Minggu, 13 Oktober 2024

BUAH KEIMANAN TERHADAP TAKDIR


BUAH KEIMANAN TERHADAP TAKDIR 



Segala puji bagi Allah, salawat dan salam atas Rasulullah, keluarganya, sahabatnya, dan semua yang mengikutinya. 

Amma ba'du: 

Dalam pertemuan sebelumnya, kita telah berbicara tentang iman kepada takdir sebagai salah satu rukun iman, di mana iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai dia beriman kepada takdir, baik yang baik maupun yang buruk, manis atau pahit, serta menyadari bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset darinya, dan apa yang luput darinya tidak akan pernah mencapainya. 
Amalnya juga tidak akan diterima sampai dia beriman kepada takdir.

Jika kita memahami bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, maka iman memiliki pengaruh yang jelas pada perilaku, akhlak, dan interaksi seorang mukmin. 
Khususnya, iman kepada takdir memiliki dampak yang paling besar pada perilaku, akhlak, dan interaksi ini. 
Mukmin dekat dengan Tuhannya, menyadari pengawasan-Nya, dan berusaha mendapatkan ridha-Nya dalam perkataan dan perbuatan, baik secara terbuka maupun tersembunyi. 
Iman kepada takdir memenuhi hati dengan keridhaan kepada Allah, agama-Nya, dan Rasul-Nya, serta ridha terhadap segala ketetapan dan ujian dari Allah, sehingga ia dapat merasakan manisnya iman dan tidak ingin menggantinya dengan apa pun.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: "Dia telah merasakan manisnya iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya." (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Iman). 

Rasulullah ﷺ juga bersabda: "Ada tiga hal yang jika seseorang memilikinya, ia akan merasakan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segalanya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api." (Muttafaq ‘alaih).

Pengaruh iman kepada takdir terhadap perilaku mukmin tercermin dalam beberapa aspek, di antaranya:

Pertama: 
Menyempurnakan Pekerjaan dan Bertawakal kepada Allah Mukmin yang sejati, sebagaimana telah disebutkan, adalah orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan orang lain, baik di dunia maupun di akhirat. 
Ia berusaha untuk mendakwahkan kebaikan dan petunjuk kepada manusia, bersabar atas kesulitan yang ia hadapi di jalan Allah, dan menyerahkan urusannya kepada Allah, tanpa rasa lemah atau malas. 
Inilah yang disebut dengan mukmin yang kuat.

Seperti sabda Rasulullah ﷺ: "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, namun dalam keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah. Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata, 'Jika aku lakukan ini dan itu, tentu akan terjadi begini dan begitu,' tetapi katakanlah, 'Ini adalah ketetapan Allah, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi,' karena 'seandainya' membuka pintu bagi setan." (Diriwayatkan oleh Muslim).

Meskipun seorang mukmin sangat bersemangat dalam mencari manfaat dunia dan akhirat, seperti ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan usaha mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan, ia tetap menegakkan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang baik, dan mencegah yang munkar. 
Ia hanya memakan makanan yang halal dan baik, dan menghindari segala yang haram dan buruk. 
Tujuannya mulia, dan cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut juga mulia. 
Ia menjaga kesucian hati dan lisan, tidak mengungkapkan kejahatan secara terbuka, dan tidak melakukan perbuatan keji.

Dengan semua ini, ia tetap ridha dengan apa yang telah Allah takdirkan, bersabar menghadapi cobaan, dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. 

Seperti sabda Nabi ﷺ: "Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, karena semua urusannya adalah kebaikan baginya, dan ini hanya berlaku bagi seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, maka itu juga baik baginya." (Diriwayatkan oleh Muslim).

 Ia tidak menyesali apa yang telah luput darinya, dan tidak berbangga dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Ia tidak mengucapkan seperti perkataan orang kafir terhadap nikmat Allah, 
"Ini diberikan kepadaku karena ilmu yang ada padaku," (QS. Al-Qashash: 78), 

tetapi ia berkata,
 "Ini adalah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Ma'idah: 54).

Allah berfirman: 
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Al-Hadid: 22-23).

Seorang mukmin yang beriman kepada takdir tetap bersandar kepada Allah, mengambil sebab-sebab yang diizinkan, dan hatinya bergantung kepada Sang Penyebab, Allah Ta'ala. 
Ia memahami bahwa doa dapat mengubah takdir, sehingga ia selalu berdoa memohon kepada Allah agar diberi taufik, keteguhan, petunjuk, dan perlindungan dari segala bahaya dan musibah.

Kedua: 
Perilaku Lurus dengan Sesama Manusia Ketika seorang hamba yakin bahwa manfaat dan bahaya datangnya dari Allah, dan bahwa manusia tidak memiliki kuasa apa-apa dalam urusan ini, maka hatinya hanya bergantung kepada Allah, dan ia berusaha untuk mendapatkan ridha-Nya, bukan ridha manusia. Ini membuatnya meninggalkan cara-cara buruk dalam berinteraksi dengan manusia. 
Ia tidak akan berbohong, menipu, atau berpura-pura demi mencapai tujuan duniawi.

Ia juga tidak akan mengkhianati, menzalimi, atau mendustai hak-hak orang lain, karena ia tahu bahwa apa yang sudah Allah takdirkan untuknya akan ia terima, dan apa yang bukan untuknya tidak akan pernah ia peroleh meskipun ia berusaha keras dengan cara-cara yang haram.

Iman kepada takdir mendorong seorang mukmin untuk memiliki sifat amanah dan jujur dalam seluruh interaksi sosial dan transaksi duniawinya. 
Ia selalu bersikap adil dalam jual beli, muamalah, dan dalam memenuhi janji. Ia senantiasa berlaku baik kepada sesama makhluk karena ia tahu bahwa semua manusia adalah bagian dari ketetapan Allah, dan ia harus berbuat baik kepada mereka seperti yang diperintahkan oleh-Nya.

Sikap ini melahirkan hubungan yang harmonis dan berimbang antara seorang mukmin dan sesama manusia, berdasarkan cinta, keadilan, dan ketulusan. Ia tidak dendam atau iri hati, karena ia menyadari bahwa rezeki, kehormatan, dan takdir manusia telah ditentukan oleh Allah. Ia pun tidak suka jika saudara muslimnya tertimpa musibah atau kesulitan, bahkan ia akan berusaha menolongnya. 

Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga: 
Kesabaran dan Keteguhan dalam Menghadapi Cobaan

Mukmin yang beriman kepada takdir memiliki kekuatan untuk menghadapi ujian dan musibah yang datang dari Allah. Ketika ia mengalami musibah, kesulitan, atau kehilangan, ia bersabar, berserah diri kepada Allah, dan tidak putus asa. 
Ia memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah bagian dari ketetapan Allah, dan di balik setiap ujian pasti terdapat hikmah yang hanya Allah yang mengetahuinya.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, Dia akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari). 

Hal ini menunjukkan bahwa ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, agar ia lebih dekat dengan-Nya dan diberikan balasan pahala di akhirat. Dengan demikian, seorang mukmin menghadapi segala cobaan hidup dengan kesabaran yang tinggi, keyakinan yang kuat, dan pengharapan yang tulus kepada Allah.

Ia pun tidak pernah putus asa dari rahmat Allah, karena ia memahami bahwa rahmat dan kasih sayang Allah lebih besar dari segala musibah yang ia hadapi. 

Dalam firman Allah: 
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6). 

Keyakinan ini membuat hati seorang mukmin selalu tenang dan tidak goyah, meskipun ia menghadapi berbagai rintangan dan cobaan.

Keempat:
 Berusaha Mendapatkan Rezeki yang Halal

Tidak diragukan lagi bahwa masalah rezeki menjadi perhatian banyak orang, begitu pula masalah ajal. 
Seorang mukmin yang bertawakal kepada Allah tidak terlalu disibukkan oleh kedua hal tersebut, karena ia yakin sepenuhnya bahwa rezeki telah ditentukan dan ajal telah ditetapkan.
 Tidak ada seorang pun yang bisa mengurangi rezekinya, sebagaimana tidak ada yang bisa mempercepat atau menunda ajalnya. Namun, ini tidak berarti bahwa orang yang bertawakal mengabaikan usaha dalam mencari rezeki. Ia yakin bahwa apa yang ditakdirkan untuknya tidak akan meleset darinya, dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya tidak akan ia peroleh.

Oleh karena itu, ia tidak akan membunuh anaknya karena takut miskin, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah dahulu. Ia juga tidak akan mencegah keturunannya atau menggugurkan istrinya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di zaman modern ini. 
Ia memandang keturunan sebagai rezeki dari Allah yang telah dijamin oleh-Nya. Namun, ia tetap berusaha memperbaiki kualitas keturunannya, meningkatkan taraf hidup mereka, serta memberikan pendidikan dan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.

Tanggung jawab ini ada pada seorang pria terhadap keluarganya, seorang wanita terhadap anak-anaknya di rumah, seorang guru terhadap murid-muridnya, dan seorang pemimpin terhadap masyarakat muslim.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang mukmin dalam urusan rezeki tidak akan beralih kepada yang haram. 
Ia mencari penghasilan yang baik dan menghindari cara-cara mendapatkan rezeki yang buruk, karena ia tahu bahwa rezekinya tidak akan pernah meleset darinya. Jadi, mengapa ia harus tamak terhadap yang haram, padahal Sang Pemberi Rezeki telah menjamin rezekinya?

Ia juga tidak akan sibuk mengejar dunia sehingga melupakan akhiratnya. Sebaliknya, ia berusaha mengumpulkan amal kebajikan dan berlomba-lomba dalam ketaatan, karena ia menginginkan bagian yang lebih besar dari rezeki yang telah ditetapkan, yaitu surga. Ia menginginkan surga Firdaus yang tertinggi, dan memohon kepada Allah untuk mendapatkannya.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Jika kalian meminta kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena ia adalah surga yang paling tinggi dan paling mulia, di atasnya terdapat Arsy Allah, dan dari surga itu mengalir sungai-sungai surga” (HR. Bukhari).

Para muslim awal percaya kepada janji Allah dan merasa tenang dengan jaminan-Nya, sehingga mereka mengorbankan harta dan jiwa di jalan Allah, karena kerinduan mereka terhadap surga dan ketakutan mereka terhadap neraka. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Perang Tabuk memberikan seluruh hartanya di jalan Allah. Nabi ﷺ bertanya kepadanya: “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” 
Abu Bakar menjawab: “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Meskipun rezeki itu penting, ia bukan hanya terkait dengan perkara dunia. 
Rezeki mencakup hal-hal yang lebih luas dan lebih penting daripada harta atau materi.
 Karena itu, seorang mukmin yang bertawakal akan mencari istri yang salehah dan beragama yang akan membantunya dalam urusan dunia dan akhirat. 

Nabi ﷺ bersabda: “Pilihlah wanita yang beragama, engkau akan beruntung” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pula, seorang mukmin menginginkan keturunan yang saleh yang akan menjadi penyejuk hatinya dan menjadi pewarisnya setelah ia tiada dalam membangun bumi dan beribadah kepada Allah. 
Dari keturunan yang saleh, ia akan mendapat manfaat besar dari amal dan doa mereka setelah kematiannya. 

Oleh karena itu, Nabi Ibrahim berdoa: 
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang saleh” (QS. Ash-Shaffat: 100).

 Nabi Zakaria juga berdoa:
 “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa” (QS. Ali Imran: 38).

Salah satu rahmat Allah adalah bahwa amal dan doa anak yang saleh akan terus mengalir pahalanya kepada orang tuanya, bahkan Allah akan mengangkat derajat orang tua bersama anak-anak mereka.

 Allah berfirman:
 “Dan orang-orang yang beriman serta diikuti oleh anak cucu mereka dengan keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Setiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Ath-Thur: 21).

 Nabi ﷺ bersabda: 
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim).

Hal terbaik yang diinginkan oleh seorang mukmin setelah iman dan keyakinan adalah agar Allah memberinya kesehatan di dunia dan akhirat. 

Nabi ﷺ bersabda:
 “Wahai manusia, mintalah kepada Allah kesehatan, karena tidak ada anugerah yang lebih baik setelah keyakinan daripada kesehatan” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Seorang mukmin meyakini bahwa ajal telah ditetapkan dan rezeki telah dibagi, dan bahwa Allah-lah Sang Pemberi Rezeki Yang Maha Kuat lagi Maha Kokoh. 

Allah berfirman:
 “Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapa kamu berpaling (dari ketauhidan-Nya)?” (QS. Fathir: 3).

Oleh karena itu, ia berusaha mencari rezeki dengan cara-cara yang halal, dan hatinya tetap bergantung kepada Sang Pemberi Rezeki. 
Ia merasa tenang bahwa rezekinya telah dijamin, sehingga ia mencari rezeki tanpa rasa tamak atau bergantung sepenuhnya kepada dunia.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) telah membisikkan kepadaku bahwa tidak ada satu jiwa pun yang akan meninggal hingga ia menyempurnakan rezekinya dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik” (HR. Abu Nu’aim).

Kelima: 
Menyaksikan Takdir

Seorang mukmin yang beriman kepada takdir Allah tahu dengan pasti bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset darinya.
 Ia sabar dan teguh ketika menghadapi cobaan yang tidak dapat ia hindari. 

Allah berfirman: 
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa, melainkan dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya” (QS. At-Taghabun: 11).

Allah juga berfirman: 
“Dan pasti Kami akan menguji kalian dengan sesuatu dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: 'Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali'. Mereka itulah yang memperoleh keberkahan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah: 155-157).

Seorang mukmin menyaksikan takdir Allah ketika musibah datang, sehingga ia merasa ridha dan berserah diri, serta mengucapkan sabda Rasulullah ﷺ:
 “Sesungguhnya mata ini meneteskan air mata, dan hati ini merasa sedih, tetapi kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami.”

Ia juga melihat petunjuk dan taufik untuk taat, sehingga ia tidak merasa memiliki kebaikan apa pun. 
Ia tidak membiarkan rasa bangga masuk ke dalam hatinya. Sebaliknya, ia melihat karunia Allah yang telah memberinya petunjuk dan hidayah. 
Di sisi lain, ia menyadari kekurangan dan ketidakmampuannya untuk memenuhi hak-hak ibadah. 

Para sahabat Nabi ﷺ dahulu sering berkata:
“Demi Allah, jika bukan karena Allah, kami tidak akan mendapatkan petunjuk, tidak akan bersedekah, dan tidak akan shalat. Maka, turunkanlah ketenangan kepada kami dan teguhkan langkah kami jika kami bertemu dengan musuh.”

Ibn Qayyim berkata: 
“Hak Allah dalam ibadah ada enam: ikhlas, mengikuti sunnah, nasihat, berbuat baik, menyaksikan karunia Allah, dan memperhatikan kelemahan diri.”

Adapun dalam hal dosa dan maksiat, ia tidak beralasan dengan takdir Allah untuk membela dirinya. 
Sebaliknya, ia akan menyesali dirinya dan mengajak dirinya untuk bertaubat dan kembali kepada Allah. 
Jika ia bertaubat dan kembali, maka tidak ada seorang pun yang berhak menegur atau menyalahkannya atas dosa yang telah ia tinggalkan.

Rasulullah ﷺ bersabda: 
“Adam dan Musa Alaihima salam berdebat di hadapan Tuhan mereka. 
Adam memenangkan argumennya. 
Musa berkata: 'Engkaulah Adam, yang diciptakan Allah dengan tangan-Nya, dan Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam dirimu. Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadamu, dan Allah menempatkanmu di dalam surga. 
Namun, engkau menyebabkan manusia terjatuh ke bumi karena kesalahanmu.' Adam menjawab: 'Engkaulah Musa, yang Allah pilih dengan risalah-Nya dan yang berbicara langsung dengan-Nya. Apakah engkau menyalahkan aku atas sesuatu yang telah ditakdirkan Allah sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?'”
Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka Adam memenangkan argumennya atas Musa.”

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Gamal Al-Marakabi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar