PENJELASAN TENTANG KEWAJIBAN HAK-HAK PEMIMPIN TERHADAP RAKYAT
Alhamdulillah, Was Sholatu was Salamu ala Rosulillah, wa ba'du;
Pada bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hak-hak para pemimpin (ulama atau wali) terhadap umat, karena pentingnya hal ini dan kebutuhan yang mendesak di zaman ini untuk mengingatkan umat tentangnya.
Maka saya memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala, berharap petunjuk dan kebenaran dari-Nya:
Pertama:
KEWAJIBAN MENDENGAR DAN MENAATI PEMIMPIN DALAM KEBAIKAN:
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan kewajiban untuk mendengar dan menaati para pemimpin umat Islam dalam hal-hal yang bukan merupakan maksiat kepada Allah Ta'ala, meskipun mereka berbuat zalim atau tidak menunaikan hak-hak rakyat.
Ini adalah salah satu prinsip Ahlus Sunnah yang disepakati oleh mereka, karena terdapat dalil-dalil pasti dari Al-Qur'an dan Sunnah,
seperti firman Allah Ta'ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta para pemimpin di antara kalian” (An-Nisa: 59).
Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menaati aku maka dia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah mendurhakai Allah.
Barangsiapa yang menaati pemimpin maka dia telah menaati aku, dan barangsiapa yang mendurhakai pemimpin maka dia telah mendurhakaiku.”
Dalam Shahih Bukhari, dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mendengar dan menaati pemimpin adalah kewajiban bagi seorang Muslim, baik dalam perkara yang disukainya atau dibencinya, selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan menaati.”
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kewajibanmu adalah mendengar dan menaati dalam kesulitan dan kemudahanmu, dalam kesenangan dan ketidaksenanganmu, serta meskipun hartamu diambil tanpa hak.”
Maka dari dalil-dalil ini dan yang serupa dengannya, kewajiban untuk menaati para pemimpin umat Islam dalam hal-hal yang bukan maksiat kepada Allah Ta'ala adalah mutlak, baik dalam hal-hal yang sesuai dengan keinginan kita atau yang bertentangan dengannya, serta dalam hal yang sulit dan tidak disukai oleh jiwa, maupun yang disukai dan diinginkan oleh jiwa.
Dalam hal astara (pengkhususan para pemimpin dengan harta atau urusan duniawi), Allah Ta'ala akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diamanahkan kepada mereka.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dan Imam Nawawi membuat bab dengan judul "Bab Kewajiban Menaati Pemimpin Meskipun Mereka Tidak Menunaikan Hak", dari Salamah bin Yazid Al-Ju'fi radhiyallahu 'anhu, yang berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Wahai Nabi Allah, bagaimana jika ada pemimpin yang menuntut hak mereka dari kami, tetapi mereka tidak menunaikan hak kami, apa yang Engkau perintahkan kepada kami?”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Dengarkanlah dan taatilah, karena kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka, dan kewajiban kalian adalah apa yang dibebankan kepada kalian.’”
Dalam Shahihain dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang para pemimpin yang akan datang setelahnya, yang “Tidak mengikuti petunjukku, dan tidak menjalankan sunnahku.
Akan ada di antara mereka orang-orang yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.”
Maksudnya adalah—dengan izin Allah—orang-orang ini menentang para pemimpin tanpa bimbingan dari syariat, bukan untuk menasihati pemimpin, tetapi demi dunia dan hawa nafsu, serta menyamarkan perlawanan mereka dengan balutan agama.
Hudzaifah bertanya: “Apa yang harus aku lakukan jika aku menghadapi hal itu, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda: “Dengarkan dan taatilah pemimpin, meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, dengarkan dan taatilah.”
Dalil-dalil ini—dan banyak yang serupa dengannya—menunjukkan kewajiban mendengar dan menaati para pemimpin dengan cara yang baik, meskipun mereka lalai dalam menunaikan kewajiban mereka, atau berbuat zalim kepada orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka. Tidak sepatutnya kelalaian pemimpin dalam menunaikan hak-hak rakyat menjadi alasan bagi rakyat untuk tidak menunaikan kewajiban mereka kepada pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin dalam hal yang merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta yang bukan merupakan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah agama yang dipegang karena mengharap pahala dari Allah dan takut akan siksa-Nya.
Tidak taat kepada pemimpin dalam hal maksiat bukan berarti tidak menaati mereka sama sekali.
Sebaliknya, kita tidak menaati mereka hanya dalam perkara yang berupa maksiat, tetapi tetap wajib menaati mereka dalam hal-hal lain yang merupakan kewajiban dan disukai, serta dalam peraturan yang diperbolehkan.
Ini adalah makna dari dalil-dalil, dan merupakan keyakinan salaf yang shalih, serta salah satu prinsip yang membedakan mereka dari ahli bid'ah.
Perkataan dan dalil mereka dalam hal ini dikenal dan terjaga:
• Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Kami memandang bahwa mendengar dan menaati para pemimpin adalah wajib, baik mereka yang saleh maupun yang jahat.”
• Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Di antara sunnah adalah mendengar dan menaati para pemimpin umat Islam, baik yang saleh maupun yang jahat, selama mereka tidak memerintahkan maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.”
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi setiap orang. Ketaatan kepada pemimpin juga wajib karena Allah memerintahkan demikian. Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya dengan menaati pemimpin, maka pahalanya dari Allah. Barangsiapa yang hanya menaati pemimpin karena kepentingan dunia atau harta, maka jika diberi dia menaati, dan jika tidak diberi dia mendurhaka, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat.”
* Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, "Adapun para ulama, orang-orang yang beragama, dan orang-orang yang memiliki keutamaan – maksudnya adalah para pemimpin salaf yang saleh – mereka tidak memberi kelonggaran kepada siapa pun untuk melakukan apa yang dilarang Allah, seperti bermaksiat kepada para pemimpin, menipu mereka, atau memberontak kepada mereka dalam bentuk apa pun. Hal ini telah diketahui sebagai kebiasaan Ahlus Sunnah wal Jamaah sejak dahulu hingga sekarang, berbeda dengan selain mereka." [9]
Manfaat yang Terjadi karena Mendengar dan Menaati Pemimpin:
Dalil-dalil ini, serta penekanan dari para salaf saleh untuk menaati pemimpin dalam kebaikan, meskipun ada kezaliman atau ketidakadilan, diturunkan karena akibat buruk dari ketidaktaatan dalam kehidupan dunia dan akhirat, serta karena banyaknya manfaat yang dihasilkan dari menaati pemimpin dalam kebaikan, bersabar atas ketidakadilan, dan menunaikan hak-hak kepada yang berhak.
Di antara manfaatnya:
1. Ketaatan kepada mereka dalam kebaikan adalah bentuk ibadah kepada Allah Ta'ala dan mengikuti sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hal ini merupakan realisasi dari makna dua kalimat syahadat.
2. Ketaatan ini menyebabkan persatuan kata, penyatuan barisan, dan berkumpulnya umat dalam kebaikan serta kerja sama antara pemimpin dan rakyatnya.
3. Dengan menaati mereka, keadaan akan menjadi teratur, perintah akan terlaksana, hukuman akan ditegakkan, hak-hak akan terlindungi, kehormatan akan dijaga, keamanan akan terwujud, yang terzalimi akan mendapatkan keadilan, dan yang zalim akan dicegah. Jalan-jalan pun akan aman.
4. Negara akan kuat, kekuasaan menjadi kokoh, musuh menjadi gentar, dan ambisi orang-orang yang mengikuti hawa nafsu akan terputus.
5. Kemenangan atas musuh akan tercapai, dan kehidupan akan menjadi bahagia.
6. Jika tidak ada ketaatan kepada mereka, keadaan akan kacau, yang kuat akan menindas yang lemah, perbedaan akan terjadi, kebencian akan tersebar, api fitnah akan menyala, dan sebab-sebab penderitaan akan bertambah.
7. Ketaatan ini merupakan pelaksanaan perintah Allah Ta'ala dan ketaatan kepada-Nya terkait pemimpin, sehingga menaati mereka dalam kebaikan adalah ketaatan kepada Allah Ta'ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menaati pemimpinnya (atau dalam satu riwayat: amir), maka dia telah menaati Allah.” [10]
8. Tercapainya keamanan dan stabilitas di negeri-negeri Islam. Hal ini jelas, karena ketaatan kepada pemimpin memperkuat kekuasaannya atas rakyat, dan kekuatan pemimpin adalah salah satu sebab terbesar tercapainya keamanan, stabilitas, dan ketenangan dalam masyarakat.
9. Negara akan tampak kuat dan berwibawa, yang akan menjadi kebanggaan bagi kepemimpinan, serta hal ini akan membuat musuh gentar dan memotong ambisi orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.
10. Menghadang tipu muslihat musuh semaksimal mungkin, serta berusaha untuk menyatukan umat Islam dalam kebenaran dan menjauhkan segala sebab perpecahan di antara mereka. Para pemimpin umat Islam, meskipun mereka fasik, jahat, atau zalim, mereka tetap mendukung dan setia hanya berdasarkan ikatan Islam, serta mereka hanya akan mempertahankan kekuasaannya dengan Islam dan komunitas Muslim.
11. Kekuatan dalam dakwah kepada Allah Ta'ala, amar ma'ruf nahi munkar kepada siapa pun di mana pun, sesuai dengan keadaan, dengan petunjuk dari Al-Qur'an dan sunnah, serta mengikuti metode salaf yang saleh. Dukungan kecil dari pemimpin lebih baik dan lebih kuat daripada dukungan besar dari masyarakat umum.
12. Para pemimpin lebih kuat dari yang lain, bahkan mereka adalah pendukung para ulama dan orang-orang beragama dalam upaya menghidupkan sunnah, memperbarui agama, menyingkirkan bid'ah, dan menghentikan inovasi-inovasi yang baru dalam agama. Mereka juga berperan dalam menegakkan hukum Allah dan syariat-Nya dalam segala hal kecil maupun besar.
13. Berpegang pada sikap adil dan berusaha untuk berbuat baik kepada orang yang berhak, serta mengambil sikap memaafkan dan menahan diri sejauh mungkin, demi memenuhi hak Allah Ta'ala, mengikuti sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikuti metode salaf yang saleh.
Kedua:
KEWAJIBAN MENASIHATI PEMIMPIN MUSLIM:
Nasihat adalah kata yang mencakup makna cinta terhadap kebaikan, keinginan akan kebaikan, dan usaha untuk memberikan kebaikan kepada orang yang diberi nasihat. Nasihat adalah salah satu kewajiban besar dalam Islam, dan merupakan prinsip dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Mereka menganggap nasihat sebagai kewajiban bagi siapa yang Allah perintahkan untuk diberi nasihat.
Allah Ta'ala berfirman: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang tidak memiliki apa yang akan mereka infakkan, selama mereka memberi nasihat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (At-Taubah: 91).
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Agama adalah nasihat” – beliau mengulanginya tiga kali. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Muslim, dan umat Muslim pada umumnya.’”
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Allah ridha kepada kalian dalam tiga hal, dan membenci kepada kalian dalam tiga hal. Allah ridha kepada kalian jika kalian beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun, berpegang teguh kepada tali Allah bersama-sama, dan tidak bercerai-berai. Allah membenci kepada kalian kata-kata yang tidak berguna, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” [12]
Diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Tiga hal yang tidak akan membuat hati seorang Muslim dipenuhi kebencian: ikhlas dalam beramal kepada Allah, menasihati para pemimpin Muslim, dan tetap bersama jamaah mereka, karena doa mereka akan meliputi mereka.” [14]
Saking pentingnya nasihat, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaiat seseorang dari sahabatnya untuk memeluk Islam, beliau mensyaratkan agar mereka menasihati setiap Muslim sesuai kemampuan mereka. [15]
Dan sesungguhnya Allah mewajibkan nasihat bagi umat Islam karena banyaknya manfaat dan kepentingan besar yang terkandung di dalamnya.
Jika nasihat bagi semua umat Islam adalah wajib dan mutlak, sebagai bagian dari agama, dan merupakan salah satu hak terbesar Allah atas hamba-Nya, maka nasihat bagi para pemimpin kaum Muslimin lebih berhak dan lebih penting, karena manfaatnya meluas, kebaikannya menyebar, dan pengaruhnya bertahan lama.
Maka setiap Muslim wajib memberikan perhatian pada nasihat untuk para pemimpin, dengan niat yang tulus karena Allah, mengharap ridha dan pahala-Nya.
Ibnu Taimiyah berkata:
"Kemudian mereka (Ahlus Sunnah) dengan prinsip-prinsip ini memerintahkan kepada yang baik dan melarang yang mungkar... hingga berkata: dan mereka menganut prinsip memberikan nasihat kepada umat" .
Nasihat bagi para pemimpin adalah salah satu hak terbesar mereka atas rakyat. Maka rakyat wajib melaksanakan nasihat ini kepada mereka dengan cara yang benar. Nasihat tersebut diberikan kepada semua pemimpin, dari penguasa tertinggi hingga hakim, mufti, hisbah, pejabat, dan menteri, serta setiap orang yang memiliki otoritas, besar maupun kecil, sesuai dengan kedudukannya dan tanggung jawabnya.
Karena tugas dan kewajiban mereka besar, maka mereka berhak mendapatkan nasihat sesuai dengan tingkatan dan kedudukan mereka.
Bab:
Penjelasan tentang cara memberikan nasihat kepada para pemimpin:
1. Mengakui kekuasaan mereka dan meyakini kewajiban menaati mereka dalam hal yang baik, serta mendukung mereka dalam kebenaran.
2. Memberikan apa yang mereka butuhkan, baik dalam hal kebaikan, petunjuk kepada kebenaran, atau arahan yang bermanfaat bagi setiap orang sesuai dengan keadaan mereka.
3. Melaksanakan tugas-tugas yang mereka berikan dengan jujur, tanpa mengurangi, menipu, atau mengkhianati.
4. Mengingatkan mereka tentang kesalahan dan pelanggaran yang tidak menyebabkan kekafiran, dengan cara yang lembut dan penuh kasih sayang, serta tanpa mempermalukan atau memperolok-olok mereka.
5. Berusaha menyatukan hati rakyat di sekitar mereka, mencintai persatuan di bawah kepemimpinan mereka, dan membenci perpecahan umat dari mereka.
6. Menyampaikan keluhan kepada mereka dan memberi tahu mereka tentang hal-hal yang mungkin terlewatkan dari urusan rakyat dan hak-hak manusia.
7. Tidak memuji mereka dengan pujian palsu atau menyanjung mereka untuk mendapatkan keuntungan duniawi, atau berbohong kepada mereka.
Semua hal ini dilakukan sebagai bentuk nasihat yang benar untuk mereka, menjauhkan diri dari metode bid’ah.
Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Siapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia mengumumkannya secara terang-terangan, tetapi hendaknya dia mengambil tangannya dan berbicara secara pribadi. Jika diterima, itu bagus, jika tidak, dia telah menunaikan kewajibannya" .
Hadis ini merupakan dasar bagi cara memberikan nasihat kepada penguasa secara rahasia.
Jika seorang penasihat melakukannya dengan cara ini, maka ia telah memenuhi kewajibannya dan terbebas dari tanggung jawab.
Menyembunyikan nasihat bagi pemimpin menunjukkan kasih sayang dan keinginan akan kebaikannya. Sebaliknya, membeberkan nasihat di depan umum merupakan bentuk penghinaan, dan tidak ada kebaikan yang bisa dicapai oleh suatu kaum yang menghina penguasanya secara terang-terangan.
Dalam Musnad Ahmad dan lainnya, Nabi ﷺ bersabda:
"Siapa yang memuliakan penguasa Allah di dunia, Allah akan memuliakannya pada Hari Kiamat, dan siapa yang menghina penguasa Allah di dunia, Allah akan menghinakannya pada Hari Kiamat" .
Menghina penguasa termasuk memperlihatkan kekurangannya, berbicara tentang ketidakadilannya di hadapan umum, dan memberikan nasihat secara terbuka.
Hal ini merupakan kejahatan besar yang mengundang kekacauan dan fitnah.
Tidak peduli seberapa baik niat atau ketenaran seseorang yang melakukannya, tindakan ini bertentangan dengan syariat dan jalan salaf, dan hanya menimbulkan kesulitan dan fitnah, serta merupakan jalan para pengikut hawa nafsu dan bid’ah.
Hal ini dibuktikan dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu, ketika dia ditanya: "Mengapa kamu tidak pergi menemui Utsman untuk berbicara dengannya?"
Dia menjawab: "Kalian mengira aku tidak berbicara dengannya kecuali jika kalian mendengar?
Aku berbicara dengannya secara pribadi, tanpa membuka pintu fitnah yang tidak ingin aku menjadi orang pertama yang membukanya" .
Artinya, dia berbicara tentang bahaya mengkritik penguasa di hadapan umum, karena itu bisa memicu fitnah besar, meremehkan penguasa, dan menggerakkan orang-orang sesat untuk memberontak.
Apa yang dikhawatirkan oleh Usamah kemudian benar-benar terjadi.
Banyak fitnah dan bencana besar terjadi akibat penentangan terbuka terhadap penguasa yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Di dalam kitab Az-Zuhd, Umar bin Khattab berkata:
"Wahai rakyat, kalian punya kewajiban kepada kami: memberi nasihat dengan tulus ketika kami tidak hadir, dan mendukung kami dalam kebaikan" .
Ibnu Abbas menjawab pertanyaan seseorang tentang mengingatkan penguasa dengan kebaikan:
"Jika kamu ingin melakukannya, lakukanlah secara pribadi antara dirimu dan dia" .
Ketiga:
KEWAJIBAN BERSABAR ATAS KETIDAKADILAN PENGUASA:
Ketidakadilan dan kezaliman penguasa adalah cobaan yang menimpa sebagian umat akibat dosa-dosa, tetapi juga dijadikan Allah sebagai ujian untuk mengangkat derajat orang-orang yang sabar dan menghancurkan para pelaku kejahatan.
Allah berfirman:
"Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak dari kesalahanmu" (Asy-Syura: 30).
Allah juga berfirman:
"Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu; sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah" (Luqman: 17).
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Ketahuilah bahwa dalam bersabar atas apa yang tidak kamu sukai terdapat banyak kebaikan, kemenangan datang bersama kesabaran, jalan keluar datang bersama kesulitan, dan bersama kesulitan ada kemudahan" .
Beliau juga bersabda: "Tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran" .
Oleh karena itu, wasiat untuk bersabar atas ketidakadilan penguasa adalah prinsip yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hal ini disebabkan karena dengan bersabar, kebaikan yang lebih besar dapat tercapai, kejahatan bisa ditekan, dan keburukan dapat diminimalisir.
Kesabaran terhadap ketidakadilan penguasa mirip dengan kesabaran saat memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.
Meskipun terkadang pihak yang diperintah atau dilarang bertindak zalim, tetap diharapkan bahwa melalui tindakan ini, kebaikan yang besar akan terwujud, sementara keburukan yang banyak dapat dihindari.
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah wal Jamaah menghadapi ketidakadilan penguasa dengan bertaubat kepada Allah atas kesalahan-kesalahan mereka, memohon kepada Allah dengan doa, bersabar, dan mengharapkan pahala, serta menantikan pertolongan yang segera dari Allah.
Banyak sekali dalil yang menganjurkan bersabar atas kezaliman mereka, seperti sabda Rasulullah ﷺ:
"Barang siapa yang melihat sesuatu yang tidak disukainya dari pemimpinnya, hendaknya ia bersabar, karena siapa yang memisahkan diri dari jamaah walaupun hanya sejengkal, kemudian mati, ia mati dalam keadaan jahiliyah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
"Barang siapa yang membenci sesuatu dari penguasanya, hendaklah ia bersabar" (HR. Muslim).
Beliau bersabda lagi:
"Kalian akan melihat ada pengutamaan setelahku, maka bersabarlah sampai kalian menemuiku di telaga" (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, umat Islam harus berhati-hati dari memprovokasi atau menghasut rakyat untuk melawan penguasa, serta dari meremehkan mereka atau menyebarkan aib mereka karena kezaliman yang mereka lakukan.
Hal ini berdasarkan hadis dalam Sunan At-Tirmidzi dari Abu Bakrah yang mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Siapa yang menghina penguasa Allah di bumi, Allah akan menghinakannya" .
Hudzifah radhiyallahu 'anhu berkata: "Tidaklah suatu kaum berjalan menuju penguasa Allah di bumi untuk merendahkannya, kecuali Allah akan menghinakan mereka sebelum mereka mati" .
Kenyataan membuktikan hal ini, bahwa siapa saja yang berusaha memicu fitnah terhadap penguasa pasti akan merasakan kehinaan sebelum ia meninggal.
Ini merupakan hukuman ketetapan Allah.
• Imam Ibnu Zamanin rahimahullah berkata:
"Salah satu pendapat Ahlus Sunnah adalah bahwa penguasa adalah bayangan Allah di bumi. Barang siapa yang tidak mengakui adanya penguasa atas dirinya, baik penguasa yang saleh maupun yang zalim, maka ia berada di luar jalan Sunnah".
Beberapa sahabat Rasulullah ﷺ, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud, dan Anas bin Malik, hidup pada masa pemerintahan para penguasa yang terkenal dengan kefasikan, ketidakadilan, dan penindasan, seperti Yazid, Marwan bin al-Hakam, al-Walid bin Uqbah, dan Hajjaj bin Yusuf.
Meski demikian, para sahabat tersebut tetap mendengar dan menaati perintah mereka selama dalam kebaikan (ma’ruf), serta menunaikan salat di belakang mereka.
Mereka tidak memerintahkan orang-orang untuk mencela atau melawan para penguasa ini, sebab kefasikan dan ketidakadilan mereka tidak mengeluarkan mereka dari Islam.
Sebaliknya, para sahabat menganjurkan agar umat tetap mendengar dan taat dalam hal-hal yang baik, serta mereka memperingatkan dengan keras orang-orang yang memprovokasi agar tidak patuh atau memberontak terhadap para penguasa.
Sebab, ketaatan dan nasihat kepada penguasa, kesabaran terhadap ketidakadilan mereka, serta menjauhkan diri dari hasutan dan pemberontakan, akan membawa persatuan dan mencegah timbulnya fitnah dan kerusakan.
• Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
"Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa ketidakadilan para penguasa adalah hukuman dari Allah, dan hukuman dari Allah tidak bisa dilawan dengan pedang. Namun, hukuman itu hanya bisa dicegah dan dihindari dengan doa, taubat, dan berhenti dari dosa."
• Beliau juga berkata:
"Jika manusia bersabar ketika diuji dengan kekuasaan penguasa, tidak lama kemudian Allah akan mengangkat musibah tersebut dari mereka."
• Ketika Hasan mendengar seseorang berdoa agar Hajjaj bin Yusuf celaka, beliau berkata:
"Jangan lakukan, semoga Allah merahmatimu.
Sesungguhnya kalianlah yang membawa hal ini kepada diri kalian sendiri.
Kita takut jika Hajjaj dicopot atau mati, kalian akan dipimpin oleh kera dan babi."
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah bersabar atas ketidakadilan para penguasa, dan mereka menganjurkan umat untuk bertaubat kepada Allah serta memohon agar Allah menghilangkan kesulitan yang mereka hadapi.
Mereka tidak bertindak yang dilarang oleh syariat, seperti mengangkat senjata, memprovokasi fitnah, atau memberontak terhadap penguasa, karena mereka mengetahui bahwa tindakan-tindakan tersebut hanya dilakukan dan dihiasi oleh orang-orang yang tidak menghormati Al-Qur'an dan Sunnah di dalam hati mereka. Orang-orang tersebut hanyalah dipengaruhi oleh tipu daya Ahlul Kitab dan orang musyrik, serta dijerumuskan oleh setan untuk menghancurkan mereka dan umat melalui mereka.
• Ibnu Abi al-Izz dalam syarah Al-Aqidah ath-Thahawiyyah berkata:
“Sebaliknya, bersabar atas ketidakadilan mereka bisa menjadi penebus dosa dan pengganda pahala, sebab Allah tidak akan menimpakan penguasa yang zalim kepada kita kecuali karena rusaknya amal-amal kita.
Dan balasan itu sesuai dengan amal.
Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh dalam beristighfar, bertaubat, dan memperbaiki amal,
sebagaimana firman Allah:
‘Apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian)’ (QS. Asy-Syura: 30).
Dan Allah juga berfirman:
‘Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim itu sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan’ (QS. Al-An'am: 129).”
Oleh karena itu, jika umat ingin terbebas dari kezaliman seorang penguasa yang zalim, hendaknya mereka meninggalkan perbuatan zalim.
• Hasan al-Bashri rahimahullah juga berkata tentang para penguasa:
"Mereka memegang lima hal dari urusan kita:
salat Jumat, salat berjamaah, hari raya, pertahanan perbatasan, dan pelaksanaan hudud (hukuman-hukuman pidana syariat). Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, meskipun mereka zalim atau tidak adil.
Demi Allah, kebaikan yang Allah ciptakan melalui mereka jauh lebih banyak daripada kerusakan yang mereka timbulkan, walaupun taat kepada mereka memang terasa menyakitkan, dan memisahkan diri dari mereka adalah kekafiran."
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"Harus diketahui bahwa memimpin urusan manusia adalah salah satu kewajiban terbesar dalam agama; bahkan agama dan dunia tidak akan tegak kecuali dengan itu. Sebab, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka kecuali dengan berkumpul, dan ketika mereka berkumpul, mereka memerlukan seorang pemimpin."
Keempat:
KEWAJIBAN MENINGGALKAN CELAAN DAN FITNAH TERHADAP PENGUASA:
Banyak dalil yang shahih menunjukkan larangan mencela penguasa, karena mencela mereka dapat mengubah hati rakyat, memprovokasi kerusuhan, menyulut api fitnah, dan membuka pintu kejahatan bagi umat.
Dalam Sunan At-Tirmidzi, Abu Bakrah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang menghina penguasa Allah di bumi, Allah akan menghinakannya."
Dalam kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim dengan sanad yang baik, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa para sahabat besar melarang kita untuk mencela para penguasa dan menyuruh kita untuk bertakwa kepada Allah dan bersabar, karena urusan ini dekat."
Semua ini menunjukkan pentingnya menghormati penguasa dan menjaga kesatuan umat.
Dalam kitab At-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr rahimahullah, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa sahabat-sahabat besar Rasulullah ﷺ mengatakan: "Sesungguhnya tanda awal kemunafikan seseorang adalah ketika dia berbicara buruk tentang penguasa."
Dari riwayat ini, para sahabat Rasulullah ﷺ sepakat untuk melarang celaan terhadap penguasa, karena mencela mereka dapat merusak kehormatan posisi yang mereka emban serta tanggung jawab besar yang dibebankan kepada mereka oleh syariat. Penguasa tidak bisa melaksanakan tugasnya secara optimal jika mereka dicela, dan celaan tersebut dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam kebaikan serta menyebarkan kebencian di hati rakyat.
Selain itu, tindakan ini membuka peluang bagi para pengikut hawa nafsu dan para penghasut fitnah untuk memperkeruh suasana, sehingga memperbesar potensi timbulnya kekacauan.
Ibnu Abdil Barr juga meriwayatkan dari Abu Darda' radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata:
"Tanda awal kemunafikan seseorang adalah ketika dia menusuk (berbicara buruk) tentang pemimpinnya."
Dalam kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim, juga dari Abu Darda' radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
"Hati-hatilah dari melaknat para penguasa, karena melaknat mereka adalah ‘al-halâqah’ (penghancur), dan membenci mereka adalah ‘al-‘aqârah’ (pemutus).” Maka seseorang bertanya: "Wahai Abu Darda’, bagaimana jika kita melihat dari mereka apa yang kita tidak sukai?"
Dia menjawab: "Bersabarlah, karena jika Allah melihat itu dari mereka, maka Allah akan menahan mereka dari kalian dengan kematian."
• Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah berkata: "Suatu hari, Syaqiq bin Salamah rahimahullah mendengar seseorang mencela Hajjaj bin Yusuf, maka dia berkata:
'Janganlah mencelanya, dan apa yang membuatmu tahu mungkin saja dia telah berkata: 'Ya Allah, ampunilah aku,' maka Allah pun mengampuninya.'"
• Beliau juga berkata dalam menjelaskan beberapa bentuk nasihat untuk para penguasa: "Hendaknya menjauhi celaan dan tuduhan terhadap mereka serta menyebarkan keburukan mereka.
Hal ini membawa bahaya besar dan kerusakan yang serius.
Sebagai bagian dari nasihat, harus berhati-hati dan memperingatkan orang dari tindakan semacam itu."
Bagi siapa saja yang melihat penguasa melakukan hal yang tidak diperbolehkan, hendaknya dia menasihati mereka secara diam-diam dan lembut, tanpa mengumumkannya di hadapan umum.
Ini adalah metode yang harus diterapkan kepada semua orang, terutama para penguasa.
Cara ini mengandung kebaikan yang besar, dan merupakan tanda keikhlasan serta kebenaran niat.
Beliau juga menambahkan:
"Dan hendaknya seseorang berhati-hati dari memuji dirinya di hadapan manusia karena telah memberikan nasihat kepada penguasa.
Sebab, tindakan semacam ini akan merusak nasihat tersebut dan mengurangi pahalanya."
Dengan demikian, Ahlus Sunnah menekankan pentingnya memberikan nasihat secara tertutup, tidak menyebarkan keburukan penguasa di hadapan umum, serta menjaga keikhlasan dalam menasihati.
Tujuan utamanya adalah menjaga persatuan umat, mencegah timbulnya fitnah, dan memelihara stabilitas serta kebaikan dalam masyarakat.
Juga, wajib untuk meninggalkan celaan terhadap kehormatan para penguasa, merendahkan mereka, atau mendoakan keburukan bagi mereka.
Hal-hal semacam ini menanamkan kebencian, menumbuhkan dendam dan permusuhan, memprovokasi fitnah, dan menimbulkan perpecahan di antara umat.
Kewajiban seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir adalah berusaha keras untuk mendamaikan sesama mukmin, menyatukan kata-kata kaum Muslimin, menyatukan hati mereka, dan menghilangkan penyebab permusuhan serta kerusakan hubungan.
Terutama jika seseorang tersebut adalah seorang yang berilmu dan dihormati dalam masyarakat, maka kewajibannya lebih besar, karena hal ini mengandung ketaatan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya ﷺ serta mendatangkan manfaat bagi hamba-hamba-Nya.
Kelima:
PENTINGNYA DOA YANG BAIK UNTUK PARA PENGUASA
Ketika para pengikut hawa nafsu menampakkan celaan terhadap para penguasa dan mendoakan keburukan bagi mereka, para imam Ahlus Sunnah menegaskan pentingnya memuliakan urusan kepemimpinan umum dan mendoakan para penguasa agar diberi kebaikan, petunjuk, serta ketepatan.
• Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang ketaatan kepada penguasa.
Dia mengangkat tangannya dan berkata: "Semoga Allah memberi kesehatan kepada penguasa – taat kepadanya itu harus – Subhanallah, penguasa."
• Imam Abu Bakar Al-Marwazi berkata: "Aku mendengar Abu Abdullah, yakni Imam Ahmad – disebutkan di hadapannya tentang Khalifah Al-Mutawakkil – beliau berkata:
'Aku selalu mendoakannya agar diberi kebaikan dan kesehatan.'
Dan beliau berkata: 'Jika terjadi sesuatu padanya, lihatlah betapa besar dampak buruknya bagi Islam.'"
• Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: "Jika kamu melihat seseorang mendoakan keburukan untuk penguasa, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu. Dan jika kamu mendengarnya mendoakan kebaikan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut Sunnah, insya Allah."
• Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: "Jika aku memiliki satu doa yang dikabulkan, aku tidak akan menggunakannya kecuali untuk penguasa." Kemudian seseorang bertanya kepadanya: "Wahai Abu Ali, jelaskan hal ini kepada kami."
Dia menjawab: "Jika aku mendoakan diriku, maka doa itu hanya untukku.
Namun, jika aku mendoakan penguasa, maka dengan baiknya penguasa, baik pula seluruh rakyat dan negeri."
• Beberapa ulama salaf ditanya:
"Apakah kamu mendoakan kebaikan untuk penguasa, padahal dia zalim?"
Mereka menjawab: "Ya, demi Allah, aku mendoakannya.
Karena apa yang ditolak oleh Allah melalui keberadaan mereka lebih besar daripada apa yang akan terjadi jika mereka tidak ada."
• Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
"Mendoakan penguasa adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia dan salah satu bentuk ketaatan yang terbaik, serta merupakan bagian dari nasihat kepada Allah dan hamba-hamba-Nya."
• Beliau juga berkata:
"Doa untuk penguasa merupakan bagian dari nasihat kepada penguasa yang termasuk dalam konsekuensi baiat. Sebagian dari nasihat tersebut adalah mendoakan penguasa agar diberi petunjuk, hidayah, niat yang baik, dan perbuatan yang baik, serta diberi pembantu yang baik."
Aku berkata: "Beliau – Syaikh bin Baz – sering kali berdoa kebaikan untuk para penguasa, terutama ketika orang-orang mencela mereka dalam beberapa masalah dan bahkan mendoakan keburukan bagi mereka dalam beberapa keadaan, baik secara jelas maupun tersirat.
Syaikh Bin Baz tidak pernah menyelesaikan pengajian, ceramah, atau pelajaran kecuali beliau mendoakan kebaikan bagi kaum Muslimin secara umum dan bagi para penguasa secara khusus."
Faedah mendoakan penguasa
Tidak diragukan lagi bahwa doa untuk kebaikan penguasa memiliki banyak manfaat, di antaranya:
1. Doa adalah ibadah kepada Allah Ta'ala, dan seorang hamba yang ikhlas akan mendapatkan pahala atas ibadah tersebut.
2. Orang yang mendoakan penguasa dengan kebaikan akan mendapatkan balasan yang serupa dengan doa yang ia panjatkan, sesuai sabda Rasulullah ﷺ: "Barang siapa yang mendoakan kebaikan untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya, malaikat yang ditugaskan akan berkata: 'Amin, dan bagimu juga hal yang serupa.'"
3. Orang yang mendoakan penguasa akan mendapatkan pahala atas setiap kebaikan yang dilakukan oleh penguasa tersebut, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk rakyatnya, karena ia menjadi penyebabnya.
4. Doa untuk penguasa adalah bentuk keyakinan dari orang yang berdoa bahwa penguasa tersebut adalah imamnya dan wajib ditaati,
sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Aku melihat ketaatan kepada Amirul Mukminin, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dalam keadaan sulit dan mudah, dan aku selalu mendoakannya agar diberi petunjuk dan ketepatan, siang dan malam."
5. Ini adalah tanda bahwa orang yang berdoa termasuk Ahlus Sunnah dan terbebas dari para pengikut hawa nafsu dan fitnah, sebagaimana disebutkan oleh Al-Barbahari.
Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap penguasa
Karena banyaknya dalil yang ada, maka metode Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menghadapi penguasa adalah:
a. Mengumpulkan hati manusia di sekitar penguasa.
b. Berusaha menyebarkan cinta dan persatuan antara penguasa dan rakyat.
c. Memutus segala sebab yang dapat menimbulkan perpecahan dan pertentangan selama memungkinkan.
d. Memberikan nasihat kepada penguasa secara tertutup dan mengajak rakyat bersabar terhadap kezaliman yang mungkin dilakukan oleh penguasa.
e. Menyadarkan rakyat agar menghilangkan kezaliman dengan taubat nasuha, bersedekah secara terang-terangan dan tersembunyi, mengembalikan hak-hak yang terzalimi, memberikan nasihat yang jujur kepada penguasa, bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan, serta bersabar dan banyak beristighfar.
f. Memohon kepada Allah Ta'ala dengan doa yang baik untuk para penguasa.
g. Kewajiban Bertobat kepada Allah Ta'ala dari Dosa yang Dilakukan oleh Rakyat
Rakyat harus bertaubat kepada Allah Ta'ala dari dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Sebab, para pemimpin dan musuh hanya dikuasai atas mereka karena dosa-dosa mereka, di antaranya seperti tidak membayar zakat dan melanggar janji.
Metode Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam menghadapi para pemimpin adalah dengan mengikuti jejak para pendahulu (salaf) dan berpegang teguh pada dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah dalam semua aspek agama, baik yang berkaitan dengan hak Allah Ta'ala maupun hak sesama makhluk-Nya.
Mereka mencontoh dan mengikuti, tidak berinovasi (bid'ah), dan tidak menentang nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah dengan akal, pikiran, atau hawa nafsu mereka, ataupun dengan apa yang didiktekan oleh orang lain.
Ibnu Mas'ud ra. berkata, "Kami meneladani, tidak berinovasi. Kami mengikuti, tidak mengada-adakan, dan kami tidak akan tersesat selama kami berpegang teguh pada sunnah (jejak para sahabat)."
Beliau juga berkata, "Akan ada perkara-perkara yang samar.
Oleh karena itu, bersikaplah hati-hati, karena menjadi pengikut dalam kebaikan lebih baik daripada menjadi pemimpin dalam keburukan."
Keenam:
TIDAK SAH BERBAIAT KEPADA PEMIMPIN LAIN DI SAAT ADA PEMIMPIN YANG SAH
Tidak boleh berbaiat kepada seseorang yang tidak ada atau tidak dikenal, atau yang tidak memiliki kekuasaan yang jelas, ketika ada pemimpin umum yang sah.
Berbaiat kepada selainnya ketika ada pemimpin yang sah merupakan tindakan memecah belah umat Islam, melanggar baiat, dan melepaskan diri dari ketaatan.
Hal ini termasuk ciri-ciri kekufuran, perilaku jahiliyah, menimbulkan fitnah, melanggar Al-Qur'an dan Sunnah, serta bertentangan dengan ijma' (konsensus) umat.
Ini juga merupakan usaha merusak agama dan melanggar kehormatan.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa siapa saja yang melakukan hal tersebut telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, dan jika ia mati, matinya seperti mati dalam keadaan jahiliyah.
Nabi juga mewajibkan umat untuk memenggal lehernya, siapa pun dia.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk taat kepada para pemimpin yang ada dan yang diketahui, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur urusan manusia, bukan untuk taat kepada orang yang tidak ada atau tidak dikenal, atau orang yang tidak memiliki kekuasaan apa pun."
Siapa pun yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan menyeru orang untuk berbaiat kepadanya serta mendengarkan dan menaatinya, padahal ada pemimpin sah yang sedang berkuasa, maka dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya, serta telah menyelisihi nash-nash syariat.
Orang semacam itu tidak sah untuk ditaati, bahkan haram untuk mengikutinya.
Saya katakan:
Barang siapa yang menyeru kepada baiat untuk dirinya sendiri atau menerima baiat dari orang lain, padahal masih ada pemimpin yang sah, maka dia telah memecah belah persatuan, memisahkan diri dari jamaah, dan melepaskan ikatan Islam dari lehernya.
Wajib untuk memintanya bertobat, dan jika tidak, dia harus diberi hukuman yang dapat mencegahnya,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
"Barang siapa datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian sudah dipimpin oleh satu orang, namun dia ingin memecah belah persatuan kalian, atau ingin memisahkan kalian, maka bunuhlah dia."
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
Dari sini, jelas bahwa perbuatan memecah belah umat dengan cara mengangkat pemimpin lain di saat sudah ada pemimpin yang sah bukan hanya dilarang, tetapi juga dianggap sebagai pelanggaran yang sangat serius dalam Islam.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pentingnya persatuan umat di bawah satu kepemimpinan dan melarang adanya usaha-usaha untuk memecah belah persatuan umat.
Barang siapa yang melakukan tindakan demikian, dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalil-dalil dan Penjelasan Ulama tentang Pentingnya Taat kepada Pemimpin yang Sah :
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Ibn Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada pemimpin), maka dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan tanpa alasan, dan barang siapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada pemimpin yang sah), maka matinya adalah mati jahiliyah."
Dalam riwayat Muslim dari hadits Sufyan, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya akan ada nanti sepeninggalku para pemimpin yang tidak menuntun dengan petunjukku dan tidak berpegang dengan sunnahku.
Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang berhati setan dalam tubuh manusia." Aku (Hudzaifah) berkata, "Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapati hal itu?"
Beliau menjawab, "Tetaplah mendengarkan dan mentaati pemimpinmu, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Tetaplah dengar dan taat."
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan dalam Majmu' Fatawa-nya bahwa melawan pemimpin yang sah tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat merupakan salah satu bentuk keluar dari jamaah kaum muslimin dan menyebabkan terjadinya fitnah dan kerusakan.
Beliau menegaskan bahwa seorang pemimpin, meskipun memiliki kekurangan dan kesalahan, tetap harus ditaati dalam hal-hal yang ma’ruf, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Jika pemimpin yang sah telah ada, maka tidak boleh ada seorang pun yang membaiat orang lain sebagai pemimpin, karena hal itu akan menyebabkan perpecahan di antara kaum muslimin dan mengundang berbagai fitnah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari tindakan yang dapat memecah belah kesatuan umat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yang datang kepada kalian sementara urusan kalian (umat Islam) telah bersatu di bawah satu pemimpin, kemudian dia ingin memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia, siapapun orangnya."
Hadits ini menunjukkan betapa tegasnya Islam dalam menjaga persatuan umat di bawah satu kepemimpinan.
Islam melarang dengan keras upaya-upaya yang dapat memicu terjadinya perpecahan, terutama dalam hal kepemimpinan.
Sebab, keberadaan pemimpin yang sah adalah salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas umat dan kelangsungan hidupnya dalam tatanan sosial yang teratur.
Ketaatan kepada Pemimpin dalam Rangka Menjaga Stabilitas dan Keutuhan Umat
Ketaatan kepada pemimpin merupakan bagian dari prinsip dasar dalam ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ini bukan sekadar sikap formal, tetapi didasarkan pada upaya menjaga stabilitas dan keamanan umat Islam.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama Ahlus Sunnah, ketaatan kepada pemimpin, selama tidak diperintahkan kepada kemaksiatan, adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan dalam Majmu' Fatawa-nya bahwa tidak ada kebaikan yang akan terwujud jika umat Islam tidak memiliki pemimpin yang ditaati.
Oleh sebab itu, meskipun seorang pemimpin memiliki kekurangan atau berlaku tidak adil, selama ia masih menegakkan syariat dan menjaga urusan umat Islam, ia tetap wajib ditaati dalam perkara-perkara yang ma’ruf.
Perintah untuk taat ini berlaku selama tidak diperintahkan kepada kemaksiatan, karena dalam hal tersebut tidak ada ketaatan bagi makhluk jika harus bermaksiat kepada Allah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma menegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaknya ia bersabar. Karena barang siapa yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin sejengkal saja, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah."
Kesimpulan: Pentingnya Menjaga Persatuan dan Menghindari Perpecahan
Dari berbagai dalil di atas, jelas bahwa persatuan umat di bawah satu pemimpin yang sah merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam.
Upaya-upaya untuk memecah belah umat, baik dengan mengangkat pemimpin lain atau dengan melawan pemimpin yang sah tanpa alasan yang syar'i, merupakan tindakan yang sangat dikecam dalam ajaran Islam.
Selain itu, menjaga stabilitas dan keamanan umat dengan taat kepada pemimpin yang sah adalah bagian dari tanggung jawab setiap muslim, selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Ketaatan ini bukan hanya untuk menjaga ketertiban sosial, tetapi juga bagian dari kewajiban agama.
.........
[1] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. (2957) dan Muslim no. (1835), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. (7144) dan Muslim no. (1839) dari Ibn Umar Radhiyallahu anhuma.
[3] Dikeluarkan oleh Muslim no. (1836), dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4] Dikeluarkan oleh Muslim no. (1846), dari hadits Salamah bin Yazid Al-Ju’fi Radhiyallahu anhu.
[5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. (7084) dan Muslim no. (1847), dari hadits Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu anhu.
[6] Sambungan dari hadits sebelumnya.
[7] Lihat catatan di atas teks Lum’ah Al-I’tiqad, hlm. 181.
[8] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (35/16,17).
[9] Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (35/12).
[10] Sudah disebutkan sebelumnya.
[11] Dikeluarkan oleh Muslim no. (55), dari hadits Tamim Ad-Dari Radhiyallahu anhu.
[12] Dikeluarkan oleh Muslim no. (1715), dari hadits Abu Hurairah Radhiyallah uanhu.
[13] "Tidak ada pengkhianatan": dari kata khianat, dan artinya: bahwa tiga hal ini dapat memperbaiki hati, maka barang siapa yang berpegang teguh pada hal ini, hatinya akan bersih dari khianat, tipu daya, dan kejahatan.
[14] Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi no. (2658), dari hadits Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu.
Dikeluarkan juga oleh Abu Dawud no. (3660), At-Tirmidzi no. (2656), dan Ibn Majah no. (230), dari hadits Zaid bin Thabit Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan.
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (3/225) no. (12937), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Syaikh Syuaib Al-Arnauth berkata: Shahih untuk selainnya, dan ini sanad hasan.
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (4/79) no. (16296), Ibn Majah no. (231), dan Ad-Darimi no. (228), dari hadits Jubair bin Muth’im Radhiyallahuanhu. Syaikh Syuaib Al-Arnauth berkata: Shahih untuk selainnya. Hadits ini juga dipastikan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (6/30).
[15] Sebagaimana dikatakan oleh Jariir bin Abdullah Radhiyallahuanhu: "Aku membaiat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk memberi nasihat kepada setiap Muslim," dikeluarkan oleh Muslim no. (56).
[16] Lihat Sharh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, hlm. 215.
[17] Sudah disebutkan sebelumnya.
[18] Sudah disebutkan sebelumnya.
[19] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. (3267) dan Muslim no. (2989).
[20] Dikeluarkan oleh Hanad dalam Al-Zuhd (2/602) no. (1281), dan disebutkan oleh Al-Hindi dalam Kanzul ‘Ummal no. (14334).
[21] Disebutkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (15/74) dan Ibn Rajab dalam Jam’u Al-Ulum wal Hikam (1/225).
[22] Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (3/308) no. (2800), dan disebutkan oleh Ibn Rajab dalam Jam’u Al-Ulum wal Hikam (1/460), dan An-Nawawi dalam Al-Arba’in An-Nawawiyyah no. (19), dari hadits Ibn Abbas Radhiyallahu anhuma. Ibn Rajab berkata: Diriwayatkan oleh Abdur-Rahman bin Hamid dalam Al-Musnad dengan sanad yang lemah, tetapi Al-Albani memverifikasi hadits ini dalam Al-Silsilah Ash-Shahihah no. (2382), dan Ahmad Syakir berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan tiga sanad, salah satunya shahih, sedangkan dua lainnya terputus, dan Syaikh Syuaib Al-Arnauth berkata: Shahih.
[23] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. (1469), dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahuanhu.
[24] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. (7054) dan Muslim no. (1849), dari hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahuanhuma.
[25] Sudah disebutkan sebelumnya.
[26] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. (3163), dari hadits Anas Radhiyallahuanhu.
Dikeluarkan juga oleh Muslim no. (1061), dari hadits Abdullah bin Zaid Radhiyallahuanhu.
[27] Sudah disebutkan sebelumnya.
[28] Sudah disebutkan sebelumnya.
[29] Sudah disebutkan sebelumnya.
[30] Lihat Adab Al-Hasan Al-Bashri oleh Ibn Al-Jawzi, hlm. 119.
[31] Lihat As-Shari’ah oleh Al-Ajuri (1/73).
[32] Lihat Adab Al-Hasan Al-Bashri oleh Ibn Al-Jawzi, hlm. 119.
[33] Lihat Sharh Al-Tahawiyyah, hlm. 541.
[34] Lihat Jam’u Al-Ulum wal Hikam oleh Ibn Rajab (2/117).
[35] Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. (2608), dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu anhu.
Dikeluarkan juga oleh Abu Dawud no. (2609), dari Abu Hurairah RA. Menurut Al-Nawawi dalam Riyadus Shalihin no. (967) hlm. (351): Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan, dan Al-Albani memverifikasi hadits ini dalam Shahih Abu Dawud (2347), dalam Shahih Al-Jami’ no. (500), dan dalam Al-Silsilah Ash-Shahihah no. (1322).
[36] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/177) no. (6609). Dan Al-Thabrani dalam Majma’ Al-Zawaid (4/82) berkata: Di dalamnya ada Ibn Lahi’ah dan haditsnya hasan, sedangkan sisa perawi Ahmad adalah perawi yang sahih, tetapi Al-Albani melemahkan hadits ini dalam Al-Silsilah Adh-Dha’ifah no. (589), dan berkata: Dan perawinya terpercaya kecuali Ibn Lahi’ah karena ia buruk dalam hafalan, saya berkata: Dan ada dukungan dari hadits sebelumnya.
[37] Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz (8/210).
[38] Sudah disebutkan sebelumnya.
[39] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman (6/69) no. (7523), dan Ibn Abi Aasim dalam As-Sunnah (3/34) no. (847), dan dalam Zhilal Al-Jannah (2/217) no. (1015). Al-Albani berkata dalam Zhilal: Sanadnya baik.
[40] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman (7/48) no. (6406).
[41] Dikeluarkan oleh Ibn Abi Aasim dalam As-Sunnah (3/35) no. (848), dan dalam Zhilal Al-Jannah (2/218) no. (1016). Al-Albani berkata dalam Zhilal: Lemah.
[42] Dikeluarkan oleh Hanad dalam Al-Zuhd (2/464) no. (931), dan disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (4/102), serta Al-Dzahabi dalam Sir Al-A’lam Al-Nubala (4/165), dari Al-Zubairqan, ia berkata: Aku berada di dekat Abu Wail yang sedang mencela Al-Hajjaj...dll. Dan Abu Wail adalah Shiqiq bin Salamah.
[43] Lihat Riyad An-Nadhirah, hlm. 49.
[44] Lihat As-Sunnah oleh Al-Khallal (1/76), kata editor Dr. Atiah Az-Zahrani: Sanadnya sahih.
[45] Lihat As-Sunnah oleh Al-Khallal (1/84), kata editor Dr. Atiah Az-Zahrani: Sanad dari atsar ini sahih.
[46] Sudah disebutkan sebelumnya.
[47] Lihat Sharh As-Sunnah oleh Al-Barbahari (1/51), dan hal serupa diriwayat
kan dari Imam Ahmad dan Sufyan Al-Thawri rahimahullah.
[48] Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz (8/210).
[49] Dikeluarkan oleh Muslim no. (2732), dari hadits Abu Darda Radhiyallahuanhu.
[50] Dikeluarkan oleh Al-Lalaka’i dalam Sharh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah (1/96).
[51] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman (7/297) no. (10371).
[52] Sudah disebutkan sebelumnya.
[53] Dari hadits Usamah bin Sharik Radhiyallahuanhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Setiap orang yang keluar untuk memecah belah umatku, maka bunuhlah dia," dikeluarkan oleh An-Nasa’i no. (4035).
Dan dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (2/161) no. (6465) dengan lafaz yang serupa, dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu anha.
Dan dari ‘Urfajah Radhiyallahuanhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Akan ada hal-hal yang mengganggu, dan barang siapa yang ingin memecah belah urusan umat ini ketika mereka bersatu, maka bunuhlah dia dengan pedang, siapapun dia," dikeluarkan oleh Muslim no. (1852).
[54] Lihat Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah (1/115).
[55] Dikeluarkan oleh Muslim no. (1852), dari hadits ‘Urfajah bin Syarik Radhiyallahuanhu. Lihat catatan di atas.
---