Allah Ta'ala berfirman:
﴿إِنَّ ٱلَّذِینَ یَكۡتُمُونَ مَاۤ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَیِّنَـٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَیَّنَّـٰهُ لِلنَّاسِ فِی ٱلۡكِتَـٰبِ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ یَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَیَلۡعَنُهُمُ ٱللَّـٰعِنُونَ ١٥٩ إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ وَأَصۡلَحُوا۟ وَبَیَّنُوا۟ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ أَتُوبُ عَلَیۡهِمۡ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِیمُ ١٦٠﴾ [البقرة ١٥٩-١٦٠]
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat. Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka mereka itulah yang Aku terima taubatnya, dan Aku adalah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
([QS Al-Baqarah: 159-160])
Tafsir Ibnu Katsir (774 H)
Penjelasan Ibnu Katsir ( 774 H ) :
Ini adalah peringatan yang keras bagi orang-orang yang menyembunyikan apa yang dibawa oleh rasul-rasul, yaitu dalil-dalil yang jelas tentang tujuan yang benar dan petunjuk yang bermanfaat bagi hati, setelah Allah menjelaskannya dalam kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya.
Abu Al-Aliyah berkata: Ayat ini turun mengenai ahli kitab yang menyembunyikan sifat Muhammad ﷺ. Kemudian Allah mengabarkan bahwa mereka akan dilaknat oleh segala sesuatu atas perbuatan mereka tersebut. Sebagaimana seorang ulama yang setiap makhluk memintakan ampunan baginya, bahkan ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, tetapi orang-orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh para pelaknat. Dalam hadis yang diriwayatkan dengan berbagai jalur yang saling menguatkan, dari Abu Hurairah dan lainnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang ditanya tentang ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat dia akan disumbat mulutnya dengan belenggu dari api neraka."
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hassan bin 'Arafah berkata: Kami diberitakan oleh Ammar bin Muhammad dari Lais bin Abu Sulaim, dari Minhal bin Amr, dari Zadan Abu Umar, dari Al-Bara' bin Azib, dia berkata: "Kami bersama Nabi ﷺ dalam sebuah jenazah, lalu beliau bersabda: 'Sesungguhnya orang kafir akan dipukul di antara kedua matanya, dan setiap makhluk akan mendengar suara itu, kecuali jin dan manusia, dan semua makhluk akan melaknatnya.'"
Dalam penjelasan ini, dilihat bahwa mereka yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah, malaikat, dan seluruh makhluk, bahkan dalam keadaan yang sangat jelas dan tegas.
Namun, Allah memberi pengecualian bagi mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan apa yang dahulu mereka sembunyikan. Bagi mereka, Allah akan menerima tobat mereka, karena Dia adalah Penerima tobat yang Maha Penyayang.
Di akhir ayat, Allah mengingatkan bahwa orang yang mati dalam kekafiran akan tetap dilaknat dan azab mereka tidak akan dikurangi sedikit pun.
Allah kemudian menegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir akan mendapatkan laknat Allah, malaikat, dan seluruh umat manusia. Mereka akan kekal dalam laknat tersebut tanpa adanya keringanan dalam azab mereka. Dalam ayat tersebut, Allah menyatakan bahwa "azab mereka tidak akan diringankan" dan "mereka tidak akan diberi penundaan," yang menunjukkan bahwa hukuman bagi orang yang mati dalam kekafiran adalah abadi dan tidak akan ada kesempatan untuk mengubah nasib mereka.
Tobat dan Penerimaan Allah:
Kemudian Allah memberikan pengecualian bagi mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan apa yang dahulu mereka sembunyikan, yaitu mereka yang kembali kepada kebenaran, memperbaiki amal mereka, dan menyebarkan ilmu yang sebelumnya mereka sembunyikan. Bagi mereka ini, Allah berjanji untuk menerima tobat mereka. Allah menyebutkan bahwa Dia adalah "Tobat yang Maha Penerima" dan "Maha Penyayang." Ini menunjukkan bahwa pintu tobat tetap terbuka bagi siapa pun yang kembali kepada-Nya dengan hati yang tulus, tidak peduli seberapa besar dosa yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Peringatan tentang Kafiran yang Abadi:
Selanjutnya, Allah menegaskan bahwa bagi mereka yang tetap dalam kekafiran sampai akhir hayat mereka, akan dijauhkan dari rahmat Allah. Mereka akan terus dilaknat oleh Allah, malaikat, dan seluruh umat manusia, dan kekekalan mereka dalam neraka adalah azab yang tidak pernah berakhir. Ini menunjukkan keharusan untuk menjaga iman sampai akhir hayat dan untuk menghindari keadaan yang bisa menyebabkan kematian dalam kekafiran.
Ijma' dan Pandangan Ulama tentang Laknat terhadap Kafir:
Ibnu Katsir juga menambahkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang boleh atau tidaknya melaknat orang kafir. Ulama dari kalangan salaf seperti Umar bin Khattab dan para imam setelahnya, biasa melaknat orang-orang kafir, baik dalam doa qunut atau dalam konteks lainnya. Namun, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa melaknat individu tertentu yang kafir tidaklah dibolehkan, karena kita tidak tahu bagaimana akhirnya bagi mereka, apakah mereka akan mati dalam kekafiran ataukah akan ada kesempatan untuk bertobat sebelum ajal menjemput.
Salah satu dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat yang melarang melaknat individu kafir secara khusus adalah sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sahih Bukhari, di mana seorang lelaki yang sedang dalam keadaan mabuk dilaporkan oleh orang lain dengan mengatakan: "Semoga Allah melaknatnya, betapa sering dia datang (dalam keadaan mabuk)." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Jangan kamu melaknatnya, karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya." Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang melakukan dosa, jika dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka ia tidak boleh dilaknat secara langsung. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa kita harus berhati-hati dalam menghakimi orang lain, karena hanya Allah yang mengetahui akhir hidup seseorang.
Namun demikian, ulama lainnya, seperti Abu Bakar bin Al-Arabi dari mazhab Maliki, berpendapat bahwa melaknat orang kafir yang sudah jelas kekafirannya adalah diperbolehkan. Pendapat ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit menyatakan laknat terhadap orang kafir yang mati dalam keadaan kafir.
Kesimpulan:
Tafsir dari ayat ini memberikan peringatan yang keras terhadap mereka yang menyembunyikan kebenaran dan ilmu yang telah disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah sangat murka terhadap orang-orang yang menahan ilmu yang bermanfaat bagi umat manusia, dan mereka akan dilaknat baik oleh Allah, malaikat, maupun seluruh makhluk. Namun, bagi mereka yang bertobat dan memperbaiki diri, pintu tobat selalu terbuka.
Selain itu, ayat ini juga mengingatkan tentang pentingnya mempertahankan iman dan menghindari kekafiran, karena bagi mereka yang mati dalam kekafiran, laknat dan azab yang kekal akan menjadi balasannya. Oleh karena itu, kita diajarkan untuk selalu mencari ilmu yang benar, mengamalkannya, dan menyebarkannya untuk kebaikan umat, serta menjaga hati agar tetap dalam iman hingga akhir hayat.
Tafsir Ibnul Qayyim - Ibnul Qayyim (751 H)
QS. Al-Baqarah (159-160):
Tafsir Ibnul Qayyim:
Taubat orang-orang yang melakukan dosa dengan menyembunyikan keyakinan yang salah hanya dapat terjadi dengan mengikuti sunnah. Tidak cukup hanya dengan taubat, mereka harus menjelaskan kebatilan yang mereka ikuti sebelumnya. Sebab, taubat dari suatu dosa adalah dengan melakukan lawan dari dosa tersebut. Oleh karena itu, Allah mensyaratkan dalam taubat orang-orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan agar mereka juga menjelaskan hal itu. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari bukti yang jelas dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam kitab-Nya, mereka itulah yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat. Kecuali mereka yang bertaubat, memperbaiki diri, dan menjelaskan kebenaran. Mereka itulah yang akan Aku terima taubatnya. Aku Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 159-160).
Dosa orang yang berbuat bid'ah lebih besar daripada dosa orang yang menyembunyikan kebenaran, karena yang satu menyembunyikan kebenaran, sementara yang lain menyembunyikan dan mengajak orang lain untuk mengikuti kebatilan.
Adapun taubat orang munafik, maka syaratnya adalah keikhlasan, karena dosa mereka terkait dengan riya. Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di bagian paling bawah dari neraka." (QS. An-Nisa: 145). Kemudian Allah berfirman: "Kecuali mereka yang bertaubat, memperbaiki diri, berpegang teguh pada Allah, dan mengikhlaskan agama mereka hanya untuk Allah. Mereka itulah yang akan bersama orang-orang beriman, dan Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang beriman." (QS. An-Nisa: 146).
Taubat bagi orang yang menuduh zina (qadzf) adalah dengan mengingkari dirinya sendiri, karena dia telah merusak kehormatan seorang Muslim yang terhormat. Oleh karena itu, taubat darinya hanya akan diterima jika dia mengingkari dirinya sendiri, yang bertujuan untuk menghapus kehormatan yang telah dia rusak dengan tuduhan tersebut.
Sedangkan orang yang berkata bahwa taubatnya cukup dengan mengatakan "Astaghfiru Allah" (Saya mohon ampun kepada Allah) dan mengakui keharaman tuduhan zina itu adalah pandangan yang lemah, karena itu tidak memberi manfaat bagi orang yang difitnah, dan tidak akan menghapus kehormatan orang yang dituduh. Untuk taubat dari dosa ini, ada dua hak yang harus dipenuhi: pertama, hak Allah berupa pengakuan atas haramnya menuduh zina; kedua, hak bagi orang yang difitnah, yaitu menghapus kehormatan yang telah dirusak. Oleh karena itu, taubatnya harus dengan mengingkari dirinya dan dengan penyesalan yang mendalam.
Jika seseorang berkata bahwa dia melihat sendiri perbuatan zina dan kemudian memberitahukannya, bagaimana mungkin dia harus mengingkari dirinya sendiri dan menuduh dirinya berbohong, meskipun apa yang dia katakan sesuai dengan kenyataan?
Jawabannya adalah: Ini adalah masalah yang sering dibahas oleh para ulama. Jika dia bersaksi tentang zina yang dia lihat, maka dia harus mengakui bahwa dia adalah seorang pendusta menurut hukum Allah. Meskipun apa yang dia katakan sesuai dengan kenyataan, jika dia tidak mengakui kebohongan menurut ketetapan hukum Allah, maka taubatnya belum lengkap. Allah berfirman, "Jika mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu adalah pendusta menurut hukum Allah." (QS. An-Nur: 13). Oleh karena itu, meskipun dia benar dalam ceritanya, selama ia tidak mengakui kebohongannya menurut hukum Allah, maka taubatnya tidak akan diterima.
Penjelasan lebih lanjut tentang penyimpangan orang-orang ahli kitab:
Allah telah menegur mereka karena melakukan pemalsuan dan menyembunyikan kebenaran. Allah berfirman: "Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang benar dengan yang batil dan menyembunyikan yang benar padahal kamu mengetahui?" (QS. Al-Imran: 71).
Allah juga berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Allah turunkan dalam kitab-Nya, dan mereka menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu tidak akan memakan apa-apa selain api di dalam perut mereka. Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang pedih." (QS. Al-Baqarah: 174).
Allah juga berfirman: "Hai ahli kitab, sesungguhnya rasul Kami telah datang kepada kalian untuk menjelaskan banyak hal dari kitab yang kalian sembunyikan, dan memaafkan banyak hal yang telah kalian sembunyikan. Telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang jelas." (QS. Al-Ma'idah: 15).
Perubahan dan penyelewengan dalam kitab suci terjadi dalam berbagai bentuk:
1. Mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan sehingga tidak ada yang dapat membedakan antara keduanya.
2. Menyembunyikan kebenaran.
3. Menyembunyikan dengan tujuan untuk mengelabui orang lain.
4. Mengubah kata-kata dalam kitab-Nya, yang meliputi dua jenis: perubahan lafaz dan perubahan makna.
5. Memutarbalikkan kata-kata dalam kitab-Nya untuk menyesatkan pendengar.
Semua ini dilakukan oleh mereka karena tujuan dan kepentingan pribadi mereka.
Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir – Ibn ‘Ashur (1393 H)
Penjelasan:
Ayat ini kembali kepada pokok pembicaraan sebelumnya, yang sebelumnya sempat diselingi dengan hukum mengenai sa’i antara Safa dan Marwah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Para mufasir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan ulama Yahudi yang menyembunyikan tanda-tanda kebenaran Nabi Muhammad ﷺ, sifat-sifatnya, dan karakteristik agamanya yang termuat dalam Taurat, juga menyembunyikan hukum rajam. Hal ini menunjukkan bahwa kata sambung dalam ayat ini mengacu pada sesuatu yang sudah diketahui (ma‘rifah khusus), sehingga tidak berlaku umum. Namun, menurut pandangan saya, kata sambung di sini bersifat umum dan mencakup seluruh jenis, sehingga dapat dipahami sebagai bentuk generalisasi yang berasal dari sebab tertentu, tetapi tidak terbatas hanya pada sebab tersebut.
Penggunaan kata yang bersifat umum ini mencakup setiap individu yang terlibat dalam sebab tertentu secara lebih kuat dibandingkan dengan individu-individu lain yang termasuk dalam cakupan makna umum. Sebab, indikasi terhadap individu yang menjadi sebab bersifat pasti, sementara indikasi terhadap selainnya bersifat dugaan.
Konteks:
Ayat ini muncul setelah penjelasan tentang sikap Bani Israil terhadap dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Ayat sebelumnya membahas bagaimana kaum Yahudi menolak kebenaran sebagaimana nenek moyang mereka menolak ajaran para nabi sebelumnya. Hal ini tercermin dalam firman Allah:
"Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya?”
([QS Al-Baqarah: 75])
Hingga firman-Nya:
"Dan tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, segolongan dari orang-orang yang diberi Kitab melemparkan Kitab Allah itu ke belakang punggung mereka."
([QS Al-Baqarah: 101])
Selanjutnya, ayat-ayat ini berlanjut untuk mengecam kaum musyrik yang tidak mematuhi wasiat Ibrahim. Mereka merasa bangga sebagai keturunan Ibrahim dan penjaga Ka‘bah, tetapi justru menghalangi rumah ibadah Allah sebagaimana dalam firman-Nya:
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang menghalangi menyebut nama Allah di masjid-masjid-Nya?”
([QS Al-Baqarah: 114])
Ayat ini juga menyinggung keutamaan Ka‘bah, kiblat, dan syiar-syiar terkait dengannya, serta membantah penolakan kaum Yahudi atas perpindahan kiblat ke arah Ka‘bah. Setelah semua itu dijelaskan, pembicaraan kembali kepada detail dakwaan atas mereka yang menyembunyikan kebenaran sebagaimana disebutkan secara ringkas sebelumnya dalam firman-Nya:
"Dan sesungguhnya sebagian dari mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui."
([QS Al-Baqarah: 146])
Makna:
Frasa “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan...” adalah permulaan pembahasan baru yang menjelaskan detail dari dakwaan yang sebelumnya disebutkan secara umum. Penegasan dengan “Sesungguhnya” menunjukkan perhatian yang lebih besar pada isi berita ini.
Kata kattama (menyembunyikan) dalam bahasa Arab berarti tidak menyampaikan sesuatu yang seharusnya disampaikan, baik itu berupa informasi yang didengar atau dilihat.
Penggunaan kata kerja bentuk mudhari‘ (sedang/akan) dalam “yak’tumuna” menunjukkan bahwa tindakan menyembunyikan ini sedang berlangsung, sehingga tidak hanya merujuk kepada generasi sebelumnya, tetapi juga mengacu pada ulama Yahudi yang hidup pada masa Nabi Muhammad ﷺ untuk memperkuat hujjah atas mereka.
Hukum bagi orang-orang terdahulu maupun yang akan datang dapat dipahami melalui petunjuk implisit dalam ungkapan ayat (lahan al-khitab), karena kedudukan mereka setara dalam hal ini. Yang dimaksud dengan “apa yang Kami turunkan” adalah kandungan Taurat berupa dalil-dalil dan petunjuk. Adapun yang dimaksud dengan “kitab” adalah Taurat.
Makna “Al-Bayyināt” dan “Al-Huda”
Al-Bayyināt adalah bentuk jamak dari bayyina, yang berarti dalil atau bukti yang jelas. Ini mencakup segala sesuatu yang termasuk dalam prinsip-prinsip syariat, yang menjadi dalil untuk banyak hukum. Juga mencakup dalil-dalil yang mengarahkan kepada sifat-sifat ketuhanan, keadaan para rasul, serta perjanjian yang diambil dari mereka untuk mengikuti setiap rasul yang datang dengan bukti-bukti kebenaran. Hal ini terutama berlaku bagi Rasul terakhir yang diutus di tengah-tengah “saudara-saudara Israel” (yakni orang Arab), yang kemunculannya terjadi di antara mereka dan risalahnya tersebar melalui mereka.
Al-Huda adalah segala sesuatu yang menjadi petunjuk kepada kebaikan, termasuk ayat-ayat hukum yang membawa kemaslahatan bagi manusia, baik dalam urusan pribadi maupun kehidupan sosial mereka.
Makna “Kitman” (Menyembunyikan)
Kitman (menyembunyikan) dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Mengabaikan hafalan, pengajaran, dan pembelajaran.
2. Menghapusnya dari kitab itu sendiri secara langsung, sebagaimana firman Allah:
“Dan kalian menyembunyikan banyak hal...”
([QS Al-Baqarah: 77])
3. Menafsirkan teks dengan takwil yang jauh dari maksud syariat, karena menyembunyikan makna sejatinya merupakan bentuk penyembunyian kebenaran.
Ayat ini tidak menyebutkan objek langsung yang mereka sembunyikan, untuk memberikan makna umum, yaitu bahwa mereka menyembunyikan kebenaran dari semua pihak sehingga dapat terlupakan dan hilang sepenuhnya.
Kalimat “min ba‘di” terkait dengan kata kerja “yaktumūn” (menyembunyikan). Penyebutan keterangan waktu ini dimaksudkan untuk menambah tingkat kejahatan (tasyni‘) dari perbuatan menyembunyikan. Hal ini karena mereka menyembunyikan keterangan-keterangan yang jelas (al-bayyināt) dan petunjuk (al-hudā) setelah tidak adanya alasan untuk melakukannya. Jika saja mereka menyembunyikan sesuatu yang belum dijelaskan kepada mereka, maka mereka masih memiliki sebagian alasan dengan berkata, “Kami menyembunyikannya karena maknanya belum jelas bagi kami.” Tetapi bagaimana mungkin mereka menyembunyikan sesuatu yang telah dijelaskan dan diterangkan secara terang benderang di dalam Taurat?
Huruf “lām” dalam frasa “linnās” adalah lām ta‘līl (menunjukkan alasan). Artinya, Allah menjelaskan keterangan-keterangan itu di dalam kitab “karena manusia”. Maksudnya, Allah menghendaki agar hal tersebut diumumkan dan disebarluaskan, yakni Allah telah membuatnya jelas dan terang. Dalam hal ini, terdapat tambahan celaan terhadap mereka atas perbuatan menyembunyikan yang mereka lakukan. Hal ini karena tindakan mereka tidak hanya berupa penyembunyian terhadap kebenaran dan penghalangan manusia dari kebenaran itu, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak orang yang berhak mendapatkan keterangan tersebut, yaitu manusia yang menjadi tujuan penjelasan tersebut. Maka, perbuatan mereka ini adalah bentuk penyesatan dan kezaliman.
Adapun definisi “an-nās” di sini mencakup semua manusia secara umum (istighrāq). Hal ini karena Allah menurunkan syariat untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Istighrāq ini bersifat umum (urfi), yaitu manusia yang ditujukan untuk menerima syariat.
Frasa “ulā’ika” (mereka) adalah rujukan kepada orang-orang yang menyembunyikan kebenaran (alladhīna yaktumūn). Penempatan kata tunjuk ini di antara ism inna (subjek dari "inna") dan khabar-nya (predikat) bertujuan untuk memberikan perhatian bahwa hukum yang disebutkan setelahnya telah menjadi layak bagi mereka karena sifat-sifat yang disebutkan sebelumnya. Sifat-sifat tersebut menjadikan mereka seolah-olah dapat disaksikan langsung oleh pendengar, sehingga mereka dirujuk dengan kata tunjuk ini. Pada hakikatnya, kata tunjuk tersebut merujuk kepada sifat-sifat mereka. Oleh karena itu, penggunaan kata tunjuk ini memberikan isyarat bahwa sifat-sifat itulah yang menjadi sebab bagi hukum tersebut, seperti halnya dalam firman Allah: “Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Tuhan mereka” [QS. Al-Baqarah: 5].
Pemilihan kata tunjuk untuk menunjukkan sesuatu yang jauh (ulā’ika) dimaksudkan agar lebih memotivasi pendengar untuk merenungkan mereka dan memberikan perhatian kepada mereka, atau karena bentuk kata tunjuk seperti ini lebih sering digunakan dalam bahasa mereka.
Dalam ayat ini, terdapat dua isyarat yang menunjukkan alasan mengapa laknat dijatuhkan atas mereka yang menyembunyikan kebenaran:
1. Isyarat dari isim mawsūl (kata penghubung) yang menunjukkan alasan utama perbuatan tersebut, yaitu sifat-sifat mereka.
2. Isyarat dari ism isyārah (kata tunjuk) yang memberikan perhatian bahwa mereka benar-benar layak menerima hukum tersebut.
Dengan adanya penguatan kedua isyarat ini terhadap alasan (illat) hukuman, hal ini setara dengan menyebutkan alasan tersebut secara eksplisit.
Laknat adalah penyingkiran dari rahmat Allah disertai kehinaan dan kemurkaan. Dampaknya tampak di akhirat berupa kehilangan nikmat surga dan mendapatkan azab di neraka Jahannam. Sedangkan laknat manusia terhadap mereka adalah doa dari manusia agar Allah menjauhkan mereka dari rahmat-Nya dengan cara yang disebutkan.
Penggunaan fi‘il mudhāri‘ (kata kerja dalam bentuk sekarang/terus-menerus) dalam firman "yala‘anuhum" menunjukkan kontinuitas atau kebaruan peristiwa, meskipun diketahui bahwa Allah juga telah melaknat mereka sebelumnya. Hal ini karena setiap pendengar memahami bahwa tidak ada alasan untuk membatasi laknat Allah hanya pada waktu yang akan datang.
Demikian pula halnya dengan firman-Nya: "wayal‘anuhumul-lā‘inūn" (dan orang-orang yang melaknat juga melaknat mereka). Pengulangan kata kerja "yala‘anuhum" meskipun sebenarnya huruf penghubung sudah cukup untuk menggantikannya, bertujuan untuk menunjukkan perbedaan makna antara laknat dari Allah dan laknat dari manusia. Laknat dari Allah berarti penyingkiran dari rahmat-Nya, sedangkan laknat dari manusia adalah doa agar mereka dijauhkan dari rahmat-Nya.
Hal ini berkebalikan dengan yang disebutkan dalam firman Allah: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi" [QS. Al-Ahzab: 56],
karena sebenarnya shalawat dari Allah dan para malaikat memiliki makna yang sama, yaitu berupa pujian yang baik terhadap Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Al-ta‘rīf (definisi) pada kata "al-lā‘inūn" (orang-orang yang melaknat) menunjukkan makna istighrāq, yakni mencakup semua orang yang melaknat. Namun, istighrāq di sini adalah istighrāq ‘urfī (berdasarkan kebiasaan atau pemahaman umum), artinya bahwa setiap orang yang melaknat akan melaknat mereka (yang menyembunyikan kebenaran).
Yang dimaksud dengan "al-lā‘inūn" di sini adalah orang-orang beragama yang mengingkari kemungkaran dan pelakunya, yang merasa marah demi Allah, serta mengetahui perbuatan menyembunyikan kebenaran oleh mereka (Bani Israil). Orang-orang ini melaknat pelaku secara spesifik jika mereka mengetahui pelaku tersebut, atau melaknat mereka secara umum ketika mereka melaknat siapa saja yang menyembunyikan ayat-ayat kitab saat membacakan Taurat.
Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil untuk menjelaskan isi Taurat dan tidak menyembunyikannya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi kitab (yaitu): 'Hendaklah kamu benar-benar menjelaskan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya'" [QS. Ali Imran: 187].
Di dalam Taurat, disebutkan berkali-kali tentang laknat atas pelanggaran perjanjian dengan Allah. Yang paling terkenal adalah perjanjian yang diambil Musa atas Bani Israil di Gunung Horeb, sebagaimana tercatat dalam Kitab Keluaran, pasal 24. Selain itu, terdapat perjanjian di Moab, yang di dalamnya disebutkan laknat bagi siapa saja yang melanggar perjanjian itu. Hal ini tercatat dalam Kitab Ulangan, pasal 28 dan 29, di mana dikatakan:
"Kalian semua sedang berdiri hari ini di hadapan Tuhan Allahmu... untuk masuk ke dalam perjanjian dengan Tuhan dan sumpah-Nya... supaya tidak ada di antara kalian yang berpaling dari Tuhan."
Maka, ketika seseorang mendengar kata-kata kutukan ini, dia akan merasa diberkati di dalam hatinya… Ketika itu, murka dan kecemburuan Tuhan akan turun atas orang tersebut. Maka semua kutukan yang tertulis dalam kitab ini akan menimpa dirinya, dan Tuhan akan menghapus namanya dari bawah langit. Tuhan akan memisahkannya dari seluruh suku Israel sesuai dengan semua kutukan perjanjian yang tertulis dalam kitab syariat ini… agar kita melaksanakan seluruh kata-kata syariat ini.
Dalam pasal 30 disebutkan:
"Ketika semua hal ini datang kepadamu, yaitu berkat dan kutukan yang telah Aku tempatkan di hadapanmu."
Juga disebutkan:
"Aku memanggil langit dan bumi sebagai saksi terhadap kamu hari ini bahwa Aku telah meletakkan di hadapanmu kehidupan dan kematian, berkat dan kutukan."
Oleh karena itu, firman Allah "dan orang-orang yang melaknat mereka akan melaknat mereka" mengingatkan mereka tentang kutukan yang tercantum dalam Taurat. Taurat selalu dibacakan di antara mereka. Maka, setiap kali para pembaca membaca ayat ini, kutukan terhadap orang-orang yang dimaksud akan diperbarui.
Adapun mereka yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan berupa penjelasan dan petunjuk juga membaca Taurat. Ketika mereka membaca kutukan bagi orang-orang yang menyembunyikan (kebenaran), mereka sebenarnya sedang melaknat diri mereka sendiri dengan lisan mereka.
Namun, orang-orang yang melaknat pelaku kejahatan dan orang-orang zalim, tanpa menyembunyikan apa yang telah diturunkan berupa penjelasan dan petunjuk, tidak termasuk dalam cakupan umum ini. Oleh karena itu, cakupan istighrāq (generalitas) yang dipahami dari definisi "al-lā‘inūn" dengan menggunakan alif-lam (ال) adalah cakupan yang bersifat ‘urfī (sesuai konteks umum).
Seorang ulama diharamkan menyembunyikan ilmu yang mengandung petunjuk bagi manusia, karena menyembunyikan petunjuk berarti menjerumuskan ke dalam kesesatan. Hal ini berlaku baik untuk ilmu yang diperoleh melalui berita seperti Al-Qur'an dan hadis sahih, maupun ilmu yang diperoleh melalui ijtihad, selama ijtihad tersebut telah mencapai tingkat dugaan kuat (ghalabat al-zann) bahwa ilmu itu membawa kebaikan bagi umat Islam.
Sebaliknya, seorang ulama juga diharamkan, berdasarkan qiyas yang menunjukkan alasan yang sama, menyebarkan di tengah masyarakat sesuatu yang dapat menimbulkan kebingungan, yaitu dengan menyampaikan kepada mereka hal-hal yang tidak dipahaminya atau tidak mampu ditafsirkan dengan baik. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sampaikan kepada manusia apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasul-Nya didustakan?"
Demikian pula, segala sesuatu yang diketahui bahwa masyarakat tidak mampu menempatkannya dengan benar seharusnya tidak disampaikan kepada mereka.
Dalam Shahih al-Bukhari, diceritakan bahwa al-Hajjaj berkata kepada Anas bin Malik:
"Ceritakan kepadaku hukuman terberat yang pernah dijatuhkan Nabi." Maka, Anas menceritakan kepada al-Hajjaj tentang kisah orang-orang 'Uraniyyun, yaitu mereka yang membunuh penggembala, merampas ternak, lalu Nabi ﷺ memotong tangan dan kaki mereka, mencungkil mata mereka, dan meninggalkan mereka di al-Harrah dalam keadaan kehausan sampai mereka mati.
Ketika hal itu sampai kepada Hasan al-Bashri, beliau berkata:
"Aku berharap dia tidak menceritakannya kepadanya (al-Hajjaj). Bukankah mereka akan memanfaatkan zahir hadis ini sesuai hawa nafsu mereka, lalu menjadikannya alasan untuk membenarkan kezaliman mereka terhadap manusia?"
Ibnu 'Arafah berkata dalam tafsirnya:
"Tidak halal bagi seorang ulama untuk menyampaikan kepada orang zalim sebuah takwil atau keringanan yang dapat dimanfaatkan olehnya untuk berbuat kerusakan. Contohnya, seperti seseorang yang menyebutkan kepada penguasa zalim apa yang dikatakan oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din, bahwa jika Baitul Mal dalam keadaan lemah dan penguasa terpaksa memerlukan dana untuk membiayai pasukan muslimin demi menolak bahaya yang mengancam mereka, maka tidak mengapa bagi penguasa untuk menetapkan pajak sebesar sepersepuluh atau lainnya kepada masyarakat guna mendirikan pasukan dan memenuhi kebutuhan yang mendesak."
Ibnu 'Arafah berkata:
"Penyebutan pendapat semacam ini dapat menimbulkan kerusakan besar di kalangan masyarakat."
Diceritakan bahwa Sultan Qurtubah, Abdurrahman bin Mu'awiyah al-Dakhil, pernah bertanya kepada Yahya bin Yahya al-Laythi tentang kejadian di mana ia sengaja berbuka puasa di bulan Ramadan karena dorongan syahwat terhadap salah seorang budak wanitanya. Yahya bin Yahya memberikan fatwa bahwa ia harus berpuasa selama enam puluh hari berturut-turut sebagai kafarat. Para fuqaha yang hadir saat itu tidak berani menentang pendapat Yahya.
Namun, ketika mereka keluar, mereka bertanya kepadanya:
"Mengapa engkau memberikan fatwa dengan memilih satu dari tiga pilihan kafarat (tanpa menyebut dua lainnya)?"
Yahya menjawab:
"Jika aku membuka pintu (keringanan) baginya dengan menyebut dua pilihan lainnya, yaitu membebaskan budak atau memberi makan orang miskin, niscaya ia akan terus melakukan pelanggaran ini setiap hari, lalu cukup membebaskan budak atau memberi makan. Oleh karena itu, aku memberatkan hukumannya dengan memilih yang paling sulit agar ia tidak mengulanginya."
Ibnu 'Arafah berkata:
"Dengan menyembunyikan dua pilihan kafarat darinya, Yahya sebenarnya telah menerapkan dalil untuk menolak kerusakan yang lebih besar, yaitu keberanian melanggar kewajiban puasa."
Seorang alim (ulama), jika telah ditugaskan secara spesifik untuk menyampaikan ilmu atau menjelaskan hukum syariat, maka wajib baginya untuk melakukannya, sebagaimana para sahabat yang diutus oleh Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan surat-surat beliau atau mendakwahi kaum mereka. Namun, jika ia tidak ditugaskan secara spesifik, maka tidak terlepas dari dua keadaan:
1. Jika ilmu yang ia miliki merupakan hal yang hanya ia ketahui secara khusus, misalnya ia satu-satunya yang menguasai ilmu tersebut di suatu daerah atau negeri, sehingga orang-orang tidak dapat mempelajarinya dari selain dirinya, atau sulit mendapatkannya. Apalagi jika ketidaktahuannya akan menyebabkan kesesatan, seperti ilmu tauhid dan dasar-dasar akidah. Dalam keadaan ini, wajib secara individu (fardhu 'ain) baginya untuk menyampaikan ilmu tersebut jika ia satu-satunya yang mengetahuinya di zaman atau negeri itu, atau jika ia yang paling ahli dalam ilmu tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya manusia menjadi pengikut kalian, dan sungguh akan ada orang-orang yang datang kepada kalian untuk memahami atau mempelajari. Jika mereka datang kepada kalian, maka perlakukanlah mereka dengan baik.”
2. Jika ilmu tersebut juga dimiliki oleh orang lain yang setara dengannya, maka kewajibannya bersifat fardhu kifayah (kolektif), sehingga menjadi tanggung jawab semua yang mengetahuinya.
Adapun jika yang ia ajarkan adalah rincian hukum atau manfaat-manfaat tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat atau sebagian dari mereka, maka kewajiban menyampaikan itu bisa menjadi fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, tergantung pada kebutuhan masyarakat terhadap penjelasan tersebut. Jika ia ditugaskan untuk mengajar sekelompok orang tertentu, maka wajib baginya untuk mengajarkan mereka apa yang menurutnya bermanfaat bagi mereka, sesuai dengan kemampuan mereka untuk memahaminya dan cara penyampaiannya yang baik. Oleh karena itu, wajib bagi seorang alim yang didatangi oleh orang-orang untuk belajar agar menyampaikan kepada mereka ilmu yang dapat mereka terima dan pahami.
Dari sini terlihat bahwa terdapat banyak tingkatan dalam menyembunyikan ilmu, dan yang paling tinggi tercakup dalam ayat ini. Tingkatan lainnya dapat dipahami melalui analogi. Hal ini juga berlaku bagi jawaban seorang alim terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Jika ia satu-satunya yang mengetahui jawaban tersebut atau ia secara khusus ditugaskan untuk menjawabnya, seperti seseorang yang ditunjuk untuk memberikan fatwa di suatu wilayah tertentu, maka wajib baginya untuk menjawab jika ia mengetahui kebutuhan si penanya. Kewajiban ini, apakah bersifat individu atau kolektif, bergantung pada dua kondisi yang telah disebutkan sebelumnya.
Adapun dalam keadaan lain, ia memiliki kebebasan untuk menjawab atau tidak. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh keempat kitab Sunan, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu lalu menyembunyikannya, maka Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka pada hari kiamat,” dipahami memiliki pembatasan berdasarkan keadaan individu dan kondisi yang didukung oleh dalil-dalil, sebagaimana telah disebutkan secara umum. Al-Qurthubi mengutip dari Sahnun bahwa hadis ini terkait dengan menyembunyikan kesaksian dalam hak memberikan kesaksian.
Tanggung jawab seorang alim dalam menempatkan dirinya sesuai dengan posisi yang pantas baginya di antara tingkatan yang telah disebutkan bergantung pada apa yang ia rasakan dalam dirinya, dan apa yang ia yakini akan menjaga agamanya dan kehormatannya.
Tanggung jawab untuk mengetahui keadaan para penanya juga ada padanya, agar ia dapat memperlakukan mereka sesuai dengan keadaan mereka dan situasi yang melingkupi mereka. Jika ia ragu tentang dirinya atau keadaan si penanya, maka hendaknya ia berkonsultasi dengan ahli ilmu dan pandangan dalam agama.
Ia juga tidak boleh lalai dari hikmah dalam ungkapan firman Allah, “dan petunjuk” sehingga menjadi pedoman bagi apa yang akan terjadi akibat menyembunyikan ilmu yang disembunyikan.
Firman-Nya: “Kecuali mereka yang bertaubat,” adalah pengecualian dari orang-orang yang menyembunyikan ilmu, artinya mereka tidak terkena laknat. Ini adalah pengecualian sejati yang diputuskan di akhir pernyataan “orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan...”
Syarat taubat adalah memperbaiki apa yang telah mereka rusak dengan menampakkan apa yang mereka sembunyikan dan menjelaskannya kepada manusia. Maka, tidak cukup hanya dengan pengakuan mereka saja atau pengakuan dalam kesendirian mereka. Dalam hal ini, taubat berarti beriman kepada Muhammad ﷺ, karena iman merupakan bentuk kembalinya mereka dari menyembunyikan kesaksian tentangnya yang tercantum dalam kitab-kitab mereka.
Penggunaan kata taubat untuk menyebut keimanan setelah kekufuran sering digunakan, karena iman adalah taubat seorang kafir dari kekufurannya. Tambahan setelahnya, “dan memperbaiki serta menjelaskan,” menunjukkan bahwa syarat setiap taubat adalah bahwa pelaku dosa harus memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki dari apa yang ia rusak dengan perbuatannya yang ia taubati.
Mungkin penghubungan antara “memperbaiki” dan “menjelaskan” adalah hubungan tafsir. Firman-Nya: “Maka mereka itulah yang Aku terima taubatnya,” adalah kalimat independen yang tidak hanya sebagai penjelasan, tetapi memberikan manfaat tambahan. Karena ketika Allah mengecualikan orang-orang yang bertaubat, pernyataan telah selesai, dan pendengar memahami bahwa orang-orang yang bertaubat dari menyembunyikan ilmu tidak dilaknat oleh Allah dan tidak dilaknat oleh yang melaknat.
Penggunaan kata ganti tunjuk dalam pernyataan ini menambahkan alasan, dan ini adalah gaya bahasa yang indah. Kalimat tersebut dihubungkan dengan “fa” untuk menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar makna pengecualian, yaitu bahwa taubat mereka diikuti oleh keridhaan Allah kepada mereka.
Dalam Shahih Bukhari, dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada seorang pria yang berada di tempat berbahaya, bersama untanya yang membawa makanan dan minumannya, kemudian ia tertidur lalu terbangun mendapati untanya telah hilang, hingga ia sangat kehausan dan kelaparan. Lalu ia berkata, ‘Aku akan kembali ke tempatku,’ dan ia pun kembali, lalu tidur lagi. Ketika ia bangun, ternyata untanya telah kembali berada di dekatnya.”
Ayat ini mengandung susunan yang indah, dengan makna bahwa pengecualian bagi mereka yang bertaubat adalah mereka terbebas dari laknat dan Allah menerima taubat mereka. Penggunaan kata ganti tunjuk memperkuat makna ini, dan ini merupakan keringkasan yang sangat indah.
Tafsir AS Sa'di (1376 H)
Ayat ini, meskipun turun terkait dengan Ahli Kitab dan apa yang mereka sembunyikan tentang keadaan Rasul ﷺ dan sifat-sifatnya, namun hukumannya berlaku umum bagi siapa saja yang melakukan tindakan menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah ﴿
مِنَ الْبَيِّنَاتِ﴾
yaitu dalil-dalil yang menunjukkan kebenaran dan memperlihatkannya, dan
﴿وَالْهُدَى﴾
yaitu ilmu yang dengannya seseorang mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus, serta membedakan jalan orang-orang yang mendapat nikmat dengan jalan orang-orang yang celaka. Sesungguhnya Allah telah mengambil janji dari para ulama untuk menjelaskan kepada umat apa yang Allah anugerahkan kepada mereka berupa ilmu kitab dan tidak menyembunyikannya. Barang siapa yang meninggalkan itu dan menggabungkan dua keburukan, yaitu menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dan menipu hamba-hamba-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
﴿يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ﴾
yaitu dijauhkan dan diusir dari kedekatannya dan rahmat-Nya.
﴿وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ﴾
yaitu laknat dari seluruh makhluk, mereka mendapat laknat dari seluruh ciptaan karena perbuatan mereka yang menipu makhluk dan merusak agama mereka, serta menjauhkan mereka dari rahmat Allah. Mereka mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka, sebagaimana orang yang mengajarkan kebaikan, maka Allah dan malaikat-malaikat-Nya mendoakannya, bahkan ikan-ikan di lautan pun mendoakannya, karena usahanya untuk kebaikan makhluk dan memperbaiki agama mereka, serta mendekatkan mereka kepada rahmat Allah. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah bertentangan dengan perintah Allah, melawan-Nya, karena Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada umat manusia dan menjelaskannya, sementara dia mengaburkannya. Maka, baginya ancaman yang sangat berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar