Hukum Berpartisipasi dalam Hari Raya Orang Kafir
Syaikh: Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Di antara bid‘ah dan kesesatan yang paling besar adalah menyerupai orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan termasuk yang paling besar darinya adalah menyerupai serta ikut serta dalam perayaan hari raya mereka, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Dalam khutbah ini dijelaskan secara rinci hal-hal yang wajib dijauhi oleh kaum Muslimin berupa perbuatan dan sikap pada hari-hari raya orang kafir, karena hal-hal tersebut merupakan tanda penyerupaan dan partisipasi, yang dapat menumbuhkan rasa saling mengenal dan saling akrab, serta menghapus hakikat loyalitas kepada kaum Muslimin dan bara’ (berlepas diri) dari orang-orang kafir dan musyrik.
Dorongan Syariat untuk Mengikuti (Sunnah) dan Menjauhi Penyerupaan terhadap Orang Kafir
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya.
Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami.
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim.”
(QS. Ali ‘Imran: 102)
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari jiwa itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia mengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kalian.”
(QS. an-Nisā’: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah meraih kemenangan yang besar.”
(QS. al-Ahzāb: 70–71)
Amma ba‘du:
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid‘ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Di antara bid‘ah dan kesesatan terbesar yang mengantarkan ke neraka adalah menyerupai orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan selain mereka.
Di antara tujuan utama syariat Islam adalah membedakan kepribadian seorang Muslim dari segala bentuk percampuran dengan simbol-simbol dan syiar orang-orang kafir, agar kepribadian tersebut tetap murni dan khas, berbeda dari kepribadian penduduk bumi lainnya.
Termasuk tujuan agama ini adalah mengangkat derajat Islam, membersihkannya dari noda-noda kesyirikan, menampakkan keistimewaan dan kekhususannya dibandingkan seluruh agama dan kepercayaan lainnya.
Oleh karena itu, salah satu ciri paling khusus agama ini adalah mengikuti sunnah dan menjauhi penyerupaan terhadap orang-orang kafir, dalam perkara kecil maupun besar.
Karena itulah kita dapati Allah ﷻ menurunkan ayat-ayat yang menunjukkan pembedaan agama Islam dan pemeluknya dari agama-agama lain,
di antaranya firman Allah:
“Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan menyimpang dari kebenaran yang telah datang kepadamu.”
(QS. al-Mā’idah: 48)
Dan firman-Nya:
“Untuk masing-masing di antara kalian Kami jadikan syariat dan jalan hidup.”
(QS. al-Mā’idah: 48)
Maka syariat kalian berbeda dengan syariat mereka, dan manhaj kalian berbeda dengan manhaj mereka.
“Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah… Untuk kalian agama kalian, dan untukku agamaku.”
(QS. al-Kāfirūn: 5–6)
Agama kalian berbeda dengan agama mereka. Agama hanif ini datang menghapus seluruh agama sebelumnya, lebih tinggi dan menguasainya. Islam—dengan karunia Allah—menjadi agama Allah yang lurus, yang menguasai seluruh agama sebelumnya.
Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ telah menjelaskan melalui sabdanya:
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
Ini adalah kaidah pokok dalam agama ini tentang haramnya menyerupai orang-orang kafir.
Dan beliau ﷺ juga bersabda dalam banyak kesempatan:
“Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik.”
Ketika engkau membaca Surah al-Fatihah dalam shalat, di dalamnya terdapat firman Allah:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.”
(QS. al-Fātiḥah: 6–7)
Yakni bukan jalan Yahudi dan bukan pula jalan Nasrani, tetapi jalan kebenaran yang tidak menyerupai jalan Yahudi, Nasrani, maupun seluruh orang kafir.
Karena itulah dalam syariat kita terdapat perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir dalam banyak perkara, di antaranya:
menyegerakan berbuka puasa,
mengakhirkan sahur,
shalat dengan memakai alas kaki apabila tempatnya memungkinkan,
menghadapkannya kubur kaum Muslimin ke arah Ka‘bah, berbeda dengan kubur orang kafir,
dan masih banyak lagi perkara lain yang diperintahkan agar kita menyelisihi dan tidak menyerupai mereka.
Bahkan dalam puasa hari ‘Āsyūrā’, kita dianjurkan berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya sebagai bentuk penyelisihan, padahal kita lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada mereka, dan hari itu adalah hari Allah menyelamatkan Musa عليه السلام. Namun demikian, syariat tetap menekankan penyelisihan.
Sampai-sampai orang-orang Yahudi merasa sangat terganggu dan berkata:
“Tidaklah sahabat kalian (Muhammad) meninggalkan suatu perkara kecuali ia menyelisihi kami dalam perkara itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar