Poin-Poin Akidah dalam Ibadah Puasa
Oleh: Prof. DR Sholih bin Abdul Aziz bin Utsman Sindiy Hafizhahullah Ta’ala.
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Adapun setelahnya:
Pembahasanku kali ini adalah tentang ibadah puasa. Namun, dari satu sisi, aku melihat bahwa saudara-saudaraku memerlukan pengingat mengenai hal ini. Oleh karena itu, judul kajian ini adalah:
"Poin-Poin Akidah dalam Ibadah Puasa".
Maksudnya adalah bahwa kajian ini mencakup poin-poin akidah yang berkaitan dengan amalan hati, yang merupakan inti dari pembahasan akidah. Dan akan menjadi jelas bagi Anda, wahai saudaraku yang mulia, bahwa antara puasa dan akidah terdapat keterkaitan yang erat.
Aku telah mengumpulkan poin-poin akidah ini dalam sembilan permasalahan, yang akan aku paparkan dengan pertolongan dan taufik dari Allah dalam satu pembahasan.
1. Permasalahan pertama:
Menyaksikan nikmat Allah dalam taufik berpuasa, maka tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya.
Wahai saudara-saudaraku yang mulia, salah satu perkara yang paling bermanfaat bagi seorang hamba adalah menyaksikan bahwa nikmat Allah yang diberikan kepadanya adalah sebagai bantuan untuk beribadah. Sebagaimana salah satu hal yang paling bermanfaat adalah menyaksikan bahwa ibadah ini merupakan nikmat dari-Nya dan Allah yang memudahkan hamba untuk melakukannya. Allah Ta’ala berfirman:
"Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, 'Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, justru Allah-lah yang memberikan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada iman, jika kamu adalah orang-orang yang jujur.'" (QS. Al-Hujurat: 17).
Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) rahimahullah berkata:
"Orang yang berilmu akan berjalan menuju Allah dengan menyaksikan nikmat, dan dengan melihat kekurangan diri dan amalnya."
Selesai perkataannya, rahimahullah.
Dua perkara ini telah dikumpulkan dalam hadits penghulu istighfar, yaitu sabda Nabi ﷺ:
"Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku."
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Ighatsah:
"Hak Allah dalam ketaatan ada enam perkara:"
- Ikhlas dalam beramal.
- Menasehati karena Allah dalam amal.
- Mengikuti Rasulullah ﷺ dalam amal.
- Menyaksikan derajat ihsan dalam amal.
- Menyaksikan nikmat Allah dalam amal.
- Dan kesaksian terhadap kekurangan di dalamnya setelah itu secara keseluruhan, selesai perkataan beliau رحمه الله.
Tidak diragukan bahwa kesaksian seorang hamba bahwa Allah telah memberikan taufik kepadanya dalam beribadah menunjukkan adanya rasa cinta dalam dirinya terhadap Rabb-nya semata dan keinginannya untuk mendekat kepada-Nya. Hal ini merupakan dua buah dari dua pilar utama dalam ibadah, yaitu:
1️⃣ Cinta kepada yang memberi nikmat, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2️⃣ Mengingat dan memuji-Nya.
Maka hendaknya engkau selalu, wahai orang yang mendapat taufik, menghadirkan kesaksian akan nikmat ini dan menyadari keutamaan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu.
Ini adalah perkara yang sering kita lalai darinya, wahai orang-orang mulia. Ketika bulan Ramadan memasuki kehidupan kita dan kita melaksanakan ibadah seperti puasa atau shalat, jangan sampai kita hanya melihatnya sebagai rutinitas tanpa menyadari bahwa Allah telah memberi kita anugerah-Nya dengan taufik dan kemudahan dalam menjalankan ibadah ini.
Sebagai contoh, di antara hal yang menunjukkan betapa besar nikmat ini adalah:
🔹 Allah Subhanahu wa Ta’ala memanjangkan umur kita hingga kita dapat menjumpai bulan ini.
Tidak diragukan bahwa ini adalah nikmat yang besar. Sebagaimana dikatakan bahwa Sulaiman At-Taimi, rahimahullah, setiap kali bulan Ramadan datang, ia berkata:
"Bersungguh-sungguhlah, bisa jadi kalian tidak lagi menjumpai nya setelah tahun ini."
Kesaksian ini adalah nikmat yang besar, karena tidak semua orang diberikan kesempatan untuk hidup hingga waktu ini dan dapat melaksanakan ibadah puasa.
Di antara hal tersebut, wahai saudara-saudaraku:
Menjadi saksi dan menyadari bahwa nikmat Allah dan pemberian-Nya kepada kita dengan memberi kita wawasan.
Ibadah ini adalah anugerah yang besar, dan mengetahui cara melaksanakannya juga merupakan nikmat yang besar.
Jika kita tahu bagaimana beribadah dengan benar, itu adalah petunjuk dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan kita harus bersyukur atas hal tersebut.
Di antara hal tersebut juga adalah:
Memohon pertolongan kepada Allah dalam melaksanakan ibadah ini. Kesadaran bahwa hidayah ini adalah pemberian Allah, yang menggerakkan hatimu dan anggota tubuhmu untuk beribadah.
Tanpa pertolongan-Nya, kita tidak bisa melakukan sesuatu. Oleh karena itu, seseorang harus mengingat bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Ini adalah hal yang agung—mengingat bahwa kita dibantu oleh Allah dalam melaksanakan ibadah. Oleh karena itu, lidah seseorang seharusnya senantiasa membaca doa yang diajarkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
"Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik."
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda dalam doanya setelah berbuka puasa:
"Rizkiku datang dari-Mu, dan aku telah berbuka puasa dengan rezeki-Mu."
Jika kamu ingin mengetahui nikmat Allah kepadamu, lihatlah orang-orang yang tidak bisa berpuasa. Ini akan membuatmu semakin menghargai nikmat Allah yang telah memberikan kemampuan untuk melaksanakan ibadah ini.
Dan di antara nikmat besar itu juga—bahkan mungkin yang terbesar—adalah bahwa bulan yang mulia ini telah datang kepada kita sementara kita dalam keadaan beriman dan Muslim.
Segala puji dan syukur serta kemuliaan dan keutamaan bagi Allah atas agama Islam, yang dengannya Allah menganugerahkan kepada kita status sebagai Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Coba lihat penduduk bumi, berapa banyak dari mereka yang telah Allah pilih, lalu Dia jadikan mereka Muslim yang beriman dan yang teguh menjalankan ibadah ini?
Di antara nikmat itu: Bahwa Allah, Maha Suci dan Maha Tinggi, telah memberikan rezeki kepada kita. Maka kita pun menjalankan puasa dalam keadaan terbaik, kita berbuka dan sahur, makan dan minum di antara keduanya. Maka segala puji bagi-Mu ya Allah atas nikmat agung ini.
Di antara nikmat itu: Bahwa Allah, Maha Suci dan Maha Tinggi, telah membelenggu setan-setan.
Di antara nikmat itu: Bahwa Allah, Maha Suci, menjanjikan pahala yang besar. Kita berharap bahwa Allah, Maha Suci dan Maha Tinggi, akan memberikan kita pahala yang berlipat-lipat sebagai bagian dari rangkaian besar keutamaan yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Maka hendaknya kita memperbanyak dzikir, karena ini adalah perkara yang agung.
2. Masalah Kedua:
Menyaksikan Kekurangan
Wahai saudaraku, iman mencakup ihsan, kejujuran, dan keyakinan. Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Mu’minun:
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (Al-Mu’minun: 60)
Dalam hadis Aisyah, ia bertanya kepada Nabi ﷺ tentang ayat ini:
"Apakah mereka yang dimaksud adalah orang-orang yang mencuri, berzina, dan minum khamr?"
Nabi ﷺ menjawab:
"Bukan, wahai putri Abu Bakar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, namun takut jika amal mereka tidak diterima."
Allah ﷻ juga berfirman:
"Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Tuhan mereka, dan mereka tidak mempersekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu pun. Dan orang-orang yang memberikan (sedekah) dengan hati yang takut, karena mereka yakin akan kembali kepada Tuhan mereka." (Al-Mu’minun: 58-60)
Menyaksikan kekurangan, mengamati cacat diri, serta mengamalkan hal ini—wahai saudaraku—menuntut dua hal besar:
Pertama: Rasa merugi dan membutuhkan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Al-Wabil:
"Pintu yang paling dekat untuk seorang hamba masuk menuju Allah Ta’ala adalah rasa merugi dan membutuhkan. Sebab, orang yang merasa bangkrut (dalam ibadah) tidak akan melihat untuk dirinya keadaan maupun kedudukan apa pun."
Ia juga berkata dalam kitabnya Madarij As-Salikin:
"Barang siapa yang memiliki pandangan terhadap dirinya, maka ia akan memiliki pandangan terhadap hak-hak Allah. Ia akan jujur dalam mencari-Nya dan tidak melihat sedikit pun kebaikan dalam dirinya. Ia tidak akan bertemu dengan Allah kecuali dalam keadaan bangkrut, merendahkan diri, dan tunduk."
"Ia akan mengintrospeksi dirinya dan meneliti amalnya dengan ilmu bahwa ia tidak layak untuk Allah. Sesungguhnya ibadah yang ia lakukan itu tidak mampu menukar dengan keselamatan dari azab Allah. Terlebih menggapai pahala besar disisi Allah. Akan tetapi, semua itu adalah murni anugerah Allah."
Keberuntungan yang agung adalah mendapatkan pahala dari Allah. Jika seseorang ikhlas dalam amalnya, ia akan berada dalam keadaan yang baik bersama Allah. Ketika tiba saat kematiannya, ia akan menyaksikan nikmat yang Allah berikan padanya, keutamaan-Nya yang murni, dan ia akan sadar bahwa dirinya bukanlah pemilik dari semua itu, serta ia sebenarnya tidak pantas mendapatkannya.
"Ia akan selalu menyaksikan anugerah Allah atas dirinya, serta melihat kekurangan dan cacat dirinya dalam ibadahnya. Karena itu, ia tidak akan pernah menyombongkannya."
Inilah yang menjadikan berbagai bentuk ibadah semakin bermakna dan bermanfaat bagi seorang hamba. Oleh sebab itu, Sayyidul Istighfar (penghulu doa meminta ampunan) berbunyi:
"Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada di atas perjanjian dan janji-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang aku perbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau."
Kedua: Menyaksikan Kekurangan dan Menuntut Perbaikan Diri
Hal ini berkaitan dengan mendidik diri untuk selalu kembali kepada Allah.
"Aku dan kamu, wahai saudaraku, sangat membutuhkan ibadah taubat disaat melakukan ibadah puasa. Sebab, jika kita berusaha menegakkan ibadah puasa dengan cara yang dicintai Allah, pasti kita tidak akan mampu, sedangkan hak-hak Allah lebih besar. Adapun kelalaian dan kekurangan pasti terjadi, dan sikap meremehkan pun tidak bisa dihindari."
📖 Kaidah yang harus selalu diingat:
Semakin engkau mengagungkan kemuliaan Allah dan semakin engkau merasakan kebesaran-Nya, maka semakin besar pula kesadaranmu akan kekurangan diri mu hingga melahirkan untuk banyak- banyak bertaubat sepanjang sisa kehidupanmu.
3. Masalah ketiga:
Mengingat bahwa puasa itu untuk Allah, maka seseorang harus berpuasa karena-Nya.
Nabi ﷺ telah bersabda, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Allah berfirman:
"Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya. Ia meninggalkan syahwatnya, makanannya, dan minumannya karena-Ku."
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna dari sabda Nabi ﷺ: "Puasa itu untuk-Ku."
Pendapat pertama: Maksudnya adalah bahwa puasa merupakan ibadah yang memiliki kedudukan khusus di sisi Allah ﷻ, serta menunjukkan kecintaan-Nya kepada puasa. Oleh karena itu, tidak ada yang mengetahui kadar pahalanya kecuali Allah. Ibnu Abd al-Barr rahimahullah berkata: "Cukuplah dengan sabda Nabi ﷺ: 'Puasa itu untuk-Ku' sebagai keutamaan bagi ibadah puasa dibandingkan ibadah-ibadah lainnya."
Pendapat kedua: Makna dari sabda "Puasa itu untuk-Ku" adalah bahwa tidak ada satu pun yang menyembah selain Allah dengan ibadah puasa, berbeda dengan ibadah lainnya seperti doa, rukuk, sujud, dan salat, yang dapat dilakukan oleh orang-orang musyrik kepada selain Allah. Sementara itu, puasa tidak pernah dijadikan bentuk ibadah kepada selain Allah.
Selain itu, puasa adalah ibadah yang bersifat tersembunyi, tidak seperti ibadah lainnya yang bisa terlihat oleh manusia atau yang bisa dilakukan dengan niat untuk mendapatkan pujian dari manusia. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: "Tidak ada riya dalam puasa," karena puasa adalah ibadah batiniah yang hanya diketahui oleh Allah ﷻ.
Meskipun demikian, riya tetap bisa terjadi dalam puasa jika seseorang mengabarkan kepada orang lain bahwa ia sedang berpuasa. Namun, esensi dari ibadah puasa sendiri tidak dapat dimasuki oleh riya didalam nya.
Maksudnya, wahai para mulia! Hendaknya kita mengingat bahwa kita beribadah dalam bulan yang mulia ini kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang Dia cintai, dan ini adalah sesuatu yang harus didahulukan untuk-Nya. Oleh karena itu, kita harus berpuasa hanya karena-Nya. Dan hendaknya kita mengingat sabda Nabi Muhammad ﷺ dalam Shahihain:
"Barang siapa berpuasa Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
Makna dari perkataan beliau "dengan iman" adalah:
keimanan kepada Allah dan sebagai keutamaan karena perintah Allah serta mengharap pahala dari-Nya.
Hal ini merupakan bentuk penerapan janji yang disebutkan dalam hadis Sayyidul Istighfar. Kita terus mengambil banyak pelajaran dari hadis yang agung ini tentang pentingnya istighfar.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis:
"Dan aku berada di atas janji-Mu dan perjanjian-Mu sesuai dengan kemampuanku."
Artinya, Allah Ta’ala telah menetapkan perjanjian kepada hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk menepatinya dan tidak mengingkarinya. Firman-Nya dalam perjanjian ini dimaksudkan agar mereka melaksanakannya dengan kesempurnaan kepatuhan. Maka, menjalankan ibadah dengan iman dan mengharap pahala adalah bentuk pengamalan dari janji tersebut serta harapan akan pahala dari Allah.
Oleh karena itu, dalam perkataan Nabi ﷺ "dengan iman dan mengharap pahala" terdapat penjelasan tentang motivasi dan tujuan.
- Motivasi: adalah keimanan kepada Allah.
- Tujuan: adalah memperoleh pahala dari Allah.
4. Masalah Keempat:
Mengharap Pahala Puasa dan Mengingat Bahwa yang Memberikan Balasan adalah Dzat yang Maha Pemurah
Ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam masalah ketiga:
"Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya."
Di antara pemberian terbesar yang diberikan oleh Dzat yang memiliki keutamaan adalah bahwa Dia memberikan balasan yang agung.
Maka bagaimana jika yang memberikan balasan itu adalah Dzat yang Maha Mulia dan Maha Dermawan?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Aku sendiri yang akan membalasnya."
Maka bayangkanlah bagaimana kemurahan dan pemberian-Nya yang amat besar.
Wasiat untukmu, wahai orang yang beruntung:
Hendaknya engkau mengharapkan berbagai pahala yang disebutkan untuk puasa, di antaranya:
- Mengingat bahwa puasa adalah pintu masuk ke surga Ar-Rayyan.
- Mengingat sabda Nabi ﷺ: "Diampuni dosa-dosa yang telah lalu."
- Mengingat firman Allah: "Ramadhan adalah waktu untuk menghapus dosa-dosa yang lalu."
- Mengingat sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya pahala puasa tidak terbatas."
Dan banyak lagi keutamaan lainnya yang disebutkan tentang puasa.
Catatan penting dalam ibadah:
Harapan akan pahala yang pasti lebih kuat dalam membangkitkan keyakinan dan mendorong peningkatan ibadah.
Juga, ada hal penting lainnya terkait niat mengharap pahala, yaitu:
Seorang mukmin hendaknya memiliki dua pandangan dalam hal ini ;
Poin pertama:
Seseorang harus beriman, membenarkan, dan yakin bahwa pahala dari Allah—yang Mahasuci dan Maha Tinggi—atas ibadah ini akan diberikan. Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, pahala ini pasti akan diberikan bagi siapa saja yang memenuhi syarat-syarat penerimaan amal dan tidak ada penghalang yang menghalanginya. Ini adalah pandangan secara mutlak.
KEDUA :
Terdapat pandangan khusus yang berkaitan dengan diri seseorang. Di sini, seseorang harus berada di antara rasa takut dan harapan. Ia berharap mendapatkan pahala tersebut, dan inilah yang disebut dengan iḥtisāb yang disebutkan dalam hadis:
"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala (iḥtisāban), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
"Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan iman dan mengharap pahala (iḥtisāban), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
Ini adalah iḥtisāb, yaitu harapan akan pahala dari Allah.
Meskipun begitu, tetap harus disertai dengan rasa takut kehilangan pahala tersebut. Oleh karena itu, seseorang juga harus merasa takut terhadap kehilangan pahala, bukan karena Allah mengingkari janji-Nya—karena Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya kepada hamba-Nya—tetapi karena seseorang mungkin dihukum akibat kelalaiannya atau dosa-dosa yang menghalangi pahala tersebut.
Maka, wahai orang yang beriman, jadilah seseorang yang berada di antara rasa takut dan harapan.
5. Masalah Kelima:
Manfaatkan Pelajaran Penghambaan
Saat engkau berpuasa atau berada dalam ketaatan yang Allah mudahkan bagimu, hadirkanlah kesadaran akan penghambaan kepada Allah.
Hadirkan dalam hatimu bahwa engkau adalah hamba Allah, milik-Nya, budak-Nya, dan milik serta bawahan-Nya. Engkau hanya menghadap kepada-Nya, tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Tidak ada pilihan bagimu kecuali berkata: "Aku mendengar dan aku taat."
Allah telah memerintahkanmu untuk beribadah dengan ibadah tertentu pada waktu tertentu. Maka, jangan mengubah atau menggantinya dengan waktu lain, karena perintah ini harus ditaati sebagaimana adanya.
Ingatlah firman Allah:
"Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu."
Seorang hamba tidak memiliki hak dalam urusan dirinya sendiri, melainkan ia harus mengikuti perintah tuannya.
Ketika Allah memerintahkan sesuatu, baik secara langsung atau melalui perintah yang disampaikan oleh para utusan-Nya, hamba harus menaati tanpa ragu atau pertanyaan.
Posisi seorang hamba adalah untuk mendengar dan taat, sebagaimana dikatakan: "Aku mendengar dan aku taat." Oleh karena itu, jangan sia-siakan pelajaran tentang penghambaan.
Misalnya, dalam bulan Ramadan, diperintahkan kepadamu untuk berpuasa. Maka, tidak dibenarkan bagimu untuk makan, minum, atau bersetubuh di siang hari, kecuali dengan izin yang sah dari syariat. Dalam hal ini, engkau harus berkata: "Aku mendengar dan aku taat."
Kemudian, datanglah waktu lain yang disebut sebagai Hari Raya (Id).
Pada hari ini, tidak diperbolehkan bagimu untuk berpuasa, karena engkau tidak memiliki izin untuk itu. Maka, satu-satunya yang bisa engkau ucapkan adalah: "Aku mendengar dan aku taat."
Allah berfirman kepadamu:
"Berpuasalah di siang hari dan berbukalah di malam hari."
Maka, jawabanmu haruslah: "Aku mendengar dan aku taat."
Seandainya ditakdirkan bahwa dikatakan kepadamu: "Berpuasalah di malam hari dan berbukalah di siang hari,"
maka itu bukanlah sesuatu yang dapat engkau pertimbangkan atau diskusikan, kecuali hanya untuk mengatakan: "Saya mendengar dan saya taat."
Maka, kita adalah hamba Allah, dan inti dari ibadah ini adalah: Allah memerintahkan, lalu kita mendengar dan menaati. Kita hanyalah hamba-Nya, karena Allah telah menciptakan kita, dan kita adalah hamba-Nya.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
"Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu."
Ini mengingatkan kita pada pelajaran tentang penghambaan (ubudiyah).
6. Masalah Keenam:
Agungkanlah sebagaimana Allah telah mengagungkan
Ingatlah, wahai hamba Allah, bahwa ibadah ini—yakni ibadah puasa—adalah ibadah yang telah Allah agungkan. Cukuplah bagimu keagungannya sebagaimana firman-Nya:
"Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya."
Jika Allah telah mengagungkan ibadah ini, maka wajib bagimu untuk mengagungkannya sebagaimana Allah telah mengagungkannya.
Lihatlah ibadah ini dan waktu pelaksanaannya dengan penuh penghormatan dan kecintaan, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang memperoleh taufik. Mereka menyambut bulan ini, bergembira dengan kedatangannya, serta menanti-nantikan bulan ini dengan semangat kesabaran. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini menunjukkan pemuliaan terhadap bulan yang mulia ini.
Di antara bentuk pengagungan terhadap bulan ini dan ibadah ini adalah mengagungkannya sebagaimana Allah telah mengagungkannya, yaitu:
- Menjaga diri dari maksiat kepada Allah di bulan yang agung ini, karena mengurangi pengagungan terhadap bulan ini akan merusak keutamaan yang seharusnya diraih.
- Menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa, dengan menahan diri dari maksiat, bersungguh-sungguh dalam beribadah, dan tidak menyia-nyiakan waktu kecuali dalam ketaatan kepada Allah.
- Menjaga diri dari kelalaian, dengan berhati-hati agar tidak terkena kelalaian yang sering menimpa banyak orang di awal bulan ini. Biasanya mereka semangat dan aktif dalam tiga atau empat hari pertama, namun setelah itu semangat tersebut mulai luntur, dan akhirnya mereka terkena penyakit malas. Jika seseorang tidak waspada terhadap hal ini, maka semangat dan kesungguhannya dalam ibadah yang agung ini akan berkurang.
Ini bertentangan dan tidak sesuai dengan pengagungan kita terhadap Allah yang Maha Agung dan Maha Suci.
Maka berusahalah, kuatkan dirimu, dan berjihadlah melawan nafsumu—hingga engkau menyibukkan bulan mulia ini dengan ketaatan kepada Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Dan ini hanyalah beberapa hari yang terbatas.
7. Masalah ketujuh:
Mencari Pengaruh Iman dalam Puasa
Ibadah puasa ini memiliki pengaruh pada hati dan anggota tubuh, maka carilah pengaruhnya. Nabi ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya serta kebodohan, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya."
Seorang ulama salaf, Sufyan bin Uyaynah rahimahullah, berkata:
"Sesungguhnya paling ringan nya puasa adalah dengan meninggalkan makan dan minum."
Seolah-olah dia berkata kepada kita:
Puasa itu memerlukan usaha yang lebih dari sekadar menahan lapar dan haus, yaitu menjaga anggota tubuh dari perbuatan dosa. Itulah hakikat takwa. Pengaruh puasa yang seharusnya terlihat dalam dirimu adalah sebagaimana firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Inilah pengaruh puasa, inilah pahalanya. Inilah tujuan utama dari ibadah puasa, yaitu mencapai ketakwaan.
Jika tidak ada ketakwaan, maka puasa itu akan menjadi sia-sia dan tidak bermanfaat.
Sebagaimana firman Allah:
"Daging dan darahnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kamu." (QS. Al-Hajj: 37)
Oleh karena itu, saudara-saudaraku, Ramadhan adalah ujian. Maka bersungguh-sungguhlah dan berhati-hatilah, karena engkau sedang diuji.
8. Masalah Kedelapan:
Iman Bertambah dengan Ketaatan
Apa yang dialami seorang Muslim di bulan yang mulia ini dan apa yang dilihatnya pada saudara-saudaranya sesama Muslim merupakan bukti nyata dari kebenaran pendapat yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah:
"Bahwa iman bertambah dengan ketaatan."
Demi Allah, iman batin bertambah, begitu pula iman lahir. Iman lahir bertambah, begitu pula iman batin. Dan mereka pun mendapatkan balasan dari pahala kebaikan setelahnya,
sebagaimana firman Allah:
"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk bagi mereka dan menganugerahkan kepada mereka ketakwaan." (Muhammad: 17)
Amal perbuatan seperti rangkaian yang saling menyambung, satu amal kebaikan membawa kepada amal kebaikan berikutnya.
Maka dari itu, perhatikanlah bagaimana di bulan yang penuh berkah ini, amal-amal kebaikan terus berkesinambungan: puasa, shalat, qiyamullail, tilawah Al-Qur'an, dzikir, sedekah, i'tikaf, umrah, dan banyak ibadah lainnya.
Jika iman bertambah dengan ketaatan, maka berusahalah untuk taat kepada Allah agar imanmu menjadi sempurna.
9. Masalah Kesembilan dan Terakhir:
Waspadalah terhadap hal-hal yang haram
Jika Allah memberi Anda taufik untuk melakukan ketaatan dalam bulan ini, maka ketahuilah bahwa Anda telah memperoleh modal yang sangat berharga. Bahkan, modal ini lebih berharga daripada harta benda. Oleh karena itu, jagalah agar tidak mengalami kerugian.
Aku menasihati Anda dengan dua hal:
🌟 Pertama: Hendaknya engkau bertekad untuk terus melakukan amal saleh setelah Ramadan dan mengingat sabda Nabi ﷺ:
"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meskipun sedikit."
🌟 Kedua: Hendaknya engkau menjaga pahala ini yang engkau harapkan dari Tuhanmu Yang Maha Pemurah, dan menjaga dirimu agar tidak terjerumus dalam kebinasaan dan kerugian akibat kembali melakukan maksiat setelah bulan yang mulia ini. Maka, bertekadlah untuk meninggalkan maksiat, karena dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, keburukan yang datang belakangan dapat menghapus kebaikan yang telah lalu.
Oleh karena itu, para ulama salaf rahimahumullah menafsirkan firman Allah Ta’ala:
"Dan janganlah kalian batalkan amalan kalian." (Muhammad: 33),
dengan makna: "(dengan dosa-dosa besar)."
Maksiat memiliki dampak dalam menggugurkan amal-amal sebelumnya. Namun, jika engkau tergelincir, maka segeralah bertaubat,
sebagaimana firman Allah Ta’ala:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka diganggu oleh setan dengan suatu godaan, mereka pun segera ingat (kepada Allah), maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya)." (
Dan setelah itu: Ini adalah manfaat yang aku rasakan sebagai pengingat bagi diriku sendiri dan saudara-saudaraku.
Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai pelindung bagi kita dari keburukan ilmu dan amal, serta agar menjadi saksi yang mendukung kita, bukan hujjah yang memojokkan kita.
Ya Allah, berilah kami keikhlasan dalam niat agar kami selamat, serta ketaatan yang membawa keberhasilan. Lindungilah kami dari keburukan diri kami sendiri dan dari keburukan amal perbuatan kami.
Kami memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan, serta penerimaan dan kemurahan dalam memaafkan kekurangan dan kelalaian kami. Kami juga memohon agar Engkau memberikan akhir yang baik bagi kami dengan kebaikan, wahai Tuhan yang Maha Mulia dan Pemurah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang berbuat kebaikan.
Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar