Selasa, 07 Februari 2017

KEMBALI KEPADA ULAMA DALAM MASALAH NAWAZIL

Asy-Syaikh Prof. DR. Abdurrozak Al-Badr hafidhohullahu Ta'ala. 

Alhamdulillah, wassholatu wassalamu ala Rosulillah, wa ba'du : 

Tidak samar bagi setiap muslim tentang kedudukan, keagungan, kemuliaan dan kehormatan yang tinggi para Ahli Ilmu dan para Pemuka Agama, dikarenakan sesungguhnya mereka merupakan pemimpin dalam kebajikan dan pemuka agama yang diteladani serta didengar pendapat nya, mereka adalah pelita sepanjang masa, tonggak kebaikan dan pemimpin yang diikuti. Dengan ilmu yang mereka miliki menyampaikan kepada derajat orang-orang yang bertakwa yang penuh kebajikan, sungguh telah agung dan mulia kedudukan dan derajat mereka. 

Allah Ta'ala berfirman : 

 قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ 

" Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran."
(Q.S. Az-Zumar :9)

Allah Ta'ala berfirman : 

 يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 

" Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Mujadilah :11)

Diantara keutamaan para ahli ilmu, bahwasannya para malaikat meletakkan sayapnya dalam rangka menghormati mereka, dan para makhluk memintakan ampunan kepada Allah Ta'ala terhadap mereka, termasuk ikan-ikan kecil didasar laut, karena mereka adalah pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak memberikan peninggalan harta yang berupa lempengan logam emas atau perak, namun meninggalkan ilmu, dan para pewaris menggantikan kedudukan yang mewarisi, menyandang kedudukan para Nabi. 

ففي حديث أبي الدرداء رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم  قال : ((مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ لَمْ يَرِثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرِثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ))

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Darda' radhiyallahu anhu, bahwasanya Rosulillah Sallallahu alaihiwa sallam bersabda : " Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah Ta'ala langkahkan bagi nya jalan menuju surga, dan para malaikat meredupkan sayapnya dalam rangka ridho terhadap penuntut ilmu, dan sesungguhnya segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi dan termasuk ikan-ikan di lautan memintakan ampunan bagi para orang-orang yang berilmu dan keutamaan orang yang alim atas ahli ibadah seperti ibarat bulan purnama jika dibandingkan dengan bintang-bintang di langit, dan sesungguhnya para ulama mereka adalah pewaris para Nabi yang tidak meninggalkan warisan harta yang berupa dinar atau dirham, namun mewarisi ilmu, barangsiapa yang mengambilnya, sungguh ia mendapatkan keberuntungan yang besar ". 

Jelas dalam hadist diatas, bahwa para ulama mewarisi apa yang dibawa oleh para Nabi, yaitu ilmu, mereka adalah pengganti Nabi pada umatnya dengan berdakwah kepada Allah Ta'ala dan taat kepada Allah Ta'ala serta mencegah manusia dari berbuat maksiat dan dosa, maka mereka memiliki kedudukan sebagaimana para Rasul antara Allah Ta'ala dan makhluk Nya, dengan memberikan penjelasan, petunjuk, penerangan, memberikan nasihat, menegakkan hujjah, menghilangkan udzur, menjelaskan jalan kebenaran. 

قال محمد بن المنكدر : " إن العالم بين الله وبين خلقه ، فلينظر كيف يدخل عليهم " .

Berkata Muhammad ibnul Mungkadir rahimahullah : " Sesungguhnya orang Alim merupakan penengah antara Allah dan para makhluk Nya, maka hendaknya melihat, bagaimana (cara) masuk (mendakwahi) mereka ".

 وقال سفيان بن عيينة : "أعظم الناس منزلةً من كان بين الله وبين خلقه : الأنبياء والعلماء " .

Berkata Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah : " Sesungguhnya manusia yang paling agung kedudukan nya diantara Allah dan para makhluk Nya adalah : Para Nabi dan Ulama ".

وقال سهل بن عبد الله : " من أراد أن ينظر إلى مجالس الأنبياء فلينظر إلى مجالس العلماء ، يجيء الرجل فيقول : يا فلان ما تقول في رجل حلف على امرأته كذا وكذا ؟ فيقول : طلقت امرأته ، ويجيء آخر فيقول : ما تقول في رجل حلف على امرأته بكذا وكذا ؟ فيقول : يحنثُ بهذا القول ، وليس 
هذا إلا لنبي أو عالم فاعرفوا لهم  ذلك " .

Berkata Sahl ibnu Abdillah rahimahullah : " Barangsiapa yang hendak melihat majalis para Nabi, hendaknya melihat kepada majlis nya para Ulama, seseorang datang dan bertanya : bagaimana jika seseorang bersumpah demikian demikian kepada istrinya...? Maka dijawab : dia telah menceraikan istrinya. Ada yang lainnya datang dan bertanya : Bagaimana jika seseorang dihadapan istrinya bersumpah demikian dan demikian....? Maka dijawab : hendaknya ia membatalkan sumpah nya ". 

Semua ini tidak dilakukan kecuali oleh seorang Nabi atau orang yang Alim , maka ketahuilah ini adalah hak mereka". 

وقال ميمون بن مهران : " إن مثل العالم في البلد كمثل عين عذبة في البلد " .

Berkata Maimun ibnu Mihran rahimahullah : " Sesungguhnya perumpamaan seorang yang alim dalam suatu negeri, seperti perumpamaan mata air yang mengalir dalam satu negara ". 

Jika kedudukan ahli ilmu sedemikian mulia dan agung, maka sesungguhnya kewajiban bagi setiap manusia agar menjaga kehormatan mereka dan mengetahui kedudukan mereka.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رضي الله عنه : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا ، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا ، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ)) 

Diriwayatkan dari sahabat Ubaadah ibnus Shomith radhiyallahu anhu, bahwasanya Rosulillah Sallallahu alaihi wa sallam bersabda : " Bukankah termasuk umatku orang-orang yang tidak menghormati orang tua kita dan memberikan kasih sayang kepada anak-anak yang muda dan menunaikan bagi orang-orang yang alim hak-hak mereka ".

Dan diantara hak-hak para ulama yang seyogyanya tidak boleh dilupakan senantiasa dikenang, yaitu bahwasanya mereka adalah orang-orang yang menyampaikan agama Allah Ta'ala dan menjelaskan hukum hukum syariat, sehingga tidak sepantasnya bagi para manusia untuk meremehkan atau menghinakan atau melecehkan atau memalingkan manusia dari mereka dan semisalnya, yang merupakan jalan orang-orang jahil yang tidak mengenal keutamaan dan keagungan para ulama. 

Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwasanya setiap cabang ilmu hendaknya dikembalikan kepada orang-orang yang ahli dalam bidang nya, sehingga tidak merujuk dalam urusan kesehatan kepada insinyur atau tukang bangunan, akan tetapi hendaknya merujuk kepada ahli medis,  dan demikian dalam urusan lainnya. 

Maka bagaimana dengan urusan yang berkaitan dengan ilmu syariat dan mengetahui hukum hukum dan mempelajari fikih serta keadaan nawazil atau keadaan darurat, bagaimana kemudian seseorang merujuk kepada yang bukan ahli nya yaitu para ulama dan ahli fikih yang mumpuni....?  

Allah Ta'ala berfirman : 

وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ ٱلْأَمْنِ أَوِ ٱلْخَوْفِ أَذَاعُوا۟ بِهِۦ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ لَٱتَّبَعْتُمُ ٱلشَّيْطَٰنَ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٣﴾

" Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, sungguh niscaya dapat mengetahuinya orang-orang (yang fakih) diantara mereka untuk memberikan penjelasan hukum (perkara tersebut). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." (Q.S. An-Nisaa :83)

Maksud dari Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang mumpuni yang sanggup menjelaskan hukum hukum syariat yang diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikarenakan dalil-dalil syar'i yang shorih (jelas) tidak mencakup penjelasan secara mendetail tentang hukum dan kejadian yang genting dalam suatu masa mendatang, dan tidak ada yang mampu ber istinbath (mengambil dalil) dan mengupas perkara tersebut kecuali para ulama yang mumpuni. 

Berkata Abul A'liyah rahimahullah, menafsirkan makna : - Ulil Amri  - dalam ayat diatas : "Mereka adalah Ahlu Ilmi ", berdasarkan ayat setelah nya yang berbunyi : "  Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, sungguh niscaya dapat mengetahuinya orang-orang (yang fakih) diantara mereka untuk memberikan penjelasan hukum (perkara tersebut) ".

Berkata Qotadah rahimahullah : " Maksud ayat ini adalah perintah untuk mengembalikan perkara tersebut kepada ulama mereka, karena mereka yang dapat memahami dan mengetahui". 

Berkata Ibnu Juraij rahimahullah : " Mengembalikan kepada Ulil Amri, yaitu kepada ulama ahli fikih dan agama yang cerdik ".

Al-Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitab - Fathul Ba'riy - menukil ungkapan Ibnu Tiin dari Ad-Da'wudy rahimahullah tatkala menyebutkan firman Allah Ta'ala : 

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٤٤﴾

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan ". (Q.S. An-Nahl :44)

Yaitu : " Ketika Allah Ta'ala menurunkan dalam kitab Nya hukum dan perkara yang terjadi waktu tersebut maupun kejadian masa mendatang secara global maka Nabi Sallallahu alaihi wa sallam memberikan keterangan secara terperinci, dan telah diwariskan kepada para ulama, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta'ala dalam firman Nya : 

 { وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ } 

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, sungguh niscaya dapat mengetahuinya orang-orang (yang fakih) diantara mereka untuk memberikan penjelasan hukum (perkara tersebut) ".

وقال العلامة عبد الرحمن بن سعدي رحمه الله في معنى الآية : " هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق ، وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين أو بالخوف الذي فيه مصيبة ؛ عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر ، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم ، أهل الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة ، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها . فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسروراً لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك ، وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة  أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه ، ولهذا قال: { لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ } أي: يستخرجونه بفكرهم وآرائهم السديدة وعلومهم الرشيدة.

Berkata Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa'diy rahimahullah dalam makna ayat : " Ini merupakan pelajaran dari Allah Ta'ala kepada para hamba yang melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, dan sesungguhnya jika datang suatu perkara yang penting yang berdampak kepada maslahat umum, yang berkaitan dengan rasa aman atau kegembiraan kaum mukminin atau berkaitan dengan rasa takut atau kegelisahan seperti suatu musibah, maka hendaknya mereka agar  mencari kabar tentang kebenaran nya dan tidak bersikap terburu-buru menyebar luaskan berita tersebut dan diperintahkan agar mengembalikan urusan tersebut kepada Rasul dan Ulil Amri mereka yaitu ahli ro'yi yang memiliki ilmu yang berjiwa menasehati yang memahami situasi yang memiliki pendirian yang kokoh, yang benar benar mengetahui pemasalahan serta dampak maslahat dan lawannya yaitu mudhorot.

Jika mereka memandang sekiranya menyebarkan berita tersebut membawa dampak maslahat bagi umat dan kegembiraan serta menimbulkan semangat dan menjadikan kaum muslimin kokoh dihadapan musuh-musuh nya, maka hal itu dilakukan. 

Namun jika sekiranya hal tersebut tidak membawa maslahat atau membawa dampak maslahat akan tetapi mudhorot yang muncul lebih besar, maka tidak menyebarluaskan berita tersebut. 

Oleh karena nya, Allah Ta'ala berfirman: " sungguh niscaya dapat mengetahuinya orang-orang (yang fakih) diantara mereka untuk memberikan penjelasan hukum (perkara tersebut) ".

Yaitu : mereka mengeluarkan (mengolah dalil-dalil untuk menjelaskan suatu perkara) dengan pemikiran, pendapat yang lurus dan ilmu mereka yang jernih ".

وفي هذا دليل لقاعدة أدبية ؛ وهي أنه إذا حصل بحث في أمر من الأمور ينبغي أن يولَّى مَنْ هو أهل لذلك ويجعل إلى أهله، ولا يتقدم بين أيديهم ، فإنه أقرب إلى الصواب وأحرى للسلامة من الخطأ . وفيه النهي عن العجلة والتسرع لنشر الأمور من حين سماعها ، والأمر بالتأمل قبل الكلام والنظر فيه ؛ هل هو مصلحة فيُقْدِم عليه الإنسان ، أم لا فيحجم عنه "  انتهى كلامه رحمه الله .

Dan didalam hadist ini terdapat kaidah yang sangat mendidik, yaitu : apabila mengupas suatu perkara yang dijumpai hendaknya dikembalikan kepada orang yang membidangi nya dan yang menjadi spesialis nya, dan tidak diperbolehkan mendahului mereka, karena merekalah yang lebih dekat kepada kebenaran dan cenderung kepada keselamatan daripada kesalahan. 

Dan didalam nya terdapat larangan bersifat terburu buru untuk menyebarkan apa yang ia dengar dan anjuran untuk bersikap berhati-hati sebelum berbicara dan memandang suatu permasalahan, apakah disana terdapat maslahat kebaikan sehingga ia  suguhkan kepada manusia, namun jika tidak terdapat maslahat maka ia sembunyikan dari mereka ". -selesai ungkapan beliau rahimahullah-

Dengan demikian dapat diketahui bahwasanya perkara ini sangatlah penting, dalam urusan nawazil (perkara yang baru muncul) dan kejadian yang sedang hangat diperbincangkan, dan memberikan penjelasan hukum syar'i pada nya, dan tidak diperkenankan setiap orang untuk berbicara mengupas nya, kecuali hanya khusus para ulama dan ahli bashiroh terhadap agama. 

قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله : " والمنصب والولاية لا يجعل من ليس عالماً مجتهدًا عالماً مجتهدًا ، ولو كان الكلام في العلم والدين بالولايات والمنصب لكان الخليفة والسلطان أحق بالكلام في العلم والدين، وبأن يستفتيه الناس ويرجعوا إليه فيما أشكل عليهم في العلم والدين . فإذا كان الخليفة والسلطان لا يدَّعي ذلك لنفسه ، ولا يلزم الرعية حكمه في ذلك بقول دون قول إلا بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، فمن هو دون السلطان في الولاية أولى بأن لا يتعدى طوره ) 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : " Kedudukan dan kepemimpinan tidaklah dapat merubah  seseorang yang bukan golongan alim mujtahid menjadi seorang yang alim lagi mujtahid, sekiranya diperbolehkan berbicara tentang ilmu dan agama bagi mereka yang memiliki level kepemimpinan dan kedudukan, niscaya para Kholifah dan penguasa lebih berhak untuk berbicara tentang masalah ilmu dan agama, dengan cara menebarkan fatwa kepada para manusia dan orang-orang merujuk kepada mereka para penguasa jika terdapat permasalahan yang membingungkan tentang ilmu dan agama.

Jika para Kholifah dan pemimpin tidak menyerukan hal ini untuk dirinya dan di lain sisi para rakyat tidak dituntut berhukum kepada ucapan ucapan mereka, kecuali jika berdasarkan dengan kitab Allah Ta'ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,  maka selain penguasa yang jabatannya lebih rendah dari nya tentu lebih utama untuk tidak melangkahi batas mereka ". 

وإنا لنسأل الله جل وعلا أن يبارك لنا في علمائنا وأن ينفعنا بعلومهم ، وأن يجزيهم عنا خير الجزاء وأوفره إنه سميع مجيب.

Dan kita memohon kepada Allah Jalla wa Ala' agar memberikan keberkahan kepada para Ulama kita dan kita mendapatkan manfaat dari ilmu ilmu mereka, dan semoga Allah memberikan balasan dengan sebaik baik balasan yang melimpah untuk mereka dan kita semua,  sesungguhnya Dia Dzat yang Maha Mendengar lagi Mengijabahi. 

                         ********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar