Jumat, 24 Januari 2025

ALLAH YANG MAHA ESA


ALLAH YANG MAHA ESA 


Khutbah Pertama:

Segala puji bagi Allah, Yang Maha Esa, Yang Tunggal, Yang menjadi tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. 

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, yang menjadikan siang berganti dengan malam dan malam berganti dengan siang. 

Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, pemimpin para rasul dan imam orang-orang yang bertakwa. 

Ya Allah, limpahkanlah salawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya yang suci.


Wahai hamba-hamba Allah, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenarnya, dan jadilah bersama Allah Yang Maha Esa lagi Maha Tunggal. 

Taatilah Rabb kalian, karena Dia adalah tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. 

Maha Suci Allah yang menciptakan dan menyempurnakan, yang menentukan dan memberi petunjuk, yang mengeluarkan rerumputan, lalu menjadikannya kering dan hitam. 

Dia-lah yang membangun langit, meneguhkan gunung-gunung, dan menghamparkan bumi, yang mengeluarkan darinya air dan tumbuh-tumbuhannya. 

Dia meluaskan rezeki, melimpahkan nikmat, dan menurunkan berkah-Nya – Maha Suci Dia.

Ketahuilah bahwa Dialah Yang Maha Esa lagi Maha Tunggal, setiap hari Dia dalam urusan: 

mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, meninggikan suatu kaum, dan merendahkan kaum yang lain; menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup; mengabulkan doa, menyembuhkan yang sakit, memuliakan siapa yang Dia kehendaki, dan menghinakan siapa yang Dia kehendaki; memperbaiki yang hancur, memberi kekayaan kepada yang miskin, mengajarkan kepada yang bodoh, memberi petunjuk kepada yang tersesat, menenangkan yang kebingungan, menolong yang tertekan, membebaskan tawanan, memberi makan kepada yang lapar, memberi pakaian kepada yang telanjang, menyembuhkan yang sakit, memberi kesehatan kepada yang diuji, menerima tobat, memberi balasan kepada yang berbuat baik, menolong yang terzalimi, menghancurkan orang yang zalim, menutupi aib, dan melindungi dari ketakutan. 

Maha Suci Dia yang membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, membahagiakan dan menyengsarakan, menciptakan dan menguji, meninggikan dan merendahkan, memuliakan dan menghinakan, memberi dan menahan, meninggikan dan merendahkan. Dia-lah satu-satunya tanpa sekutu.

Bertobatlah kepada-Nya, wahai hamba-hamba Allah, dan yakinlah bahwa siapa yang mendekat kepada-Nya, Dia akan menyambutnya dari kejauhan. 

Siapa yang berpaling dari-Nya, Dia akan memanggilnya dari dekat. 

Siapa yang meninggalkan sesuatu demi-Nya, Dia akan memberinya lebih dari yang ia tinggalkan. 

Siapa yang menginginkan ridha-Nya, Dia akan memenuhi keinginannya. 

Siapa yang bersandar kepada kekuatan dan kuasa-Nya, maka segala urusannya akan dimudahkan. 

Orang-orang yang berzikir kepada-Nya adalah orang-orang yang berada dalam majelis-Nya, orang-orang yang bersyukur kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapat tambahan nikmat-Nya, dan orang-orang yang taat kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan kemuliaan-Nya. 

Sedangkan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, Dia tidak membuat mereka putus asa dari rahmat-Nya. 

Jika mereka bertobat kepada-Nya, Dia adalah Kekasih mereka, dan jika mereka tidak bertobat, Dia tetap Maha Penyayang kepada mereka. 

Dia menguji mereka dengan musibah untuk membersihkan mereka dari dosa-dosa. 

Dia menghargai amal yang sedikit dan mengampuni kesalahan yang banyak.

Wahai hamba-hamba Allah, ketika seorang hamba menyerahkan dirinya kepada Allah, merasakan kemuliaan dalam keesaan-Nya, dan kekuatan dalam keyakinan bahwa Tuhannya adalah Yang Maha Esa lagi Maha Tunggal, tanpa sekutu dan tanpa anak, yang tidak ada bandingan dan tandingan bagi-Nya, ia akan merasakan kebanggaan dan kemuliaan. 

Tidak ada keraguan dalam hatinya karena ia hanya memiliki satu Tuhan, satu Pengatur, dan satu Pencipta yang mengurus segala urusan, yaitu Allah Yang Maha Esa lagi Maha Tunggal – Maha Suci Dia.

Wahai kaum mukminin, ketahuilah bahwa dalam hati ada kerinduan yang tidak bisa terobati kecuali dengan mendekat kepada Allah. 

Dalam hati ada kesepian yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan keintiman bersama-Nya dalam kesendirian. 

Dalam hati ada kesedihan yang tidak bisa hilang kecuali dengan kebahagiaan dalam mengenal-Nya dan berinteraksi dengan jujur kepada-Nya. 

Dalam hati ada kegelisahan yang tidak bisa reda kecuali dengan berkumpul kepada-Nya dan lari dari selain-Nya menuju kepada-Nya. 

Dalam hati ada api penyesalan yang tidak bisa dipadamkan kecuali dengan ridha kepada perintah, larangan, dan ketetapan-Nya, serta bersabar sampai bertemu dengan-Nya. 

Dalam hati ada kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi kecuali dengan mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, terus-menerus mengingat-Nya, dan ikhlas sepenuhnya untuk-Nya. Bahkan jika dunia dan segala isinya diberikan, kebutuhan itu tidak akan pernah terpenuhi.

Wahai kaum muslimin, sesungguhnya Al-Qur'anul Karim sangat memperhatikan masalah tauhid. 

Ayat-ayatnya beragam dalam menetapkan dan mengukuhkan tauhid, meyakinkan dengan dialog dan argumen, serta menyampaikan berita dan kisah-kisah.

 Sebagian besar isinya membahas tentang tauhid, dan menanamkan nama Allah Yang Maha Esa dan Tunggal dalam pikiran sebelum telinga. 

Allah Ta'ala berfirman: 

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163). 


Allah Ta'ala juga berfirman: 

“Katakanlah, Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dia adalah Yang Maha Esa, Maha Menguasai.” (Ar-Ra’d: 16).


 Dia berfirman: 

“Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa.” (Al-Ikhlas: 1). 


Allah juga berfirman:

  “Wahai kedua penghuni penjara, apakah tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu lebih baik ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Menguasai?” (Yusuf: 39). 


Dan firman-Nya:

  “(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan demikian pula langit, dan mereka semua tampak di hadapan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Menguasai.” (Ibrahim: 48). 


Serta firman-Nya: 

“Katakanlah, aku hanyalah seorang pemberi peringatan. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa lagi Maha Menguasai.” (Shaad: 65).


Nabi kita Muhammad ﷺ telah memuji Rabb-nya dengan keesaan-Nya, dan beliau adalah makhluk yang paling mengetahui tentang Rabb-nya. 

Dalam sunnah, banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. 

Salah satunya adalah hadis dari Miḥjan bin al-Adra' radhiyallahu 'anhu, yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ masuk ke masjid, lalu mendapati seorang laki-laki yang telah menyelesaikan salatnya dan sedang bertasyahud sambil mengucapkan:

: "اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِاللهِ الْوَاحِدِ الْأَحَدِ الصَّمَدِ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي، إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ"، قَالَ: فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "قَدْ غُفِرَ لَهُ، قَدْ غُفِرَ لَهُ، قَدْ غُفِرَ لَهُ, ثَلَاثًا" 

 "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan (asma-Mu) Allah Yang Maha Esa, Yang Bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

 Maka Nabi Allah ﷺ bersabda: "Sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah diampuni, sungguh dia telah diampuni (sebanyak tiga kali)." [HR. Ahmad (18974), Abu Dawud, dan lainnya. Dinyatakan sahih oleh al-Albani].


Disebutkan pula dalam hadis bahwa siapa saja yang menisbatkan anak kepada Allah, maka ia telah menghina-Nya, sehingga ia telah merendahkan kedudukan keesaan Allah. 


Rasulullah ﷺ bersabda:

 "Allah berfirman: 

كَذَّبَني ابنُ آدمَ، وَلمْ يَكُنْ لَهُ ذَلكَ، وَشَتمني، وَلمْ يَكُنْ لَه ذَلكَ، فَأمَّا تَكْذيبهُ إيَّاي فَقوْلُهُ: لَنْ يُعيدني كَما بَدَأَني، وَليسَ أولُ الْخلق بأهونَ عَلىَّ مِنْ إعادته، وَأَمَّا شَتْمُهُ إيَّاي فَقولُهُ: اتخذ اللهُ وَلدًا، وَأنا الأَحدُ الصَّمَدُ لَمْ أَلدْ وَلَمْ أُولَدْ وَلمْ يَكْنْ لي كُفْؤًا أَحَدٌ" 


"Anak Adam telah mendustakan-Ku, padahal ia tidak memiliki hak untuk itu. Dan ia telah menghina-Ku, padahal ia tidak memiliki hak untuk itu. Adapun pendustaannya terhadap-Ku adalah dengan ucapannya: ‘Allah tidak akan menghidupkanku kembali sebagaimana Dia menciptakanku pertama kali.’ Padahal penciptaan pertama tidaklah lebih mudah bagi-Ku dibandingkan penghidupan kembali. Sedangkan penghinaan terhadap-Ku adalah dengan ucapannya: ‘Allah memiliki anak.’ Padahal Aku adalah Yang Maha Esa, Tempat Bergantung segala sesuatu. Aku tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada yang setara dengan-Ku." [HR. Bukhari (4482)].


Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: 

"Rasulullah ﷺ, jika terbangun di malam hari, beliau mengucapkan:

: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ" 

 ‘Tiada ilah yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, Yang Maha Mengalahkan, Rabb langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.’" [HR. Ibnu Hibban (5530), dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Silsilah al-Sahihah].


Barang siapa yang tidak mengakui keesaan Allah di dunia ini, maka ia akan dipaksa untuk mengakuinya pada hari ia berdiri di hadapan Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. 


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

"يُنَادِي مُنَادٍ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ, أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ، فَيَسْمَعُهَا الأَحْيَاءُ وَالأَمْوَاتُ، وَيَنْزِلُ اللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُنَادِي: لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ" 

 "Seorang penyeru akan menyeru sebelum tibanya Kiamat: 'Wahai manusia, sesungguhnya Kiamat telah tiba!' Maka orang-orang yang hidup maupun yang mati akan mendengarnya. Dan Allah akan turun ke langit dunia seraya berseru: 'Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.'" [HR. al-Hakim (3637) dan dinyatakan sesuai dengan syarat Muslim. Al-Albani mensahihkannya dalam Mukhtashar al-‘Uluw].


Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

: إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ وَضَعَ اللهُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْجِبَالَ عَلَى إِصْبَعٍ، قَالَ فُضَيْلٌ: وَهَذِهِ وَهَذِهِ، وَهَذِهِ وَهَذِهِ، وَالثَّرَى وَالْمَاءُ وَسَائِرُ الْخَلْقِ عَلَى هَذِهِ، ثُمَّ هَزَّهُنَّ، فَقَالَ: "أَيْنَ الْمُلُوكُ لِمَنِ الْمُلْكَ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ"، قَالَ: فَضَحِكَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: (وَمَا قَدَرُوا اللهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ) [الزمر: 67] 

 "Seorang pendeta mendatangi Nabi ﷺ, lalu berkata: ‘Pada hari Kiamat, Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, bumi di atas satu jari, gunung di atas satu jari, air dan tanah di atas satu jari, serta makhluk lainnya di atas satu jari.’ Lalu Allah menggoncang semuanya sambil berkata: 'Di manakah para raja? Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.’ Maka Rasulullah ﷺ tertawa hingga tampak gigi gerahamnya, kemudian beliau membaca: 

(Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat...) [QS. Az-Zumar: 67]." [HR. an-Nasa’i (7640), lafaz ini miliknya. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Sahihain].


Diriwayatkan dari Ali radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Jika tiba waktu sore, Rasulullah ﷺ biasa mengucapkan: 

"أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ" [كنز العمال (4951)]

‘Kami telah memasuki waktu sore, dan kerajaan adalah milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.’" [HR. Kanz al-‘Ummal (4951)].


Wahai hamba Allah, 

kata “al-Wahid” (Yang Maha Esa) secara bahasa berarti yang satu, yang tetap sendiri, yang tidak ada seorang pun yang bersama-Nya, tidak ada sekutu, tidak ada bandingan, dan tidak ada yang menyerupai-Nya. 

Allah Yang Maha Esa adalah yang mandiri, yang tidak bergantung kepada makhluk-Nya, dan yang tidak membutuhkan apapun, baik di masa lalu maupun masa depan. Dia selalu ada dengan nama, sifat, dan zat-Nya, sebelum penciptaan apa pun. Makhluk tidak menambah kesempurnaan-Nya yang sebelumnya tidak ada, dan tidak pula menghilangkan kekurangan yang sebelumnya ada.

Allah Yang Maha Esa adalah yang sempurna dalam segala hal, memiliki nama-nama terbaik, sifat-sifat tertinggi, dan tindakan yang paling sempurna. 

Dialah satu-satunya yang memiliki sifat kesempurnaan, keagungan, keindahan, dan kebesaran: (Allah, tidak ada ilah selain Dia. Dia memiliki nama-nama yang terbaik) [QS. Taha: 8]. 

Kalimat tauhid, "La ilaha illa Allah," adalah puncak penghambaan, pusat yang menjadi poros Islam, dan sebaik-baik ucapan yang pernah diucapkan oleh para nabi dan pengikutnya. 

Kalimat ini berarti tidak ada sesembahan yang berhak disembah, dicintai, ditakuti, atau diharap kecuali Allah semata. Mahasuci Dia.


Dialah Yang Maha Esa dan Maha Tunggal, yang wajib disembah hanya kepada-Nya tanpa sekutu bagi-Nya. 

Dia lebih agung dan lebih mulia daripada disekutukan dengan sesuatu apa pun. 

Dia berdiri sendiri dengan keesaan-Nya, sehingga ibadah adalah hak-Nya yang murni. 

Tidak boleh ibadah dipersembahkan kepada selain-Nya, 


sebagaimana Allah berfirman:
(Katakanlah, 

"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.")
(QS. Al-An’am: 162-163).


Dialah Yang Maha Esa, yang menyatu dalam segala kesempurnaan-Nya, sehingga tidak ada yang dapat menyamai-Nya dalam hal itu. 

Maka, seorang hamba wajib mentauhidkan Tuhannya dengan keyakinan, ucapan, dan perbuatan, serta mengakui kesempurnaan-Nya yang mutlak dan keesaan-Nya, dan mengkhususkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya.

Wahai kaum muslimin,

barang siapa yang memperhatikan ayat-ayat Allah, baik yang tampak di alam semesta maupun yang tertulis dalam Al-Qur'an, maka ia akan mendapati bahwa semuanya menunjukkan keesaan Allah Yang Mahatinggi dan Maha Suci. 

Benarlah apa yang dikatakan:

Di setiap ciptaan-Nya ada tanda
Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Yang Maha Esa.

Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, bahwa keesaan Allah tidak hanya dibuktikan oleh dalil-dalil wahyu, tetapi juga oleh dalil-dalil akal. 

Ibnu Qayyim rahimahullah telah mengisyaratkan beberapa dalil akal yang menunjukkan keesaan Allah Sang Pencipta. 

Beliau berkata, dengan ringkas:

  "Seandainya kita menganggap adanya dua tuhan, lalu kita anggap ada dua kehendak yang saling bertentangan, misalnya satu menghendaki sesuatu, sementara yang lain menghendaki kebalikannya, maka hanya ada tiga kemungkinan: kedua kehendak itu terlaksana, atau tidak ada yang terlaksana, atau hanya salah satu yang terlaksana. Karena mustahil kedua kehendak itu terlaksana bersamaan (karena bertentangan), dan mustahil pula keduanya tidak terlaksana (karena ini meniadakan sifat ketuhanan mereka), maka yang tersisa hanyalah kemungkinan bahwa hanya satu kehendak yang terlaksana, yang berarti satu-satunya yang berhak menjadi Tuhan."


Dari situ, tidak mungkin ada tuhan-tuhan yang banyak di langit dan bumi. Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Mahatinggi. Langit dan bumi tidak akan tertib tanpa keesaan Allah. Jika alam ini memiliki dua tuhan yang sama-sama disembah, maka sistemnya akan rusak dan tatanannya akan kacau. 

Sebagaimana Allah berfirman:

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

("Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak. Maka Mahasuci Allah, Tuhan ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan.")
(QS. Al-Anbiya: 22).
(Tariq Al-Hijratayn, hal. 46).


Inilah dalil akal yang membuktikan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Maha Esa, 

tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Dzat-Nya, tidak dalam nama-nama-Nya, tidak pula dalam sifat-sifat-Nya atau perbuatan-Nya. 

Dia adalah satu-satunya yang berdiri sendiri sejak dahulu, tanpa ada yang menyertai-Nya.

 Dia Maha Esa yang tidak memiliki tandingan dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya:

(لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

  (“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”) (QS. Asy-Syura: 11).


Wahai hamba-hamba Allah, 

sesungguhnya nama Allah "Al-Wahid" (Yang Maha Esa) menunjukkan Dzat Allah, menunjukkan sifat keesaan-Nya, serta menunjukkan keunikan Allah dalam kehidupan, ketergantungan, pendengaran, penglihatan, ilmu, kehendak, kekuasaan, kekayaan, kekuatan, ketinggian, keperkasaan, kebesaran, penguasaan, keagungan, kemuliaan, serta sifat-sifat kesempurnaan lainnya.

Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, bahwa keesaan Allah menunjukkan ketinggian-Nya di atas makhluk-Nya. 

Dialah yang tinggi dengan Dzat-Nya, yang naik secara mutlak di atas segala sesuatu. Dialah yang berdiri sendiri dengan keesaan, keagungan, dan kemuliaan-Nya. Allah Mahatinggi, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. 

Tidak ada bagian dari Dzat-Nya yang berada di dalam makhluk-Nya, dan tidak ada bagian dari makhluk-Nya yang berada dalam Dzat-Nya. 

Dia mengetahui amal perbuatan makhluk-Nya, mendengar ucapan mereka, dan melihat tindakan mereka.

 Tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya, sementara Dia tetap berdiri sendiri dengan seluruh makna kesempurnaan, bebas dari segala kekurangan dan cacat yang bertentangan dengan makna uluhiyah dan rububiyah-Nya.

Mahasuci Allah dalam keesaan-Nya dari sekutu, penolong, pelindung, dan pendukung. 

Mahasuci Dia dalam sifat "As-Shamad"-Nya dari istri, anak, serta dari adanya tandingan bagi-Nya. Tidak ada Tuhan selain Allah. Betapa bodohnya orang yang mendurhakai-Nya, tersesat dari jalan-Nya, dan menyembah selain Dia!


Dan yakinlah, wahai saudaraku, 

bahwa Allah Yang Maha Esa, Mahasuci dan Mahatinggi, sempurna dalam kehidupan-Nya, ketergantungan-Nya pada diri-Nya sendiri, kehendak-Nya, serta kekuasaan-Nya. Dia Mahatinggi dalam kesempurnaan hikmah dan hujah-Nya, Mahatinggi dalam kesempurnaan ilmu-Nya yang terbebas dari kelalaian, lupa, serta dari meninggalkan makhluk begitu saja tanpa tujuan dari penciptaan jin dan manusia.

Sesungguhnya seluruh umat manusia akan terus berada dalam kepahitan kebingungan dan kelalaian dalam kesesatan, kecuali mereka mengakui dan menjawab dengan keyakinan serta pengakuan terhadap apa yang disebutkan dalam ayat-ayat agung ini, yang semuanya menunjukkan keesaan Allah Yang Maha Memberi nikmat dan Maha Melimpahkan karunia-Nya. Allah Ta’ala berfirman:


(قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آَللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ * أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ * أَمَّنْ جَعَلَ الْأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلَالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حَاجِزًا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ * أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ * أَمَّنْ يَهْدِيكُمْ فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَنْ يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ * أَمَّنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ) 


(Katakanlah, "Segala puji bagi Allah, dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang telah Dia pilih. Apakah Allah yang lebih baik ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)?"
"Ataukah (siapa) yang telah menciptakan langit dan bumi, serta menurunkan untuk kalian air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang indah? Kalian tidak akan mampu menumbuhkan pepohonannya. Apakah ada ilah (sembahan) bersama Allah? Bahkan, mereka adalah kaum yang menyimpang."
"Ataukah (siapa) yang telah menjadikan bumi sebagai tempat yang tetap, dan menjadikan sungai-sungai mengalir di celah-celahnya, serta menjadikan gunung-gunung untuk mengokohkannya, dan menjadikan batas antara dua laut? Apakah ada ilah bersama Allah? Bahkan, kebanyakan mereka tidak mengetahui."
"Ataukah (siapa) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, serta yang menghilangkan kesusahan dan menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Apakah ada ilah bersama Allah? Amat sedikit dari kalian yang mau mengambil pelajaran."
"Ataukah (siapa) yang memberi petunjuk kepada kalian di dalam kegelapan daratan dan lautan, serta siapa yang mengirimkan angin sebagai kabar gembira sebelum (turunnya) rahmat-Nya? Apakah ada ilah bersama Allah? Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan."
"Ataukah (siapa) yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya, dan siapa yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Apakah ada ilah bersama Allah? Katakanlah, 'Datangkanlah bukti kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar.'"
(QS. An-Naml: 59-64).


Maka tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, Yang Maha Tunggal, tempat bergantung segala makhluk. 

Dialah yang menciptakan, membentuk, dan menyusun makhluk-Nya, serta memberikan bentuk yang paling indah bagi mereka. 

Dia mengatur segala urusan mereka, dan melimpahkan kebaikan dan karunia-Nya yang begitu besar kepada mereka.

 Benarlah firman Allah:

(وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ) 


“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki karunia yang besar atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.”
(QS. An-Naml: 73).

Ya Allah, penuhilah hati kami dengan kepercayaan kepada-Mu, kecintaan kepada-Mu, tawakal kepada-Mu, dan tauhid kepada-Mu. Anugerahkanlah kami keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan, lindungilah kami dari kesyirikan dan orang-orang musyrik, dan jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang saleh.

Semoga Allah memberikan manfaat kepada saya dan kalian melalui Al-Qur'an yang agung, serta menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Aku sampaikan perkataan ini, dan aku memohon ampunan Allah untuk diriku dan kalian semua. Maka mohonlah ampunan kepada-Nya.


Khutbah Kedua:


Segala puji bagi Allah, Yang Maha Esa, Yang Maha Tunggal, tempat bergantung segala makhluk. 

Dia Maha Sempurna dalam segala sifat-Nya, dan Mahasuci dari segala kekurangan, keserupaan, dan tandingan. 

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, Yang Maha Agung. 

Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, makhluk terbaik, pemimpin para rasul, imam orang-orang yang bertakwa, dan pemimpin kaum yang bercahaya wajahnya. 

Semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya.


Amma ba’du:


Wahai kaum muslimin, bertakwalah kepada Allah, Tuhan kalian, dan cintailah Dia, karena Dialah yang menciptakan kalian, serta memberikan nikmat-Nya kepada kalian. Agungkanlah Dia, muliakanlah Dia, dan persembahkanlah ibadah kepada-Nya dengan ikhlas.

Ketahuilah bahwa kalimat tauhid, yang merupakan zikir terbaik, mengandung makna nama Allah “Al-Wahid” (Yang Maha Esa). 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَنْ قَالَ: لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، لهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ، مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ، يَوْمَهُ ذَلِكَ، حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أحَدٌ أفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلا أحَدٌ عَمِلَ أكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ" 


"Barang siapa mengucapkan: 'Tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu,' sebanyak seratus kali dalam sehari, maka baginya pahala setara dengan membebaskan sepuluh budak. Dicatat baginya seratus kebaikan, dihapuskan darinya seratus keburukan, dan ucapan itu menjadi pelindung baginya dari setan pada hari itu hingga petang tiba. Dan tidak ada seorang pun yang datang dengan amalan yang lebih baik darinya, kecuali orang yang melakukan lebih banyak dari itu."
(HR. Bukhari [6403] dan Muslim [2691]).


Betapa bodohnya, betapa sesatnya orang yang menyembah selain Allah, 

sesuatu yang tidak dapat berpikir, tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, dan tidak berkuasa apa-apa. 

Mereka meninggalkan ibadah kepada Allah, yang satu-satunya menciptakan dan mengadakan makhluk, yang satu-satunya berhak menetapkan hukum, memberi rezeki, dan melimpahkan karunia. 

Dialah yang mengatur segala sesuatu, melapangkan dan menyempitkan, meninggikan dan merendahkan, memberikan manfaat dan mendatangkan mudarat. 

Sebagaimana Allah berfirman:

(قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَاللَّهُ هُوَ السَّميع العليم 


"Katakanlah, ‘Apakah kalian menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat mendatangkan mudarat maupun manfaat kepada kalian? Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’"
(QS. Al-Maidah: 76).


Barang siapa yang telah ditunjukkan kebenaran, namun menolaknya, maka ia akan dihukum dengan kerusakan hati, akal, pandangan, dan kehidupannya,

sebagaimana firman Allah:

(لَهُمْ عَذَابٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَقُّ وَمَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَاقٍ)


“Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia, dan azab akhirat lebih berat. Tidak ada seorang pun yang dapat melindungi mereka dari (azab) Allah.”
(QS. Ar-Ra’d: 34).


Maka hendaklah setiap orang kafir yang musyrik kepada Allah bersiap untuk menghadapi hukuman, baik di dunia maupun di akhirat. 

Semoga Allah melindungi kita semua dari kesyirikan, kekufuran, perpecahan, kemunafikan, dan akhlak yang buruk, serta menjaga kita dari keburukan diri kita dan perbuatan kita yang salah.


Wahai hamba-hamba Allah, 

salah satu pengaruh terpenting dari keimanan kepada keesaan Allah adalah seorang Muslim mengesakan Rabbnya, yaitu Allah Ta’ala, dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya, serta mengikhlaskan seluruh ucapan dan perbuatannya hanya untuk Allah yang Maha Esa.

 Ia harus meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya yang berhak dalam rububiyah-Nya, karena Dialah Sang Pencipta, Pemberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Pemilik segala sesuatu, yang mengatur makhluk-Nya sesuai kehendak-Nya. 

Dialah satu-satunya yang berhak dalam uluhiyah-Nya; tidak ada tuhan selain Dia, tiada sekutu bagi-Nya. 

Tauhid ini menuntut hamba-hamba Allah untuk mengesakan-Nya dalam cinta, kesetiaan, ketaatan, serta menjadikan Allah sebagai wali, penolong, penguasa, dan pembuat syariat. 

Allah Ta’ala berfirman:


-: (قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ يُطْعِمُ وَلاَ يُطْعَمُ قُلْ إِنِّيَ أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكَينَ) 


"Katakanlah, 'Apakah aku akan menjadikan pelindung selain Allah, Pencipta langit dan bumi, yang memberi makan dan tidak diberi makan?' Katakanlah, 'Sesungguhnya aku diperintahkan agar menjadi orang yang pertama berserah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang musyrik.’"
(QS. Al-An’am: 14).


Waspadalah, wahai hamba-hamba Allah,

tidak boleh seseorang mengarahkan ibadahnya kepada selain Penciptanya, baik itu dalam bentuk salat, doa, penyembelihan, nadzar, tawakal, harapan, rasa takut, kerendahan hati, maupun ketundukan.

 Hendaklah mereka seperti apa yang diperintahkan Allah kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diucapkan:

: (قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ) 


"Katakanlah, 'Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah).’"
(QS. Al-An’am: 162-163).


Perhatikanlah hal ini! 

Syirik kepada Allah yang Maha Esa membawa akibat yang sangat buruk. 

Oleh karena itu, hati yang beriman harus menggantungkan diri kepada Allah Sang Pencipta, hanya mengarahkan niat dan tujuan kepada-Nya, yang kepada-Nya semua makhluk bergantung dalam kebutuhan dan keperluannya.

 Dialah yang Maha Kuasa, Pemilik, dan Pengatur segala sesuatu. 

Kesadaran ini memberikan ketenangan kepada hati dari kegelisahan dan kebimbangan, membuat hati merasa tenteram kepada Rabb dan sesembahannya, serta memutuskan ketergantungan kepada selain Allah yang tidak memiliki apa pun, tidak mampu melakukan apa pun kecuali dengan izin Allah. 

Mereka tidak dapat memberikan manfaat atau mudarat bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain.

 Allah Ta’ala berfirman:

(ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً رَّجُلاً فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ) .


"Allah membuat perumpamaan, seorang laki-laki yang dimiliki oleh beberapa tuan yang saling berselisih, dan seorang laki-laki yang sepenuhnya dimiliki oleh seorang tuan saja; apakah kedua orang itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."
(QS. Az-Zumar: 29).


Hamba yang berakal wajib mengesakan Allah Ta’ala dalam hal hukum, perintah, larangan, penerimaan syariat, dan pembuat aturan, 

karena keimanan kepada keesaan dan keesaan Allah Ta’ala mengharuskan kita mengesakan-Nya dalam hal itu.

 Allah Ta’ala berfirman:

(أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا)


"Apakah aku akan mencari hakim selain Allah?"
(QS. Al-An’am: 114).


Wahai hamba-hamba Allah,

salah satu hal terpenting yang dituntut oleh tauhid seorang hamba kepada Rabbnya adalah tampaknya pengaruh tauhid itu dalam keyakinan dan perilakunya. 

Di antara kesungguhannya adalah menjadikan dakwah kepada tauhid sebagai prioritas utama, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memulai dakwahnya dengan menyeru kepada tauhid sebelum hal lainnya.

 Sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:

: "إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلى قَوْمٍ مِنْ أَهْل الكِتَابِ، فَليَكُنْ أَوَّل مَا تَدْعُوهُمْ إِلى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ تعالى..." 

"Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab, maka jadikanlah hal pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah Ta’ala."
(HR. Bukhari [7372]).


Oleh karena itu, amal saleh seorang hamba tidak akan diterima hingga ia mengucapkan syahadat yang benar, dan seorang hamba tidak akan masuk Islam hingga ia mentauhidkan Allah Ta’ala dengan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. 

Keimanan kepada keesaan Allah menjadi syarat diterimanya amal saleh,

 sebagaimana firman Allah:

(وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا) 


"Dan barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun."
(QS. An-Nisa: 124).


Ketahuilah, wahai hamba-hamba Allah, bahwa ada keutamaan dan pahala yang besar yang terkait dengan tauhid kepada Allah serta menyebutnya melalui kalimat tauhid yang agung, 'La ilaha illallah.'

Kalimat ini mengukuhkan tauhid seorang hamba kepada Rabbnya, memperbarui keimanan kepada keesaan Allah, serta mendorong seorang Muslim untuk melakukan kebaikan dan amal saleh. Sebab, sumber segala kebaikan adalah tauhid yang murni.

Wahai kaum Muslimin,


Sudah sepantasnya seorang hamba yang berakal berlindung kepada Rabbnya, berdoa kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang indah, mengesakan-Nya dalam keesaan dan keagungan, serta bertawassul kepada-Nya dengan keyakinan bahwa Dialah satu-satunya Raja yang mengatur, Tuhan yang haq – Mahasuci dan Maha Tinggi Dia. Rabb kita telah mengajarkan dalam kitab-Nya yang mulia agar kita hanya berdoa kepada-Nya. 

Allah berfirman:

(قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا) 


"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.’"
(QS. Al-Kahfi: 110).

Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengucapkan setelah salam pada setiap salat:

"لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهْوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللهمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِي لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ" 


"Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan, milik-Nya segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menahan apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan. Kekayaan tidak berguna bagi siapa pun di hadapan-Mu."
(HR. Bukhari, no. 844).


Ketahuilah, wahai hamba Allah, 

seorang Muslim yang yakin akan keesaan Allah menunjukkan kepercayaannya kepada Rabbnya dalam segala urusan. 

Ia tidak berdoa kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada-Nya, tidak bergantung kecuali kepada-Nya, dan tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Nya dalam setiap hal besar maupun kecil. 


Allah Ta’ala berfirman:

-: (قُل إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلتَحَدًا) 


"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku sekali-kali tidak dapat melindungi kamu dari (siksaan) Allah dan sekali-kali tidak dapat (pula) menyelamatkan kamu.’"
(QS. Al-Jin: 22).


Allah juga berfirman:

: (قُل مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ* سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ)

"Katakanlah, 'Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, yang melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, 'Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, 'Kalau demikian, maka dari jalan manakah kamu ditipu?’"
(QS. Al-Mu’minun: 88-89).


Dan Allah berfirman:

فَإِنْ تَوَلوْا فَقُل حَسْبِيَ اللهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلتُ وَهُوَ رَبُّ العَرْشِ العَظِيمِ) 

"Jika mereka berpaling, maka katakanlah, 'Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung.’"
(QS. At-Taubah: 129).


Ketahuilah –semoga Allah merahmati saya dan kalian– 

bahwa tauhid seorang hamba kepada Rabbnya tampak dari seringnya ia mengingat-Nya, mengulang-ulang kalimat syahadat “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah), dan menyeru kepada tauhid-Nya.

 Tauhid ini juga terlihat dalam amal perbuatannya; ia tidak menyembelih atau bersujud kecuali untuk Allah, 

sebagaimana firman Allah:

: (قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ * قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ) 


"Katakanlah, 'Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah). Katakanlah, 'Apakah aku mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu?’"
(QS. Al-An’am: 162-164).


Iman seorang Muslim kepada Rabbnya yang Maha Esa 

menjadikannya teguh berdiri di atas kebenaran tanpa takut celaan siapa pun.

 Ia meyakini bahwa segala urusan dirinya dan semua makhluk kembali kepada Allah semata, tanpa sekutu bagi-Nya. 

Maka, ia bertawakal kepada-Nya, berlindung kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan bersandar kepada-Nya.

 Allah Ta’ala berfirman:

(قُل إِنِّي لنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللهِ أَحَدٌ وَلنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلتَحَدا) 


"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku sekali-kali tidak dapat melindungi kamu dari (siksaan) Allah dan sekali-kali tidak dapat (pula) menyelamatkan kamu.’"
(QS. Al-Jin: 22).

Akhirnya, wahai kaum Muslimin,

dengarkanlah dan nikmatilah firman Allah yang menyejukkan hati dan jiwa:

 (وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا) 

"Dan katakanlah, 'Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong, dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.’"
(QS. Al-Isra: 111).

Tidak ada bagi orang-orang yang bingung dalam hidup ini selain Rabb yang Esa. Hati tidak akan tenteram kecuali dengan mengesakan-Nya, jiwa tidak akan tenang dan bahagia kecuali dengan mengingat-Nya, roh tidak akan damai kecuali dengan menyerahkan diri kepada-Nya, dan jiwa tidak akan merasakan kebahagiaan kecuali dengan ridha kepada-Nya sebagai Rabb yang mengatur, Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui – Mahasuci Dia lagi Mahamulia.

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu keimanan yang tulus, karuniakanlah kami kepercayaan kepada-Mu, kebaikan dalam bertawakal kepada-Mu, dan harapan yang besar kepada-Mu. Ya Allah, limpahkanlah kasih sayang-Mu kepada kami, anugerahkanlah rahmat-Mu kepada kami, tetapkanlah kami sebagai golongan orang-orang yang berbahagia, dan jauhkanlah kami dari jalan orang-orang yang celaka.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, dan seluruh sahabatnya.


Senin, 20 Januari 2025

ALLAH MAHA ESA


Tafsir Al-Tabari – Ibn Jarir Al-Tabari (310 H)


﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ﴾ [البقرة ١٦٣]


(Surah Al-Baqarah, Ayat 163):
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”

Tafsir mengenai firman Allah Ta'ala:

“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”


Abu Ja‘far (Al-Tabari) berkata:
Kami telah menjelaskan sebelumnya makna “al-uluhiyyah” (ketuhanan), bahwa ia merupakan bentuk pengabdian makhluk kepada Allah.

Maka makna firman-Nya “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang” 

adalah:
“Dzat yang berhak atas kalian, wahai manusia, untuk kalian taati, dan yang berhak atas ibadah kalian hanyalah Tuhan Yang Esa dan Pemelihara Yang Esa. 

Maka janganlah kalian menyembah selain Dia dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan apa pun. Karena siapa pun yang kalian sekutukan dengan-Nya dalam ibadah kalian, ia hanyalah makhluk ciptaan Tuhan kalian, sebagaimana kalian adalah makhluk. Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa, tiada tandingan dan tiada yang menyerupai-Nya.”


Perbedaan Pendapat tentang Makna Keesaan-Nya

Ada yang berkata bahwa makna keesaan Allah adalah menafikan keserupaan dan kesamaan dari-Nya. Sebagaimana dikatakan: “Si Fulan adalah satu-satunya di antara manusia – dia adalah satu-satunya di antara kaumnya”, yang berarti bahwa ia tidak memiliki tandingan atau keserupaan di antara manusia atau kaumnya. Demikian pula makna perkataan “Allah Yang Esa”, yang berarti Allah tidak memiliki tandingan atau keserupaan.

Mereka mengklaim bahwa dalil yang menunjukkan kebenaran penafsiran ini adalah bahwa kata “satu” dapat dipahami dalam empat makna:

  1. Bermakna “satu” dari jenis tertentu, seperti seorang manusia yang “satu” dari jenis manusia.
  2. Bermakna tidak terbagi, seperti sebuah bagian yang tidak bisa dibagi lagi.
  3. Bermakna keserupaan dan kesamaan, seperti ucapan seseorang “kedua benda ini adalah satu”, yang bermaksud bahwa keduanya serupa sehingga menjadi seperti satu hal.
  4. Bermakna penafian keserupaan atau kesamaan.

Mereka berkata: Ketika tiga makna pertama dari makna “satu” tidak berlaku bagi Allah, maka makna keempat, yaitu penafian keserupaan dan kesamaan, adalah yang benar.


Pendapat lain mengatakan bahwa makna “keesaan-Nya” adalah keunikan-Nya dari segala sesuatu dan keunikan segala sesuatu dari-Nya. Mereka berkata bahwa Dia adalah satu-satunya yang tidak ada sesuatu pun yang masuk ke dalam-Nya, dan Dia tidak masuk ke dalam sesuatu. Mereka juga menyatakan bahwa satu-satunya makna yang benar dari kata “satu” adalah ini, dan mereka menolak tiga makna lainnya yang disebutkan sebelumnya.


Makna Firman-Nya: “Tidak ada Tuhan selain Dia”

Firman ini adalah pernyataan dari Allah Ta'ala bahwa tidak ada Tuhan bagi seluruh alam semesta selain Dia. Tidak ada yang berhak disembah oleh para hamba kecuali Dia. 

Segala sesuatu selain Dia adalah ciptaan-Nya, dan kewajiban seluruh makhluk adalah menaati-Nya, tunduk kepada perintah-Nya, dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya, termasuk sekutu-sekutu dan tuhan-tuhan palsu. Mereka harus meninggalkan berhala dan patung, karena semuanya adalah ciptaan-Nya.

 Semua makhluk wajib mengakui keesaan dan ketuhanan-Nya, karena tidak ada yang pantas disembah selain Dia.

Segala nikmat yang mereka dapatkan di dunia berasal dari-Nya, bukan dari sesembahan mereka berupa berhala atau sekutu-sekutu yang mereka sembah bersama-Nya. Nikmat di akhirat juga berasal dari-Nya. Sedangkan sekutu-sekutu yang mereka sembah tidak memiliki kuasa untuk memberikan manfaat atau mudarat, baik di dunia maupun di akhirat.

Ayat ini menjadi peringatan dari Allah Ta'ala kepada para penyembah berhala atas kesesatan mereka, sekaligus merupakan ajakan untuk kembali dari kekufuran mereka dan bertobat dari perbuatan syirik.




Tafsir Ibnu Katsir – Ibnu Katsir (774 H)
(Surah Al-Baqarah, Ayat 163):


“Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”

Penjelasan Tafsir:

Allah Ta'ala mengabarkan tentang keesaan-Nya dalam keilahian, bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, melainkan Dia adalah Allah yang Esa, Ahad (Tunggal), Fard (Sendiri), dan Shamad (bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang).

Penjelasan tentang kedua nama ini (Ar-Rahman dan Ar-Rahim) telah disebutkan sebelumnya di awal surah (yaitu di awal Surah Al-Fatihah).


Hadis Tentang Nama Allah yang Agung:

Dalam sebuah hadis dari Syahr bin Hawsyab, dari Asma binti Yazid bin As-Sakan, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Nama Allah yang Agung terdapat dalam dua ayat ini:
﴿وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ﴾ (Al-Baqarah: 163)
dan ﴿الم * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ﴾ (Ali Imran: 1-2)."

(Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya dengan nomor 1496, dan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya dengan nomor 3478. At-Tirmidzi berkata: "Hadis ini hasan sahih.")





Tafsir Al-Qurthubi – Al-Qurthubi (671 H)
(Surah Al-Baqarah, Ayat 163):


“Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”

Penjelasan Tafsir:

Ayat ini mencakup dua pembahasan:

Pembahasan Pertama:

Firman-Nya: “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa.”
Setelah Allah memperingatkan tentang bahaya menyembunyikan kebenaran, Dia menjelaskan bahwa hal pertama yang wajib ditampakkan dan tidak boleh disembunyikan adalah tauhid (keesaan Allah). Kemudian Allah mengaitkannya dengan penjelasan dalil-dalil dan ilmu tentang cara berpikir logis, yaitu dengan merenungkan keajaiban ciptaan. Dengan cara ini, Allah mengajarkan bahwa setiap ciptaan pasti memiliki Sang Pencipta yang tidak menyerupai apa pun.

Ibnu Abbas  berkata: Ketika kaum kafir Quraisy berkata: “Wahai Muhammad, sebutkan kepada kami nasab Tuhanmu!”, maka Allah menurunkan Surah Al-Ikhlas dan ayat ini (Al-Baqarah: 163). 

Kaum musyrik saat itu memiliki 360 berhala, lalu Allah menjelaskan bahwa hanya Dia-lah Tuhan Yang Esa.

Pembahasan Kedua:

Firman-Nya: “Tidak ada Tuhan selain Dia.”
Ayat ini mengandung penafian (la ilaha) dan penegasan (illa Allah). Bagian awalnya adalah penolakan kekufuran, sedangkan akhirnya adalah penegasan keimanan. Maknanya adalah: “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah.”

Diriwayatkan dari Asy-Syibli (rahimahullah) bahwa ia biasa mengatakan: “Allah,” tetapi tidak mengatakan “La ilaha.” Ketika ditanya alasannya, ia menjawab: “Aku khawatir jika aku mengucapkan kata penolakan (la ilaha), lalu aku tidak sempat mencapai kata penegasan (illa Allah).”

Komentar: Pendapat ini adalah bagian dari ilmu yang mendalam dan halus yang berasal dari sebagian ahli tasawuf. Namun, pemahaman ini tidak memiliki hakikat yang kuat, karena Allah sendiri di dalam Al-Qur’an menyebutkan konsep penafian dan penegasan ini berulang kali. Rasulullah ﷺ juga menjanjikan pahala besar bagi orang yang mengucapkan kalimat ini dengan ikhlas, seperti yang diriwayatkan dalam banyak hadis, termasuk oleh Imam Malik, Al-Bukhari, dan Muslim.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang akhir ucapannya adalah La ilaha illa Allah, maka ia akan masuk surga.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Namun, yang dimaksud bukan hanya ucapan di lisan, melainkan keyakinan di dalam hati. Jika seseorang mengucapkan “La ilaha” lalu meninggal dunia dengan keyakinan yang benar tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya, maka ia tetap termasuk ahli surga menurut kesepakatan Ahlus Sunnah.

Penutup:

Makna nama Allah “Al-Wahid” (Yang Esa), “La ilaha illa Hu” (Tidak ada Tuhan selain Dia), dan “Ar-Rahman Ar-Rahim” telah dibahas lebih mendalam dalam kitab “Al-Kitab Al-Asna fi Syarh Asma' Allah Al-Husna”. Segala puji bagi Allah.





Tafsir As-Samarqandi – As-Samarqandi (373 H)


(Surah Al-Baqarah, Ayat 163):
“Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”

Penjelasan Tafsir:

Firman Allah: “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa”

  • Maqatil berkata: 
  • Maksudnya adalah Tuhan kalian adalah Tuhan yang satu.

  • Adh-Dhahhak berkata: 
  • Orang-orang musyrik Arab memiliki 360 berhala yang mereka sembah selain Allah. Maka Allah menyeru mereka kepada tauhid dan keikhlasan dalam beribadah kepada-Nya dengan berfirman: “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa.”

Dikatakan juga bahwa ayat ini turun mengenai suatu kelompok dari kaum Majusi yang disebut Manawiyah. Pemimpin mereka dikenal dengan nama Mani. Ia berkata kepada kaumnya:
"Aku melihat segala sesuatu berpasangan dan berlawanan, seperti malam dan siang, cahaya dan kegelapan, panas dan dingin, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan. Yang cocok untuk satu hal tidak akan cocok untuk lawannya. Maka, siapa pun yang menciptakan cahaya dan kebaikan, tidak mungkin menjadi pencipta kegelapan dan keburukan. Oleh karena itu, mereka adalah dua pencipta: satu yang menciptakan kebaikan dan satu yang menciptakan keburukan."

Maka turunlah ayat ini: “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa,” yang berarti bahwa Pencipta kalian adalah Pencipta yang satu, yang menciptakan segala sesuatu.


Firman Allah: “Tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang”

  • Sebagian orang mengatakan bahwa kalimat ini setengahnya adalah kekufuran, yaitu: “Tidak ada Tuhan,” dan setengahnya adalah keimanan, yaitu: “selain Dia.” Namun, pendapat ini tidak benar, karena Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memerintahkan mereka mengucapkan: “La ilaha illallah.” Maka, tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu yang berupa kekufuran.

  • Sebagian lainnya mengatakan bahwa setengah pertama ayat ini telah dihapus (mansukh), sedangkan setengah kedua adalah pengganti (nasikh). Pendapat ini juga tidak sahih, karena sesuatu yang dihapus adalah hal yang sebelumnya diperbolehkan. Sedangkan kekufuran tidak pernah diperbolehkan.

  • Penjelasan terbaik mengenai ayat ini adalah:

    • Firman-Nya: “Tidak ada Tuhan” adalah penafian terhadap sesembahan orang-orang kafir.
    • Firman-Nya: “selain Dia” adalah penetapan bagi sesembahan kaum mukminin.

Atau bisa dikatakan:

  • “Tidak ada Tuhan” adalah penafian keilahian bagi yang tidak berhak memilikinya.
  • “Selain Dia” adalah penetapan keilahian bagi Allah yang memang berhak memilikinya.





Tafsir Al-Alusi – Al-Alusi (1270 H)
(Surah Al-Baqarah, Ayat 163):


“Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”


Penjelasan Tafsir:

Firman Allah: “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa”

Ayat ini, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas, turun ketika orang-orang kafir Quraisy berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, “Jelaskan kepada kami tentang Tuhanmu.”

Makna umum ayat:

  • Seruan ini bersifat umum, mencakup semua orang yang layak menerima seruan. Meskipun ayat ini memiliki konteks sebab turunnya, maknanya tidak terbatas pada konteks tersebut.
  • Kalimat ini disambungkan dengan ayat sebelumnya (“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan”) melalui kaitan cerita yang sama, yaitu:
    • Ayat sebelumnya untuk membuktikan kenabian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
    • Ayat ini untuk menetapkan keesaan Allah Ta’ala.

Pendapat lain:

  • Seruan ini ditujukan kepada orang-orang yang menyembunyikan kebenaran (Ahlul Kitab). Ayat ini mengingatkan mereka untuk tidak menyembunyikan keesaan Allah, karena mereka sering mengatakan bahwa Uzair dan Isa adalah anak-anak Allah.

Makna kata “Ilah”

  • Kata “Ilah” disandarkan kepada orang-orang yang diajak bicara dengan pengertian bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah, meskipun banyak berhala palsu yang disembah.
  • Pengulangan kata “Ilah” beserta deskripsi “Yang Esa” menunjukkan bahwa keesaan Allah adalah aspek utama yang menjadi pertimbangan. Tanpa penegasan ini, cukup dengan mengatakan, “Dan Tuhan kalian Esa.”

Makna “Yang Esa”

  • Mayoritas ulama menyatakan bahwa maksud “Yang Esa” adalah bahwa Allah tidak memiliki tandingan, tidak ada yang menyerupai-Nya, baik dalam Dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
  • Ada pula yang menafsirkan bahwa “Yang Esa” berarti Allah tidak terbagi-bagi, tidak mungkin dibagi, dan tidak memiliki komponen.
  • Pendapat yang paling benar adalah: Allah tidak memiliki tandingan atau keserupaan dalam hal keesaan-Nya dan hak-Nya untuk disembah. Allah adalah sumber segala kesempurnaan, bebas dari segala kekurangan.

Firman Allah: “Tidak ada Tuhan selain Dia”

  • Kalimat ini bisa diartikan sebagai:

    1. Berita kedua untuk menjelaskan kalimat sebelumnya.
    2. Sifat tambahan untuk penjelasan keesaan Allah.
    3. Kalimat sisipan yang memperkuat makna tauhid.
  • Menurut sebagian ulama, kalimat ini juga menghilangkan kesalahpahaman bahwa mungkin saja ada tuhan lain, tetapi tidak berhak disembah.

Makna “La Ilaha Illa Huwa”

  • Penafian dalam kalimat ini berlaku pada semua sesembahan palsu, menganggapnya seolah tidak ada, karena tidak memiliki dasar kebenaran.
  • Ada yang berpendapat bahwa penafian berlaku pada semua sesembahan, baik yang benar maupun yang salah. Pendapat ini lebih tepat karena sesembahan palsu memang eksis di dunia nyata, tetapi statusnya sebagai sesembahan yang benar tidak pernah ada.

Firman Allah: “Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang”

  • Dua nama ini adalah berita tambahan untuk memperjelas sifat Allah.
  • Penegasan ini menunjukkan bahwa semua nikmat, baik di dunia maupun di akhirat, bersumber dari Allah semata. Karena itu, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Semua makhluk bergantung kepada-Nya dalam keberadaan dan kesempurnaannya.  

Hubungan antara Nama “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” dengan Tauhid

Kedua nama ini—Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang)—menjelaskan sifat Allah yang menunjukkan betapa besar kasih sayang-Nya kepada semua makhluk. Hal ini memberikan penguatan terhadap konsep tauhid (keesaan Allah), karena:

  1. Allah sebagai satu-satunya sumber rahmat:

    • Segala bentuk nikmat dan kasih sayang yang dirasakan makhluk, baik di dunia maupun di akhirat, berasal dari Allah semata. Tidak ada makhluk lain yang memiliki kekuasaan untuk memberikan atau menahan rahmat-Nya kecuali atas izin-Nya.
    • Ini menjadi dalil rasional bahwa hanya Allah yang layak disembah dan dijadikan sandaran, karena Dia adalah pemberi segala kebutuhan hidup.
  2. Kaitan dengan konsep ibadah:

    • Karena rahmat-Nya meliputi semua makhluk tanpa diskriminasi, manusia wajib tunduk kepada-Nya dalam bentuk ibadah, ketaatan, dan pengabdian.
  3. Penghiburan bagi makhluk:

    • Sifat Ar-Rahman menunjukkan bahwa rahmat Allah mencakup seluruh makhluk, tanpa memandang status atau amal perbuatan mereka di dunia.
    • Sifat Ar-Rahim lebih khusus, karena menunjukkan rahmat yang abadi yang diberikan kepada hamba-hamba yang beriman, terutama di akhirat.

Kesimpulan Tafsir Ayat

  1. Tauhid (Keesaan Allah):
    Ayat ini secara jelas menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, tidak ada sekutu, tidak ada tandingan, dan tidak ada yang menyerupai-Nya.

  2. Penghapusan kemusyrikan:
    Penafian dalam kalimat “La Ilaha Illa Huwa” menghapuskan segala keyakinan tentang adanya tuhan-tuhan lain, baik yang nyata maupun yang hanya ada dalam pikiran.

  3. Penguatan keyakinan melalui sifat-sifat Allah:
    Nama-nama Allah seperti Ar-Rahman dan Ar-Rahim memperkuat keyakinan manusia akan sifat kasih sayang-Nya, yang memberikan semua bentuk rahmat kepada makhluk-Nya, baik di dunia maupun akhirat.

  4. Panggilan kepada semua manusia:
    Ayat ini adalah seruan universal yang mengajak semua manusia untuk mengenal Allah sebagai Tuhan yang Esa, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya, dan mengarahkan ibadah hanya kepada-Nya.

Semua penjelasan ini menunjukkan bahwa tauhid adalah inti dari ajaran Islam, dan sifat-sifat Allah memberikan dasar yang kuat bagi hamba-Nya untuk menjalankan ketaatan kepada-Nya dengan keyakinan penuh.




Tafsir As-Sa'di – Ayat 163 dari Surah Al-Baqarah


Allah Ta’ala, yang merupakan sebaik-baik yang berkata, memberitahukan bahwa "Ilah (Tuhan) kalian adalah Tuhan yang Esa", yakni Dia adalah satu-satunya yang Maha Tunggal dan tidak memiliki sekutu dalam zat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.

  • Tidak ada sekutu dalam zat-Nya: Tidak ada yang sebanding dengan-Nya.
  • Tidak ada sekutu dalam nama-nama-Nya: Tidak ada nama yang setara dengan nama-nama-Nya.
  • Tidak ada sekutu dalam sifat-sifat-Nya: Tidak ada yang menyerupai sifat-sifat-Nya.
  • Tidak ada sekutu dalam perbuatan-perbuatan-Nya: Tidak ada yang bisa menciptakan dan mengatur alam semesta selain Dia.

Kewajiban Beribadah Kepada Allah

Jika Allah adalah satu-satunya Tuhan yang Maha Esa, maka hanya Dia yang berhak untuk disembah dan diibadahi dengan segala bentuk ibadah. Tidak ada yang pantas dijadikan sekutu dalam ibadah kepada-Nya. Allah adalah "Ar-Rahman, Ar-Rahim", yang memiliki sifat rahmat yang begitu agung dan tidak ada yang menandinginya.

  • Rahmat-Nya mencakup segala sesuatu:
    Berkat rahmat-Nya, seluruh makhluk diciptakan, memperoleh segala bentuk kebaikan, serta terhindar dari berbagai keburukan.
  • Rahmat-Nya menjangkau semua makhluk hidup:
    Dengan rahmat-Nya, Allah memberikan petunjuk kepada manusia tentang diri-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah juga menjelaskan segala hal yang dibutuhkan manusia untuk kepentingan agama dan dunia mereka melalui pengutusan para rasul dan penurunan kitab-kitab suci.

Konsekuensi dari Rahmat Allah

Jika semua nikmat yang diterima manusia berasal dari Allah, sementara tidak ada satu makhluk pun yang dapat memberikan manfaat tanpa izin-Nya, maka hal ini menguatkan bahwa:

  • Allah adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan seluruh bentuk ibadah, seperti cinta, takut, harap, pengagungan, tawakal, dan berbagai macam ketaatan lainnya.
  • Sebaliknya, berpaling dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada makhluk adalah sebesar-besarnya kezaliman dan seburuk-buruknya keburukan.

Menyekutukan Allah dengan makhluk, baik itu berupa penyembahan kepada makhluk yang diciptakan dari tanah atau makhluk yang lemah dan tidak berdaya, adalah tindakan yang sangat tercela. Hal ini karena Allah adalah Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa, yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya.

Kandungan Ayat

Ayat ini menegaskan keesaan Allah (tauhid) dan keilahian-Nya, serta menafikan keilahian dari selain-Nya. Ayat ini juga menjelaskan bukti utama keesaan Allah, yaitu rahmat-Nya yang mencakup segala nikmat dan menolak segala bencana. Dengan demikian, ini menjadi dalil umum atas keesaan Allah Ta’ala.





Tafsir Nazhm ad Durar karya Al Biqo'i         Al Biqo'i  th : 885 H


Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa, tiada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. [Al-Baqarah: 163]

Ketika Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi mencurahkan kepada mereka (manusia) dari lautan hujjah (argumen) yang tersebar dengan ombak-ombaknya, dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dari syariat-syariat Islam dengan bentuk yang sempurna dan kokoh, serta ketika konteks yang telah disebutkan sebelumnya mengenai pahala bagi orang yang taat dan hukuman bagi yang durhaka telah mengarahkan kepada pemahaman bahwa maknanya adalah: "Maka Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Menghukum musuh-musuh-Nya dan Yang Maha Agung dalam keagungan-Nya."

Kemudian Dia menghubungkan pernyataan ini dengan firman-Nya: "Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa," sebagai pengulangan untuk memberikan peringatan kepada setiap orang munafik dan kafir serta sebagai pengingat dengan penuh kasih kepada setiap orang yang setia dan taat.

Dan karena yang dimaksud adalah bahwa keesaan itu dianggap sebagai hakikat dalam Dzat Tuhan yang sebenarnya, maka sama sekali tidak mungkin bahwa Tuhan yang hak itu terbagi dalam jenis, zat, sifat, perbuatan, atau dalam hal lainnya dengan cara apa pun. Maka Dia mengulangi kata "Tuhan" dengan firman-Nya: "Tuhan yang Esa," yakni yang sama sekali tidak terbagi dalam hal apa pun, baik dalam keserupaan maupun dalam hal lainnya. Dan meskipun demikian, Dia adalah "Tidak ada tuhan selain Dia."

Ini adalah penegasan terhadap keesaan Allah dengan menafikan selain-Nya dan menetapkan bahwa hanya Dia yang ada. Maka sama sekali tidak masuk akal dan tidak mungkin dalam pikiran bahwa ada sesuatu yang layak menjadi Tuhan selain Dia. Karena itu, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Hal ini karena Dia adalah "Yang Maha Pengasih" yaitu yang memberikan rahmat umum berupa nikmat yang bersifat sementara kepada wali-wali-Nya dan musuh-musuh-Nya, dan "Yang Maha Penyayang" yaitu yang memberikan rahmat khusus berupa nikmat yang kekal kepada wali-wali-Nya.

Maka, keesaan dalam ketuhanan menetapkan bahwa Dia memiliki seluruh keagungan, dan di tangan-Nya ada seluruh kemuliaan dan kekuasaan. Dengan sifat-Nya yang penuh rahmat, Dia mencurahkan nikmat yang besar maupun kecil. Maka segala sesuatu selain Dia hanyalah kenikmatan atau makhluk yang diberi nikmat oleh-Nya. Oleh karena itu, Dia adalah satu-satunya yang ditakuti atas siksaan-Nya dan diharapkan rahmat-Nya. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan melaknat siapa yang kafir kepada-Nya, serta menjadikan mereka kekal dalam azab tanpa ada yang mampu menghalangi-Nya.

Tidaklah jauh untuk dikatakan, meskipun jaraknya panjang, bahwa huruf "waw" dalam firman-Nya: "Dan Tuhan kalian" berfungsi sebagai penghubung terhadap firman-Nya di awal surah: "Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu" [Al-Baqarah: 29], sebelum firman-Nya: "Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi." [Al-Baqarah: 30].

Karena tauhid (keesaan Allah) adalah tujuan utama yang darinya seluruh ibadah muncul. Maka ketika Dia berfirman: "Wahai manusia, sembahlah Tuhan kalian" [Al-Baqarah: 21], Dia mengikutinya dengan firman-Nya: "Yang menciptakan kalian" [Al-Baqarah: 21] hingga akhir ayat dengan menyebutkan sifat-sifat yang menjadi dalil atas kelayakan-Nya untuk disembah.

Ketika dalil tersebut ditegakkan, Dia berfirman: "Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah." [Al-Baqarah: 22] Ini sebagai pemberitahuan bahwa Dia tidak memiliki sekutu dalam ibadah sebagaimana telah jelas bahwa Dia tidak memiliki sekutu dalam penciptaan.

Dia kemudian mengikuti ayat tersebut dengan apa yang sesuai dengan konteks itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemudian Dia kembali lagi kepada penegasan tauhid dengan firman-Nya: "Bagaimana kalian bisa kafir kepada Allah, padahal sebelumnya kalian mati, lalu Dia menghidupkan kalian." [Al-Baqarah: 28] hingga akhir ayat.

Kemudian Dia mengulangi dalil tersebut dalam bentuk yang lebih jelas dan lebih luas dibandingkan sebelumnya.

Ketika keesaan Allah telah ditetapkan secara sempurna tanpa adanya ruang untuk keraguan, pembahasan tentang tauhid ini menjadi lebih sesuai dengan ayat-ayat yang mendahuluinya, yaitu ayat-ayat yang menyebutkan berbagai urusan penting seperti penjelasan tentang orang-orang yang menyembunyikan kebenaran, orang-orang yang bertobat, dan orang-orang yang terus-menerus dalam kemaksiatan, serta balasan yang telah disiapkan untuk masing-masing golongan tersebut.

Oleh sebab itu, Allah mengikutkan ayat ini (Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa) sebagai penghubung kepada apa yang telah dijelaskan sebelumnya dengan cara yang lebih tegas dalam menetapkan tauhid. Hal ini merupakan penjelasan tentang apa yang menjadi kebenaran, serta sebagai isyarat bahwa Allah Maha Tinggi tidaklah seperti raja-raja dunia. Para raja dunia terkadang terhalang untuk memberikan pahala kepada sebagian orang yang taat atau menghukum sebagian orang yang bermaksiat karena adanya hambatan dari para pengikut mereka.

Namun, Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, tiada tandingan bagi-Nya, bahkan tidak ada yang mendekati-Nya (dalam kesempurnaan). Maka, tidak ada yang dapat menghalangi kehendak dan perintah-Nya.

Tidaklah mengherankan jika pengulangan dalil ini diperbolehkan, karena ini adalah kebiasaan para ahli balaghah (retorika) di mana salah seorang dari mereka, jika ingin menguatkan suatu argumen untuk maksud tertentu, ia memulai dengan dalil yang mencukupi, kemudian mengikutinya dengan menjelaskan hasil-hasil yang dapat dipetik darinya. Setelah itu, ia kembali menegaskan dalil tersebut dengan cara lain agar hati menjadi lebih tenang dan pikiran lebih yakin.

Terkadang dalil itu memiliki cabang-cabang yang panjang dan bercabang banyak, sehingga setiap bagian dijelaskan sesuai kebutuhan. Jika ia mendapati lawannya belum sepenuhnya tunduk, maka ia akan mengulangi dalil tersebut dalam bentuk yang berbeda, menghubungkannya dengan argumen sebelumnya sebagai pengingat. Ini adalah kebiasaan yang tidak asing dalam tradisi mereka, baik dalam dialog maupun pidato.

Barang siapa yang memperhatikan perdebatan al-Baqillani dan orang-orang semisalnya dari kalangan ulama yang memiliki hafalan luas dan mendalam dalam ilmu, ia akan memahami hal ini dengan baik.

Al-Haralli berkata:
Karena inti dari kitab suci ini adalah mengajak makhluk kepada kebenaran, pengenalan Hak Tuhan terhadap makhluk-Nya, serta penjelasan keistimewaan orang-orang yang dipilih oleh Allah Ta'ala dari kalangan yang terliputi oleh prinsip keimanan: para malaikat-Nya, nabi-nabi-Nya, dan rasul-rasul-Nya, serta siapa saja yang mengikuti mereka dari kalangan wali-wali dan kekasih-kekasih Allah. Juga pengungkapan bukti-bukti tersebut melalui mereka, sebagai penegakan hujah kepada orang-orang di bawah mereka untuk mengikat mereka kepada para pengikutnya.

Karena kerugian bagi makhluk adalah perpecahan, maka manfaat bagi mereka hanyalah melalui persatuan. Ketika Allah menjelaskan kepada mereka bahwa asal-usul mereka berasal dari kesatuan bapak, yaitu Adam, yang telah mengumpulkan seluruh keturunannya; dari kesatuan bapak Ibrahim, yang mengumpulkan agama Islam; dan dari kesatuan kenabian Muhammad ﷺ, yang mengumpulkan agama yang sempurna, maka menjadi jelas bagi mereka keburukan perpecahan dan perbedaan. Dan mereka memahami manfaat persatuan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini menjadi tanda akan pentingnya kembali kepada kesatuan ketuhanan, yaitu mengesakan Allah dalam kebenaran.

Dalam memahami kesatuan ini, ada berbagai tingkatan, mulai dari apa yang terlihat secara lahiriah seperti kesatuan ruh, jiwa, dan akal, hingga kesatuan yang lebih mendalam. Allah Ta'ala kemudian berfirman untuk menegaskan apa yang telah ditampakkan melalui kesatuan-kesatuan lahiriah ini: ‘Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa’. Jika buruknya perpecahan terlihat jelas dalam konteks kesatuan bapak manusia (Adam), maka bagaimana hal itu bisa diterima dalam konteks kesatuan bapak agama (Ibrahim), apalagi dengan kesatuan nabi yang menyempurnakan (Muhammad ﷺ), terlebih lagi dengan kesatuan Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Pemurah kepada seluruh makhluk-Nya, serta Maha Penyayang yang memberikan perhatian khusus kepada wali-wali dan kekasih-kekasih-Nya.

Maka Allah mengumpulkan mereka dalam kesatuan-Nya, yang menjadi asal dari segala kesatuan yang lain. Semua nama-nama Allah memiliki kesatuan yang akhirnya kembali kepada kesatuan ketuhanan yang hakiki. Ini adalah bentuk peribadatan kepada-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih sempurna daripada kesatuan Allah yang tidak dapat dicapai oleh akal maupun indera, karena Allah adalah yang Maha Gaib, tidak dapat dijangkau oleh zat, kuantitas, ataupun kualitas.

Kemudian, berdasarkan pengalaman dan kenyataan, telah terbukti bahwa kenyamanan ada dalam bersandar pada yang satu, sedangkan kelelahan terjadi dalam mengikuti banyak hal. Setiap yang banyak memiliki tujuan berbeda, yang seringkali bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, ajakan terbesar untuk mempersatukan makhluk adalah mengajak mereka kepada kesatuan ketuhanan, sebagaimana mereka diajak untuk berkumpul dalam nama rububiyah dalam firman-Nya: ‘Wahai manusia, sembahlah Tuhan kalian’ (QS. Al-Baqarah: 21).

Maka, seruan ini diangkat dari tingkatan rububiyah ke tingkatan ketuhanan, hingga akhirnya seruan itu mencapai Allah Yang Maha Esa. Ke-Esaan-Nya tertanam dalam fitrah seluruh makhluk dan merupakan sesuatu yang melekat secara alami dalam diri mereka, kecuali jika fitrah itu telah disimpangkan. Kesyirikan hanya terjadi pada tingkatan ketuhanan, bukan pada tingkatan rububiyah. Maka, seruan kepada kesatuan ketuhanan ini adalah inti dari ajakan untuk bersatu, dengan menambahkan nama ‘ilah’ kepada mereka sesuai dengan tingkat pemahaman mereka dalam beribadah.

Karena dalam ketuhanan terdapat dugaan yang keliru tentang banyaknya tuhan, Allah kemudian mengikutinya dengan kalimat tauhid: ‘Tidak ada Tuhan selain Dia.’ Ini adalah penolakan terhadap dugaan tersebut, tanpa menyebut nama Allah secara eksplisit untuk memberi ruang bagi seruan ini mencapai tingkatan yang lebih tinggi.

Dan karena tauhid dalam ketuhanan adalah perkara gaib dari Allah, maka Allah menjelaskannya melalui manifestasi sifat-Nya yang Maha Pengasih yang meliputi seluruh makhluk, serta sifat-Nya yang Maha Penyayang yang khusus bagi orang-orang pilihan-Nya. Hal ini dapat disaksikan dalam dunia ini melalui bukti-bukti rahmat-Nya yang umum maupun yang khusus.

Keseluruhan ayat ini mengandung keagungan yang luar biasa, dari keghaiban ketuhanan hingga puncak perhatian khusus dari sifat Maha Penyayang. Oleh karena itu, ayat ini bersama dengan ayat yang terdapat di awal surat Ali Imran, yaitu ‘Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Hidup, Yang Berdiri sendiri’ (QS. Ali Imran: 2), menjadi nama Allah Yang Maha Agung yang meliputi segala yang gaib dan nyata, menggabungkan sifat rahmat dan siksa dalam manifestasi-Nya, serta meliputi keagungan dalam esensi-Nya yang tersembunyi.

Dengan demikian, tingkatan tertinggi dari seruan ini adalah untuk mengangkat makhluk kepada keterikatan dengan nama Allah Yang Maha Agung, yang mengangkat mereka dari keterikatan rendah kepada diri mereka sendiri. Ini adalah bentuk awal perhatian khusus Allah kepada umat ini yang menjadi penutup risalah-Nya.”

Selesai.





Ensiklopedia Tafsir Ma'tsur – Institut Al-Syathibi


﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ﴾ [Al-Baqarah: 163]

﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ ۝١٦٣﴾ – Sebab Turunnya Ayat

4708 – Dari Abdullah bin Abbas, melalui jalur Al-Kalbi dari Abu Shalih: Ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang kafir Quraisy yang berkata, "Wahai Muhammad, jelaskan dan nisbatkan Tuhanmu kepada kami." Maka Allah menurunkan Surah Al-Ikhlas dan ayat ini. (HR Al-Tsauri).

4709 – Dari Abdullah bin Abbas, melalui jalur Juwaibir dari Al-Dhahhak: Orang-orang musyrik memiliki 360 berhala di Ka'bah yang mereka sembah selain Allah dengan kebohongan dan kejahatan. Maka Allah menjelaskan kepada mereka bahwa Dia adalah Tuhan yang Esa. Lalu turunlah ayat: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ﴾.

﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ ۝١٦٣﴾ – Tafsir Ayat

4710 – Dari Abdullah bin Abbas, melalui jalur Abu Rawq dari Al-Dhahhak: ﴿لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ﴾ maksudnya adalah keesaan Allah (tauhid).

4711 – Qatadah bin Sulaiman berkata: Allah berbicara kepada Ahli Kitab, ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ﴾ yang berarti Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa. Dia menegaskan keesaan-Nya, ﴿لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ﴾.

4712 – Dari Muhammad bin Ishaq, melalui jalur Salamah: ﴿لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ﴾, artinya tidak ada sekutu bagi-Nya dalam urusan-Nya.

﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ ۝١٦٣﴾ – Atsar yang Berkaitan dengan Ayat Ini

4713 – Dari Asma' binti Yazid bin As-Sakan, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Nama Allah yang Agung terdapat pada dua ayat ini: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ...﴾ dan ﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُ﴾ [Ali Imran: 1-2]."

4714 – Dari Anas, Nabi ﷺ bersabda:
"Tidak ada yang lebih berat bagi para jin yang durhaka selain ayat-ayat ini dalam Surah Al-Baqarah: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ﴾."

4715 – Dari Ibrahim bin Wathimah, melalui jalur ‘Iraak bin Khalid: Ayat-ayat yang dengannya Allah menghindarkan seseorang dari gangguan jiwa bagi siapa saja yang membaca setiap hari adalah: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ...﴾, Ayat Kursi, penutup Surah Al-Baqarah, ﴿إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضَ﴾ [Al-A’raf: 54-56], dan akhir Surah Al-Hasyr. Ayat-ayat ini dikatakan tertulis di sudut-sudut Arsy. Dia berkata, "Tulislah ayat-ayat ini untuk anak-anak kalian agar terlindung dari ketakutan dan gangguan jiwa."

Catatan:

  1. Riwayat pertama disebutkan oleh Al-Tsaury 2/31 dan sanadnya sangat lemah. (Lihat pengantar ensiklopedia).
  2. Riwayat kedua dikutip oleh Al-Wahidi dalam "Al-Wasith" 1/245 dan disebutkan oleh Al-Tsaury 2/32. Sanadnya juga sangat lemah.
  3. Riwayat ketiga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim 1/272.
  4. Riwayat lainnya berasal dari Tafsir Qatadah 1/153, Ibnu Abi Hatim 1/271, dan Abu Daud 2/613 (1496).





Tafsir Ibnu Abi Hatim — Ibnu Abi Hatim Al-Razi (327 H)


وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ

 [Al-Baqarah: 163]

Firman Allah: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ﴾ (Ayat 163)

[1460] Diriwayatkan kepada kami oleh Yahya bin Abdak Al-Qazwini, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Makki bin Ibrahim, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ubaidullah bin Abi Ziyad, dari Syahr bin Hawsyab, dari Asma’, yaitu binti Yazid, bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya di dalam dua ayat ini terdapat nama Allah yang agung: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ...﴾ dan ﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُ﴾ [Al-Baqarah: 255].”

[1461] Diriwayatkan kepada kami oleh Isham bin Rawwad, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Adam, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Ja’far Al-Razi, ia berkata: Diriwayatkan kepadaku oleh Sa’id bin Masruq dari Abu Dhuhha, mengenai firman Allah: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ﴾, ia berkata: Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang musyrik merasa heran dan berkata, “Muhammad mengatakan: Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah ia mendatangkan tanda jika ia benar.” Lalu Allah menurunkan ayat: ﴿إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ...﴾ [Al-Baqarah: 164] hingga firman-Nya: ﴿لَأٓيَـٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ﴾ [Al-Baqarah: 164].

[1462] Diriwayatkan kepada kami oleh ayahku, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Hudzaifah, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Syibl, dari Ibnu Abi Nujaih, dari Atha’, ia berkata: Ayat ini turun kepada Nabi ﷺ di Madinah:

  ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱ لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ﴾. Maka orang-orang kafir Quraisy di Mekah berkata: “Bagaimana mungkin satu Tuhan mencukupi seluruh manusia?” Lalu Allah menurunkan ayat:

  ﴿إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ...﴾ [Al-Baqarah: 164]. Dengan ayat-ayat ini, kalian akan mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Esa, Tuhan segala sesuatu, dan Pencipta segala sesuatu.

Firman Allah: ﴿لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ﴾

[1463] Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Zur’ah, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Minjab bin Al-Harith, ia berkata: Diberitakan kepada kami oleh Bisyr bin Umarah, dari Abu Rawq, dari Al-Dhahhak, dari Ibnu Abbas: ﴿لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ﴾, ia berkata: Ini adalah tauhid-Nya.

[1464] Diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad bin Yahya, ia berkata: Diberitakan kepada kami oleh Abu Ghassan, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Salamah, ia berkata: Muhammad bin Ishaq berkata: ﴿لَّاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ﴾ artinya tidak ada sekutu bagi-Nya dalam urusan-Nya.

Firman Allah: ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ﴾
Penjelasannya telah disebutkan sebelumnya.


Senin, 06 Januari 2025

MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN




Allah Ta'ala berfirman:

﴿إِنَّ ٱلَّذِینَ یَكۡتُمُونَ مَاۤ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَیِّنَـٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَیَّنَّـٰهُ لِلنَّاسِ فِی ٱلۡكِتَـٰبِ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ یَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَیَلۡعَنُهُمُ ٱللَّـٰعِنُونَ ۝١٥٩ إِلَّا ٱلَّذِینَ تَابُوا۟ وَأَصۡلَحُوا۟ وَبَیَّنُوا۟ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ أَتُوبُ عَلَیۡهِمۡ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِیمُ ۝١٦٠﴾ [البقرة ١٥٩-١٦٠]


“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat. Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka mereka itulah yang Aku terima taubatnya, dan Aku adalah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
([QS Al-Baqarah: 159-160])




Tafsir Ibnu Katsir (774 H)


Penjelasan Ibnu Katsir ( 774 H ) :

Ini adalah peringatan yang keras bagi orang-orang yang menyembunyikan apa yang dibawa oleh rasul-rasul, yaitu dalil-dalil yang jelas tentang tujuan yang benar dan petunjuk yang bermanfaat bagi hati, setelah Allah menjelaskannya dalam kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya.

Abu Al-Aliyah berkata: Ayat ini turun mengenai ahli kitab yang menyembunyikan sifat Muhammad ﷺ. Kemudian Allah mengabarkan bahwa mereka akan dilaknat oleh segala sesuatu atas perbuatan mereka tersebut. Sebagaimana seorang ulama yang setiap makhluk memintakan ampunan baginya, bahkan ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, tetapi orang-orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh para pelaknat. Dalam hadis yang diriwayatkan dengan berbagai jalur yang saling menguatkan, dari Abu Hurairah dan lainnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barang siapa yang ditanya tentang ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat dia akan disumbat mulutnya dengan belenggu dari api neraka."

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hassan bin 'Arafah berkata: Kami diberitakan oleh Ammar bin Muhammad dari Lais bin Abu Sulaim, dari Minhal bin Amr, dari Zadan Abu Umar, dari Al-Bara' bin Azib, dia berkata: "Kami bersama Nabi ﷺ dalam sebuah jenazah, lalu beliau bersabda: 'Sesungguhnya orang kafir akan dipukul di antara kedua matanya, dan setiap makhluk akan mendengar suara itu, kecuali jin dan manusia, dan semua makhluk akan melaknatnya.'"

Dalam penjelasan ini, dilihat bahwa mereka yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah, malaikat, dan seluruh makhluk, bahkan dalam keadaan yang sangat jelas dan tegas.

Namun, Allah memberi pengecualian bagi mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan apa yang dahulu mereka sembunyikan. Bagi mereka, Allah akan menerima tobat mereka, karena Dia adalah Penerima tobat yang Maha Penyayang.

Di akhir ayat, Allah mengingatkan bahwa orang yang mati dalam kekafiran akan tetap dilaknat dan azab mereka tidak akan dikurangi sedikit pun.


Allah kemudian menegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir akan mendapatkan laknat Allah, malaikat, dan seluruh umat manusia. Mereka akan kekal dalam laknat tersebut tanpa adanya keringanan dalam azab mereka. Dalam ayat tersebut, Allah menyatakan bahwa "azab mereka tidak akan diringankan" dan "mereka tidak akan diberi penundaan," yang menunjukkan bahwa hukuman bagi orang yang mati dalam kekafiran adalah abadi dan tidak akan ada kesempatan untuk mengubah nasib mereka.

Tobat dan Penerimaan Allah:

Kemudian Allah memberikan pengecualian bagi mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan apa yang dahulu mereka sembunyikan, yaitu mereka yang kembali kepada kebenaran, memperbaiki amal mereka, dan menyebarkan ilmu yang sebelumnya mereka sembunyikan. Bagi mereka ini, Allah berjanji untuk menerima tobat mereka. Allah menyebutkan bahwa Dia adalah "Tobat yang Maha Penerima" dan "Maha Penyayang." Ini menunjukkan bahwa pintu tobat tetap terbuka bagi siapa pun yang kembali kepada-Nya dengan hati yang tulus, tidak peduli seberapa besar dosa yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Peringatan tentang Kafiran yang Abadi:

Selanjutnya, Allah menegaskan bahwa bagi mereka yang tetap dalam kekafiran sampai akhir hayat mereka, akan dijauhkan dari rahmat Allah. Mereka akan terus dilaknat oleh Allah, malaikat, dan seluruh umat manusia, dan kekekalan mereka dalam neraka adalah azab yang tidak pernah berakhir. Ini menunjukkan keharusan untuk menjaga iman sampai akhir hayat dan untuk menghindari keadaan yang bisa menyebabkan kematian dalam kekafiran.

Ijma' dan Pandangan Ulama tentang Laknat terhadap Kafir:

Ibnu Katsir juga menambahkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang boleh atau tidaknya melaknat orang kafir. Ulama dari kalangan salaf seperti Umar bin Khattab dan para imam setelahnya, biasa melaknat orang-orang kafir, baik dalam doa qunut atau dalam konteks lainnya. Namun, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa melaknat individu tertentu yang kafir tidaklah dibolehkan, karena kita tidak tahu bagaimana akhirnya bagi mereka, apakah mereka akan mati dalam kekafiran ataukah akan ada kesempatan untuk bertobat sebelum ajal menjemput.

Salah satu dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat yang melarang melaknat individu kafir secara khusus adalah sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sahih Bukhari, di mana seorang lelaki yang sedang dalam keadaan mabuk dilaporkan oleh orang lain dengan mengatakan: "Semoga Allah melaknatnya, betapa sering dia datang (dalam keadaan mabuk)." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Jangan kamu melaknatnya, karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya." Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang melakukan dosa, jika dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka ia tidak boleh dilaknat secara langsung. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa kita harus berhati-hati dalam menghakimi orang lain, karena hanya Allah yang mengetahui akhir hidup seseorang.

Namun demikian, ulama lainnya, seperti Abu Bakar bin Al-Arabi dari mazhab Maliki, berpendapat bahwa melaknat orang kafir yang sudah jelas kekafirannya adalah diperbolehkan. Pendapat ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit menyatakan laknat terhadap orang kafir yang mati dalam keadaan kafir.

Kesimpulan:

Tafsir dari ayat ini memberikan peringatan yang keras terhadap mereka yang menyembunyikan kebenaran dan ilmu yang telah disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah sangat murka terhadap orang-orang yang menahan ilmu yang bermanfaat bagi umat manusia, dan mereka akan dilaknat baik oleh Allah, malaikat, maupun seluruh makhluk. Namun, bagi mereka yang bertobat dan memperbaiki diri, pintu tobat selalu terbuka.

Selain itu, ayat ini juga mengingatkan tentang pentingnya mempertahankan iman dan menghindari kekafiran, karena bagi mereka yang mati dalam kekafiran, laknat dan azab yang kekal akan menjadi balasannya. Oleh karena itu, kita diajarkan untuk selalu mencari ilmu yang benar, mengamalkannya, dan menyebarkannya untuk kebaikan umat, serta menjaga hati agar tetap dalam iman hingga akhir hayat.





Tafsir Ibnul Qayyim - Ibnul Qayyim (751 H)

QS. Al-Baqarah (159-160):


Tafsir Ibnul Qayyim:

Taubat orang-orang yang melakukan dosa dengan menyembunyikan keyakinan yang salah hanya dapat terjadi dengan mengikuti sunnah. Tidak cukup hanya dengan taubat, mereka harus menjelaskan kebatilan yang mereka ikuti sebelumnya. Sebab, taubat dari suatu dosa adalah dengan melakukan lawan dari dosa tersebut. Oleh karena itu, Allah mensyaratkan dalam taubat orang-orang yang menyembunyikan apa yang Allah turunkan agar mereka juga menjelaskan hal itu. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari bukti yang jelas dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam kitab-Nya, mereka itulah yang dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat. Kecuali mereka yang bertaubat, memperbaiki diri, dan menjelaskan kebenaran. Mereka itulah yang akan Aku terima taubatnya. Aku Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 159-160).
Dosa orang yang berbuat bid'ah lebih besar daripada dosa orang yang menyembunyikan kebenaran, karena yang satu menyembunyikan kebenaran, sementara yang lain menyembunyikan dan mengajak orang lain untuk mengikuti kebatilan.

Adapun taubat orang munafik, maka syaratnya adalah keikhlasan, karena dosa mereka terkait dengan riya. Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di bagian paling bawah dari neraka." (QS. An-Nisa: 145). Kemudian Allah berfirman: "Kecuali mereka yang bertaubat, memperbaiki diri, berpegang teguh pada Allah, dan mengikhlaskan agama mereka hanya untuk Allah. Mereka itulah yang akan bersama orang-orang beriman, dan Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang beriman." (QS. An-Nisa: 146).

Taubat bagi orang yang menuduh zina (qadzf) adalah dengan mengingkari dirinya sendiri, karena dia telah merusak kehormatan seorang Muslim yang terhormat. Oleh karena itu, taubat darinya hanya akan diterima jika dia mengingkari dirinya sendiri, yang bertujuan untuk menghapus kehormatan yang telah dia rusak dengan tuduhan tersebut.

Sedangkan orang yang berkata bahwa taubatnya cukup dengan mengatakan "Astaghfiru Allah" (Saya mohon ampun kepada Allah) dan mengakui keharaman tuduhan zina itu adalah pandangan yang lemah, karena itu tidak memberi manfaat bagi orang yang difitnah, dan tidak akan menghapus kehormatan orang yang dituduh. Untuk taubat dari dosa ini, ada dua hak yang harus dipenuhi: pertama, hak Allah berupa pengakuan atas haramnya menuduh zina; kedua, hak bagi orang yang difitnah, yaitu menghapus kehormatan yang telah dirusak. Oleh karena itu, taubatnya harus dengan mengingkari dirinya dan dengan penyesalan yang mendalam.

Jika seseorang berkata bahwa dia melihat sendiri perbuatan zina dan kemudian memberitahukannya, bagaimana mungkin dia harus mengingkari dirinya sendiri dan menuduh dirinya berbohong, meskipun apa yang dia katakan sesuai dengan kenyataan?

Jawabannya adalah: Ini adalah masalah yang sering dibahas oleh para ulama. Jika dia bersaksi tentang zina yang dia lihat, maka dia harus mengakui bahwa dia adalah seorang pendusta menurut hukum Allah. Meskipun apa yang dia katakan sesuai dengan kenyataan, jika dia tidak mengakui kebohongan menurut ketetapan hukum Allah, maka taubatnya belum lengkap. Allah berfirman, "Jika mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu adalah pendusta menurut hukum Allah." (QS. An-Nur: 13). Oleh karena itu, meskipun dia benar dalam ceritanya, selama ia tidak mengakui kebohongannya menurut hukum Allah, maka taubatnya tidak akan diterima.

Penjelasan lebih lanjut tentang penyimpangan orang-orang ahli kitab:
Allah telah menegur mereka karena melakukan pemalsuan dan menyembunyikan kebenaran. Allah berfirman: "Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang benar dengan yang batil dan menyembunyikan yang benar padahal kamu mengetahui?" (QS. Al-Imran: 71).
Allah juga berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Allah turunkan dalam kitab-Nya, dan mereka menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu tidak akan memakan apa-apa selain api di dalam perut mereka. Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang pedih." (QS. Al-Baqarah: 174).
Allah juga berfirman: "Hai ahli kitab, sesungguhnya rasul Kami telah datang kepada kalian untuk menjelaskan banyak hal dari kitab yang kalian sembunyikan, dan memaafkan banyak hal yang telah kalian sembunyikan. Telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang jelas." (QS. Al-Ma'idah: 15).
Perubahan dan penyelewengan dalam kitab suci terjadi dalam berbagai bentuk:

1. Mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan sehingga tidak ada yang dapat membedakan antara keduanya.


2. Menyembunyikan kebenaran.


3. Menyembunyikan dengan tujuan untuk mengelabui orang lain.


4. Mengubah kata-kata dalam kitab-Nya, yang meliputi dua jenis: perubahan lafaz dan perubahan makna.


5. Memutarbalikkan kata-kata dalam kitab-Nya untuk menyesatkan pendengar.



Semua ini dilakukan oleh mereka karena tujuan dan kepentingan pribadi mereka.






Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir – Ibn ‘Ashur (1393 H)


Penjelasan:

Ayat ini kembali kepada pokok pembicaraan sebelumnya, yang sebelumnya sempat diselingi dengan hukum mengenai sa’i antara Safa dan Marwah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Para mufasir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan ulama Yahudi yang menyembunyikan tanda-tanda kebenaran Nabi Muhammad ﷺ, sifat-sifatnya, dan karakteristik agamanya yang termuat dalam Taurat, juga menyembunyikan hukum rajam. Hal ini menunjukkan bahwa kata sambung dalam ayat ini mengacu pada sesuatu yang sudah diketahui (ma‘rifah khusus), sehingga tidak berlaku umum. Namun, menurut pandangan saya, kata sambung di sini bersifat umum dan mencakup seluruh jenis, sehingga dapat dipahami sebagai bentuk generalisasi yang berasal dari sebab tertentu, tetapi tidak terbatas hanya pada sebab tersebut.

Penggunaan kata yang bersifat umum ini mencakup setiap individu yang terlibat dalam sebab tertentu secara lebih kuat dibandingkan dengan individu-individu lain yang termasuk dalam cakupan makna umum. Sebab, indikasi terhadap individu yang menjadi sebab bersifat pasti, sementara indikasi terhadap selainnya bersifat dugaan.

Konteks:
Ayat ini muncul setelah penjelasan tentang sikap Bani Israil terhadap dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Ayat sebelumnya membahas bagaimana kaum Yahudi menolak kebenaran sebagaimana nenek moyang mereka menolak ajaran para nabi sebelumnya. Hal ini tercermin dalam firman Allah:
"Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya?”
([QS Al-Baqarah: 75])

Hingga firman-Nya:
"Dan tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, segolongan dari orang-orang yang diberi Kitab melemparkan Kitab Allah itu ke belakang punggung mereka."
([QS Al-Baqarah: 101])

Selanjutnya, ayat-ayat ini berlanjut untuk mengecam kaum musyrik yang tidak mematuhi wasiat Ibrahim. Mereka merasa bangga sebagai keturunan Ibrahim dan penjaga Ka‘bah, tetapi justru menghalangi rumah ibadah Allah sebagaimana dalam firman-Nya:
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang menghalangi menyebut nama Allah di masjid-masjid-Nya?”
([QS Al-Baqarah: 114])

Ayat ini juga menyinggung keutamaan Ka‘bah, kiblat, dan syiar-syiar terkait dengannya, serta membantah penolakan kaum Yahudi atas perpindahan kiblat ke arah Ka‘bah. Setelah semua itu dijelaskan, pembicaraan kembali kepada detail dakwaan atas mereka yang menyembunyikan kebenaran sebagaimana disebutkan secara ringkas sebelumnya dalam firman-Nya:
"Dan sesungguhnya sebagian dari mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui."
([QS Al-Baqarah: 146])

Makna:
Frasa “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan...” adalah permulaan pembahasan baru yang menjelaskan detail dari dakwaan yang sebelumnya disebutkan secara umum. Penegasan dengan “Sesungguhnya” menunjukkan perhatian yang lebih besar pada isi berita ini.

Kata kattama (menyembunyikan) dalam bahasa Arab berarti tidak menyampaikan sesuatu yang seharusnya disampaikan, baik itu berupa informasi yang didengar atau dilihat.

Penggunaan kata kerja bentuk mudhari‘ (sedang/akan) dalam “yak’tumuna” menunjukkan bahwa tindakan menyembunyikan ini sedang berlangsung, sehingga tidak hanya merujuk kepada generasi sebelumnya, tetapi juga mengacu pada ulama Yahudi yang hidup pada masa Nabi Muhammad ﷺ untuk memperkuat hujjah atas mereka.

Hukum bagi orang-orang terdahulu maupun yang akan datang dapat dipahami melalui petunjuk implisit dalam ungkapan ayat (lahan al-khitab), karena kedudukan mereka setara dalam hal ini. Yang dimaksud dengan “apa yang Kami turunkan” adalah kandungan Taurat berupa dalil-dalil dan petunjuk. Adapun yang dimaksud dengan “kitab” adalah Taurat.

Makna “Al-Bayyināt” dan “Al-Huda”
Al-Bayyināt adalah bentuk jamak dari bayyina, yang berarti dalil atau bukti yang jelas. Ini mencakup segala sesuatu yang termasuk dalam prinsip-prinsip syariat, yang menjadi dalil untuk banyak hukum. Juga mencakup dalil-dalil yang mengarahkan kepada sifat-sifat ketuhanan, keadaan para rasul, serta perjanjian yang diambil dari mereka untuk mengikuti setiap rasul yang datang dengan bukti-bukti kebenaran. Hal ini terutama berlaku bagi Rasul terakhir yang diutus di tengah-tengah “saudara-saudara Israel” (yakni orang Arab), yang kemunculannya terjadi di antara mereka dan risalahnya tersebar melalui mereka.

Al-Huda adalah segala sesuatu yang menjadi petunjuk kepada kebaikan, termasuk ayat-ayat hukum yang membawa kemaslahatan bagi manusia, baik dalam urusan pribadi maupun kehidupan sosial mereka.

Makna “Kitman” (Menyembunyikan)
Kitman (menyembunyikan) dapat dilakukan dengan beberapa cara:

1. Mengabaikan hafalan, pengajaran, dan pembelajaran.


2. Menghapusnya dari kitab itu sendiri secara langsung, sebagaimana firman Allah:
“Dan kalian menyembunyikan banyak hal...”
([QS Al-Baqarah: 77])


3. Menafsirkan teks dengan takwil yang jauh dari maksud syariat, karena menyembunyikan makna sejatinya merupakan bentuk penyembunyian kebenaran.


Ayat ini tidak menyebutkan objek langsung yang mereka sembunyikan, untuk memberikan makna umum, yaitu bahwa mereka menyembunyikan kebenaran dari semua pihak sehingga dapat terlupakan dan hilang sepenuhnya.


Kalimat “min ba‘di” terkait dengan kata kerja “yaktumūn” (menyembunyikan). Penyebutan keterangan waktu ini dimaksudkan untuk menambah tingkat kejahatan (tasyni‘) dari perbuatan menyembunyikan. Hal ini karena mereka menyembunyikan keterangan-keterangan yang jelas (al-bayyināt) dan petunjuk (al-hudā) setelah tidak adanya alasan untuk melakukannya. Jika saja mereka menyembunyikan sesuatu yang belum dijelaskan kepada mereka, maka mereka masih memiliki sebagian alasan dengan berkata, “Kami menyembunyikannya karena maknanya belum jelas bagi kami.” Tetapi bagaimana mungkin mereka menyembunyikan sesuatu yang telah dijelaskan dan diterangkan secara terang benderang di dalam Taurat?

Huruf “lām” dalam frasa “linnās” adalah lām ta‘līl (menunjukkan alasan). Artinya, Allah menjelaskan keterangan-keterangan itu di dalam kitab “karena manusia”. Maksudnya, Allah menghendaki agar hal tersebut diumumkan dan disebarluaskan, yakni Allah telah membuatnya jelas dan terang. Dalam hal ini, terdapat tambahan celaan terhadap mereka atas perbuatan menyembunyikan yang mereka lakukan. Hal ini karena tindakan mereka tidak hanya berupa penyembunyian terhadap kebenaran dan penghalangan manusia dari kebenaran itu, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak orang yang berhak mendapatkan keterangan tersebut, yaitu manusia yang menjadi tujuan penjelasan tersebut. Maka, perbuatan mereka ini adalah bentuk penyesatan dan kezaliman.

Adapun definisi “an-nās” di sini mencakup semua manusia secara umum (istighrāq). Hal ini karena Allah menurunkan syariat untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Istighrāq ini bersifat umum (urfi), yaitu manusia yang ditujukan untuk menerima syariat.


Frasa “ulā’ika” (mereka) adalah rujukan kepada orang-orang yang menyembunyikan kebenaran (alladhīna yaktumūn). Penempatan kata tunjuk ini di antara ism inna (subjek dari "inna") dan khabar-nya (predikat) bertujuan untuk memberikan perhatian bahwa hukum yang disebutkan setelahnya telah menjadi layak bagi mereka karena sifat-sifat yang disebutkan sebelumnya. Sifat-sifat tersebut menjadikan mereka seolah-olah dapat disaksikan langsung oleh pendengar, sehingga mereka dirujuk dengan kata tunjuk ini. Pada hakikatnya, kata tunjuk tersebut merujuk kepada sifat-sifat mereka. Oleh karena itu, penggunaan kata tunjuk ini memberikan isyarat bahwa sifat-sifat itulah yang menjadi sebab bagi hukum tersebut, seperti halnya dalam firman Allah: “Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Tuhan mereka” [QS. Al-Baqarah: 5].

Pemilihan kata tunjuk untuk menunjukkan sesuatu yang jauh (ulā’ika) dimaksudkan agar lebih memotivasi pendengar untuk merenungkan mereka dan memberikan perhatian kepada mereka, atau karena bentuk kata tunjuk seperti ini lebih sering digunakan dalam bahasa mereka.

Dalam ayat ini, terdapat dua isyarat yang menunjukkan alasan mengapa laknat dijatuhkan atas mereka yang menyembunyikan kebenaran:

1. Isyarat dari isim mawsūl (kata penghubung) yang menunjukkan alasan utama perbuatan tersebut, yaitu sifat-sifat mereka.


2. Isyarat dari ism isyārah (kata tunjuk) yang memberikan perhatian bahwa mereka benar-benar layak menerima hukum tersebut.


Dengan adanya penguatan kedua isyarat ini terhadap alasan (illat) hukuman, hal ini setara dengan menyebutkan alasan tersebut secara eksplisit.



Laknat adalah penyingkiran dari rahmat Allah disertai kehinaan dan kemurkaan. Dampaknya tampak di akhirat berupa kehilangan nikmat surga dan mendapatkan azab di neraka Jahannam. Sedangkan laknat manusia terhadap mereka adalah doa dari manusia agar Allah menjauhkan mereka dari rahmat-Nya dengan cara yang disebutkan.

Penggunaan fi‘il mudhāri‘ (kata kerja dalam bentuk sekarang/terus-menerus) dalam firman "yala‘anuhum" menunjukkan kontinuitas atau kebaruan peristiwa, meskipun diketahui bahwa Allah juga telah melaknat mereka sebelumnya. Hal ini karena setiap pendengar memahami bahwa tidak ada alasan untuk membatasi laknat Allah hanya pada waktu yang akan datang.

Demikian pula halnya dengan firman-Nya: "wayal‘anuhumul-lā‘inūn" (dan orang-orang yang melaknat juga melaknat mereka). Pengulangan kata kerja "yala‘anuhum" meskipun sebenarnya huruf penghubung sudah cukup untuk menggantikannya, bertujuan untuk menunjukkan perbedaan makna antara laknat dari Allah dan laknat dari manusia. Laknat dari Allah berarti penyingkiran dari rahmat-Nya, sedangkan laknat dari manusia adalah doa agar mereka dijauhkan dari rahmat-Nya.

Hal ini berkebalikan dengan yang disebutkan dalam firman Allah: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi" [QS. Al-Ahzab: 56],
 karena sebenarnya shalawat dari Allah dan para malaikat memiliki makna yang sama, yaitu berupa pujian yang baik terhadap Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. 


Al-ta‘rīf (definisi) pada kata "al-lā‘inūn" (orang-orang yang melaknat) menunjukkan makna istighrāq, yakni mencakup semua orang yang melaknat. Namun, istighrāq di sini adalah istighrāq ‘urfī (berdasarkan kebiasaan atau pemahaman umum), artinya bahwa setiap orang yang melaknat akan melaknat mereka (yang menyembunyikan kebenaran).

Yang dimaksud dengan "al-lā‘inūn" di sini adalah orang-orang beragama yang mengingkari kemungkaran dan pelakunya, yang merasa marah demi Allah, serta mengetahui perbuatan menyembunyikan kebenaran oleh mereka (Bani Israil). Orang-orang ini melaknat pelaku secara spesifik jika mereka mengetahui pelaku tersebut, atau melaknat mereka secara umum ketika mereka melaknat siapa saja yang menyembunyikan ayat-ayat kitab saat membacakan Taurat.

Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil untuk menjelaskan isi Taurat dan tidak menyembunyikannya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

"Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang diberi kitab (yaitu): 'Hendaklah kamu benar-benar menjelaskan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya'" [QS. Ali Imran: 187].

Di dalam Taurat, disebutkan berkali-kali tentang laknat atas pelanggaran perjanjian dengan Allah. Yang paling terkenal adalah perjanjian yang diambil Musa atas Bani Israil di Gunung Horeb, sebagaimana tercatat dalam Kitab Keluaran, pasal 24. Selain itu, terdapat perjanjian di Moab, yang di dalamnya disebutkan laknat bagi siapa saja yang melanggar perjanjian itu. Hal ini tercatat dalam Kitab Ulangan, pasal 28 dan 29, di mana dikatakan:

"Kalian semua sedang berdiri hari ini di hadapan Tuhan Allahmu... untuk masuk ke dalam perjanjian dengan Tuhan dan sumpah-Nya... supaya tidak ada di antara kalian yang berpaling dari Tuhan."


Maka, ketika seseorang mendengar kata-kata kutukan ini, dia akan merasa diberkati di dalam hatinya… Ketika itu, murka dan kecemburuan Tuhan akan turun atas orang tersebut. Maka semua kutukan yang tertulis dalam kitab ini akan menimpa dirinya, dan Tuhan akan menghapus namanya dari bawah langit. Tuhan akan memisahkannya dari seluruh suku Israel sesuai dengan semua kutukan perjanjian yang tertulis dalam kitab syariat ini… agar kita melaksanakan seluruh kata-kata syariat ini.

Dalam pasal 30 disebutkan:
"Ketika semua hal ini datang kepadamu, yaitu berkat dan kutukan yang telah Aku tempatkan di hadapanmu."

Juga disebutkan:
"Aku memanggil langit dan bumi sebagai saksi terhadap kamu hari ini bahwa Aku telah meletakkan di hadapanmu kehidupan dan kematian, berkat dan kutukan."

Oleh karena itu, firman Allah "dan orang-orang yang melaknat mereka akan melaknat mereka" mengingatkan mereka tentang kutukan yang tercantum dalam Taurat. Taurat selalu dibacakan di antara mereka. Maka, setiap kali para pembaca membaca ayat ini, kutukan terhadap orang-orang yang dimaksud akan diperbarui.

Adapun mereka yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan berupa penjelasan dan petunjuk juga membaca Taurat. Ketika mereka membaca kutukan bagi orang-orang yang menyembunyikan (kebenaran), mereka sebenarnya sedang melaknat diri mereka sendiri dengan lisan mereka.

Namun, orang-orang yang melaknat pelaku kejahatan dan orang-orang zalim, tanpa menyembunyikan apa yang telah diturunkan berupa penjelasan dan petunjuk, tidak termasuk dalam cakupan umum ini. Oleh karena itu, cakupan istighrāq (generalitas) yang dipahami dari definisi "al-lā‘inūn" dengan menggunakan alif-lam (ال) adalah cakupan yang bersifat ‘urfī (sesuai konteks umum).


Seorang ulama diharamkan menyembunyikan ilmu yang mengandung petunjuk bagi manusia, karena menyembunyikan petunjuk berarti menjerumuskan ke dalam kesesatan. Hal ini berlaku baik untuk ilmu yang diperoleh melalui berita seperti Al-Qur'an dan hadis sahih, maupun ilmu yang diperoleh melalui ijtihad, selama ijtihad tersebut telah mencapai tingkat dugaan kuat (ghalabat al-zann) bahwa ilmu itu membawa kebaikan bagi umat Islam.

Sebaliknya, seorang ulama juga diharamkan, berdasarkan qiyas yang menunjukkan alasan yang sama, menyebarkan di tengah masyarakat sesuatu yang dapat menimbulkan kebingungan, yaitu dengan menyampaikan kepada mereka hal-hal yang tidak dipahaminya atau tidak mampu ditafsirkan dengan baik. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sampaikan kepada manusia apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasul-Nya didustakan?"

Demikian pula, segala sesuatu yang diketahui bahwa masyarakat tidak mampu menempatkannya dengan benar seharusnya tidak disampaikan kepada mereka.

Dalam Shahih al-Bukhari, diceritakan bahwa al-Hajjaj berkata kepada Anas bin Malik:
"Ceritakan kepadaku hukuman terberat yang pernah dijatuhkan Nabi." Maka, Anas menceritakan kepada al-Hajjaj tentang kisah orang-orang 'Uraniyyun, yaitu mereka yang membunuh penggembala, merampas ternak, lalu Nabi ﷺ memotong tangan dan kaki mereka, mencungkil mata mereka, dan meninggalkan mereka di al-Harrah dalam keadaan kehausan sampai mereka mati.

Ketika hal itu sampai kepada Hasan al-Bashri, beliau berkata:
"Aku berharap dia tidak menceritakannya kepadanya (al-Hajjaj). Bukankah mereka akan memanfaatkan zahir hadis ini sesuai hawa nafsu mereka, lalu menjadikannya alasan untuk membenarkan kezaliman mereka terhadap manusia?"


Ibnu 'Arafah berkata dalam tafsirnya:
"Tidak halal bagi seorang ulama untuk menyampaikan kepada orang zalim sebuah takwil atau keringanan yang dapat dimanfaatkan olehnya untuk berbuat kerusakan. Contohnya, seperti seseorang yang menyebutkan kepada penguasa zalim apa yang dikatakan oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din, bahwa jika Baitul Mal dalam keadaan lemah dan penguasa terpaksa memerlukan dana untuk membiayai pasukan muslimin demi menolak bahaya yang mengancam mereka, maka tidak mengapa bagi penguasa untuk menetapkan pajak sebesar sepersepuluh atau lainnya kepada masyarakat guna mendirikan pasukan dan memenuhi kebutuhan yang mendesak."

Ibnu 'Arafah berkata:
"Penyebutan pendapat semacam ini dapat menimbulkan kerusakan besar di kalangan masyarakat."

Diceritakan bahwa Sultan Qurtubah, Abdurrahman bin Mu'awiyah al-Dakhil, pernah bertanya kepada Yahya bin Yahya al-Laythi tentang kejadian di mana ia sengaja berbuka puasa di bulan Ramadan karena dorongan syahwat terhadap salah seorang budak wanitanya. Yahya bin Yahya memberikan fatwa bahwa ia harus berpuasa selama enam puluh hari berturut-turut sebagai kafarat. Para fuqaha yang hadir saat itu tidak berani menentang pendapat Yahya.

Namun, ketika mereka keluar, mereka bertanya kepadanya:
"Mengapa engkau memberikan fatwa dengan memilih satu dari tiga pilihan kafarat (tanpa menyebut dua lainnya)?"

Yahya menjawab:
"Jika aku membuka pintu (keringanan) baginya dengan menyebut dua pilihan lainnya, yaitu membebaskan budak atau memberi makan orang miskin, niscaya ia akan terus melakukan pelanggaran ini setiap hari, lalu cukup membebaskan budak atau memberi makan. Oleh karena itu, aku memberatkan hukumannya dengan memilih yang paling sulit agar ia tidak mengulanginya."

Ibnu 'Arafah berkata:
"Dengan menyembunyikan dua pilihan kafarat darinya, Yahya sebenarnya telah menerapkan dalil untuk menolak kerusakan yang lebih besar, yaitu keberanian melanggar kewajiban puasa."


Seorang alim (ulama), jika telah ditugaskan secara spesifik untuk menyampaikan ilmu atau menjelaskan hukum syariat, maka wajib baginya untuk melakukannya, sebagaimana para sahabat yang diutus oleh Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan surat-surat beliau atau mendakwahi kaum mereka. Namun, jika ia tidak ditugaskan secara spesifik, maka tidak terlepas dari dua keadaan:

1. Jika ilmu yang ia miliki merupakan hal yang hanya ia ketahui secara khusus, misalnya ia satu-satunya yang menguasai ilmu tersebut di suatu daerah atau negeri, sehingga orang-orang tidak dapat mempelajarinya dari selain dirinya, atau sulit mendapatkannya. Apalagi jika ketidaktahuannya akan menyebabkan kesesatan, seperti ilmu tauhid dan dasar-dasar akidah. Dalam keadaan ini, wajib secara individu (fardhu 'ain) baginya untuk menyampaikan ilmu tersebut jika ia satu-satunya yang mengetahuinya di zaman atau negeri itu, atau jika ia yang paling ahli dalam ilmu tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya manusia menjadi pengikut kalian, dan sungguh akan ada orang-orang yang datang kepada kalian untuk memahami atau mempelajari. Jika mereka datang kepada kalian, maka perlakukanlah mereka dengan baik.”


2. Jika ilmu tersebut juga dimiliki oleh orang lain yang setara dengannya, maka kewajibannya bersifat fardhu kifayah (kolektif), sehingga menjadi tanggung jawab semua yang mengetahuinya.


Adapun jika yang ia ajarkan adalah rincian hukum atau manfaat-manfaat tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat atau sebagian dari mereka, maka kewajiban menyampaikan itu bisa menjadi fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, tergantung pada kebutuhan masyarakat terhadap penjelasan tersebut. Jika ia ditugaskan untuk mengajar sekelompok orang tertentu, maka wajib baginya untuk mengajarkan mereka apa yang menurutnya bermanfaat bagi mereka, sesuai dengan kemampuan mereka untuk memahaminya dan cara penyampaiannya yang baik. Oleh karena itu, wajib bagi seorang alim yang didatangi oleh orang-orang untuk belajar agar menyampaikan kepada mereka ilmu yang dapat mereka terima dan pahami.

Dari sini terlihat bahwa terdapat banyak tingkatan dalam menyembunyikan ilmu, dan yang paling tinggi tercakup dalam ayat ini. Tingkatan lainnya dapat dipahami melalui analogi. Hal ini juga berlaku bagi jawaban seorang alim terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Jika ia satu-satunya yang mengetahui jawaban tersebut atau ia secara khusus ditugaskan untuk menjawabnya, seperti seseorang yang ditunjuk untuk memberikan fatwa di suatu wilayah tertentu, maka wajib baginya untuk menjawab jika ia mengetahui kebutuhan si penanya. Kewajiban ini, apakah bersifat individu atau kolektif, bergantung pada dua kondisi yang telah disebutkan sebelumnya.

Adapun dalam keadaan lain, ia memiliki kebebasan untuk menjawab atau tidak. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh keempat kitab Sunan, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu lalu menyembunyikannya, maka Allah akan mengikatnya dengan tali kekang dari api neraka pada hari kiamat,” dipahami memiliki pembatasan berdasarkan keadaan individu dan kondisi yang didukung oleh dalil-dalil, sebagaimana telah disebutkan secara umum. Al-Qurthubi mengutip dari Sahnun bahwa hadis ini terkait dengan menyembunyikan kesaksian dalam hak memberikan kesaksian.

Tanggung jawab seorang alim dalam menempatkan dirinya sesuai dengan posisi yang pantas baginya di antara tingkatan yang telah disebutkan bergantung pada apa yang ia rasakan dalam dirinya, dan apa yang ia yakini akan menjaga agamanya dan kehormatannya.

Tanggung jawab untuk mengetahui keadaan para penanya juga ada padanya, agar ia dapat memperlakukan mereka sesuai dengan keadaan mereka dan situasi yang melingkupi mereka. Jika ia ragu tentang dirinya atau keadaan si penanya, maka hendaknya ia berkonsultasi dengan ahli ilmu dan pandangan dalam agama.

Ia juga tidak boleh lalai dari hikmah dalam ungkapan firman Allah, “dan petunjuk” sehingga menjadi pedoman bagi apa yang akan terjadi akibat menyembunyikan ilmu yang disembunyikan.

Firman-Nya: “Kecuali mereka yang bertaubat,” adalah pengecualian dari orang-orang yang menyembunyikan ilmu, artinya mereka tidak terkena laknat. Ini adalah pengecualian sejati yang diputuskan di akhir pernyataan “orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan...”

Syarat taubat adalah memperbaiki apa yang telah mereka rusak dengan menampakkan apa yang mereka sembunyikan dan menjelaskannya kepada manusia. Maka, tidak cukup hanya dengan pengakuan mereka saja atau pengakuan dalam kesendirian mereka. Dalam hal ini, taubat berarti beriman kepada Muhammad ﷺ, karena iman merupakan bentuk kembalinya mereka dari menyembunyikan kesaksian tentangnya yang tercantum dalam kitab-kitab mereka.

Penggunaan kata taubat untuk menyebut keimanan setelah kekufuran sering digunakan, karena iman adalah taubat seorang kafir dari kekufurannya. Tambahan setelahnya, “dan memperbaiki serta menjelaskan,” menunjukkan bahwa syarat setiap taubat adalah bahwa pelaku dosa harus memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki dari apa yang ia rusak dengan perbuatannya yang ia taubati.

Mungkin penghubungan antara “memperbaiki” dan “menjelaskan” adalah hubungan tafsir. Firman-Nya: “Maka mereka itulah yang Aku terima taubatnya,” adalah kalimat independen yang tidak hanya sebagai penjelasan, tetapi memberikan manfaat tambahan. Karena ketika Allah mengecualikan orang-orang yang bertaubat, pernyataan telah selesai, dan pendengar memahami bahwa orang-orang yang bertaubat dari menyembunyikan ilmu tidak dilaknat oleh Allah dan tidak dilaknat oleh yang melaknat.

Penggunaan kata ganti tunjuk dalam pernyataan ini menambahkan alasan, dan ini adalah gaya bahasa yang indah. Kalimat tersebut dihubungkan dengan “fa” untuk menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar makna pengecualian, yaitu bahwa taubat mereka diikuti oleh keridhaan Allah kepada mereka.

Dalam Shahih Bukhari, dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada seorang pria yang berada di tempat berbahaya, bersama untanya yang membawa makanan dan minumannya, kemudian ia tertidur lalu terbangun mendapati untanya telah hilang, hingga ia sangat kehausan dan kelaparan. Lalu ia berkata, ‘Aku akan kembali ke tempatku,’ dan ia pun kembali, lalu tidur lagi. Ketika ia bangun, ternyata untanya telah kembali berada di dekatnya.”

Ayat ini mengandung susunan yang indah, dengan makna bahwa pengecualian bagi mereka yang bertaubat adalah mereka terbebas dari laknat dan Allah menerima taubat mereka. Penggunaan kata ganti tunjuk memperkuat makna ini, dan ini merupakan keringkasan yang sangat indah.





Tafsir AS Sa'di  (1376 H)



Ayat ini, meskipun turun terkait dengan Ahli Kitab dan apa yang mereka sembunyikan tentang keadaan Rasul ﷺ dan sifat-sifatnya, namun hukumannya berlaku umum bagi siapa saja yang melakukan tindakan menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah ﴿
مِنَ الْبَيِّنَاتِ﴾
 yaitu dalil-dalil yang menunjukkan kebenaran dan memperlihatkannya, dan
 ﴿وَالْهُدَى﴾
 yaitu ilmu yang dengannya seseorang mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus, serta membedakan jalan orang-orang yang mendapat nikmat dengan jalan orang-orang yang celaka. Sesungguhnya Allah telah mengambil janji dari para ulama untuk menjelaskan kepada umat apa yang Allah anugerahkan kepada mereka berupa ilmu kitab dan tidak menyembunyikannya. Barang siapa yang meninggalkan itu dan menggabungkan dua keburukan, yaitu menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dan menipu hamba-hamba-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
 ﴿يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ﴾ 
yaitu dijauhkan dan diusir dari kedekatannya dan rahmat-Nya.

﴿وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ﴾
 yaitu laknat dari seluruh makhluk, mereka mendapat laknat dari seluruh ciptaan karena perbuatan mereka yang menipu makhluk dan merusak agama mereka, serta menjauhkan mereka dari rahmat Allah. Mereka mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka, sebagaimana orang yang mengajarkan kebaikan, maka Allah dan malaikat-malaikat-Nya mendoakannya, bahkan ikan-ikan di lautan pun mendoakannya, karena usahanya untuk kebaikan makhluk dan memperbaiki agama mereka, serta mendekatkan mereka kepada rahmat Allah. Sebaliknya, orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah bertentangan dengan perintah Allah, melawan-Nya, karena Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada umat manusia dan menjelaskannya, sementara dia mengaburkannya. Maka, baginya ancaman yang sangat berat.