Jumat, 27 Januari 2023

HUKUM AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

Alhamdulillah, Was Sholatu was Salamu ala Rosulillah, wa ba'du; 



Keempat :  HUKUM AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNGKAR 



Amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban yang sangat agung dari kewajiban kewajiban yang dijumpai dalam syariat, sebagaimana telah dijelaskan di dalam Al Kitab dan As Sunnah dan Al Ijma'. 


Allah Ta'ala berfirman : 


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾


"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.S.3:104)


Para ahli ilmu berdalih dengan ayat ini tentang wajibnya menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar. 


Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata: " Para Imam ahli agama seluruh nya telah sepakat tentang wajibnya amar ma'ruf dan nahi mungkar tanpa dijumpai perbedaan, berdasarkan ayat, " Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar ". (Ahkamul Qur'an : 2/34)


Adapun dalil dari As Sunnah: 


عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

[رواه مسلم]


Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)


Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar merubah kemunkaran sesuai kadar kemampuan, dan perintah dalam hadits ini memiliki hukum wajib sebagaimana yang telah ditetapkan oleh jama’ah dari ahli ilmu. 


Al Imam An Nawawy rahimahullah menerangkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, " Maka rubahlah ", ini merupakan perintah kewajiban sebagaimana Ijma' / Kesepakatan umat ". (Syarah An Nawawy: 2/22)


Al Imam Al Qurthuby rahimahullah berkata: " Perintah dalam hadits diatas memiliki hukum wajib, dikarenakan menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan perkara yang wajib dalam keimanan serta tonggak agama islam yang ditetapkan dalam Al Kitab dan As Sunnah dan Al Ijma'". (Al Mufhim: 1/233)


Al Imam As Suyhuthy rahimahullah berkata: " Barangsiapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah ", " Ini merupakan perintah yang wajib kepada umat ". (Syarah As Suyhuthy: 1/65)


Dan dalil lain didalam As Sunnah diantaranya:


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 


وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْـمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ.


Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Hendaklah kalian menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, atau kalau tidak, hampir saja Allâh menurunkan adzab-Nya kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, namun do’a kalian tidak dikabulkan". (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)


Dalam hadits diatas menunjukkan atas ancaman dari Allah Ta'ala kepada orang-orang yang meninggalkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, sehingga dari sini sangat terang atas wajibnya menegakkan perkara tersebut dikarenakan tidak akan dijatuhkan suatu hukuman kecuali terhadap orang yang meninggalkan kewajiban atau menerjang perkara yang diharamkan. 


Adapun dalil dari Al Ijma' , maka jama’ah dari kalangan para ulama telah menyatakan kesepakatan nya. 


Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Umat seluruhnya telah sepakat tentang wajibnya amar ma'ruf dan nahi mungkar tanpa dijumpai perbedaan dari salah seorang dari mereka ". (Fasl fiil milal wal ahwa' : 4/132)


Al Imam An Nawawy rahimahullah berkata: " Dan telah disepakati atas wajibnya amar ma'ruf dan nahi mungkar berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah dan Ijma' nya para umat dan ini juga termasuk bagian dari nasehat yang merupakan bagian agama dan tidak dijumpai orang-orang yang menyelisihi kesepakatan tersebut kecuali kelompok syiah rofidhoh yang tidak diterima perbedaan tersebut ". (Syarah An Nawawy ala' Muslim: 2/22)


Al Imam Ibnul Qotthon Al Faashy rahimahullah berkata: " Dan telah disepakati atas wajibnya amar ma'ruf dan nahi mungkar dengan menggunakan tangan dan lisan jika sekiranya mampu atas hal tersebut, jika tidak mampu maka dengan hatinya ". (Al Iqna' fi masailil Ijma' : 1/62)


Jika telah ditetapkan tentang wajibnya amar ma'ruf dan nahi mungkar sesuai dalil dari Al Kitab dan As Sunnah dan Ijma' para ulama, maka disini ada dua permasalahan yang berkaitan dengan masalah diatas, yaitu: 



@. Pertama:  Apakah wajibnya amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban yang aini/dibebankan kepada setiap individu dari umat ini atau sebatas wajib kifayah?


Ada dua pendapat dari kalangan para ulama: 


1). Amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban aini/individual bagi  setiap muslim sesuai kadar kemampuan masing-masing, hal ini berdasarkan ayat yang dalam lafadz "  من  "  dalam firman Allah Ta'ala  :  


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾


Memiliki tafsir arti: " Untuk menjelaskan tentang jenis ". 


Yang berarti: " Hendaklah setiap dari kalian seluruhnya menjadi umat yang sentiasa menyeru kepada kebajikan dan menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, bukan hanya sebahagian dari golongan kalian ".


Hal ini seperti dalam firman Allah Ta'ala: 


 ۖ فَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَٰنِ وَٱجْتَنِبُوا۟ قَوْلَ ٱلزُّورِ ﴿٣٠﴾


" maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta." (Q.S.22:30)


Yang artinya: " Menjauhi seluruh bentuk penyembahan berhala-berhala seluruhnya dan menjauhi seluruh bentuk perkataan yang dusta , bukan hanya sebahagian nya saja ". (Tafsir As Sam'a'niy : 1/347)


Dan dalil tentang wajibnya keseluruhan umat untuk melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar adalah firman Allah Ta'ala: 


كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ ﴿١١٠﴾


"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik."  (Q.S.3:110)


Dan yang berpendapat demikian ini diantaranya Al Imam Az Zajjaz dan Al Imam As Sam'a'niy dan Al Imam Al Baghowy dan Al Imam Ibnu Katsir dan As Syaikh Rosyid Ridho.  (Ma'anil Qur'an: 1/457 , Tafsir As Sam'a'niy: 1/347 , Tafsir Ibnu Katsir: 2/94 , Tafsir Al Manar: 4/23)



2. Amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban kifayah yang tidak dibebankan kepada setiap individu muslim, namun jika sebahagian muslimin ada yang menegakkan maka gugur hukumnya bagi yang lainnya seperti halnya perkara jihad fi sabilillah.

Dan pendapat ini berhujjah dengan firman Allah Ta'ala dalam surat Ali Imron diatas bahwa lafadz, "  من  "  dari ayat : 


وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْر


Memiliki arti: Sebahagian dari kalian, sehingga makna ayat tersebut adalah: 

" Dan hendaklah di antara kamu ada sebahagian/segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah kemungkaran ".


Dikatakan, dikarenakan menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar bukan kewajiban bagi setiap individu muslim akan tetapi hanya bagi para ulama, sedangkan keumuman manusia bukanlah ulama, sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Ta'ala secara tegas dalam firman Nya: 


ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ ﴿٤١﴾


"(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (Q.S.22:41)


Dan tidak setiap muslim diberikan kekuasaan sebagaimana ayat diatas. 


Dan ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama dan ini yang dikatakan orang Al Imam Ibnul Araby dan Al Imam Al Qurthuby dan Al Imam An Nawawy dan Al Imam Ibnu Daqiq dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Al Imam Ibnul Qoyyim dan Al Imam Ibnun Nakhaas dan Al Imam As Safaariniy dan Al Imam As Syaukani dan Al Imam Al Alusyi dan Al Imam As Sa'diy dan As Syaikh Muhammad Al Amin As Syangqithy rahimahumullah dan selainnya. 


Didalam firman Allah Ta'ala:  وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْر  merupakan dalil bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar hukumnya adalah Fardhu yang dilakukan oleh kaum muslimin walaupun tidak memiliki sifat adil, berbeda dengan apa yang disyaratkan oleh sekelompok ahli bid'ah yang harus mensyarstkan sifat adil dalam amar ma'ruf dan nahi mungkar. 


Dan telah kita terangkan didalam Kitab-kitab ushul bahwa syarat ketaatan tidak boleh ditetapkan kecuali jika ada dalil-dalil nya, dan setiap individu memiliki kewajiban didalam dirinya menunaikan ketaatan, dan yang fardhu untuk dirinya didalam agama nya adalah memperingatkan kepada orang lain yang ia jahil dan tidak mengerti tentang ketaatan atau kemaksiatan dan menasihati nya dalam dosa yang ia terjatuh didalam nya.  


Dan telah Kami jelaskan pada ayat pertama pada sebelumnya. 


Dan ini adalah pendapat yang benar yang sesuai ketentuan dalil-dalil secara keseluruhan. 


Akan tetapi akan dijumpai nanti rincian yang akan berpengaruh terhadap hukum dari sisi derajat yang diperintahkan dan yang dilarang pada dirinya, dan dari sisi derajat manusia dalam kemampuan pada perkara tersebut, dan dari sisi martabat pengingkaran dan keterkaitan nya dengan tangan atau lisan atau hati. 


Adapun dari sudut pandang keragaman yang diperintahkan dan yang dilarang,  maka telah disebutkan sebelumnya bahwa perkara ma'ruf masuk didalam nya perkara wajib dan perkara mustahab atau yang dianjurkan, sedangkan perkara mungkar masuk didalam nya keumuman perkara yang haram dan perkara yang makruh atau di benci, maka dari itu hendaknya amar ma'ruf dan nahi mungkar selayaknya mengikuti pada hukum asal yang disyariatkan secara wajib atau sunnah.


Maka dengan ini terdapat dua martabat: 

Wajib, yaitu mengajak kepada kebajikan yang bersifat wajib dan mencegah mungkar yang bersifat muharrom/yang diharamkan. 


Dan mustahab/sunnah, yaitu mengajak kepada kebajikan yang bersifat sunnah dan mencegah kemungkaran yang bersifat makruh/dibenci. 


Dan ini yang sesuai pondasi syariat, yaitu sesuatu yang disyariatkan Allah Ta'ala secara sunnah dan sesuatu yang dilarang secara makruh maka Allah tidak akan mewajibkan nya kepada umat, maka demikian pula dengan perintah yang sunnah dan larangan yang makruh bagi yang berkedudukan menegakkan hisbah/amar ma'ruf hendaknya didudukkan kedudukan hukum asalnya. 


Sebagai mana telah dinyatakan secara gamblang oleh para ulama. 


Al Imam Ibnu Bathol rahimahullah Ta'ala: " Berkata sebahagian ulama: " Amar ma'ruf terdapat dua bagian, diantaranya fardhu dan diantaranya sunnah, maka setiap sesuatu yang wajib dikerjakan maka wajib untuk diperintahkan nya seperti menjaga kesempurnaan bersuci dan kesempurnaan rukuk dan sujud ketika sholat, dan mengeluarkan zakat dan yang semisalnya, dan sesuatu dari perkara yang sunnah maka memerintahkan nya pun juga sunnah dan engkau tidak berdosa bila meninggalkannya kecuali ketika dalam keadaan mempertanyakan nya, dikarenakan wajibnya memberikan nasihat yang merupakan fardhu bagi seluruh kaum mukminin". (Syarah sohih Al Bukhari: 9/294)


Adapun yang di sandarkan pada keberagaman manusia dalam kemampuan  pada amar ma'ruf dan nahi mungkar, maka sesungguhnya sebagaimana diketahui seksama bahwa tidak setiap manusia memiliki kemampuan yang sama.


Sebagaimana diterangkan dalam hadits sahabat mulia Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،...رواه مسلم


 "Barang siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, .....(HR. Muslim)


Dari sini, maka sesungguhnya menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar walaupun merupakan perkara yang fardhu kifayah sebagaimana terdahulu penjelasannya, maka sesungguhnya bagi yang tidak mampu maka tidak berkewajiban melakukan nya bahkan tidak disyariatkan bagi nya, sebagaimana keumuman dalil dalil tentang tidak terbebaninya bagi mereka yang tidak mampu. 


Allah Ta'ala berfirman: 


فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ .... ﴿١٦﴾


"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ". (Q.S.64:16)


Allah Ta'ala berfirman: 


لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ .... ﴿٢٨٦﴾


"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". (Q.S.2:286)


Dikarenakan orang-orang yang tidak mampu gugur pada mereka perkara yang fardhu aini bagaimana dengan fardhu kifayah?


Maka dari sini menjadi kewajiban bagi mereka yang mampu dari umat ini tanpa mereka yang lemah, sehingga memiliki hukum fardhu kifayah bagi orang-orang yang mampu meskipun hanya tersisa pada satu orang saja maka baginya berubah menjadi fardhu aini dalam masalah ini. 


Al Imam An Nawawy rahimahullah berkata; "Kemudian terkadang menjadi fardhu aini bagi seseorang jika tidak mengetahui tempat kemunkaran kecuali hanya dia seseorang atau tidak dapat menghilangkan kemungkaran kecuali dia seperti seorang suami yang melihat kemunkaran atau meninggalkan suatu kewajiban pada istrinya atau anaknya  atau budaknya (dalam rumah) ( Syarah An Nawawy: 2/23)


Al Imam Al Qorofy rahimahullah berkata: "Dan jika tidak dapati (seseorang yang dapat merubah kemunkaran atau menjalankan suatu kewajiban) kecuali hanya seseorang saja, maka ia menjadi wajib aini baginya untuk melakukan hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan yang kompeten dari para manusia, seperti ibarat akhir waktu bagi mengerjakan shalat ". (Al Furuuq: 2/93)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam perkara amar ma'ruf dan nahi mungkar: " Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang diberikan kemampuan, dan hukumnya adalah fardhu kifayah, dan bisa berubah menjadi fardhu aini bagi seseorang yang hanya dia yang mampu sedangkan yang lainnya tidak berkemampuan " (Majmu Al Fatawa: 28/65)



Adapun yang berkaitan dengan derajat mengingkari kemungkaran yang berkaitan dengan menggunakan tangan atau lisan atau hati : 


Maka dalil-dalil secara dhohir menunjukkan bahwa merubah kemunkaran dengan hati adalah perkara yang wajib dilakukan, adapun merubah kemunkaran dengan menggunakan tangan dan lisan maka dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu terdahulu dan yang semakna dengan nya dalam hadits hadits yang lainnya, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengaitkan kemampuan dalam merubah kemunkaran dengan tangan dan lisan, adapun merubah kemunkaran dengan hati maka tidak dikatakan setelah nya, : " Jika tidak mampu ", disebutkan bahwa perkara tersebut merupakan selemah-lemahnya iman. 


Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dengan sanad yang sah dari Thorik Ibnu Syihab berkata, seseorang berkata kepada Abdullah Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu: " Binasalah orang-orang yang tidak melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar ". Maka dijelaskan oleh Abdullah Ibnu Mas'ud : "Akan tetapi Binasalah orang-orang yang tidak mengetahui perkara ma'ruf didalam hati nya dan mengingkari kemungkaran dengan hatinya ". (Mushonaf: 7/504, Al Baihaqy: 10/71)


Al Imam Ibnu Rojab rahimahullah berkata memberikan catatan dalam perkataan sahabat Abdullah Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu: " Memberikan isyarat bahwa mengetahui dan mengenal perbuatan ma'ruf dan mungkar dengan hati merupakan amalan yang fardhu tidak gugur hukumnya bagi siapapun, maka barangsiapa yang tidak mengetahui ia termasuk golongan yang akan Binasa, adapun merubah kemunkaran dengan menggunakan tangan dan lisan maka wajib bagi yang memiliki kemampuan ". (Jami'ul Ulum wal hikam: 2/245)


Al Imam As Safaariniy rahimahullah berkata: " Dalam perkara ini terdapat banyak hadist dan seluruhnya menunjukkan bahwa merubah kemunkaran sesuai kadar kemampuan namun mengingkari kemungkaran dengan hati merupakan keharusan ". (Lawamiul Anwar Al Bahiyah: 3/713) 


Maka bisa disimpulkan disini: Bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar dari tinjauan hukum asal merupakan fardhu kifayah, akan tetapi disana terdapat keadaan keadaan tertentu yang keluar dari hukum asal sebagaimana penjelasan terdahulu, wa Allahu A'lam. 

📔📔📘📘📓📓

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar