MEMAKAN HARTA SECARA BATIL
TAFSIR SURAT AL BAQOROH 188
Disebutkan dalam Tafsir At-Taḥrīr wa At-Tanwīr karya Ibnu ‘Āsyūr (w. 1393 H)
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian memakan harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, dan janganlah kalian menyuapkannya kepada para hakim, agar kalian dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan dosa, padahal kalian mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini merupakan pengaitan satu kalimat dengan kalimat lainnya.
Kesesuaiannya adalah bahwa firman Allah sebelumnya:
“Itulah batas-batas Allah, maka janganlah kalian mendekatinya” (QS. Al-Baqarah: 187)
merupakan peringatan agar tidak berani melanggar syariat puasa dengan berbuka tanpa izin, yang merupakan salah satu bentuk memakan yang haram.
Maka Allah menyambungkannya dengan bentuk haram lainnya, yaitu memakan harta dengan cara batil.
Kesamaan lafaz “memakan” semakin menguatkan keterkaitan makna tersebut.
Ayat ini termasuk rangkaian hukum-hukum syariat yang ditetapkan untuk memperbaiki kerusakan kondisi masyarakat jahiliyah, karena itu ia dihubungkan dengan hukum-hukum sejenis.
Sekaligus ayat ini merupakan prinsip besar dalam pensyariatan hukum harta dalam Islam.
Memakan harta secara batil adalah kebiasaan yang sudah dikenal di kalangan masyarakat jahiliyah, bahkan merupakan ciri dominan dalam kehidupan ekonomi mereka.
Penghasilan mereka berasal dari perampokkan, perjudian, perampasan harta oleh yang kuat terhadap yang lemah, memakan harta anak yatim oleh para wali, penipuan, perjudian, riba, dan semacamnya. Semua itu termasuk kebatilan karena tidak didasarkan pada kerelaan jiwa.
Secara hakikat, “memakan”
berarti memasukkan makanan ke dalam perut melalui mulut.
Namun di sini maknanya adalah mengambil harta dengan tujuan memilikinya tanpa mengembalikannya, karena perbuatan itu menyerupai makan dari segala sisinya.
Oleh karena itu, membakar harta orang lain tidak disebut “memakan”, demikian pula pinjaman dan titipan tidak disebut “memakan”.
Istilah “memakan” di sini bukan majaz perumpamaan, karena tidak ada kesesuaian bentuk antara orang yang mengambil harta orang lain untuk dimiliki dengan perbuatan makan, sebagaimana jelas.
Harta adalah bentuk jamak dari “mal”.
Definisinya:
sesuatu yang dengannya tegak sistem kehidupan manusia—baik kebutuhan primer, sekunder, maupun pelengkap—sesuai tingkat peradaban mereka, yang diperoleh melalui usaha dan kerja keras.
Karena itu, udara bukan harta, air hujan dan air laut bukan harta, tanah secara mutlak bukan harta, gua-gua gunung dan naungan pepohonan bukan harta.
Namun air yang diambil dari sumur adalah harta, tanah tambang adalah harta, rumput dan kayu bakar adalah harta, dan apa yang dipahat seseorang untuk dirinya di gunung juga termasuk harta.
Jenis-jenis harta ada tiga:
Pertama:
Harta yang dengannya kehidupan dapat berlangsung dengan sendirinya tanpa bergantung pada yang lain, seperti makanan: biji-bijian, buah-buahan, dan hewan—baik untuk dimakan maupun dimanfaatkan bulu, rambut, susu, kulit, dan untuk tunggangan.
Allah berfirman:
“Dan Dia menjadikan bagi kalian dari kulit-kulit hewan ternak rumah-rumah yang kalian merasa ringan membawanya pada waktu bepergian dan menetap, dan dari bulu, rambut, dan wolnya kalian jadikan perabot dan kesenangan sampai waktu tertentu.” (QS. An-Nahl: 80)
Dan firman-Nya:
“Agar kalian dapat menungganginya dan sebagian darinya kalian makan.” (QS. Ghafir: 79)
Bangsa Arab menyebut unta sebagai “harta”.
Zuhair berkata:
“Unta-unta sehat, harta yang berjalan melalui celah gunung.”
Umar berkata:
“Seandainya bukan harta yang aku gunakan di jalan Allah, niscaya aku tidak akan melindungi sejengkal pun dari negeri mereka.”
Jenis ini adalah harta paling tinggi dan paling stabil, karena manfaatnya tidak bergantung pada kondisi manusia atau aturan negara. Pemiliknya dapat memanfaatkannya di masa damai maupun perang, aman atau takut, disukai manusia atau tidak, dibutuhkan atau tidak.
Dalam hadis disebutkan:
“Anak Adam berkata: hartaku, hartaku. Padahal hartamu hanyalah apa yang engkau makan lalu habis, atau engkau sedekahkan lalu kekal.”
Pembatasan ini adalah pembatasan kesempurnaan manfaat, baik manfaat materi maupun nonmateri.
Kedua:
Harta yang manfaatnya tergantung pada pelengkap lain, seperti tanah untuk ditanami atau dibangun, api untuk memasak dan melebur, air untuk menyiram tanaman, dan alat-alat industri. Jenis ini lebih rendah dari yang pertama karena bergantung pada faktor-faktor lain yang kadang tidak tersedia.
Ketiga:
Harta yang manfaatnya diperoleh melalui alat tukar yang disepakati manusia, yaitu uang atau mata uang. Umumnya berupa emas dan perak, atau tembaga, mutiara, manik-manik, hingga uang kertas modern yang merupakan bukti komitmen lembaga keuangan. Nilainya berlaku sempurna pada masa aman dan damai, dan bersifat relatif.
Dalam definisi “diperoleh dengan kerja keras”,
maksudnya adalah bahwa harta harus diperoleh melalui usaha yang mengandung beban dan jerih payah.
Cara memperoleh harta ada tiga:
Mengambil langsung dari alam, seperti kayu bakar, rumput, berburu, hasil laut, buah liar, madu. Bisa tanpa persaingan atau dengan persaingan berdasarkan siapa yang lebih dahulu.
Produksi, seperti melahirkan ternak, bercocok tanam, memerah susu, dan industri.
Mengambil dari tangan orang lain, baik melalui transaksi, alat tukar (uang), atau dengan kekuatan dan penaklukan (perang).
Batil berarti sesuatu yang hilang dan sia-sia, yakni tanpa dasar yang benar.
Dasar yang benar adalah kerelaan pemilik harta: imbalan dalam jual beli atau harapan pahala dalam sedekah.
Kata ganti dalam ayat ini berlaku umum bagi seluruh kaum Muslimin.
Larangan “janganlah kalian memakan” mencakup semua orang dan semua harta.
Yang dimaksud adalah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain secara batil, sebagaimana ditunjukkan oleh kata “di antara kalian”.
Memakan harta secara batil memiliki tingkatan:
Yang jelas kebatilannya, seperti perampasan, pencurian, dan tipu daya.
Yang dijelaskan syariat sebagai batil, padahal sebelumnya samar, seperti riba, suap kepada hakim, dan jual beli buah sebelum matang.
Yang disimpulkan oleh para ulama melalui ijtihad, sesuai dengan realisasi makna kebatilan.
Dikatakan bahwa ayat ini turun terkait sengketa tanah antara Abdan al-Hadhrami dan Imru’ al-Qais al-Kindi, namun riwayat ini tidak tegas menyebut ayat tersebut turun karena peristiwa itu.
Firman Allah:
“Dan janganlah kalian menyuapkannya kepada para hakim”
di-athaf-kan pada larangan memakan harta secara batil, yaitu jangan memberikan harta kepada hakim sebagai perantara untuk memakan harta orang lain secara zalim.
Bentuk ini disebutkan secara khusus karena mengandung banyak keharaman sekaligus: suap, kezaliman, dan perampasan hak.
Makna “menyampaikan” (الإدلاء)
asalnya adalah menurunkan timba ke sumur, di sini bermakna perantara dan sogokan.
Ayat ini menunjukkan:
Haramnya memakan harta secara batil
Haramnya menyuap hakim
Bahwa putusan hakim tidak menghalalkan harta yang haram
Haramnya berhukum secara zalim, meskipun tanpa suap
Ini merupakan reformasi besar Islam terhadap tradisi jahiliyah yang membenarkan pemangsaan terhadap yang lemah.
Firman-Nya: “Padahal kalian mengetahui” adalah penegasan bahwa pelaku melakukan dosa ini dengan sadar dan sengaja, sehingga dosanya lebih berat.
Disebutkan dalam Tafsir As-Sa‘di QS. Al-Baqarah ayat 188:
“Dan janganlah kalian memakan harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, dan janganlah kalian menyuapkannya kepada para hakim agar kalian dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan dosa, padahal kalian mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)
Maksudnya:
janganlah kalian mengambil harta kalian, yakni harta orang lain. Allah menisbahkan harta itu kepada mereka karena seorang Muslim seharusnya mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, serta menghormati harta saudaranya sebagaimana ia menghormati hartanya sendiri.
Selain itu, memakan harta orang lain akan mendorong orang lain untuk berani memakan hartanya ketika memiliki kesempatan.
Karena memakan harta itu ada dua macam—ada yang dengan cara yang benar dan ada yang dengan cara yang batil—dan yang diharamkan hanyalah memakannya dengan cara batil, maka Allah membatasi larangan tersebut dengan kata “bil-bāṭil”.
Yang termasuk memakan harta dengan cara batil adalah mengambilnya dengan jalan perampasan, pencurian, pengkhianatan terhadap titipan atau barang pinjaman, dan yang semisalnya.
Termasuk pula mengambilnya melalui akad muamalah yang haram, seperti transaksi riba dan perjudian; semuanya itu termasuk memakan harta secara batil karena tidak ada imbalan yang dibenarkan syariat.
Termasuk juga di dalamnya mengambil harta dengan cara penipuan dalam jual beli, sewa-menyewa, dan semisalnya. Demikian pula mempekerjakan buruh lalu tidak membayar upahnya, atau mengambil upah atas pekerjaan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Termasuk pula mengambil imbalan atas ibadah dan amal ketaatan yang tidak sah kecuali dengan niat ikhlas karena Allah Ta‘ala.
Termasuk juga mengambil harta dari zakat, sedekah, wakaf, dan wasiat oleh orang yang tidak berhak menerimanya, atau mengambil lebih dari haknya.
Semua ini dan yang semisalnya termasuk memakan harta dengan cara batil, dan tidak halal dengan cara apa pun.
Bahkan meskipun terjadi perselisihan, lalu perkara tersebut dibawa ke hadapan hakim syariat, dan orang yang ingin memakan harta secara batil itu mengajukan hujah (alasan) yang tampak kuat sehingga mengalahkan hujah pihak yang benar, lalu hakim memutuskan perkara itu untuknya, putusan hakim tidaklah menghalalkan yang haram dan tidak menjadikan yang batil menjadi halal. Seorang hakim hanya memutuskan berdasarkan apa yang ia dengar, sedangkan hakikat perkara tetap sebagaimana adanya.
Karena itu, tidak ada kenyamanan, tidak ada syubhat, dan tidak ada keringanan bagi orang yang batil meskipun ia menang di pengadilan.
Barang siapa mengajukan hujah yang batil kepada hakim, lalu hakim memutuskan untuknya berdasarkan hujah tersebut, maka tidak halal baginya mengambil harta itu.
Ia tetap dianggap memakan harta orang lain dengan cara batil dan dosa, dalam keadaan ia mengetahuinya.
Maka hukumannya lebih berat dan sanksinya lebih keras.
Berdasarkan hal ini, seorang wakil atau pengacara, jika ia mengetahui bahwa orang yang diwakilinya berada di atas kebatilan dalam tuntutannya, maka tidak halal baginya membela orang yang berkhianat, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Dan janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat.”
(QS. An-Nisā’: 105)
Disebutkan dalam Tafsir al-Qurṭubī atas QS. Al-Baqarah: 188,
Tafsir al-Qurṭubī (w. 671 H)
QS. Al-Baqarah: 188
“Dan janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, dan janganlah kalian menyuap dengannya kepada para hakim, agar kalian dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan dosa, padahal kalian mengetahui.”
Ayat ini mengandung delapan pembahasan (masā’il):
Masalah Pertama
Firman Allah Ta‘ala:
“Dan janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian …”
Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdān bin Asywa‘ al-Ḥaḍramī, yang menuntut harta milik Imru’ al-Qays al-Kindī. Keduanya bersengketa di hadapan Nabi ﷺ. Imru’ al-Qays mengingkari dan hendak bersumpah, lalu turunlah ayat ini. Maka ia pun menahan diri dari sumpah, menyerahkan keputusan kepada ‘Abdān terkait tanah itu, dan tidak lagi bersengketa.
Masalah Kedua
Seruan dalam ayat ini mencakup seluruh umat Nabi Muhammad ﷺ. Maknanya:
Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain tanpa hak.
Termasuk dalam larangan ini:
Judi
Tipu daya
Perampasan
Mengingkari hak-hak orang lain
Mengambil harta yang tidak direlakan oleh pemiliknya
Atau yang diharamkan oleh syariat meskipun pemiliknya rela
Seperti: upah zina, bayaran dukun, harga khamar, babi, dan semisalnya.
Adapun kerugian dalam jual beli (ghabn) dengan pengetahuan penjual tentang hakikat barangnya tidak termasuk, karena ghabn itu seakan-akan hibah (pemberian), sebagaimana akan dijelaskan dalam Surah an-Nisā’.
Harta dinisbatkan kepada dhamir “kalian” karena masing-masing pihak adalah pemberi dan penerima larangan, sebagaimana firman Allah:
“Kalian membunuh diri kalian sendiri.”
Sebagian ulama berkata: maksud ayat adalah menghabiskan harta dalam hiburan, nyanyian, minuman keras, dan kemalasan, sehingga harta dinisbatkan kepada pemiliknya.
Masalah Ketiga
Barang siapa mengambil harta orang lain tanpa izin syariat, maka ia telah memakannya secara batil.
Termasuk memakan harta secara batil adalah:
Mendapatkan keputusan hakim padahal ia tahu dirinya salah
Haram tidak menjadi halal hanya karena keputusan hakim, sebab hakim memutuskan berdasarkan lahiriah perkara. Ini adalah ijmak dalam masalah harta.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya kalian bersengketa kepadaku, dan boleh jadi sebagian kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lain, lalu aku memutuskan baginya sesuai dengan apa yang aku dengar. Maka barang siapa aku putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, karena sesungguhnya aku telah memotongkan baginya sepotong api neraka.”
Mayoritas ulama dan imam fiqih berpegang pada hadis ini. Hadis ini menegaskan bahwa putusan hakim secara lahir tidak mengubah hukum batin, baik dalam harta, darah, maupun kehormatan.
Masalah Keempat
Ayat ini menjadi sandaran bagi setiap pihak yang berselisih dalam klaim hukum. Jika dikatakan: “Ini batil”, maka dijawab:
Tidak diterima kebatilannya kecuali dengan dalil.
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap kebatilan dalam muamalah adalah haram, namun tidak merinci satu per satu bentuk kebatilan tersebut.
Masalah Kelima
Firman-Nya: “Dengan cara batil”
Secara bahasa, bāṭil berarti sesuatu yang lenyap dan rusak.
Dari akar kata baṭala – yabṭulu.
Firman Allah:
“Tidak datang kepadanya kebatilan” → Qatādah berkata: maksudnya adalah Iblis
“Allah menghapus kebatilan” → maksudnya kesyirikan
Kata “al-baṭalah” berarti para penyihir.
Masalah Keenam
Firman Allah: “Dan kalian menyuap dengannya kepada para hakim”
Dikatakan maksudnya:
Amanah dan perkara yang tidak memiliki bukti
Atau harta anak yatim yang berada di tangan para wali
Atau menyuap hakim agar memenangkan perkara batil
Kata tudlū (menjulurkan) dianalogikan dengan menurunkan timba ke sumur, yakni menyampaikan hujah atau suap agar memperoleh kemenangan.
Makna ayat:
Janganlah kalian menggabungkan antara memakan harta secara batil dan menyuap hakim dengan hujah palsu.
Ibnu ‘Aṭiyyah berkata: pendapat bahwa ayat ini tentang suap kepada hakim lebih kuat, karena hakim adalah tempat rawan suap.
Al-Qurṭubī berkata:
Para hakim zaman sekarang bukan sekadar rawan suap, bahkan mereka adalah inti suap itu sendiri. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.
Masalah Ketujuh
Firman Allah: “Agar kalian memakan”
Huruf lām di sini adalah lām ta‘līl (sebab).
“Sebagian” berarti sepotong atau sebagian kecil.
“Dengan dosa” maksudnya dengan kezaliman dan pelanggaran.
“Padahal kalian mengetahui” yaitu mengetahui kebatilannya dan dosanya, dan ini menunjukkan puncak keberanian dalam maksiat.
Masalah Kedelapan
Ahlus Sunnah sepakat bahwa: Barang siapa mengambil harta orang lain, sedikit atau banyak, maka ia telah melakukan kefasikan dan perbuatan itu haram.
Pendapat yang membatasi kefasikan pada jumlah tertentu (seperti 200 dirham, 10 dirham, atau 1 dirham) seluruhnya tertolak oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan ijmak umat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.”
(Hadis muttafaq ‘alaih)
Disebutkan dari Tafsir Al-Baḥr al-Muḥīṭ karya Abu Ḥayyān al-Andalusī (w. 745 H);
QS. Al-Baqarah: 188
“Dan janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, dan janganlah kalian menyuap dengannya kepada para hakim agar kalian dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan dosa, padahal kalian mengetahui.”
Sebab turunnya ayat
Muqātil berkata: Ayat ini turun berkenaan dengan Imru’ al-Qays bin ‘Ābis al-Kindī dan ‘Iddān bin Asywa‘ al-Ḥaḍramī. Keduanya bersengketa di hadapan Rasulullah ﷺ tentang sebidang tanah. Imru’ al-Qays adalah pihak yang dituntut, sedangkan ‘Iddān adalah penuntut. Imru’ al-Qays hendak bersumpah, lalu turunlah ayat ini. Maka ‘Iddān menyerahkan keputusan tanah itu kepadanya dan tidak lagi bersengketa.
Korelasi ayat dengan ayat sebelumnya
Kesesuaian ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya sangat jelas. Orang yang beribadah kepada Allah dengan puasa—menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri di siang hari—bahkan menahan diri dengan berdiam (i‘tikaf) di masjid, meninggalkan kenikmatan besar siang dan malam, sangat pantas bila makanan dan minumannya hanya berasal dari halal murni, yang dapat menerangi hati, menambah kejernihan batin, dan mendorong kesungguhan dalam ibadah.
Karena itulah, Allah melarang memakan harta haram yang dapat menyebabkan tidak diterimanya puasa dan i‘tikaf. Di sela-sela ayat puasa juga disebutkan ayat tentang dikabulkannya doa orang yang berdoa. Dalam hadis disebutkan:
“Barang siapa makanan, minuman, dan pakaiannya haram, lalu ia berdoa kepada Allah, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?”
Maka larangan memakan harta haram sangat selaras dengan konteks ini.
Kemungkinan korelasi lain
Bisa juga maknanya: ketika Allah mewajibkan puasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelumnya, lalu membedakan kaum Muslimin dari Ahli Kitab dengan menghalalkan makan, minum, dan jima‘ di malam puasa, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak menyerupai mereka dalam memakan suap, riba, dan harta batil yang dilakukan para penguasa dan rakyat jelata mereka.
Sebagaimana firman Allah:
“Mereka menukarnya dengan harga yang sedikit”
“Tidak ada dosa atas kami terhadap orang-orang ummi”
“Mereka banyak memakan harta haram (suḥt)”
Kaum Muslimin diperintahkan untuk menyelisihi mereka dalam ucapan, perbuatan, puasa, berbuka, penghasilan, dan akidah.
Makna lafaz “memakan”
Makna asal “memakan” adalah makan secara hakiki, karena itulah makna dasar kata tersebut. Ia disebutkan tanpa menyebut bentuk perampasan lainnya karena makan adalah kebutuhan paling pokok dan paling banyak menghabiskan harta.
Boleh juga dipahami sebagai makna majazi, yaitu mengambil dan menguasai harta.
Larangan ini ditujukan kepada kaum mukminin, dan harta disandarkan kepada mereka, maknanya:
Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain.
Seperti firman Allah:
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri”
maksudnya: janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.
Penyandaran ini bukan kepemilikan hakiki, tetapi penyandaran karena keterkaitan (idāfah bil-mulābasah).
Makna “batil”
Sebagian ulama menafsirkan batil sebagai:
hiburan dan permainan maksiat
biduanita
minuman keras
kemalasan dan pengangguran
Namun pendapat yang lebih kuat: batil adalah setiap cara yang tidak dibenarkan syariat, seperti:
perampasan
perampokan
judi
upah dukun
pengkhianatan
suap
bayaran peramal
dan semua yang tidak diizinkan syariat untuk diambil
Ibnu ‘Abbas berkata: ayat ini tentang seseorang yang berutang tanpa bukti, lalu ia mengingkari dan berdebat, padahal ia tahu dirinya berdosa.
Ikrimah berkata: tentang seseorang yang membeli barang, lalu mengembalikannya sambil mengambil kembali sebagian uangnya.
Ibnu ‘Abbas juga berkata: tentang mengambil harta dengan kesaksian palsu.
Ibnu ‘Aṭiyyah berkata: kerugian dalam jual beli tidak termasuk jika penjual mengetahui kondisi barang, karena itu seperti pemberian. Pendapat ini benar.
Makna “dan kalian menyuap dengannya kepada para hakim”
Larangan ini mencakup dua perkara:
Mengambil harta secara batil
Menggunakan harta untuk mendapatkan harta secara batil
Makna tudlū:
Bergegas membawa perkara ke hakim ketika tahu hujah berpihak kepadanya
Atau menyuap hakim agar memutuskan perkara sesuai keinginannya
Pendapat suap lebih kuat, karena hakim adalah tempat yang paling rawan suap. Kata tudlū berasal dari menurunkan timba ke sumur, seakan-akan suap itu alat untuk mencapai tujuan.
“Agar kalian memakan sebagian dari harta manusia”
Maksudnya: sebagian, sepotong, atau sejumlah harta.
Pendapat paling tepat: bersifat umum, mencakup setiap harta yang diambil melalui peradilan tanpa hak.
“Dengan dosa”
Ditafsirkan sebagai:
dengan kesaksian palsu
dengan suap
dengan sumpah palsu
atau dengan perdamaian palsu
Yang paling tepat: makna umum, yakni setiap cara yang berujung pada dosa.
Asal kata itsm adalah kelalaian dan kekurangan, lalu digunakan untuk makna dosa.
Huruf bā’ di sini bisa bermakna sebab atau keadaan (dalam kondisi berdosa).
“Sedangkan kalian mengetahui”
Ini adalah kalimat keadaan, maksudnya:
Kalian mengetahui bahwa perbuatan itu batil dan berdosa.
Ini menunjukkan puncak keberanian dalam bermaksiat, khususnya dalam hak-hak manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa aku putuskan baginya sesuatu dari hak saudaranya, maka janganlah ia mengambilnya, karena itu adalah sepotong api neraka.”
Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa putusan hakim tidak menghalalkan yang haram, khususnya dalam masalah harta, berdasarkan kesepakatan ulama.
Penutup konteks ayat
Rangkaian ayat puasa dimulai dengan kewajiban dan diakhiri dengan larangan, agar orang yang berpuasa berbuka dengan harta halal, sehingga puasanya diterima dan ia tidak termasuk orang yang hanya mendapat lapar dan haus.
Ayat-ayat ini dimulai dengan perintah, diakhiri dengan larangan, dan di sela-selanya terdapat perintah dan larangan, semuanya merupakan taklif syariat yang menuntut ketaatan.
Semoga Allah menolong kita untuk melaksanakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar