Kamis, 11 Agustus 2022

MANHAJ BERIMAN TERHADAP NAMA & SIFAT ALLAH TA`ALA

*FAWAID – DARI KITAB SABIIL AR-RASYAAD FI TAQRIIR MASAAILIL I’TIQOOD*
#Faidah-DAURAH_SYAR’IYYAH_21_STAI_ALI_BIN_ABI_THALIB_1444H
#Syaikh_Prof_Dr_Ibrahim_bin-Amir_ar-Ruhaily_hafizhahullah

BAGIAN KETIGA:

4 - موقفهم مما لم يرد نفيه ولا إثباته:
4. Posisi Ahlus Sunnah pada apa yang tidak ditiadakan  atau ditetapkan:

طريقتهم فيما لم يرد نفيه، ولا إثباته مما تنازع الناس فيه: يتوقفون في لفظه إثباتا ونفيا، وأما معناه فيستفصلون عنه: فإن أريد به باطل ينزه الله عنه ردوه، وإن أريد به حق قبلوه، مع التوجيه للتعبير عنه باللفظ الشرعي. كلفظ (الجهة): يتوقف في إطلاق لفظه نفيا وإثباتا، وأما معناه فيستفصل فيه: فإن أريد به جهة سفل أو جهة علو تحيط به رد، وإن أريد به جهة علو لا تحيط به، فلا يُنْفَى هذا عن الله لكن يوجه للتعبير عنه بالألفاظ الشرعية كالعلو، والفوقية، والاستواء على العرش.
Metode Ahlus Sunnah
Jalan mereka tentang apa yang tidak dimaksudkan untuk disangkal, atau untuk dibuktikan, yang diperdebatkan orang: mereka berhenti mencukupkan dengan dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah  dalam lafazhnya, baik sebagai penetapan ataupun peniadaan lalu baru diperinci lagi, jika mereka inginkan adalah untuk kebatilah maka hendaknya mereka dibantah dan harusnya mensucikan Allah. Kalau yang diinginkan adalah kebenaran maka harus diterima dengan disertai untuk mengarahkannya dengan ungkapan lafazh yang sesuai syar’i. Seperti lafah al-Jihah (arah) dia harus berhenti dalam memutlakkan lafazhnya baik secara peniadaan ataupun  penetapan, sedangkan maknanya maka bisa diperinci lagi, jika yang diinginkan adalaha arah bawah atau arah tinggi yang bisa meliputi-Nya maka itu harus dibantah, dan jika yang diinginkan dari lafazh itu adalah arah tinggi yang tidak bisa meliputi Allah, maka itu jangan ditiadakan dari Allah namun hendaknya diarahkan untuk menggunakan ungkapan dengan lafazh-lafazh syar’I yaitu seperti al-‘Uluw, al-Fauqiyyah ataupun al-Istiwa’ diatas arsy-Nya.

وكذلك لفظ (المتَحَيز) يتوقف في لفظه، وأما معناه فإن أريد به أن الله تحوزه المخلوقات فهذا معنى باطل، فالله أكبر وأعظم مـن أن تحيط بـه المخلوقات، وإن أريد به أنه مُنْحاز عن المخلوقات، أي مباين لها، منفصل عنهـا لـيـس حـالا فيها فهذا حق ثابت لله عز وجل، كما قال أئمة السـنة: هـو فـوق سموات على عرشه بائن من خلقه)(۱).

Begitu juga istilah Al-Mutahayyiz (membutuhkan ruang dan waktu) itu juga membutuhkan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah dalam lafazhnya, sedangkan mengenai maknanya, jika dimaksudkan bahwa Allah membutuhkan ruang dan waktu terhadap makhluknya maka ini adalah makna bathil. Allah maha besar dan Maha Agung dari dilingkupi oleh makhluknya, dan yaitu jauh dari makhluk-Nya, (ini adalah makna yang salah) dan Allah terpisah dari makhluknya dan ini adalah hak yang pasti dari ketetapan bagi Allah, sebagaimana Para Imam telah berkata, Allah diatas Langit diatas arsynya jauh dari makhluk-Nya (Lihat rujukan sebelumnya).

5 - منهجهم في ألفاظها:
يثبتون ألفاظ أسماء الله وصفاته كما جاءت في النصوص ويتمسكون بألفاظها
كما وردت ولا يتعرضون لها بالتحريف والتغيير.
5. Manhaj Ahlus Sunnah dalam lafazh-lafazh Al-Asma’ dan as-Sifat
Mereka menetapkan lafazh-lafazh Nama-nama Allah dan Sifat-Sifat Allah sebagaimana yang ada dalam nash dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah dan berpegang teguh dengan lafazh-lafazhnya sebagaimana asli dalilnya, tidak menyelewengkannya maupun menggantinya.

6 - منهجهم في معانيها:
6. Manhaj Ahlus Sunnah dalam berbagai makna nama-nama dan sifat-sifat Allah.

يجرون معاني الأسماء والصفات على ظاهرها المراد الله منها، وما تدل عليه ألفاظها من المعاني، الصحيحة لها.. ولا يتعرضون لها بالتأويل أو التفويض أو التشبيه.

Ahlus Sunnah menuliskan berbagai makna nama-nama dan sifat-sifat Allah berdasarkan makna dhohirnya sebagaimana yang diinginkan Allah darinya dan apa yang menunjukkan berbagai lafazh-lafazh dari maknanya berdasarkan dalil yang shohih dan tidak perlu dibenturkan hal tersebut dengan takwil penyelewengan makna, tafwidh (penyerahan makna – pasrah bongkokan kepada Allah saja), ataupun tasybih (penyerupamaan).

۷- موقفهم من كيفية الصفات:
7. Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari “Kaifiyatis Sifaat – Bagaimana Sifat-Sifat Allah”

يثبتون كيفية صفات الله تبارك وتعالى، وأن لها كيفية عظيمة يعلمها الله، ولا ينفون حقيقة كيفياتها وإنما ينفون علمهم بها ويفوضون كيفيـة علمهـا الله، وهـذا هو مقصود السلف: مالك، وسفيان بن عيينة، وعبد الله بن المبارك بقـولـهـم فـي أحاديث الصفات: «أمروها بلا كيف»، وقول الإمـام مـالـك: «الكيـف مجهول»

Menetapkan Kaifiyat Sifat-Sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan bagi sifat-sifat Allah itu ada kaifiyat yang begitu agung yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Dan Ahlus Sunnah itu tidak meniadakan Kaifiyat bagaimana sifat-sifat Allah, namun mereka meniadakan ilmu mereka karena tidak bisa menjangkau ilmunya Allah, dan ini adalah apa yang dimaksudkan oleh generasi Salaf, baik Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah bin al-Mubarak mereka mengatakan dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan Sifat-Sifat Allah, ““Perlakukanlah (maknanya) sebagaimana adanya tanpa menanyakan bagaimananya”¹ (HR. At-Tirmidzi 3/42 no. 662) dan Imam Malik mengatakan, “Al-Kaifa Bagaimana (tentang Sifat dan Nama Allah) itu tidak diketahui.”  (Al-Baihaqy dalam al-Asma was Shifaat 2/306)

قال شيخ الإسلام ابن تيمية: «ولـم يـقـل مـالـك الكيـف معـدوم وإنمـا قـال الكيف مجهول»، يشير رحمه الله إلى أن الذي نفاه مالك هو العلم بالكيفية لا إنكارها من أصلها.
وقال الإمام ابن القيم: «معنى قول السـلـف بـلا كـيـف أي: بـلا كـيـف يعقله البشر»

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Imam Malik tidak mengatakan “Kaif itu ditiadakan, namun beliau mengatakan bahwa Kaif (pertanyaan tentang bagaimana Istiwa Allah) adalah majhul (tidak diketahui bagaimananya oleh manusia.” (Majmu al-Fatawa: 13/309)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan isyarat kepada apa yang dinafikan oleh Imam Malik adalah ilmu tentang kaifiyah (pembagaimanaan) bukan pengingkaran terhadap kaifiyat Istiwa secara hukum asalnya.

Imam Ibnul Qoyyim berkata, “makna perkataan salaf BILA KAIF adalah dengan tidak membagaimanakan dengan pemikiran manusia.” (Madarijus Saalikin 3/335).

(Tambahan dari Syaikh hafizhahullah)
Bila Kaif -maksudnya adalah menetapkan Allah dengan sifat-sifat-Nya sesuai kaifiyat-Nya yang selayaknya dengan Keagungan Allah dan tidak masuk kepada pertanyaan bagaimananya sifat-sifat Allah.
Menafikan sesuatu tidak berarti bahwa sesuatu itu tidak ada.
Perkataan tidak tahu itu adalah disandarkan kepada orang yang ‘alim yang faham dengan dalil-dalilnya. Bukan dipasrahkan begitu saja yang tahu hanya Allah itulah yang difahami oleh orang-orang yang melakukan tafwidh – pasrah bongkokan. Namun yang benar adalah kita tidak tahu maknanya maka bertanyalah kepada orang yang faham tentang makna tersebut sesuai dengan dalil-dalil yang shohih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.)

۸ - منهجهم في ظاهرها:
8. Manhaj Ahlus Sunnah dalam Dhohir dalil tentang al-Asma was Sifat Allah.

يعتقدون أن نصوص الصفات على ظاهرها، وقد نقل غير واحد من العلماء إجماع السلف: على أنها تُجرى على ظاهرها مع نفي التشبيه عنها(3).

Mereka berkeyakinan bahwa dalil-dalil Sifat-sifat Allah adalah sesuai dengan dhohirnya (apa yang tampak jelas dari dalil-dalil tersebut). Dan telah dinukilkan lebih dari seorang ulama tentang ijma salaf, “Bahwa dibawah kepada apa yang menjadi makna secara dhohirnya (yang Nampak jelas) disertai dengan meniadakan penyerupamaan dari dali-dalil tentang sifat-sifat Allah.

(Tambahan penjelasan dari Syaikh hafizhahullah, Dhohir adalah makna yang tampak dari dalil-dalil yang shohih.
Dhohir adalah makna yang tampak pada bahasa, jadi kalau difahami dengan pemahaman lainnya dari bentuk tasybih (penyerupamaan) maka itu tidak dibolehkan dan bukan jalan yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.)

إلا أن لفظ الظاهر فيه إجمال: فإن أريد به ما يليق بجلال الله وعظمته فهذا حق، والظاهر هنا مراد، وهو الذي فهمه السلف.
Kecuali bahwa lafazh dhohirnya didalamnya ada secara umum, sesungguhnya yang diinginkan dengan lafazh dhohir adalah apa yang selayaknya dengan ke maha agungan Allah dan maha besar-Nya maka ini adalah yang haq (benar), dan dhohir disini adalah apa yang diinginkan sesuai syar’i, dan ini lah yang difahami oleh generasi salaf.

وإن أريد به مشابهتها لصفات المخلوقين كفـهـم المشبهة لمعـاني الـصـفات فالظاهر هنا غير مراد، لكن ينبه أن هذا ليس هو ظاهرها الحقيقي، فإنه لا يجـوز أن يعتقد أن ظواهر النصوص تدل على التشبيه

Dan jika diinginkan disini adalah penyerupamaan kepada sifat-sifat makhluk-Nya maka cukuplah penyerupaan dalam makna sifat-sifat-Nya. Maka dhohir disini adalah bukan itu yang dimaksudkan namun itu bukanlah makna dhohir secara hakikinya, tidak boleh diyakini bahwa dhohir nash-nash tersebut menunjukkan pada makna penyerupamaan. (lihat Majmu’ al-Fatawa: 5/108, 6/355)

(Tambahan dari Syaikh  hafizhahullah)
Qodr Mustarak, seperti nama yang juga dipakai oleh makhluk dan kholiq, misalnya manusia punya tangan, begitupun Allah mempunyai Tangan, Tapi Tangan Allah tidak akan sama dengan tangan manusia meskipun penamaannya adalah sama. Hal itu hanya penamaan yang difahami oleh otak manusia karena itu tidak akan sama dengan apa yang seharusnya diperuntukkan kepada Allah karena:
ليس كمثله شيء
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah . (QS. Asy-Syuuro: 11) – selesai tambahan.

Bersambung
Zaki Rakhmawan Abu Usaid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar