Rabu, 09 April 2014

SUDAHKAH KITA IKHLAS ???

Allah Ta’ala berfirman dalam QS Al Furqon Ayat: 23,
 وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan , lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”

Hal ini dikarenakan mereka tidak berbuat ikhlas mengharap wajah Allah Ta’ala, dan demikianlah seluruh amal manusia jika tidak berbuat ikhlas, maka apa yang ia dapat dari berbuat letih dan lelah dalam suatu amalan, jika hal itu berujung kepada fatamorgana tidak berbekas sedikitpun.

Maka dari itu wahai orang-orang yang beramal, hendaknya kalian memperhatikan keikhlasan dan keikhlasan.......Sebagai tanda seseorang telah melakukan ikhlas adalah:

Ia sangat memperhatikan keabsahan amal dan menjauhi akan pembatal dan perusak amalan serta segala yang mengurangi pahala, sehingga ia mendekatkan diri kepada Allah sesuai petunjuk Sunnah.

* Ia tidak mengharap imbalan dari manusia dan tidak merasa telah berjasa kepada Allah atas amalnya, akan tetapi Allah yang telah melimpahkan nikmat kepada dirinya dengan menunjukkan jalan keimanan.

* Ia senantiasa melihat kepada dirinya dengan pandangan koreksi dan muhasabah, hingga ia tidak merasa bangga diri atas amalnya, akan tetapi ia istiqomah dalam beramal dan khawatir akan  tidak diterima disisi Allah.

* Ia tidak gemar menampakkan amal dihadapan manusia, akan tetapi ia berusaha menyembunyikan hingga tidak terlihat para manusia. Dahulu Amru ibnu Qois -salah satu dari salaf yang gemar beribadah- jika ia menangis, maka ia memalingkan wajahnya ketembok dan mengatakan ia sedang kurang enak badan.

* Ia akan menjauhi pujian dan sanjungan serta berzuhud darinya, dikarenakan berzuhud bukan hanya dari gemerlap dunia saja, akan tetapi zuhud yang lebih berat adalah berzuhud dari aneka pujian dan sanjungan makhluk. Betapa banyak orang yang mampu berbuat zuhud dari dunia akan tetapi ia gemar mencari pujian manusia, dan tiada yang tahu isi hati manusia melainkan hanya Allah semata.

* Ia tidak gemar akan popularitas, bahkan ia lari menjauhinya dikarenakan ia menyadari hal itu akan mengurangi keikhlasannya, berapa banyak orang yang tadinya ikhlas akan tetapi tercemari popularitas, hingga ia berubah mencari ridho makhluk dengan kemurkaan Allah .
Berkata Ayyub As-sikhtiya’ny, ”Demi Allah, tidaklah seorang hamba mampu berbuat jujur, hingga ia merasa senang jika tempatnya tidak diketahui“.

Ia gemar melakukan kebaikan dan perbaikan serta bersemanggat untuk para makhluk menebar kebaikan, berusaha mencari ridho Allah semata, dan tidak mencari kedudukan bagi dirinya.
Berkata Imam Syafi’i, ”Aku mengharapkan setiap ilmu yang aku miliki dapat dimiliki setiap orang, hingga aku mendapat pahala dan aku tidak dipuji-puji“.

Ia tidak banyak mengkritik usaha manusia yang telah berjuang di medan dakwah, hingga ia merasa labih baik dan berusaha menampakkan amal dan perbuatannya, jika ia benar dalam keikhlasannya, niscaya ia menghargai amal orang lain, banyak berterimakasih atasnya, bahkan ikut besenang dan berbesar hati, akan tetapi orang yang beramal dengan cara riya’ ia enggan memuji kecuali kepada diri pribadi“.

Berkata Ibnul Jauzy, ”Hendaknya orang yang beramal dengan riya’ berpikir bahwa apa yang ia inginkan adalah fatamorgana, yaitu berupa sanjungan makhluk kepada dirinya, sesungguhnya ketika ia tidak ikhlas maka ia terharamkan dari terpikatnya hati manusia kepada dirinya, bahkan tak seorangpun akan menoleh kepadanya, adapun orang yang ikhlas maka ia akan menggapai kecintaan manusia”.

* Ia tidak bersempit dada jika mendapat kritik, akan tetapi ia memandang dengan pandangan yang jernih, jika kritik tersebut benar maka ia dengan cepat kembali ke jalan kebenaran, dan ia bersyukur atas kritiknya, akan tetapi jika tidak benar dan diketahui niatnya adalah memberi nasihat, maka diberikan penjelasan dengan hujjah yang kuat atas kesalahfahaman yang terjadi hingga ia mendapat faidah, dan jika diketahui ia berniat tidak baik pada dirinya maka sebaiknya ia berpaling dan menjauh darinya, sebagaimana adab yang diterangkan di dalam Al Qur’an yaitu berpaling dari orang-orang yang bodoh.

* Ia tidak akan pernah terputus dari amal baiknya, walau dicela orang lain, karena ia sadar bahwa amalnya bukan karena pamrih manusia, akan tetapi karena Allah semata, maka ia senantiasa istiqomah dalam berbuat ketaatan Allah Ta’ala, sebagaimana pula ia tidak terpengaruh akan sedikitnya orang yang mengambil faidah dari amalnya, karena ia beramal semata karena Allah Ta’ala, bukan untuk pribadi dirinya.

Berkata Aly ibnu Fudhail ibnu Iyadh, kepada ayahnya, “Wahai Ayahku, alangkah manisnya petuah-petuah Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Maka di katakan, ”Apakah engkau mengetahui, bagaimana petuah dan nasehat mereka begitu amat terasa manis?”. Dikatakan, “Tidak“. Maka berkata Fudhail, ”Dikarenakan mereka meniatkan hanya karena Allah semata”.

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar Engkau jadikan semua amalku adalah amal salih, dan hanya semata ikhlas kepada-Mu, dan jangan Engkau jadikan di dalam amalku selain kepada Diri-Mu sedikitpun.

Oleh : Syaikh  Abdul Hamid Ar-Rifa’i  Al-Juhany .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar