https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid0fVMh4bpRLNpJKzUaRKeV91QysQUobUBBzTQKqrtG5WWWpaDn55WemWrbNUV54T5Wl&id=100009926563522
HUKUM-HUKUM FATWA & HAL-HALYANG BERKAITAN DENGANNYA
Ringkasan Muhadharah Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili -hafizhahullaah-:
Mufti (pemberi fatwa) sebenarnya mengabarkan tentang hukum dari Rabbul ‘Alamin. Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim menamakan kitab beliau (tentang kaidah-kaidah fatwa): “I’laamul Muwaqqi’iin ‘an Rabbil ‘Aalamiin” (Pemberitahuan kepada para Penstempel dari Rabbul ‘Alamin). Dari sinilah kita mengetahui tentang pentingnya fatwa.
Harus ada aturan yang rinci untuk Fatwa:
[1]- Pengertian Fatwa:
Secara bahasa: “al-Ibaanah” (penjelasan).
Secara istilah: penjelasan hal yang janggal dari hukum-hukum.
Pengertian lain: pengabaran hukum syar’i dengan tidak ada paksaan/pengharusan (untuk melaksanakannya). Dan inilah pengertian yang lebih tepat.
[2]- Perbedaan antara Qadha (memberi hukum) dengan Fatwa (mengabarkan fatwa):
a. Hukum Qadha’ tidak masuk dalam bab ibadah, berbeda dengan Fatwa yang masuk dalam bab ibadah dan lainnya. Qadha’ hanyalah dalam menyelesaikan maasalah manusia dalam sengketa di antara manusia, dan ketika itu hukum dari Qadhi’ (pemberi hukum) harus dilaksanakan walaupun termasuk masalah yang diperselisihkan di antara para ulama.
b. Qadha’ adalah pengabaran disertai pengharusan (untuk dilaksanakan).
c. Fatwa mencakup untuk orang yang bertanya dan orang lain yang keadaannya semisal dengannya. Adapun Qadha’ hanya khusus berkaitan dengan yang bertanya/berperkara. Oleh karena itu fatwa-fatwa para ulama bisa dikumpulkan dan dibukukan, sedangkan Qadha’ tidak dibukukan dan tidak disebarkan (karena khusus berkaitan dengan orang-orang yang berperkara).
Faedah: (Jika kita sudah mengetahui bahwa fatwa para ulama adalah boleh disebarkan; maka) perkara yang penting dalam menukil Fatwa adalah: harus disertakan dengan pertanyaannya.
d. Fatwa (dikeluarkan dengan) berporos pada pertanyaan Mustafti’ (orang yang bertanya, yang meminta fatwa). Adapun Qadha’; maka dibangun di atas “bayyinaat” (bukti-bukti), tidak semata-semata klaim/pengakuan.
[3]- Pentingnya Fatwa:
Fatwa besar tanggung jawabnya, dilihat dari berbagai segi:
a. Allah langsung yang memberi Fatwa, sebagaimana Allah firmankan:
{يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗ...}
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah,...” (QS. An-Nisaa’: 176)
b. Kedudukan Fatwa langsung diemban oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- semasa hidup beliau.
c. Fatwa sangat dibutuhkan secara umum.
[4]- Bahayanya Fatwa:
Fatwa perkaranya besar, dan bisa berbahaya: jika tidak didasari ilmu atau tidak dikembalikan kepada “ashl” (pondasi) syar’i.
Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا}
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنِ النَّار
“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja; maka siapkanlah tempatnya di neraka.”
[5]- Pengagungan Para Salaf terhdap Perkara Fatwa:
Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah ditanya dan beliau menjawab: “Saya tidak ahli dalam masalah tersebut, anda jangan hanya melihat kepada panjangnya jenggotku dan banyaknya orang yang ada di sekelilingku, aku benar-benar tidak menguasai masalah tersebut. Dipotongnya lidahku lebih baik bagiku daripada aku berbicara tentang sesuatu yang aku tidak punya ilmu tentangnya.”
Imam Malik ditanya banyak pertanyaan dan sebagaian besarnya beliau jawab dengan: “Aku tidak tahu.”
Ketika Imam Malik ditanya tentang bagaimana tentang istiwa’ (bersemayam)nya Allah; beliau menunduk sampai diliputi banyak keringat.
Ini semua menunjukkan tentang pengagungan terhadap perkara Fatwa.
[6]- Dhawabith (Aturan-Aturan) Fatwa:
a. Berkaitan dengan Mufti (pemberi Fatwa):
(1)- Ia harus menguasai ilmu syar’i terhadap perkara yang ditanyakan kepadanya.
(2)- Ia harus memiliki gambaran terhadap permasalahan yang ditanyakan oleh Mustafti (penanya).
(3)- Ia harus mengetahui cara penerapan ilmu syar’i yang ia miliki pada permasalahan yang ditanyakan oleh Mustafti.
b. Berkaitan dengan Mustafti (orang yang meminta Fatwa, orang yang bertanya):
(1)- Ia harus bagus niatnya ketika bertanya.
(2)- Ia ingin mengetahui jawaban dari pertanyaannya karena ia ingin mengamalkan jawaban tersebut.
(3)- Ia harus mengenal hak dari Mufti; yakni memiliki adab yang baik terhadapnya.
(4)- Memperhatikan keadaan Mufti ketika ditanya, jangan sampai bertanya kepadanya ketika ia dalam keadaan yang menyibukkannya, ia harus memilih waktu yang sesuai. Dan Mufti pun harus menunda jawabannya jika ia ditanya dalam keadaan yang tidak tepat untuk menjawab (karena sibuk dan lainnya).
(5)- Ia harus berusaha mencari Mufti yang terbaik; yakni: yang paling berilmu dan wara’.
(6)- Ia bisa bertanya langsung dan bisa juga mewakilkan orang lain untuk bertanya kepada Mufti.
(7)- Dalam masalah yang berkaitan dengan negerinya; maka hendaknya ia bertanya kepada Mufti yang berada di daerahnya. Adapun dalam permasalahan-permasalah yang umum -seperti masalah Tauhid dan lainnya-; maka tidak ada keharusan bahwa Mufti yang akan ia tanya: harus berasal dari negerinya.
c. Berkaitan dengan Proses Meminta Fatwa:
(1)- Pertanyaannya harus jelas.
(2)- Tidak ada pengulangan lafazh (yang bsia membingungkan).
(3)- Menyebutkan sifat yang bisa berpengaruh pada jawaban.
(4)- Orang awam hendaknya tidak bertanya tentang dalil secara rinci; kecuali jika ia adalah penuntut ilmu; maka tidak mengapa.
(5)- Hendaknya tidak meminta Fatwa tentang sesuatu yang belum terjadi.
(6)- Hendaknya bertanya tentang yang bermanfaat untuknya dan meninggalkan pertanyaan yang tidak penting baginya.
(7)- Mendo’akan kebaikan untuk Mufti.
(8)- Kalau Fatwanya ditulis; maka hendaknya ditulis dengan jelas.
(9)- Terkadang ada orang yang bertanya hanya untuk menjatuhkan orang ‘alim lain dikarenakan hasad kepada ‘alim tersebut. Maka ia memotong perkataan ‘alim tersebut dan diajukan kepada Mufti dengan bentuk pertanyaan kemudian menyebarkan jawabannya dengan diberi caption: Mufti Fulan Membantah ‘Alim Fulan.
[7]- Hukum Fatwa:
a. Wajib ‘Ain, jika di suatu negeri tidak ada Mufti lain atau jika Mustafti hanya mau jawaban dari Mufti tersebut, maka dalam dua keadaan ini Fatwa wajib atas Mufti yang tersebut.
b. Wajib Kifayah, jika ada Mufti lain yang mencukupi.
c. Makruh, jika pertanyaannya adalah tenang sesuatu yang jarang sekali terjadi; maka makruh hukumnya berfatwa tentangnya.
d. Haram, jika berfatwa tanpa ilmu atau ketika dalam keadaan disibukkan dengan sesuatu yang mengganggu.
[8]- Kaidah-Kaidah Berkaitan Dengan Fatwa:
a. Mufti harus melihat jenis-jenis pertanyaan dengan jeli.
b. Mufti memberi jawaban yang lebih bermanfaat dari yang ditanyakan. Seperti Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang ditanya: Kapan Hari Kiamat? Maka beliau menjawab: “Apa yang sudah engkau persiapkan untuknya?!”
c. Mufti memberikan jawaban yang melebihi pertanyaan. Seperti Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang ditanya tentang pakaian yang dibolehkan untuk orang yang Ihram; maka beliau menjawab dengan yang tidak boleh dipakai oleh orang yang sedang Ihram; sehingga yang selain dari itu adalah boleh.
d. Menyebutkan ganti yang halal ketika memberikan jawaban atas haramnya sesuatu.
e.. Menyebutkan dalil dan segi pendalilannya jika memungkinkan.
f. Memberikan muqaddimah sebagai penguat ketika akan menyebutkan suatu hukum/perkara yang akan dianggap asing.
g. Boleh bersumpah dalam memberikan Fatwa.
-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix
Tidak ada komentar:
Posting Komentar