Minggu, 03 November 2024

METODE SALAF DALAM MENGINGKARI KESALAHAN PENGUASA


METODE SALAF DALAM MENGINGKARI KESALAHAN PENGUASA 



Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya.

Adapun setelah itu: 

Terjadi permasalahan di antara beberapa saudara dalam memahami perkataan para ulama tentang pengingkaran secara terbuka, maka saya menulis artikel ini dengan harapan dapat memberikan solusi atas apa yang sulit dipahami oleh mereka. Saya memohon kepada Allah petunjuk dan ketepatan.

Pertama: 

Kewajiban Menasihati Penguasa

Menasehati penguasa adalah hak mereka dan merupakan kewajiban syar'i bagi rakyat terhadap penguasanya. Beberapa dalil yang menunjukkan hal ini antara lain:

1. Allah Ta'ala berfirman: "Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104).


2. Dari Tamim ad-Dari radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agama itu nasihat." Kami bertanya, "Untuk siapa?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan umatnya secara umum." (HR. Muslim).


3. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal untuk kalian dan membenci tiga hal. Allah meridhai bahwa kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, bahwa kalian berpegang teguh kepada tali Allah secara bersama-sama dan tidak berpecah belah, serta bahwa kalian menasihati orang yang Allah jadikan sebagai penguasa atas kalian. Dan Allah membenci gosip, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta." (HR. Muslim).



Kedua: 

Cara Mengingkari Kemungkaran pada Penguasa

Jika seorang penguasa melakukan kemungkaran, maka pengingkarannya memiliki dua bentuk:

Bentuk Pertama:  ( 1 )

Mengingkari Kemungkaran Tanpa Menyebut Pelakunya

Wajib mengingkari kemungkaran dan maksiat yang muncul secara terang-terangan di tengah masyarakat tanpa menyebut pelakunya, baik pelakunya adalah penguasa atau bukan. 
Misalnya, mengingkari pemberlakuan hukum buatan manusia, riba, kezaliman, minum khamr, dan lainnya. 

Sebagaimana disebutkan dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim 177).


Syaikh Abdulaziz bin Baz berkata dalam Majmu' Fatawa-nya (8/210): 
"Adapun mengingkari kemungkaran tanpa menyebut pelakunya, seperti mengingkari zina, khamr, dan riba tanpa menyebutkan siapa yang melakukannya, maka itu wajib, karena umumnya dalil-dalil syar'i. 
Cukup mengingkari maksiat dan memperingatkan darinya tanpa menyebutkan pelakunya, baik itu seorang penguasa maupun bukan."

Syaikh Abdulmuhsin Al-Abbad dalam artikelnya Hak Penguasa Muslim: Menasihati, Mendoakan, dan Menaati Mereka dalam Hal Kebaikan, menyatakan: "Jika muncul kemungkaran dari pejabat atau orang lain, baik di media atau di tempat lain, maka wajib mengingkari kemungkaran itu secara terbuka sebagaimana kemungkaran itu juga terlihat secara terbuka."

Bentuk Kedua:  ( 2 )

Mengingkari Secara Langsung kepada Pelaku Kemungkaran - dalam Hal Ini Penguasa

Wajib mengingkari penguasa dengan cara yang syar’i, yaitu menasihati mereka dengan lembut secara pribadi, tidak secara terbuka di hadapan umum.

Dalil-dalil yang mendukung metode ini antara lain:

1. Dari Syuraih bin Ubaid al-Hadhrami, dikisahkan bahwa Iyadh bin Ghanm pernah mencambuk seorang tuan rumah setelah penaklukan, lalu Hasyim bin Hakim berbicara kasar kepadanya hingga Iyadh marah. Beberapa malam kemudian, Hasyim datang meminta maaf kepadanya dan berkata, "Tidakkah kau mendengar Rasulullah bersabda: 
'Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya adalah yang paling berat siksaan duniawinya kepada orang lain'?" Iyadh berkata, "Wahai Hasyim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan melihat apa yang engkau lihat.
 Tidakkah engkau mendengar Rasulullah bersabda:
 'Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa dengan suatu hal, maka janganlah dia tampakkan secara terbuka, tetapi hendaklah dia pegang tangannya dan menyendiri dengannya. 
Jika penguasa menerima nasihatnya, maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya.' Dan engkau, wahai Hasyim, begitu berani melawan penguasa Allah. 
Tidakkah kau khawatir bahwa penguasa itu akan membunuhmu hingga engkau menjadi korban dari penguasa Allah?" (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Al-Albani, serta dianggap baik oleh Bin Baz).


2. Dari Abu Wa’il, ia berkata bahwa ada yang berkata kepada Usamah bin Zaid: "Tidakkah engkau datang kepada Utsman untuk berbicara dengannya?" Usamah menjawab: "Kalian mengira bahwa aku tidak berbicara dengannya kecuali harus didengar oleh kalian? Sungguh, aku berbicara dengannya secara pribadi, tanpa membuka pintu (pengingkaran) yang aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membukanya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).


Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (18/160) menjelaskan maksud Usamah: "Perkataannya ‘tidak membuka pintu yang aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membukanya’ artinya adalah pengingkaran secara terbuka terhadap penguasa di hadapan umum, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman radhiyallahu ‘anhu."


Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/51) mengutip perkataan al-Muhallab:
 "Mereka ingin agar Usamah berbicara kepada Utsman... 
Usamah berkata, ‘Aku telah berbicara kepadanya secara pribadi tanpa membuka pintu (pengingkaran) terhadap penguasa secara terang-terangan, khawatir bahwa hal itu akan memecah belah kesatuan.’"

Al-Qadhi Iyadh berkata bahwa maksud Usamah adalah tidak membuka pintu pengingkaran terang-terangan kepada penguasa karena khawatir akan akibatnya. Pendekatan yang lembut dan nasihat rahasia lebih memungkinkan untuk diterima.


Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam takhrij-nya terhadap Mukhtashar Shahih Muslim menjelaskan:
 "Yaitu pengingkaran secara terang-terangan terhadap penguasa di hadapan umum, karena pengingkaran secara terbuka dikhawatirkan akibat buruknya, sebagaimana terjadi dalam kasus pengingkaran terhadap Utsman yang secara terbuka hingga berujung pada pembunuhannya."


3. Dari Sa’id bin Jubair, dia berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, 'Apakah aku harus memerintahkan pemimpinku untuk berbuat baik?' 
Dia menjawab, 'Jika engkau khawatir dia akan membunuhmu, maka jangan. 
Namun jika harus dilakukan, maka lakukanlah antara dirimu dan dirinya, dan jangan menggunjing pemimpinmu.'" (Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dalam Sunan-nya, dan hal serupa diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).


4. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: "Wahai rakyat, sesungguhnya kami memiliki hak atas kalian: nasihat dalam ketidakhadiran kami dan membantu dalam kebaikan." (Diriwayatkan oleh Hunaad dalam Az-Zuhd 2/602).


5. Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa'id bin Jumhan, dia berkata: 
"Aku menemui Abdullah bin Abi Aufa yang sudah buta. Aku memberi salam padanya dan dia bertanya, 'Siapa engkau?' Aku menjawab, 'Aku Sa'id bin Jumhan.' Dia bertanya, 'Apa yang terjadi dengan ayahmu?' Aku menjawab, 'Dia dibunuh oleh kelompok Azariqah (salah satu sekte Khawarij).' Dia berkata, 'Semoga Allah melaknat kelompok Azariqah, mereka adalah anjing-anjing neraka.' Aku bertanya, 'Apakah hanya kelompok Azariqah atau semua kelompok Khawarij?' Dia menjawab, 'Ya, seluruh Khawarij.' Aku berkata, 'Sesungguhnya penguasa menzhalimi manusia dan melakukan berbagai hal kepada mereka.' Dia kemudian menggenggam tanganku erat-erat dan berkata, 'Wahai Sa'id, berpeganglah pada jamaah terbesar (sawad al-a’zam). Jika penguasa mau mendengar perkataanmu, temuilah dia di rumahnya dan beri tahu apa yang kau ketahui. Jika dia menerima, maka baik, jika tidak, tinggalkan dia, karena sesungguhnya engkau bukan orang yang lebih mengetahui darinya.'" (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Takhrij As-Sunnah 2/523).


6. Diriwayatkan dari Abdullah bin Ukaym, dia berkata: "Aku tidak akan pernah membantu menumpahkan darah seorang khalifah setelah Utsman." Ketika dikatakan kepadanya, 'Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau turut serta dalam penumpahan darahnya?' Dia menjawab, 'Aku menganggap bahwa menyebutkan keburukannya termasuk membantu dalam pembunuhannya.'" (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd dalam At-Tabaqat 6/115, dan Al-Fasawi dalam Al-Ma'rifah wa At-Tarikh 1/231-232. Disahihkan oleh Abdul Salam bin Barjas dalam Mu’amalat Al-Hukkam 88).



Imam pembaru Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad-Durar As-Saniyyah (9/121): "Kesimpulannya adalah, jika muncul kemungkaran dari seorang pemimpin atau lainnya, hendaknya ia dinasihati dengan lembut secara rahasia, tidak ada yang mengetahuinya. Jika ia setuju, baik, jika tidak, maka ia boleh dibantu oleh seseorang yang dekat dengannya secara rahasia. Jika tidak diterima, maka diperbolehkan pengingkaran secara terang-terangan, kecuali jika menyangkut seorang penguasa. Maka sampaikan perkara ini kepada kami secara rahasia."


Syaikh Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah berkata dalam Ar-Riyadh An-Nadhirah 50: "Bagi yang melihat sesuatu yang tidak baik dari penguasa, hendaknya ia menasihatinya dengan rahasia, bukan terang-terangan, dengan lemah lembut dan bahasa yang sesuai dengan situasi."


Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah juga menyatakan dalam Majmu' Fatawa (7/306): "Nasehat harus disampaikan dengan cara yang baik, baik dengan menulis maupun secara langsung. Bukanlah termasuk nasehat untuk menyebarluaskan aib-aib atau mengkritik penguasa di atas mimbar dan sejenisnya. Nasehat yang benar adalah dengan mencari cara yang dapat menghilangkan kejahatan dan menegakkan kebaikan dengan cara yang bijaksana yang diridhai Allah."


Syaikh Abdulmuhsin Al-Abbad juga menyatakan dalam artikelnya Hak Penguasa Muslim: "Termasuk hak penguasa Muslim dari rakyatnya adalah menasihati mereka secara rahasia dan dengan kelembutan serta menaati mereka dalam hal yang makruf."


Pengecualian dari Asal Pengingkaran

Pada dasarnya, pengingkaran kepada penguasa harus dengan kelembutan dan secara rahasia, tidak dilakukan secara terbuka di hadapan umum, sebagaimana telah dibuktikan oleh dalil-dalil di atas. Namun, terdapat pengecualian, yaitu:

1. Pengingkaran kepada penguasa boleh dilakukan secara terbuka, dengan syarat:

Dilakukan di hadapan penguasa, bukan di belakangnya.

Ada maslahat yang tercapai dari pengingkaran tersebut.



Dalil pengecualian ini adalah kisah Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu dengan Marwan, Amir Madinah, ketika ia mendahulukan khutbah sebelum shalat Id. Abu Sa'id mengingkari perbuatannya. (Diriwayatkan oleh Bukhari no. 956). Alasannya, Abu Sa'id ingin mencegah kemungkaran yang akan dilakukan Marwan di depan umum, sehingga pengingkaran tersebut tidak dapat ditunda.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarh Muslim (18/160) tentang tindakan Usamah: 
"Dalam hadits ini terkandung adab terhadap para penguasa, kelembutan kepada mereka, menasihati mereka secara rahasia, serta menyampaikan apa yang dikatakan orang-orang mengenai mereka agar mereka menghindarinya. Semua ini dilakukan jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan menasihati secara rahasia, maka boleh dilakukan secara terbuka agar hak tidak terabaikan."


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh (3/353-359):
 "Namun kita harus memahami bahwa perintah syar'i dalam hal ini mempunyai tempatnya dan harus dilakukan dengan kebijaksanaan. Jika kita melihat bahwa pengingkaran secara terbuka dapat menghilangkan kemungkaran dan menghasilkan kebaikan, maka lakukanlah secara terbuka. 
Jika tidak, dan justru menambah kebencian penguasa kepada para pengingkar dan orang-orang baik, maka lebih baik dilakukan secara rahasia. Dengan ini, dalil-dalil yang menganjurkan pengingkaran terbuka dan rahasia dapat dipadukan. 
Pengingkaran terbuka dilakukan jika ada maslahat yang diharapkan, yaitu tercapainya kebaikan dan hilangnya keburukan. 
Sedangkan pengingkaran secara rahasia dilakukan jika pengingkaran terbuka justru menambah keburukan dan tidak menghasilkan kebaikan."


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: 
“Kewajiban kita adalah menasihati para penguasa secara rahasia sebagaimana disebutkan dalam teks yang dibawakan oleh penanya. 
Kami katakan: dalil-dalil tidak saling bertentangan dan tidak saling bertolak belakang. 
Maka pengingkaran boleh dilakukan secara terang-terangan apabila ada maslahat, yaitu ketika keburukan dapat dihilangkan dan kebaikan dapat diwujudkan. Namun, pengingkaran dilakukan secara rahasia jika menyampaikan secara terbuka tidak menguntungkan maslahat, yaitu ketika keburukan tidak hilang dan kebaikan tidak terwujud.”

Di sini, Syaikh mensyaratkan adanya maslahat untuk memperbolehkan pengingkaran secara terbuka di hadapan penguasa.

Kemudian Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya dalam majelis yang sama: 
“Wahai Fadhilatus Syaikh, apakah maksud dari perkataan Anda sebelumnya dalam masalah pengingkaran terhadap penguasa berarti tidak boleh mengingkari kemungkaran yang ada di masyarakat secara terang-terangan?”

Beliau menjawab:
 “Tidak. Kami berbicara tentang pengingkaran terhadap penguasa, bukan dalam mengingkari kemungkaran yang umum tersebar di masyarakat.”

Beliau melanjutkan: 
“Saya katakan bahwa mengingkari kemungkaran yang tersebar di masyarakat adalah sesuatu yang dianjurkan dan tidak ada masalah dalam hal itu. Namun, pembicaraan kami adalah tentang pengingkaran terhadap penguasa. Misalnya, seseorang berdiri di masjid dan berkata, ‘Negara ini telah berbuat zalim, negara ini telah melakukan ini dan itu,’ lalu ia berbicara tentang para penguasa secara terbuka sementara yang bersangkutan tidak hadir di majelis tersebut.”

Beliau melanjutkan: “Ada perbedaan antara apabila seorang pemimpin atau penguasa yang akan Anda bicarakan hadir di hadapan Anda atau tidak.
 Karena seluruh pengingkaran yang dilakukan oleh para salaf terjadi di hadapan penguasa. 
Jika ia hadir, maka ia bisa membela diri dan menjelaskan pandangannya, mungkin ia benar dan kita yang salah.
 Namun jika ia tidak hadir, maka ia tidak dapat membela dirinya.
 Hal ini termasuk perbuatan zalim. 
Maka wajib untuk tidak berbicara tentang penguasa yang tidak hadir. 
Jika Anda benar-benar menginginkan kebaikan, maka datanglah kepadanya, temui, dan nasihatilah dia secara pribadi.”

Dalam perkataan ini, Syaikh mensyaratkan bahwa pengingkaran secara terang-terangan kepada penguasa hanya diperbolehkan jika penguasa tersebut hadir, bukan jika ia tidak hadir.

Ditulis oleh: Prof. Dr. Syaikh Hamad bin Muhammad Al-Hajri
Dosen Fakultas Syariah di Universitas Kuwait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar