikut, di antaranya :

* Berhukum kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah perselisihan kalian kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’:59)

Allah Ta'ala berfirman, " Tentang sesuatu apapun yang kalian perselisihkan maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy-Syuuraa :10)

Allah Ta'ala berfirman, " Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (para’ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian)” (An-Nisaa’:83)

* Bertanya kepada para ‘Ulama Ahlus Sunnah.

Allah Aza wa Jalla berfirman, " Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (para ‘ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl:43)

Akan tetapi sebagian penuntut ilmu merasa ridha dan mencukupkan diri dengan ilmu yang dia miliki, yang dengan ilmunya itu dia mendebati setiap orang yang menyelisihinya. Inilah di antara sebab-sebab perpecahan dan perselisihan.

Dari Abu Umamah Radhiyallahu Anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Tidaklah suatu kaum menjadi tersesat setelah sebelumnya mereka di atas hidayah kecuali karena mereka senang berdebat.”(HR. At-Tirmidzi)

Kemudian beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat:

“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf:58)

* Menghadapkan diri kepada ilmu.

Memperhatikan perselisihan yang terjadi di antara para shahabat Radhiyallahu Anhum dan generasi setelah mereka dari kalangan para ‘ulama yang terkemuka
Allah Aza wa Jalla berfirman, " Dan janganl;ah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Israa’:36)

* Memperhatikan kondisi masyarakat Islam dari berbagai bahaya yang mengepung, serta kebodohan yang mengitari mereka. 

Jika engkau melihat kenyataan maqsyarakat Islam yang demikian, niscaya engkau akan disibukkan dari perselisihan paham dengan saudaramu dan engkau akan mendahulukan perkara yang terpenting kemudian kepada perkara penting berikutnya. Karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mengutus Mu’adz Radhiyallahu Anhu ke negeri Yaman beliau bersabda kepadanya, " Pertama kali yang engkau da’wahkan kepada mereka adalah persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan bahwa       Muhammad adalah utusan Allah.” (Muttafaq ‘alaih).

Kita memohon kepada Allah Ta'ala agar diberikan kepada kita jalan yang benar dan lurus serta diberikan taufiq untuk menyusuri nya, dan agar melimpahkan rahmat dan hidayah Nya kepada kita semua sehingga senantiasa diberikan penjagaan dari segala bentuk fitnah dan keburukan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar