Senin, 04 November 2013

KEWAJIBAN SUAMI KEPADA ISTRI

Alhamdulillah, wassholatu wassalamu 'ala Rosulillah, wa ba'du;

Allah Ta'ala telah menetapkan hak-hak bagi suami dan istri, hak yang imbang dengan kewajiban masing-masing, Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya kalian wahai para suami memiliki kewajiban yang harus kalian tunaikan kepada para istri, dan para istri memiliki kewajiban yang harus ditunaikan kepada para suami". (HR.Tirmidzi).

Allah Ta'ala berfirman: "Dan para istri memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut(ma'ruf), dan para suami memiliki kelebihan di atas mereka". (QS.Al-Baqoroh: 228).

Adapun hak yang berkaitan antara suami-istri terdiri dari tiga bentuk, yang pertama hak yang bersekutu antara istri dan suami, yang kedua apa yang menjadi hak khusus dari istri, yang ketiga apa yang menjadi hak khusus untuk suami. Hak-hak tersebut nantinya akan dimintai pertanggung-jawaban di hadapan Allah, hendaknya pasutri menjaga hak ini, jangan sampai meremehkannya.

Adapun hak yang berkaitan dengan harta, diantaranya sebagai berikut:
- Memberi mahar atau maskawin tatkala diadakannya akad nikah yang menjadi tanda keseriusan dalam menikah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan berikanlah para wanita calon istri kalian mahar/mas kawin mereka sebagai pemberiyan yang penuh kerelaan". (QS.An-Nisaa': 4).

Allah Ta'ala berfirman: "Dan berilah mereka maskawin yang pantas". (QS.An-Nisaa': 25).

Berkata Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabat Abdurrahman ibnu Auf radhiyallahu'anhu, "Apa yang kamu berikan sebagai maskawin?" (HR.Bukhory Muslim)

Mahar merupakan hak istri, maka tdk dibolihkan bagi suami atau para wali istri untuk mengambil hak mahar ini. Allah Ta'ala berfirman: "Jika kalian telah memberikan kepada para istri harta yang banyak (mahar) maka janganlah kaliyan mengambil kembali sedikitpun darinya". (QS.An-Nisaa': 20).

Memberi nafkah kepada istri yang dirasa cukup menurut timbangan syar'i, dari aneka makanan, pakaian, tempat tinggal, sesuai kemampuan suami tidak berlebihan dan tidak kurang. Allah Ta'ala berfirman: "Dan para suami berkewajiban memberi nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut". (QS.Al-Baqoroh: 233).

Allah Ta'ala berfirman: "Hendaknya orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani hamba melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya". (QS.At-Tholak: 7).

Allah Ta'ala berfirman: "Berilah tempat tinggal mereka (para istri) dimana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian". (QS.At-Tholaq: 6)

Di dalam ayat muliya ini perintah agar memberikan tempat tinggal yang bermakna agar memberi nafkah, dikarenakan tempat tinggal bagian dari nafkah. Berkata Ibnu Kudamah, "Jika di dalam ayat terdapat perintah agar memberikan tempat tinggal bagi istri yang ditalak, maka istri yang dalam tidak ditalak lebih utama". Secara akal, wanita tidak diwajibkan untuk menafkahi dirinya dengan keluar rumah untuk bekerja mencari penghasilan, akan tetapi diperintahkan agar berdiam di rumah dalam rangka mengabdikan diri kepada suami, jika ia dilarang untuk mencari penghasilan maka hendaknya kebutuhannya dicukupi dengan cara dinafkahi.

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Hendaknya kalian para suami bertakwa kepada Allah terhadap para istri, kalian mengambil wanita untuk menjadi istri sebagai amanah Allah, kaliyan menghalalkan hubungan dengan kalimat Allah". (HR. Muslim).

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Hendaknya kalian memberi makan para istri dari apa yang kalian makan, hendaknya kalian memberi pakaiyan dari apa yang kaliyan pakai". (HR. Abu Dawud).

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada hindun bintu utbah radhiyallahu'anha, tatkala suaminya Abu Sufyan tidak memberikan nafkah, maka beliau bersabda, "Ambillah dari harta Abu Sufyan yang sekiranya mencukupi dirimu dan anak mu". (HR. Bukhari).

- Bermuasyaroh (memperlakukan) istri dengan sesuatu yang ma'ruf, yaitu dengan perilaku yang mendatangkan cinta kasih, saling sayang, sesuai tabiat yang tidak melawan arus syariat. Allah Ta'ala berfirman: "Dan pergaulilah mereka para istri dengan perilaku yang makruf". (QS.An-Nisaa': 19).

Perintah di dalam ayat diatas merupakan perkara yang wajib, sebagaimana dipertegas dalam sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, "Dan aku wasiatkan hendaknya kalian bersikap baik pada para wanita". (HR.Muslim).

Agama islam menganjurkan umatnya agar bermuamalah kepada para wanita dengan cara yang ma'ruf, perilaku yang baik, bahkan menjadikan tolak ukur kebaikan adalah sebaik-baik suami adalah baik kepada istrinya, karena istri adalah manusia yang paling berhak untuk diperlakukan dengan ma'ruf, dengan santun, lembut, kasih sayang, nafkah, dan seterusnya. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik kalian -wahai para lelaki- adalah yang paling baik bersikap kepada keluarganya". (HR.Tirmidzy).

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Paling sempurna dari kalian keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istri-istri kalian". (HR Tirmidzy).

Maksud dari dalil-dalil di atas adalah agar berbuat baik dan mendatangkan cinta kasih serta lemah lembut dalam bermuasyaroh antara keduanya, hingga mendatangkan kelanggengan hubungan rumah tangga.

Diantara bentuk muasyaroh yang ma'ruf antara lain:
- Berhati lembut kepada pasangan dan menjaga penampilan di hadapannya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam terhadap para istrinya Umahatul Mukminin, yang mana akhlak Nabi indah dalam memperlakukan para istrinya, bercanda, berlembut hati, memberikan kelonggaran dalam nafkah, bahkan Nabi berlomba bersama 'Aisyah hingga terlihat senang akan hal itu. Dan tidak diragukan lagi bahwa menyakiti istri dengan perkataan dan perbuatan, bermuka masam, berpaling darinya merupakan bertentangan dengan bermuasyaroh yang baik.

Berkata imam Al-Qurtuby menafsirkan QS An-Nisaa': 19, "Yaitu bermuasyaroh dengan baik sebagaimana yang diperintahkan Allah, yaitu dengan memberikan mahar dan nafkah, tidak bermuka masam, tidak berkata-kata kasar, sedangkan Allah memerintahkan kita agar bersikap baik jika menjadikannya sebagai pasangan hidup, hingga mendapatkan ketenangan dan kelembutan dalam mengarungi kehidupan ini.

Diantara perbuatan yang bertentangan dengan muasyaroh yang baik adalah tidak berhias dan berpenampilan indah di hadapan para istri, berkata Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu, "Sungguh aku sangat senang berhias dan berdandan dihadapan para istri-istriku, sebagaimana aku sangat senang jika mereka para istri berhias dan bersolek untukku, hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Dan mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut(ma'ruf)". (QS.Al-Baqoroh: 228).

Berhias untuk istri beragam bentuknya sesuai keadaan masing-masing seperti memakai wangian, bersiwak, berminyak rambut dan menyemirnya jika telah berubah, dan aneka ragam hingga mendatangkan kegembiraan para istri.

Diantara bentuk muasyaroh yang baik adalah bersikap lembut, dan bercengkrama sesuai kadar usia mereka. Berkata 'Aisyah radhiyallahu'anha hari aku pergi bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam sedangkan aku adalah masih sangat belia, belum berbadan besar dan gemuk, maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat, "Berjalanlah di depan", maka para sahabat berjalan mendahului di depan, maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku, "Kemarilah aku berlomba denganmu", maka aku mengalahkan beliau dan aku memenangkannya, maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam mendiamkanku. Hingga aku berbadan berat dan berisi, dan ketika safar bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam di waktu yang lain, mengajakku berlomba lagi, maka aku mendahului Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi beliau kemudian mendahuluiku dan mengalahkanku, dan Nabi tertawa seraya berkata, "Ini balasan yang dahulu". (HR.Ahmad dan Abu Dawud). 'Aisyah radhiyallahu'anha berkata, "Dahulu orang-orang dari bangsa Habsyi mempertunjukkan keahlian bermain tombak mereka di masjid, maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk menutupiku agar aku dapat melihat pertunjukan tersebut, hingga aku merasa puas melihat nya". (HR. Bukhary dan Muslim).

'Aisyah radhiyallahu'anha juga berkata, "Aku bermain boneka di rumah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, dan aku memiliki teman-teman bermain, maka tatkala Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam masuk maka teman-temanku menutup wajah dan bersembunyi di belakangku dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan kemudian melanjutkan bermain denganku". (HR.Bukhari dan Muslim)

- Bercengkrama dan berbincang-bincang bersama pasangannya, sebagaimana perangai Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersama para istri nya, Beliau senantiasa berkumpul dengan para istri-istrinya disetiap malam dan makan malam bersama, kemudian bermalam bersama istrinya, berbincang-bincang sebentar sebelum tidur.

- Memberikan kelonggaran dalam nafkah, sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Hendaknya memberikan nafkah bagi yang diberikan kelonggaran dengan kelongarannya". (QS.At-Tholaq: 7).

Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya engkau tidak memberikan suatu nafkah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya, termasuk makanan yang engkau berikan kepada istrimu". (HR Bukhary dan Muslim).

- Menutup mata atas kekurangan yang ada pada sang istri selagi masih dianggap wajar dalam batasan syara'. Terlebih bila ia seorang wanita yang baik, memiliki akhlak terpuji. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah seorang mukmin laki-laki menceraikan wanita mukminah, jika ia tidak menyukai dalam satu sisi bisa jadi ia suka pada perangai yang lainnya". (HR.Muslim).

Berkata imam An-Nawawy memberikan keterangan hadist di atas, "Seorang suami seyogyanya tidak membenci pasangannya disebabkan ia mendapati sesuatu yang ia kurang suka, dikarenakan disana masih banyak perangai yang niscaya ia sukai".

Oleh karenanya seorang suami hendaknya mencari pahala disisi Allah yang mana Allah telah berikan banyak kelebihan pada pasangannya, jika ada kurangnya maka itu sesuatu diatas kewajaran, dikarenakan tiada manusia yg sempurna dalam berbagai sisi. Allah Ta'ala berfirman: "Dan bermuasyarohlah istri-istri kalian dengan cara yang ma'ruf, jika sekiranya kalian membenci dalam hal sesuatu, maka bisa jadi engkau membenci sesuatu akan tetapi Allah menjadikan sesuatu padanya kebaikan yang banyak". (QS.An-Nisaa': 19).

Berkata Ibnu Kastir, "Bisa jadi kesabaran kalian tatkala bersamanya walau engkau tidak menyukainya, akan mendatangkan kebaikan yang banyak baik di dunia dan di akhirat, sebagaimana perkataan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu dalam ayat ini, "Yaitu engkau bersabar dengannya, maka engkau dikaruniai keturunan, dari keturunan tersebut akan muncul banyak kebaikan". -Tafsir ibnu katsir 1/ 466-

- Tidak menyebarluaskan aib dan rahasianya dengan banyak bercerita kepada para manusia. Karena ia adalah orang yang memegang rahasia, yang seyogyanya ia pegang dengan erat. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan ancaman dalam sabdanya, "Sesungguhnya seburuk-buruk manusia pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang berhubungan dengan istrinya kemudian ia menceritakan dengan menyebarluaskan hubungannya kepada manusia". (HR.Bukhari dan Muslim).

Berkata Imam As-Shon'any, "Di dalam hadist terdapat dalil haramnya seseorang menyebarluaskan hubungannya dengan istrinya, dan dari sifat-sifat rahasia wanita dan semisalnya".

- Membantu para istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya, terlebih disaat ia sakit atau lemah seperti mengandung, melahirkan, menyusui. Hal ini sebagaimana yg dilakukan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam kepada para istrinya. Suatu hari 'Aisyah radhiyallahu'anha ditanya tentang kehidupan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dirumahnya maka dijawab, "Dahulu Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membantu pekerjaan rumah para istrinya, jika datang waktu sholat maka Nabi keluar rumah menunaikan sholat". (HR.Bukhary dan Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar