Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Doa orang yang terdzalimi/ teraniaya akan
dikabulkan, walaupun ia berbuat dosa, dosanya sebatas untuk dirinya sendiri“.
(Shohihul Jami’ no: 3377)
Jika kita merenungi
hadist di atas, maka dijumpai keadaan orang yang teraniaya tersebut mengucapkan
doa dari dasar lubuk hati penuh dengan keikhlasan, memusatkan pada hati dan
tidak menyisakan peluang pikiran dan kesibukan lainnya, ia berupaya agar doanya
terkabulkan.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sebab ditolaknya doa dalam sabdanya,
”Berdoalah kalian kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan
ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan seruan doa seseorang yang hatinya
lalai lagi alpa“. (Silsilah As Shohihah no: 594)
Orang yang
berdoa sedangkan hatinya alpa dan lalai maka tidak akan dikabulkan, adapun
orang yang sedang dalam keadaan terdzalimi dan teraniaya ia tidak lalai dan
alpa karena doanya terucap dari lubuk hati yang dalam, demikian pula doa orang
yang dalam keadaan tertimpa kesusahan, walaupun ia orang yang kafir kepada Allah,
sebagaimana difirmankan:
أَمَّن يُجِيبُ
الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاء
الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
“Atau
siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia
berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu
(manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang
lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”. (QS. An-Naml: 62)
Orang yang
sedang mengalami kesusahan dan kesempitan hatinya akan fokus dalam memanjatkan
doa, jauh dari hati yang kosong dan lalai, maka disaat itu ia penuh keikhlasan walaupun
sesungguhnya ia melampui batas dan terjerumus dalam kekafiran.
Diterangkan
dalam hadist Muslim, yang dibawakan oleh sahabat Jabir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ”Barang siapa mendaki bukit Tsaniyah/ Tsaniyah miror -yaitu
tempat antara Makkah dan Hudaibiyah jalan menuju Madinah- maka ia akan diampuni
dosanya sebagaimana diampuni umat bani Israil”.
Maka yang
pertama kali sampai di atas bukit tersebut adalah Kuda kita yaitu Kuda dari
kaum bani Khojroj, kemudian disusul oleh para sahabat lainya, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Semua diantara kalian terampuni dosanya, kecuali
pengendara onta merah -yaitu Abdullah ibnu Ubay tokoh munafikin- maka para
sahabat mendatanginya, seraya berkata, ”Kemarilah engkau, agar Rasulullah
memintakan ampunan untuk dirimu”, akan tetapi ia berkata, ”Sekiranya aku
menemukan barangku yang hilang niscaya lebih aku sukai daripada kawanmu
memintakan ampunan untuk diriku”.
Di sini kita
ketahui bahwa orang tersebut hatinya disibukkan dengan barang yang hilang dari
permohonan ampunan serta berikhlas kepada Allah, dan kita akan bawakankan satu
hadist dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kesempatan ini agar
memperjelas perkara yang kita ulas.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah salah seorang diantara kalian menyiapkan
air wudhunya, kemudian berkumur, memasukkan air ke dalam hidung, lalu
membuangnya (beristinsyak dan intisyar) kecuali akan mengalir dosa dan
kesalahan dari wajah, mulut, dan batang hidungnya, dan jika ia membasuh seluruh mukanya
sebagaimana diperintahkan maka akan mengalir dosa dan kesalahan wajahnya dari
ujung janggutnya bersamaan jatuhnya air, kemudian jika ia mencuci tangannya
hingga lengan maka akan menglir dosa tangannya dari ujung jemarinya bersamaan jatuhnya
air, kemudian jika ia mengusap kepalanya sebagaimana yang diperintahkan maka
akan mengalir dosa kepalanya dari ujung rambut kepalanya bersamaan usapan air
tersebut, kemudian jika ia membasuh kakinya hingga mata kaki, maka akan
berjatuhan dosa kakinya dari ujung jemarinya bersamaan air, dan jika ia berdiri
kemudian mendirikan sholat dan memuja memuji serta menyanjung Allah yang semua itu
hanya pantas diberikan pada-Nya, serta ia mengkosongkan hati kecuali hanya
untuk Allah saja, maka niscaya dosa-dosanya hilang seperti halnya ia dalam keadaan
hari terlahir dari ibunya”. (Shohihul
Jami’ no: 5680)
Dalam hadist di atas dinyatakan kalimat, ‘Serta
ia mengkosongkan hati kecuali hanya untuk Allah saja’, ini merupakan dalil yang
menjadi bukti bahasan ini, yaitu mengkosongkan hati dan hanya diperuntukkan
kepada Allah, serta berpaling dari selain-Nya, dan ini merupakan kesempurnaan
ikhlas kepada Allah Ta’ala, dan setiap orang yang teraniaya dan dalam keadaan
genting niscaya ia mengkosongkan hati hanya kepada Allah semata, hingga doanya
dikabulkan sebagaimana balasan atas keikhlasannya. Sebagaimana pula
doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ
مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
“Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." (QS
Al-An’am: 77).
وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن
مِّنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku,
dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk
orang-orang yang merugi." (QS Hud: 47)
Doa-doa semisal ini niscaya akan dikabulkan, dikarenakan
ia dalam keadaan genting, sekiranya tidak terkabulkan doanya ia akan masuk
dalam golongan orang yang tersesat dan merugi.
Ungkapan-ungkapan dari panjatan doa di atas, menunjukkan
atas pengkosongan hati hanya kepada Allah semata, dan tidak menyibukkan diri
dengan selainnya, dan keinginannya hanyalah terkabulkan doa, serta
mengutamakannya atas segalanya. Bahkan tatkala syaiton berdoa memohon kepada
Allah walaupun permintaannya sangat besar membawa pada kesesatan, dimana ia
berkata,
قَالَ رَبِّ فَأَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ
يُبْعَثُونَ
“Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka
beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan”. (QS Al Hijr:
36)
Iblis memanjatkan doa ini dalam keadaan mengkosongkan
hati hanya untuk Allah semata, dan ia dalam kondisi genting, maka apa hasil
dari permintaannya? Allah berfirman:
قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ
الْمُنظَرِينَ إِلَى يَومِ الْوَقْتِ
الْمَعْلُومِ
“Allah berfirman: ‘(Kalau begitu) maka sesungguhnya
kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang
telah ditentukan’ “. (QS Al Hijr: 37-38)
Bagaimanakah cara bersyukur iblis kepada Allah tatkala
permintaannya dikabulkan?
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ
لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah
memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik
(perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka’ “. (QS
Al Hijr: 39-40)
Di dalam ayat di atas iblis berupaya untuk menggelincirkan
manusia semuanya dan diperkecualikan para hamba yang ikhlas yang mengkosongkan
hati hanya untuk Allah semata, hingga mereka tidak terjerumus dalam kemungkaran
hasil dari pengkelabuhan syaithon, maka kita dapat menyimpulkan bahwa orang
yang dalam kondisi terdholimi dan keadaan genting mereka semata berikhlas dalam
doa dan tidak memikirkan kecuali berupaya terkabulkan permintaannya.
Dari sini pula kita melihat tiga sahabat yang telah
ditangguhkan baginya taubat hingga apabila bumi terasa menghimpit dan jiwa
mereka terasa sesak, dan inilah keadaan yang Allah sifatkan bagi mereka dalam
firman-Nya,
وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ
حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ
أَنفُسُهُمْ وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ ثُمَّ
تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal
bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang”. (QS At-Taubah: 118)
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya seseorang mengerjakan sholatnya akan tetapi ia hanya mendapat
sepersepuluh pahala, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam,
seperlima, seperempat, sepertiga, dan setengahnya“. (HR Ahmad, Abu Dawud dan
Ibnu Hibban dan dicantumkan dalam Shohihul Jami’ no: 1622).
Diterimanya amal sholat seseorang tergantung sejauh mana
ia khusuk dan memurnikan hati hanya kepada Allah Ta’ala, demikian pula doa yang
dipanjatkan seseorang akan terkabul sejauh mana ia memurnikan hati hanya kepada
Allah Ta’ala, dan terlebih bagi orang yang teraniaya dan keadaan genting yang
ia ikhlas secara sempurna kepada Allah hingga dikabulkan permintaannya.
Bagaimana pula keadaan pemuda yang beriman (pada kisah
Ashabul Ukhdud) yang ia hendak dilemparkan dari atas gunung? Bukankah ia berdoa
dengan penuh keikhlasan seraya berkata, ”Ya Allah, lindungilah kami dengan
sesuatu yang Engkau kehendaki“.
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Surga
lebih dekat kepada kalian daripada tali alas kaki kalian, demikian pula neraka“.
(HR Bukhari)
Dari sini difahami sesungguhnya apabila seseorang telah
merasa dirinya dekat dengan surga dan hal itu dirasakan dengan sepenuh hati
serta ia mengosongkan hati hanya kepada Allah, demikian pula ia merasakan
keberadaan neraka, maka ini adalah bentuk ikhlas kepada Allah, dan seyogyanya
kita merenunggi akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Jika sekiranya
salah seorang yang beriman dari kalian mengetahui betapa dahsyat siksa Allah,
niscaya tidak akan seseorang dari kalian berharap surga, dan jika sekiranya
orang kafir mengetahui karunia dan rahmat Allah, niscaya ia tidak akan putus
asa dari surga-Nya“. (HR Muslim)
Dan jika ia tau akan dahsyatnya siksa Allah niscaya ia
memurnikan hatinya dalam berdoa agar selamat dari adzab-Nya, dan ia tidak akan
berharap terhadap surga yang merupakan tempat kembali orang yang beriman.
-Kitabul Ikhlas, Syaikh Husain Al-Away'isyah-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar