PENGARUH IMAN KEPADA TAKDIR TERHADAP PERILAKU ORANG BERIMAN
(( Jika seseorang yakin bahwa manfaat dan bahaya berada di tangan Allah Ta'ala, dan bahwa makhluk tidak memiliki kendali atas hal-hal tersebut, hatinya akan bergantung kepada Allah dan ia akan berusaha mencari keridhaan-Nya, bukan keridhaan manusia.
Ini akan menjauhkannya dari metode buruk dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga ia tidak akan berbohong, munafik, atau menjilat demi mencapai tujuan duniawi.
Keyakinan ini akan melahirkan kejujuran dan keteguhan dalam menjalankan perintah Allah Ta'ala. ))
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.
Adapun selanjutnya:
Kami telah berbicara sebelumnya tentang iman kepada takdir sebagai salah satu rukun iman.
Iman seseorang tidak sempurna sampai ia percaya kepada takdir, baik yang baik maupun buruk, manis ataupun pahit, dan mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset darinya, dan apa yang meleset darinya tidak akan menimpanya. Perbuatannya tidak akan diterima sampai ia beriman kepada takdir.
Ketika kita mengetahui bahwa iman terdiri dari perkataan dan perbuatan, iman memiliki pengaruh yang jelas terhadap perilaku, akhlak, dan interaksi orang beriman. Iman kepada takdir, khususnya, memiliki pengaruh yang besar dalam perilaku, akhlak, dan interaksi tersebut. Orang beriman dekat dengan Tuhannya, merasakan pengawasan Allah, dan berusaha mencari keridhaan-Nya dalam perkataan dan perbuatan, baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan.
Iman kepada takdir memenuhi hati dengan keridhaan kepada Allah, agamanya, dan Rasul-Nya, serta keridhaan terhadap ketetapan Allah dalam setiap cobaan. Dengan ini, ia merasakan manisnya iman dan tidak akan menggantinya dengan apa pun.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam: "Akan merasakan manisnya iman bagi yang ridha kepada Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya" (HR. Muslim).
Beliau juga bersabda: "Ada tiga hal, yang barang siapa memilikinya akan merasakan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan membenci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka" (Muttafaq 'alayh).
Pengaruh iman kepada takdir dalam perilaku orang beriman terlihat dalam berbagai aspek ;
pertama :
Dalam kesempurnaan pekerjaan dan tawakal yang baik kepada Allah Ta'ala. Orang beriman, seperti yang kami katakan, bersemangat untuk melakukan apa yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain di dunia dan akhirat.
Ia gigih dalam mengajak orang kepada kebaikan dunia dan akhirat, sabar dalam menghadapi gangguan demi mencari keridhaan Allah, mengharapkan pahala dari Allah, dan bersandar kepada-Nya, tanpa lemah atau bermalas-malasan. Inilah yang disebut mukmin yang kuat.
Seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan di setiap keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah pada apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika engkau tertimpa sesuatu, jangan berkata, 'Seandainya aku lakukan ini dan itu, pasti akan terjadi demikian dan demikian,' tetapi katakan, 'Takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki telah terjadi,' karena 'seandainya' membuka pintu perbuatan setan" (HR. Muslim).
Di samping kesungguhannya dalam mencari hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat seperti ilmu yang bermanfaat, amal yang saleh, dan usaha mencapai kemajuan dalam setiap aspek kehidupan, ia menegakkan shalat, membayar zakat, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar, memakan yang halal dan baik, dan menjauhi segala yang haram dan buruk.
Tujuannya mulia, dan cara-cara untuk mencapai tujuannya juga terhormat. Ia menjaga kebersihan hati dan lidahnya, tidak berteriak-teriak dengan kata-kata buruk, dan tidak melakukan perbuatan keji. Dalam semua ini, ia tetap ridha dengan apa yang Allah takdirkan untuknya, bersabar dalam menghadapi ujian, dan bersyukur atas nikmat.
Seperti yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: "Sungguh menakjubkan urusan orang beriman, karena segala urusannya baik baginya. Ini hanya berlaku bagi orang beriman. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar dan itu baik baginya" (HR. Muslim).
Ia tidak menyesali atau bersedih atas rezeki yang terlewatkan di dunia, juga tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan kepadanya, dan ia tidak berkata seperti orang kafir yang ingkar kepada nikmat Allah:
"Sesungguhnya aku diberi ini karena ilmu yang ada padaku" (QS. Al-Qashash: 78),
tetapi ia berkata:
"Itulah karunia Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui" (QS. Al-Maidah: 54).
Allah SWT berfirman:
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu" (QS. Al-Hadid: 22).
Orang beriman bersandar kepada Allah, mengambil sebab-sebab yang ada, dan hatinya tergantung kepada Allah, Sang Pengatur segala sebab.
Ia berusaha menentang takdir dengan takdir yang lain, seperti yang dilakukan Umar bin Khattab ketika memasuki wilayah Syam dan diberitahu bahwa wabah telah menyebar di sana.
Umar ingin kembali, dan Abu Ubaidah bin Jarrah berkata kepadanya: "Apakah engkau lari dari takdir Allah?"
Umar menjawab: "Seandainya orang lain yang berkata demikian. Aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah."
Ia juga tahu bahwa doa bisa mengubah takdir, sehingga ia selalu memohon kepada Allah untuk keteguhan, hidayah, kebaikan, dan perlindungan dari bahaya dan bencana.
Kedua:
Perilaku Lurus Terhadap Sesama
Jika seorang hamba meyakini bahwa manfaat dan bahaya ada di tangan Allah Ta'ala, dan makhluk tidak memiliki kuasa atas hal itu, maka hatinya akan terpaut kepada Allah, dan ia akan berusaha mencari keridhaan-Nya, bukan keridhaan manusia.
Hal ini membuatnya meninggalkan cara-cara yang buruk dalam berinteraksi dengan orang lain, seperti berbohong, berpura-pura, atau berdusta demi tujuan duniawi. Sikap ini menanamkan kejujuran dan keteguhan dalam menaati perintah Allah Ta'ala.
Jika seorang hamba menyadari bahwa ajalnya berada di tangan Allah Ta'ala, dan bahwa ancaman terbesar dari musuhnya, yaitu kematian, hanya terjadi atas kehendak Allah Ta'ala, bukan karena kehendak makhluk, maka hal ini akan memberinya keberanian dalam menghadapi musuh dan dalam amar ma'ruf nahi munkar.
Allah Ta'ala berfirman:
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, meskipun kamu berada di benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS. An-Nisa: 78)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman:
"Mereka berkata: 'Sekiranya ada hak campur tangan bagi kami dalam urusan ini, tentulah kami tidak akan dibunuh di sini.' Katakanlah: 'Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditetapkan akan terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh.'" (QS. Ali 'Imran: 154)
Seorang hamba yang menyadari bahwa semua yang terjadi pada dirinya dari kekurangan atau keburukan dari orang lain adalah atas ketetapan Allah Ta'ala, maka hal ini akan mendorongnya untuk memaafkan orang yang mendzaliminya, atau yang berbuat buruk kepadanya. Contohnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu bersabar menghadapi gangguan, dan membalas keburukan dengan kebaikan.
Beliau tidak pernah membalas dendam untuk dirinya sendiri, tetapi jika hak-hak Allah dilanggar, maka tidak ada yang bisa menahan kemarahannya hingga Allah Ta'ala dipuaskan.
Banyak sekali peristiwa di mana Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam berkata saat beliau disakiti:
"Semoga Allah merahmati Musa, ia lebih banyak disakiti daripada ini namun ia tetap bersabar."
Anas bin Malik berkata:
"Aku telah melayani Nabi selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah berkata kepadaku tentang sesuatu yang telah kulakukan, 'Mengapa kamu lakukan itu?' atau tentang sesuatu yang tidak kulakukan, 'Mengapa kamu tidak melakukannya?' Jika ada di antara keluarganya yang mencelaku, Nabi akan berkata, 'Biarkan dia, jika sesuatu telah ditetapkan, pasti akan terjadi.'"
Ketiga:
Menggabungkan Rasa Takut dan Harapan.
Orang yang beriman kepada takdir menyembah Tuhannya dengan perasaan takut dan berharap; karena dia yakin bahwa yang paling penting adalah akhir hidupnya. Orang yang beruntung adalah mereka yang dipilih oleh Allah untuk meraih kebahagiaan, dan orang yang celaka adalah mereka yang telah ditentukan untuk bernasib buruk sejak dalam rahim ibunya. Seseorang mungkin beramal seperti ahli surga menurut pandangan manusia, namun di akhir hidupnya ia melakukan amal yang menghantarnya ke neraka, dan sebaliknya.
Oleh sebab itu, orang beriman harus senantiasa berharap pada rahmat Allah dan takut akan azab-Nya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri, sebagai pemimpin umat manusia, selalu hidup dengan perasaan takut dan berharap.
Allah Ta'ala berfirman:
“Dan Zakariya ketika dia menyeru Tuhannya, 'Wahai Tuhanku, janganlah Engkau membiarkanku sendirian tanpa keturunan, dan Engkau adalah pewaris yang terbaik.' Maka Kami mengabulkan doanya dan memberinya seorang putra, Yahya, serta memperbaiki keadaan istrinya. Sungguh mereka selalu bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan takut. Mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 89-90)
Demikian pula, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dalam doanya berkata:
“Ya Allah, dengan ilmu-Mu terhadap yang gaib dan kekuasaan-Mu terhadap makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.
Ya Allah, aku memohon rasa takut kepada-Mu di saat gaib dan di saat terlihat, dan aku memohon kata-kata yang benar baik dalam keridhaan maupun dalam kemarahan, serta aku memohon kesederhanaan dalam kekayaan dan kemiskinan.
Aku memohon nikmat yang tidak pernah habis, dan aku memohon kebahagiaan yang tidak pernah terputus.
Aku memohon ridha setelah keputusan-Mu, dan aku memohon kenikmatan melihat wajah-Mu, serta kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa menghadapi kesulitan yang membahayakan atau fitnah yang menyesatkan.
Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami sebagai orang-orang yang mendapatkan petunjuk”. (HR. An-Nasa’i)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
"Demi Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, salah seorang dari kalian mungkin beramal dengan amal ahli surga hingga jaraknya dengan surga tinggal satu hasta, tetapi catatan takdir mendahuluinya sehingga ia beramal dengan amal ahli neraka dan masuk ke dalamnya. Dan salah seorang dari kalian mungkin beramal dengan amal ahli neraka hingga jaraknya dengan neraka tinggal satu hasta, tetapi catatan takdir mendahuluinya sehingga ia beramal dengan amal ahli surga dan masuk ke dalamnya" (HR. Muslim dalam Kitab Takdir).
Imam Al-Bukhari dalam kitab "Ar-Riqaq" dari Shahih-nya mengutip hadits Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Allah menciptakan rahmat ketika menciptakan-Nya menjadi seratus bagian. Dia menahan sembilan puluh sembilan bagian, dan hanya mengirimkan satu bagian ke seluruh makhluk-Nya.
Jika orang kafir mengetahui seluruh rahmat yang ada di sisi Allah, dia tidak akan putus asa untuk masuk surga. Dan jika orang beriman mengetahui seluruh siksa yang ada di sisi Allah, dia tidak akan merasa aman dari neraka”.
Keempat:
Menahan Diri dari Dunia dan Bersikap Zuhud
Iman kepada takdir juga mendorong seorang hamba untuk tidak tamak terhadap dunia dan apa yang ada di dalamnya. Karena dia yakin bahwa rezeki dan takdir telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala, seorang hamba tidak akan gelisah jika rezekinya tampak sedikit.
Dia tidak akan terobsesi dengan kekayaan dunia, karena ia tahu bahwa apa yang Allah tuliskan untuknya, tidak akan luput darinya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian terlalu rakus terhadap dunia, sebab sesungguhnya apa yang Allah telah tentukan sebagai rezekimu, akan sampai kepadamu tanpa kamu kejar” (HR. Ibnu Majah).
Ketika seorang hamba mengimani bahwa dunia hanyalah sementara, dan bahwa kehidupan akhirat adalah tujuan akhir, ia akan memilih zuhud (hidup sederhana) dalam kehidupan dunia. Zuhud tidak berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, namun itu adalah sikap hati yang tidak terlalu terikat dengan dunia dan lebih mengutamakan akhirat.
Ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang meskipun memiliki kekayaan, mereka tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama.
Sikap zuhud ini juga akan menjauhkan seseorang dari kecemburuan dan iri hati terhadap orang lain.
Seorang hamba yang beriman kepada takdir akan memahami bahwa apa yang dimiliki orang lain adalah bagian dari takdir mereka yang telah ditetapkan oleh Allah, dan bahwa Allah Maha Bijaksana dalam membagi rezeki-Nya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang yang lebih tinggi dari kalian, karena hal itu akan lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah” (HR. Muslim).
Kelima:
Sabar dalam Menghadapi Ujian
Iman kepada takdir mengajarkan seorang hamba untuk sabar dan ridha dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup.
Dia sadar bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah, dan bahwa setiap cobaan mengandung hikmah dan kebaikan, meskipun dia mungkin tidak dapat memahaminya pada saat itu.
Allah berfirman:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 216).
Ketika seorang hamba yakin bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah, dia tidak akan terlalu larut dalam kesedihan ketika ditimpa musibah.
Sebaliknya, dia akan menerima ujian tersebut dengan penuh kesabaran, dan berharap pahala dari Allah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, karena semua urusannya baik baginya. Jika ia mendapat kebaikan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, dan itu baik baginya" (HR. Muslim).
Sikap sabar inilah yang membuat seorang hamba menjadi kuat dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
Ujian yang berat tidak akan melemahkan keimanannya, melainkan justru memperkuat hubungan hatinya dengan Allah.
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kehilangan putranya, Ibrahim, beliau bersabda: “Mata ini menangis dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kami. Sungguh, kami sangat sedih dengan perpisahanmu, wahai Ibrahim” (HR. Al-Bukhari).
Keenam:
Tawakal kepada Allah Ta'ala
Orang yang beriman kepada takdir akan berserah diri sepenuhnya kepada Allah, karena dia tahu bahwa segala sesuatu di bawah kendali Allah.
Dia memahami bahwa meskipun dia harus berusaha dengan sebaik mungkin, hasil akhirnya ada di tangan Allah.
Tawakal tidak berarti meninggalkan usaha, tetapi berusaha semaksimal mungkin kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Allah berfirman: "Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Dia telah menjadikan ketentuan bagi setiap sesuatu" (QS. At-Talaq: 3).
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan contoh sempurna dalam hal tawakal.
Ketika dalam Perang Uhud, meskipun beliau berencana dan mempersiapkan segalanya dengan matang, beliau tetap mengingatkan para sahabatnya bahwa kemenangan atau kekalahan ada di tangan Allah.
Beliau bersabda: “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Mereka keluar di pagi hari dalam keadaan lapar, dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. At-Tirmidzi).
Tawakal juga berarti menerima keputusan Allah dengan lapang dada.
Seorang yang tawakal tidak akan kecewa atau marah jika hasil usahanya tidak sesuai dengan harapan, karena dia yakin bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik menurut Allah Ta'ala.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau memohon kepada Allah, maka mohonlah dengan penuh keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai” (HR. At-Tirmidzi).
Dengan demikian, iman kepada takdir memberikan ketenangan jiwa, keteguhan hati, dan sikap optimis dalam menjalani kehidupan.
Keyakinan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah membuat seorang hamba tidak mudah goyah oleh perubahan keadaan dunia, dan dia akan senantiasa bersyukur dan bersabar, serta tawakal kepada Allah dalam segala keadaan.
Ketujuh:
Menjaga Lisan dan Perilaku dari Keluh Kesah
Orang yang beriman kepada takdir akan berhati-hati dalam menyikapi cobaan dan ujian hidup, termasuk menjaga lisan dan perilaku agar tidak jatuh dalam keluh kesah atau penyesalan yang berlebihan.
Dia sadar bahwa segala yang terjadi adalah atas kehendak Allah, dan sikap keluh kesah hanya akan menjauhkan dirinya dari keridhaan Allah Ta'ala.
Keluhan yang berlebihan dan perilaku yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap ketentuan Allah dapat mengurangi pahala dari ujian yang dihadapinya.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap positif, baik dalam ucapan maupun tindakan, meskipun berada dalam situasi yang sulit.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah berupa sakit atau selainnya, melainkan Allah menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daunnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ketika seorang hamba menjaga lisannya dari keluhan, dia akan lebih mudah mengarahkan pikirannya untuk bersyukur dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa.
Kesadaran bahwa segala sesuatu telah ditetapkan dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah akan membuatnya lebih tenang dalam menghadapi ujian hidup, serta menjauhkan dirinya dari sikap terburu-buru dalam menyalahkan keadaan.
Kedelapan:
Meningkatkan Hubungan dengan Allah melalui Doa
Iman kepada takdir tidak berarti bahwa seorang hamba harus pasif dan hanya menerima segala yang terjadi tanpa usaha. Sebaliknya, dia tetap diperintahkan untuk berdoa dan memohon kepada Allah atas segala kebutuhannya. Dalam ajaran Islam, doa merupakan bentuk penghambaan yang paling mulia, dan melalui doa, seorang hamba menunjukkan kerendahan hatinya serta pengakuan bahwa segala sesuatu di tangan Allah Ta'ala.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Doa adalah senjata orang beriman, tiang agama, dan cahaya langit dan bumi” (HR. Hakim).
Dengan iman kepada takdir, seorang hamba akan menyadari bahwa doa bukanlah sekadar permintaan, melainkan juga sarana untuk mempererat hubungan dengan Allah Ta'ala.
Dia akan bersungguh-sungguh dalam berdoa, dengan penuh keyakinan bahwa apapun yang diminta, jika itu baik baginya, akan dikabulkan oleh Allah Ta'ala.
Selain itu, doa juga memberikan kekuatan batin dalam menghadapi ujian hidup. Seorang hamba yang sering berdoa akan merasa lebih dekat dengan Allah, dan dengan demikian, dia akan lebih mudah menerima apapun yang telah ditetapkan oleh Allah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan doa yang sangat indah untuk memohon kebaikan dari takdir, yaitu:
“Ya Allah, takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun aku berada, dan jauhkanlah aku dari keburukan” (HR. Ahmad).
Kesembilan:
Berprasangka Baik kepada Allah Ta'ala
Seorang mukmin yang mengimani takdir akan senantiasa berprasangka baik kepada Allah, meskipun menghadapi berbagai kesulitan.
Dia yakin bahwa apapun yang Allah tetapkan adalah yang terbaik untuk dirinya, dan bahwa Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta'ala berfirman:
"Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, maka ia akan mendapat kebaikan. Dan jika ia berprasangka buruk, maka ia akan mendapatkan keburukan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Prasangka baik kepada Allah akan membuat seorang hamba lebih optimis dan tenang dalam menghadapi hidup.
Dia tidak akan merasa putus asa ketika doanya belum dikabulkan atau ketika dia belum mendapatkan apa yang dia inginkan.
Sebaliknya, dia akan selalu yakin bahwa Allah memiliki rencana yang lebih baik untuknya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman. Semua urusannya adalah kebaikan baginya” (HR. Muslim).
Dengan berprasangka baik, seorang mukmin juga akan lebih mudah bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, sekaligus lebih bersabar ketika menghadapi cobaan.
Dia akan senantiasa mengingat bahwa segala yang terjadi, baik atau buruk menurut pandangannya, adalah bagian dari kasih sayang Allah yang ingin membawanya lebih dekat kepada-Nya.
Kesepuluh:
Mengingat Kematian dan Kehidupan Akhirat
Iman kepada takdir mengingatkan seorang hamba bahwa kehidupan dunia ini bersifat sementara dan penuh dengan ujian. Namun, kehidupan akhirat adalah tujuan utama, di mana hasil dari setiap amal perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati” (HR. Ibnu Majah).
Dengan mengingat kematian, seorang mukmin akan lebih mudah menerima takdir yang menimpanya, karena dia sadar bahwa kesulitan dunia hanyalah sementara.
Dia akan lebih fokus untuk memperbanyak amal kebaikan dan memperbaiki hubungannya dengan Allah, sehingga ketika kematian datang, dia siap untuk menghadapi kehidupan yang abadi di akhirat.
Allah Ta'ala berfirman:
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu” (QS. Ali ‘Imran: 185).
Akhirnya, iman kepada takdir memberikan kepada seorang hamba landasan yang kokoh untuk menghadapi berbagai dinamika kehidupan.
Dengan keyakinan bahwa segala sesuatu diatur oleh Allah yang Maha Bijaksana, seorang mukmin akan menjalani hidup dengan lebih tenang, optimis, sabar, dan tawakal.
Semua ini adalah bekal yang sangat berharga untuk meraih keridhaan Allah di dunia dan akhirat.
Kesebelas:
Sabar dan Tawakal dalam Menghadapi Cobaan
Seorang mukmin yang beriman kepada takdir akan selalu bersabar dalam menghadapi cobaan hidup. Kesabaran merupakan salah satu ciri orang yang beriman, dan Allah menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang bersabar.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az-Zumar: 10).
Sabar bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi lebih kepada ketahanan hati dalam menerima ketentuan Allah.
Orang yang sabar tidak akan mengeluh atau memberontak terhadap takdir Allah, melainkan akan tetap teguh dan berusaha mencari solusi terbaik dari setiap masalah yang dihadapinya.
Dia memahami bahwa cobaan adalah bagian dari ujian iman, dan bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya di luar kemampuannya.
Sebagaimana firman Allah:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Selain sabar, seorang mukmin juga akan bertawakal kepada Allah Ta'ala.
Tawakal adalah sikap menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah melakukan ikhtiar maksimal.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan usaha, tetapi justru berusaha sebaik mungkin, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Dia akan memberi rezeki kepadamu sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung yang keluar pagi dalam keadaan lapar dan kembali sore dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi).
Tawakal memberikan ketenangan hati karena seorang mukmin menyadari bahwa apapun hasil dari usahanya, itu adalah yang terbaik menurut Allah.
Dengan sikap sabar dan tawakal, seorang hamba akan lebih mudah menghadapi berbagai tantangan hidup, serta menjadikan setiap ujian sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Keduabelas:
Menghindari Rasa Putus Asa
Iman kepada takdir mencegah seorang mukmin dari rasa putus asa, meskipun menghadapi kegagalan atau kehilangan dalam hidup.
Putus asa adalah salah satu bentuk kelemahan iman, dan Islam sangat menganjurkan untuk selalu optimis dan berharap kepada Allah.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87).
Rasa putus asa muncul ketika seseorang tidak lagi melihat harapan dari situasi yang dihadapinya, namun seorang mukmin yang beriman kepada takdir akan selalu menyadari bahwa rahmat Allah sangat luas, dan Allah bisa mengubah keadaan kapan saja.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan bahwa seorang hamba harus selalu berprasangka baik kepada Allah dan tidak boleh berputus asa dari rahmat-Nya.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian ada benih, maka hendaklah ia menanamnya” (HR. Ahmad).
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan untuk tetap berusaha, meskipun tampaknya harapan sudah habis.
Dengan keyakinan kepada takdir, seorang mukmin tidak akan membiarkan dirinya terjebak dalam keputusasaan, tetapi justru akan bangkit dan terus berusaha dengan penuh harapan kepada Allah.
Ketigabelas:
Membentuk Sikap Rendah Hati dan Tidak Sombong
Iman kepada takdir juga membentuk sikap rendah hati dan menjauhkan seorang mukmin dari sifat sombong.
Dia menyadari bahwa apapun yang dia capai di dunia ini adalah berkat karunia Allah, bukan semata-mata karena usaha atau kemampuannya. Dengan pemahaman ini, seorang mukmin tidak akan merasa sombong atas keberhasilannya, melainkan selalu bersyukur dan merendahkan hati di hadapan Allah Ta'ala.
Sombong adalah salah satu sifat yang sangat dibenci oleh Allah Ta'ala.
Dalam hadits qudsi, Allah Ta'ala berfirman: “Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Siapa yang menyaingi-Ku dalam salah satu dari keduanya, maka akan Aku masukkan ke dalam neraka” (HR. Muslim).
Seorang mukmin yang beriman kepada takdir akan senantiasa menjauhkan diri dari sifat sombong, karena dia menyadari bahwa segala yang dia miliki hanyalah titipan sementara dari Allah, dan bisa diambil kapan saja oleh-Nya.
Dengan sikap rendah hati, seorang mukmin akan lebih mudah meraih keridhaan Allah, dan akan lebih dicintai oleh orang-orang di sekitarnya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya” (HR. Muslim).
Keempatbelas:
Menyadari Bahwa Dunia Hanyalah Ujian Sementara
Terakhir, iman kepada takdir mengajarkan bahwa dunia ini hanyalah tempat ujian, dan kehidupan yang sebenarnya adalah di akhirat.
Seorang mukmin yang beriman kepada takdir akan menyadari bahwa segala kenikmatan atau kesulitan yang dia alami di dunia adalah ujian dari Allah, untuk melihat sejauh mana keimanan dan ketakwaannya.
Allah berfirman:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami kalian dikembalikan” (QS. Al-Anbiya: 35).
Dengan pemahaman ini, seorang mukmin tidak akan terlalu terikat dengan dunia, tetapi akan lebih fokus mempersiapkan diri untuk kehidupan di akhirat.
Dia akan memanfaatkan segala kesempatan di dunia ini untuk memperbanyak amal kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah, karena dia tahu bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang musafir yang sedang melewati jalan” (HR. Al-Bukhari).
Dengan demikian, iman kepada takdir membawa ketenangan jiwa dan kesadaran bahwa apapun yang terjadi di dunia ini, semuanya adalah bagian dari rencana Allah yang penuh hikmah.
Kelima belas:
Menyadari Bahwa Setiap Musibah Ada Hikmahnya
Iman kepada takdir juga mengajarkan seorang mukmin bahwa di balik setiap musibah atau kesulitan pasti ada hikmah yang Allah kehendaki.
Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di dunia ini secara kebetulan, semuanya terjadi sesuai dengan kehendak dan ketetapan Allah yang penuh hikmah. Seorang mukmin yang memahami hal ini akan selalu berprasangka baik kepada Allah, meskipun ia tengah menghadapi cobaan yang berat.
Allah berfirman:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216).
Dengan keyakinan ini, seorang mukmin tidak akan terburu-buru menyalahkan takdir ketika musibah menimpanya. Sebaliknya, ia akan berusaha untuk menemukan pelajaran dan hikmah di balik setiap peristiwa yang ia alami.
Sebagai contoh, cobaan dapat menghapus dosa-dosa, meningkatkan derajat, atau menjadi sarana untuk meningkatkan ketergantungan kepada Allah Ta'ala.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit, kelelahan, penyakit, atau kesedihan, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan sebab itu” (HR. Al-Bukhari).
Dengan menyadari adanya hikmah di balik musibah, seorang mukmin akan menjadi pribadi yang lebih kuat dan optimis dalam menghadapi tantangan hidup.
Keenam belas:
Memupuk Ketegaran Hati dalam Beribadah
Iman kepada takdir juga memperkuat ketegaran seorang mukmin dalam beribadah.
Dia memahami bahwa hidup ini adalah bagian dari ujian, dan bahwa ibadah kepada Allah adalah tujuan utama keberadaannya di dunia.
Ketegaran dalam beribadah muncul dari kesadaran bahwa apapun yang terjadi, apakah kemudahan atau kesulitan, semuanya adalah bagian dari ujian Allah untuk melihat sejauh mana keistiqamahan hamba-Nya.
Allah berfirman:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Seorang mukmin yang teguh beriman kepada takdir tidak akan membiarkan urusan dunia mengalihkan perhatiannya dari kewajiban utamanya, yaitu beribadah kepada Allah Ta'ala.
Bahkan ketika ia dihadapkan pada kesulitan atau kegagalan, ia akan tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah, karena ia yakin bahwa hanya dengan berpegang teguh kepada Allah, ia akan menemukan ketenangan dan kekuatan untuk menghadapi segala cobaan.
Ketujuh belas:
Meningkatkan Kepedulian terhadap Sesama
Keyakinan pada takdir tidak hanya mempengaruhi hubungan seorang mukmin dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia.
Seorang mukmin yang beriman kepada takdir akan lebih peduli terhadap sesamanya, karena ia menyadari bahwa setiap orang menghadapi ujian dan takdir yang berbeda-beda.
Dengan pemahaman ini, ia akan lebih berempati terhadap orang lain yang tengah mengalami kesulitan, dan akan berusaha membantu mereka semampunya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Perumpamaan kaum mukminin dalam hal cinta, kasih sayang, dan kepedulian adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasakan sakit dan demam” (HR. Muslim).
Keyakinan kepada takdir juga mendorong seorang mukmin untuk bersedekah dan membantu orang lain, karena ia menyadari bahwa kekayaan dan keberhasilan yang dimilikinya adalah bagian dari takdir Allah, yang bisa kapan saja berubah.
Dengan sikap ini, seorang mukmin akan lebih mudah berbagi dan tidak akan terikat dengan kekayaan dunia.
Kedelapan belas:
Menjauhkan Diri dari Kedengkian dan Iri Hati
Iman kepada takdir juga melindungi seorang mukmin dari perasaan iri hati dan dengki terhadap keberhasilan atau kebahagiaan orang lain.
Dia menyadari bahwa setiap orang memiliki takdirnya masing-masing, dan bahwa apapun yang diperoleh oleh orang lain adalah bagian dari ketetapan Allah. Dengan pemahaman ini, dia tidak akan merasa iri atau ingin merebut apa yang dimiliki orang lain, melainkan akan merasa puas dan bersyukur dengan apa yang telah Allah tetapkan untuknya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian saling dengki, saling membenci, atau saling membelakangi, tetapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR. Muslim).
Keyakinan kepada takdir mengajarkan seorang mukmin untuk senantiasa bersyukur atas apa yang dimilikinya, dan tidak tergoda untuk iri terhadap orang lain. Sebaliknya, ia akan mendoakan kebaikan bagi orang lain dan berusaha untuk memperbaiki dirinya sendiri agar bisa meraih ridha Allah.
Dengan memahami berbagai hikmah dari iman kepada takdir, seorang mukmin akan menjadi pribadi yang lebih sabar, bersyukur, rendah hati, dan optimis dalam menghadapi kehidupan. Iman kepada takdir memberikan ketenangan hati dan keteguhan dalam beribadah serta memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar