Kamis, 08 Mei 2014

TERKABULNYA DOA ORANG YANG DIDZALIMI DAN TERANIAYA

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Doa orang yang terdzalimi/ teraniaya akan dikabulkan, walaupun ia berbuat dosa, dosanya sebatas untuk dirinya sendiri“. (Shohihul Jami’ no: 3377)

Jika kita merenungi hadist di atas, maka dijumpai keadaan orang yang teraniaya tersebut mengucapkan doa dari dasar lubuk hati penuh dengan keikhlasan, memusatkan pada hati dan tidak menyisakan peluang pikiran dan kesibukan lainnya, ia berupaya agar doanya terkabulkan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sebab ditolaknya doa dalam sabdanya, ”Berdoalah kalian kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan seruan doa seseorang yang hatinya lalai lagi alpa“. (Silsilah As Shohihah no: 594)

Orang yang berdoa sedangkan hatinya alpa dan lalai maka tidak akan dikabulkan, adapun orang yang sedang dalam keadaan terdzalimi dan teraniaya ia tidak lalai dan alpa karena doanya terucap dari lubuk hati yang dalam, demikian pula doa orang yang dalam keadaan tertimpa kesusahan, walaupun ia orang yang kafir kepada Allah, sebagaimana difirmankan:

 أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاء الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”. (QS. An-Naml: 62)

Orang yang sedang mengalami kesusahan dan kesempitan hatinya akan fokus dalam memanjatkan doa, jauh dari hati yang kosong dan lalai, maka disaat itu ia penuh keikhlasan walaupun sesungguhnya ia melampui batas dan terjerumus dalam kekafiran.

Diterangkan dalam hadist Muslim, yang dibawakan oleh sahabat Jabir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa mendaki bukit Tsaniyah/ Tsaniyah miror -yaitu tempat antara Makkah dan Hudaibiyah jalan menuju Madinah- maka ia akan diampuni dosanya sebagaimana diampuni umat bani Israil”.

Maka yang pertama kali sampai di atas bukit tersebut adalah Kuda kita yaitu Kuda dari kaum bani Khojroj, kemudian disusul oleh para sahabat lainya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Semua diantara kalian terampuni dosanya, kecuali pengendara onta merah -yaitu Abdullah ibnu Ubay tokoh munafikin- maka para sahabat mendatanginya, seraya berkata, ”Kemarilah engkau, agar Rasulullah memintakan ampunan untuk dirimu”, akan tetapi ia berkata, ”Sekiranya aku menemukan barangku yang hilang niscaya lebih aku sukai daripada kawanmu memintakan ampunan untuk diriku”.

Di sini kita ketahui bahwa orang tersebut hatinya disibukkan dengan barang yang hilang dari permohonan ampunan serta berikhlas kepada Allah, dan kita akan bawakankan satu hadist dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kesempatan ini agar memperjelas perkara yang kita ulas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidaklah salah seorang diantara kalian menyiapkan air wudhunya, kemudian berkumur, memasukkan air ke dalam hidung, lalu membuangnya (beristinsyak dan intisyar) kecuali akan mengalir dosa dan kesalahan dari wajah, mulut, dan batang hidungnya,  dan jika ia membasuh seluruh mukanya sebagaimana diperintahkan maka akan mengalir dosa dan kesalahan wajahnya dari ujung janggutnya bersamaan jatuhnya air, kemudian jika ia mencuci tangannya hingga lengan maka akan menglir dosa tangannya dari ujung jemarinya bersamaan jatuhnya air, kemudian jika ia mengusap kepalanya sebagaimana yang diperintahkan maka akan mengalir dosa kepalanya dari ujung rambut kepalanya bersamaan usapan air tersebut, kemudian jika ia membasuh kakinya hingga mata kaki, maka akan berjatuhan dosa kakinya dari ujung jemarinya bersamaan air, dan jika ia berdiri kemudian mendirikan sholat dan memuja memuji serta menyanjung Allah yang semua itu hanya pantas diberikan pada-Nya, serta ia mengkosongkan hati kecuali hanya untuk Allah saja, maka niscaya dosa-dosanya hilang seperti halnya ia dalam keadaan hari terlahir dari ibunya”. (Shohihul  Jami’ no: 5680)

Dalam hadist di atas dinyatakan kalimat, ‘Serta ia mengkosongkan hati kecuali hanya untuk Allah saja’, ini merupakan dalil yang menjadi bukti bahasan ini, yaitu mengkosongkan hati dan hanya diperuntukkan kepada Allah, serta berpaling dari selain-Nya, dan ini merupakan kesempurnaan ikhlas kepada Allah Ta’ala, dan setiap orang yang teraniaya dan dalam keadaan genting niscaya ia mengkosongkan hati hanya kepada Allah semata, hingga doanya dikabulkan sebagaimana balasan atas keikhlasannya. Sebagaimana pula doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
     قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ  
Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." (QS Al-An’am: 77).
      وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS Hud: 47)

Doa-doa semisal ini niscaya akan dikabulkan, dikarenakan ia dalam keadaan genting, sekiranya tidak terkabulkan doanya ia akan masuk dalam golongan orang yang tersesat dan merugi.

Ungkapan-ungkapan dari panjatan doa di atas, menunjukkan atas pengkosongan hati hanya kepada Allah semata, dan tidak menyibukkan diri dengan selainnya, dan keinginannya hanyalah terkabulkan doa, serta mengutamakannya atas segalanya. Bahkan tatkala syaiton berdoa memohon kepada Allah walaupun permintaannya sangat besar membawa pada kesesatan, dimana ia berkata,
    قَالَ رَبِّ فَأَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ 
Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan”. (QS Al Hijr: 36)

Iblis memanjatkan doa ini dalam keadaan mengkosongkan hati hanya untuk Allah semata, dan ia dalam kondisi genting, maka apa hasil dari permintaannya? Allah berfirman:

  قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنظَرِينَ  إِلَى يَومِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ
Allah berfirman: ‘(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan’ “. (QS Al Hijr: 37-38)  

Bagaimanakah cara bersyukur iblis kepada Allah tatkala permintaannya dikabulkan?

 قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Iblis berkata: ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka’ “. (QS Al Hijr: 39-40)

Di dalam ayat di atas iblis berupaya untuk menggelincirkan manusia semuanya dan diperkecualikan para hamba yang ikhlas yang mengkosongkan hati hanya untuk Allah semata, hingga mereka tidak terjerumus dalam kemungkaran hasil dari pengkelabuhan syaithon, maka kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang dalam kondisi terdholimi dan keadaan genting mereka semata berikhlas dalam doa dan tidak memikirkan kecuali berupaya terkabulkan permintaannya.

Dari sini pula kita melihat tiga sahabat yang telah ditangguhkan baginya taubat hingga apabila bumi terasa menghimpit dan jiwa mereka terasa sesak, dan inilah keadaan yang Allah sifatkan bagi mereka dalam firman-Nya,

 وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّواْ أَن لاَّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS At-Taubah: 118)

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya seseorang mengerjakan sholatnya akan tetapi ia hanya mendapat sepersepuluh pahala, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan setengahnya“. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban dan dicantumkan dalam Shohihul Jami’ no: 1622).

Diterimanya amal sholat seseorang tergantung sejauh mana ia khusuk dan memurnikan hati hanya kepada Allah Ta’ala, demikian pula doa yang dipanjatkan seseorang akan terkabul sejauh mana ia memurnikan hati hanya kepada Allah Ta’ala, dan terlebih bagi orang yang teraniaya dan keadaan genting yang ia ikhlas secara sempurna kepada Allah hingga dikabulkan permintaannya.

Bagaimana pula keadaan pemuda yang beriman (pada kisah Ashabul Ukhdud) yang ia hendak dilemparkan dari atas gunung? Bukankah ia berdoa dengan penuh keikhlasan seraya berkata, ”Ya Allah, lindungilah kami dengan sesuatu yang Engkau kehendaki“.

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Surga lebih dekat kepada kalian daripada tali alas kaki kalian, demikian pula neraka“. (HR Bukhari)

Dari sini difahami sesungguhnya apabila seseorang telah merasa dirinya dekat dengan surga dan hal itu dirasakan dengan sepenuh hati serta ia mengosongkan hati hanya kepada Allah, demikian pula ia merasakan keberadaan neraka, maka ini adalah bentuk ikhlas kepada Allah, dan seyogyanya kita merenunggi akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Jika sekiranya salah seorang yang beriman dari kalian mengetahui betapa dahsyat siksa Allah, niscaya tidak akan seseorang dari kalian berharap surga, dan jika sekiranya orang kafir mengetahui karunia dan rahmat Allah, niscaya ia tidak akan putus asa dari surga-Nya“. (HR Muslim)


Dan jika ia tau akan dahsyatnya siksa Allah niscaya ia memurnikan hatinya dalam berdoa agar selamat dari adzab-Nya, dan ia tidak akan berharap terhadap surga yang merupakan tempat kembali orang yang beriman.

-Kitabul Ikhlas, Syaikh Husain Al-Away'isyah-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar