Alhamdulillah was sholatu was salamu `ala Rosulillah, wa ba` du ;
Jika kita melihat keadaan dan kondisi para manusia di saat datang bulan suci ramadhan maka di sana terdapat sepuluh keadaan yaitu sebagai berikut :
1. Seorang muslim balig yang berakal dalam keadaan mukim lagi memiliki kemampuan menjalankan ibadah puasa dan tidak mendapatkan kendala maupun halangan apapun, maka orang yang semacam ini wajib baginya untuk menjalankan ibadah puasa tepat waktu di bulan yang suci ini, hal ini berdasarkan dalil dalam Al Qur`an, As Sunnah dan Ijma para Ulama. Allah Ta`ala berfirman dalam QS Al-Baqarah: 185, "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu".
Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian melihat hilal ( bulan ramadhan ) maka berpuasalah". (HR Bukhari dan Muslim).
Dan para Ulama telah menjalin Ijma` tentang wajibnya berpuasa bagi orang yang keadaannya seperti diterangkan di atas.
Adapun bagi orang kafir maka tidak sah baginya menjalankan ibadah puasa dan tidak diterima, karena bukan termasuk orang yang pantas menjalankan ibadah, ia dituntut dengan sesuatu yang lebih wajib yaitu bertaubat dari kekufuran dan kemusyrikan yang ada pada dirinya, dan jikalau ia bertaubat dan masuk islam di bulan ramadhan, ia tidak berkewajiban mengganti puasa yang ia tinggalkan, karena dengan taubat dosa-dosanya terhapus, sebagai mana difirmankan dalam QS· Al Anfal: 38, "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ".
Dan jikalau ia masuk islam di siang hari bulan ramadhan maka ia wajib untuk ikut serta berpuasa di sisa siang harinya hingga terbenam matahari.
2. Anak kecil yang belum balig maka ia tidak berkewajiban untuk berpuasa, sebagai mana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, "Di angkat pena dari tiga golongan, Orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, Orang yang gila hingga ia sembuh". (HR Ahmad dan Abu Daud).
Akan tetapi anak kecil hendaknya diajarkan berpuasa agar ia terbiasa dan berlatih melakukan ketaatan dan kebaikan sebagai mana dahulu para salaf mengajarkan kepada anak anak mereka berpuasa dan pergi ke masjid dan diberikan mainan agar menghiburnya.
3. Orang yang gila yaitu tidak berakal, maka baginya tidak wajib berpuasa, karena ia tidak memiliki niat untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah, sedangkan dalam hadits diriwayatkan, "Sesungguhnya suatu amalan tergantung pada niatnya, dan ia akan mendapatkan sesuatu ganjaran sesuai yang ia niatkan". (HR Bukhari dan Muslim).
Jika seseorang yang gila kemudian di siang hari bulan ramadhan ia sembuh, maka hendaknya ia meneruskan siang itu untuk berpuasa hingga matahari terbenam.
4. Orang tua renta yang tidak lagi memiliki kemampuan fisik dan akal karena telah udzur tidak lagi ingat apa apa, maka baginya tidak wajib berpuasa dan tidak wajib pula membayar fidyah, karena ia tidak lagi mukalaf yang mendapatkan beban menjalankan ibadah.
5· Orang yang lemah dan tidak sanggup berpuasa secara permanen, seperti orang tua (selagi belum pikun) ,orang sakit yang tidak memungkinkan sembuh seperti terkena penyakit kanker, gula, dan semisalnya maka ia tidak berkewajiban untuk berpuasa, akan tetapi ia diwajibkan untuk membayar fidyah yaitu memberikan makanan kepada fakir miskin untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa.
» hari ketujuh «
6· Seorang musafir yang tidak meniatkan untuk menyengaja buka puasa, Jika ia menyegaja berbuka puasa maka ini adalah perbuatan yang haram, dan wajib baginya tetap berpuasa. Jikalau tidak memiliki niat untuk menyengaja berbuka puasa maka ia memiliki dua pilihan, antara puasa dan berbuka, baik safar tersebut bersifat sekonyong-konyong karena ada hajat tertentu maupun yang bersifat safar permanen seperti halnya jikalau ia bekerja di pesawat, kapal, kereta antar pulau, sopir sewaan dan sebagainya, sebagai mana difirmankan dalam QS Al Baqarah: 185, "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu".
Diriwayatkan di dalam Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas ibnu Malik radhiyallahu`anhu, "Dahulu kita safar bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam, maka tidak seorangpun diantara kita yang mencela satu dengan yang lainnya antara yang berpuasa dan yang berbuka".
Dari sahabat Hamzah ibnu Amrin Al Aslamy radhiyallahu`anhu berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah seorang pemuda yang kuat yang musafir, sekiranya aku menjumpai bulan ramadhan dan berpuasa niscaya lebih ringan bagiku dari pada aku mengakhirkan puasa di luar waktu ramadhan, apakah aku berpuasa lebih baik dari berbuka ya Rasulullah?" Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam menjawab, "Mana yang engkau pandang terbaik menurutmu maka lakukanlah". (HR Abu Daud).
Adapun bagi para sopir sewaan yang berpuasa terasa berat karena bertepatan dengan musim panas misalnya, maka dibolehkan baginya untuk menunda puasa bertepatan dengan musim dingin atau hujan, karena bagi musafir mengerjakan mana yang lebih mudah baginya itu adalah yang paling utama, akan tetapi jika sama antara berpuasa dan berbuka maka lebih utama baginya untuk tetap berpuasa, hal ini sebagai mana yang dilakukan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam safar-safarnya.
Diriwayatkan oleh Imam muslim, dari Abu Darda` berkata, "Kami beserta Nabi sallallahu alaihi wa sallam safar pada bulan ramadhan di musim panas yang sangat, hingga salah satu di antara kita meletakkan kedua tangan-Nya di atas kepala kita karena cuaca yang amat panas, dan di antara kita tidak ada yang berpuasa kecuali hanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan Abdullah ibnu Rowahah".
Dan pernah juga Nabi sallallahu alaihi wa sallam berbuka puasa dalam rangka menjaga sikap bersama para sahabat yang bersafar tatkala mereka merasa sangat berat menjalankan ibadah puasa, sebagai mana diriwayatkan dalam sohih Muslim dari sahabat Jabir radhiyallahu`anhu bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam keluar menuju Makkah pada waktu fathu Makkah di saat berpuasa hingga sampai pada suatu tempat pegunungan yang bernama Kurroul Ghomim para sahabat bertanya kepada Nabi mengeluhkan beratnya berpuasa dan meminta pendapat dari Nabi apa yang sebaiknya dilakukan, maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam meminta secangkir air dan meminumnya di waktu ashar dan para sahabatpun melihatnya".
Dalam riwayat Abu Said Al Hudriy radhiyallahu`anhu tatkala sampai pada suatu sungai yang menggenang dan Nabi di saat itu mengendarai keledai maka Nabi bersabda, "Wahai para manusia, minumlah, Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, aku menunggangi tunggangan". Maka para sahabat enggan untuk minum dan membatalkan puasa mereka, hingga Nabi turun dari keledai dan duduk berjongkok seraya mengambil air dan meminumnya". (HR Ahmad).
Dalam hadits Jabir tatkala Nabi sallallahu alaihi wa sallam membatalkan puasanya karena para sahabat merasa tidak mampu berpuasa dalam safar yang cuacanya sangat panas, dijumpai sebagian sahabat tidak mau berbuka maka Nabi bersabda, "Mereka telah berbuat maksiat...Mereka telah berbuat maksiat....". (HR Muslim).
Di dalam sohih Bukhari dan Muslim, tatkala Nabi sallallahu alaihi wa sallam safar bersama para sahabat, maka Nabi melihat sebagian sahabat telah diberikan payung dan naungan dalam keadaan tertatih tatih, (dalam riwayat lain digendong dan dipandu) maka Nabi bertanya, "Apa ini?" maka di jawab, "Orang ini memaksakan diri untuk tetap berpuasa wahai Rasulullah", maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah termasuk berbuat kebaikan, berpuasa disaat bersafar ( berpuasa dan memberatkan diri hingga merepotkan manusia yang lain )".
Jika seseorang bepergian safar di siang hari bulan ramadhan dan merasa berat untuk meneruskan puasa maka boleh baginya berbuka jikalau ia telah keluar dari daerah tempat tinggalnya, sebagai mana dijelaskan dalam hadits hadits di atas. Dan tidak boleh ia tidak berpuasa hanya sekedar rencana bersafar dan belum keluar dari daerah tempat tinggalnya.
Dan jikalau seseorang musafir yang tidak puasa telah kembali dari safarnya pada siang hari ramadhan maka hendaknya ia menahan makan dan minum dan lainnya hingga matahari terbenam dalam rangka menghormati waktu siang ramadhan, namun demikian ia tetap mengganti puasa di kesempatan lain. Pendapat lain mengatakan boleh baginya untuk makan dan minum dan lainnya, akan tetapi tidak melakukan dengan terang terangan akan tetapi dengan tersembunyi, supaya tidak timbul fitnah dan mengganggu orang berpuasa.
7. Orang yang sedang sakit yang dimungkinkan ia pulih kembali dan sembuh seperti sedia kala, maka golongan ini tidak terlepas dari tiga keadaan:
« Ia tidak merasa berat dan tidak timbul mudharat tatkala melakukan puasa, maka wajib bagi nya untuk tetap berpuasa, karena sakit yang ia alami bukan suatu udzur untuk bolehnya meninggalkan puasa.
« Ia merasa berat untuk melakukan puasa, akan tetapi jikalau ia berpuasa tidak ada mudharat yang menimpanya, maka baginya boleh meninggalkan puasa, sebagai mana masuk dalam keumuman ayat Al Baqarah: 185, "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". Dan makruh baginya memaksakan berpuasa sedangkan ia merasa berat.
« Jikalau ia memaksakan berpuasa maka akan menimbulkan mudharat bagi dirinya, maka wajib baginya untuk berbuka puasa dan tidak boleh untuk memaksakan diri untuk tetap berpuasa. Sebagai mana di firman-Nys dalam QS An-NisΔ': 29, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".
» hari ke delapan «
8. Wanita yang dalam keadaan haid, maka haram baginya untuk berpuasa dan tidak sah untuk puasa, sebagai mana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, "Tidaklah aku menjumpai seorang yang terdapat padanya kelemahan akal dan agama yang mampu untuk menggoyahkan jiwa lelaki yang tangguh melainkan seorang wanita, lemah akalnya karena persaksian wanita separuh dari persaksian lelaki, dan lemah agamanya adalah ia telah mengerjakan sholat dan puasa di saat ia haid". (HR Bukhari dan Muslim).
Darah haid adalah darah yang keluar karena kebiasaan yang terjadi pada hari-hari tertentu.
Jikalau seorang wanita keluar darah kebiasaannya pada siang hari ramadhan sebelum matahari terbenam maka batal puasa yang ia kerjakan, dan ia mengganti di lain waktu.
Dan jikalau ia telah selesai dari kebiasaan haid pada malam hari walaupun menjelang fajar maka ia wajib ikut serta berpuasa meski belum sempat mandi kecuali tatkala setelah muncul fajar, karena puasa yang ia lakukan adalah sah, sebagai mana hal ini pernah diriwayatkan oleh `Aisyah radhiyallahu`anha bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam pagi hari dalam keadaan jinabah dan kemudian berpuasa ramadhan". (HR Bukhari dan Muslim).
Hukum nifas sama dengan hukum haid dalam segala keadaan.
Maka wajib bagi wanita yang meninggalkan puasa untuk menganti puasa di lain waktu.
9. Seorang wanita yang sedang hamil atau menyusui bayi yang merasa kawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya maka di boleh baginya untuk berbuka dan tidak berpuasa, sebagai mana di diriwayatkan oleh sahabat Anas ibnu Malik Al Ka`by radhiyallahu`anhu bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menggugurkan sebagian sholat dan puasa pada seorang musafir, wanita hamil dan menyusui". (HR Abu Daud,Tirmidzi, Nasa`i dan Ibu Majah).
Dan wajib baginya untuk menganti puasa di lain kesempatan jikalau rasa kawatir tersebut telah hilang sebagai mana hukum orang yang sedang sakit.
10. Orang yang membutuhkan untuk berbuka puasa dalam rangka menolak mudharat yang lainnya seperti memberikan pertolongan orang yang tenggelam, kebakaran, gempa, dan semisalnya yang tidak mungkin untuk melakukan pertolongan kecuali dengan memperkuat tenaga dengan makan dan minum, maka boleh bagi mereka untuk berbuka, bahkan bisa jadi wajib untuk berbuka dalam rangka menyelamatkan nyawa yang di ambang kematian.
Demikian pula dengan kondisi jihad jikalau membutuhkan untuk menghimpun tenaga dan kekuatan, maka dibolehkan untuk berbuka puasa dan mengganti di lain kesempatan. Seperti halnya jikalau di kepung oleh musuh yang menyerang kaum muslimin.
Dan dianjurkan bagi yang memiliki kesempatan agar bersegera untuk menganti puasa yang ia tinggalkan tatkala udzur dan halangan tersebut hilang.
Dibolehkan untuk mengakhirkan hutang puasa yang ia tinggalkan hingga sebelum bulan ramadhan berikutnya datang.
Di larang untuk menunda pelaksanaan ganti puasa hingga melampaui bulan ramadhan berikutnya dengan tanpa udzur, karena akan mengakibatkan bertumpuknya hutang puasa, dan dikarenakan pula bahwa puasa bulan ramadhan setiap tahunnya terulang .
Akan tetapi jikalau udzur terus menerus ada pada dirinya hingga meninggal dunia maka ia tidak berdosa dan tidak wajib mengganti, tidak dengan fidyah juga tidak dipuasakan oleh walinya.
Jikalau ia memiliki kesempatan akan tetapi tidak digunakan dengan baik hingga wafat, maka walinya berkewajiban untuk melakukan puasa sebagai pengganti, sebagai mana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang meninggal dan ia memiliki hutang puasa, maka hendaknya walinya melakukan puasa untuk mengantinya". (HR Bukhari dan Muslim).
Dan jikalau walinya berhalangan maka boleh baginya untuk membayarkan fidyah untuknya sebesar setengah kilo dan sepuluh gram gandum/ kurma/ beras yang baik.
Semoga Allah Ta`ala mengampuni segala dosa dosa kita, dan memaafkan kekurangan kita semua, serta memberikan kepada kita petunjuk cahaya dan hidayah-Nya.
πππππππ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar