KEHIDUPAN ALAM BARZAKH
Alhamdulillah, Was Sholatu was Salamu ala Rosulillah, wa ba'du;
Kaum mukminin saling berbeda dalam kedudukan mereka di alam barzakh, dan derajat mereka sangat beragam.
Yang paling mulia derajatnya di barzakh adalah para nabi, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka.
Ruh-ruh para nabi berada di tempat tertinggi di 'Illiyyin, di kalangan malaikat tertinggi.
Hal ini ditunjukkan dalam hadis tentang peristiwa Isra dan Mi'raj, di mana Nabi Muhammad ﷺ bertemu dengan para nabi di langit-langit dengan tingkat kedudukan mereka yang berbeda-beda.
Beliau melihat Musa berdiri sedang salat, Isa berdiri sedang salat, dan Ibrahim berdiri sedang salat, serta Ibrahim bersandar di Baitul Ma'mur.
Dari hadis Isra dan Mi'raj terdapat dua petunjuk:
1. Para nabi adalah makhluk beriman yang memiliki kehidupan terbaik di alam barzakh.
2. Para nabi memiliki perbedaan derajat dalam kehidupan barzakh mereka.
Qadhi 'Iyadh berkata:
"Dalam tingginya kedudukan Nabi kita dan keunggulannya di atas para nabi lainnya, serta pencapaiannya ke tempat tertinggi di alam semesta, terdapat bukti tentang ketinggian derajatnya dan keistimewaan keutamaannya."
Di antara perbedaan derajat kaum mukminin di barzakh adalah keutamaan yang dimiliki para syuhada, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi ﷺ ketika
beliau ditanya tentang firman Allah:
"Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki." (QS. Ali Imran: 169).
Beliau ﷺ bersabda:
"Ruh-ruh mereka berada dalam tubuh burung-burung hijau, yang memiliki lentera-lentera yang tergantung di 'Arsy.
Mereka berkeliling di surga sesuai kehendak mereka, kemudian kembali ke lentera-lentera tersebut.
Lalu, Tuhan mereka melihat mereka dan bertanya: 'Apakah kalian menginginkan sesuatu?'
Mereka menjawab: 'Apa lagi yang kami inginkan, sedangkan kami dapat pergi ke mana saja di surga sesuai kehendak kami?' Allah mengulangi pertanyaan ini kepada mereka sebanyak tiga kali.
Ketika mereka menyadari bahwa mereka harus meminta sesuatu, mereka berkata: 'Wahai Tuhan kami, kami ingin Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke tubuh kami, sehingga kami dapat terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.'
Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki permintaan lain, mereka pun ditinggalkan seperti itu."
Nabi ﷺ juga bersabda:
"Tidak ada seorang pun yang masuk surga ingin kembali ke dunia, meskipun ia memiliki segala sesuatu di bumi, kecuali syahid. Ia berharap bisa kembali ke dunia dan terbunuh sepuluh kali lagi karena kemuliaan yang ia lihat."
Syahid memiliki kehidupan khusus di alam barzakh yang membedakannya dari kaum mukmin lainnya.
Ibnu Abil 'Izz berkata:
"Adapun kehidupan khusus yang Allah berikan kepada para syuhada, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
'Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki' (QS. Ali Imran: 169)
dan firman-Nya:
'Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka mati; sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya' (QS. Al-Baqarah: 154),
Sesungguhnya Allah menjadikan ruh mereka berada dalam tubuh burung-burung hijau...
Karena mereka telah mengorbankan tubuh mereka untuk Allah hingga musuh-musuh-Nya menghancurkannya, maka Allah menggantikan tubuh tersebut dengan tubuh lain yang lebih baik di alam barzakh, yang mereka gunakan hingga hari kiamat. Kenikmatan mereka melalui tubuh tersebut lebih sempurna daripada kenikmatan ruh tanpa tubuh...
Maka bagian mereka dari kenikmatan di alam barzakh lebih besar dibandingkan orang-orang mukmin lainnya yang berada di atas ranjang mereka, meskipun orang mukmin tersebut mungkin memiliki derajat yang lebih tinggi dari mereka.
Namun, ia memiliki kenikmatan yang khusus yang tidak dimiliki oleh orang yang derajatnya lebih rendah darinya. Dan Allah lebih mengetahui."
*Allah juga mengharamkan tanah memakan jasad para nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis sunan. Adapun jasad para syuhada, telah ditemukan beberapa jasad mereka setelah beberapa waktu lamanya masih utuh sebagaimana ketika dikuburkan.
Hal ini memungkinkan jasad mereka tetap utuh di kubur hingga hari kebangkitan, atau mungkin juga jasad mereka akan hancur seiring waktu.
Allah lebih mengetahui. Tampaknya—dan Allah lebih mengetahui—semakin sempurna keikhlasan seorang syahid dan semakin tinggi derajatnya, maka semakin lama jasadnya bertahan."
Ibnu Qayyim berkata:
*"Ruh-ruh itu berbeda dalam tempat tinggalnya di alam barzakh dengan perbedaan yang sangat besar.
Di antaranya: Ada ruh-ruh yang berada di tingkat tertinggi di 'Illiyyin, bersama malaikat tertinggi, yaitu ruh-ruh para nabi, semoga salawat dan salam tercurah atas mereka.
Mereka juga memiliki tingkatan yang berbeda sebagaimana yang dilihat Nabi ﷺ pada malam Isra.
Ada pula ruh-ruh yang berada dalam tubuh burung-burung hijau yang terbang di surga ke mana pun mereka kehendaki.
Itu adalah ruh sebagian para syuhada, bukan semuanya.
Karena di antara para syuhada ada yang ruhnya tertahan dari masuk ke surga karena memiliki utang atau sebab lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam Musnad dari Muhammad bin Abdullah bin Jahsy bahwa ada seseorang yang datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya:
‘Wahai Rasulullah, apa yang aku peroleh jika aku terbunuh di jalan Allah?’
Beliau menjawab: ‘Surga.’ Namun ketika orang itu pergi,
beliau berkata: ‘Kecuali apa yang baru saja disampaikan Jibril kepadaku.’
Ada juga di antara mereka yang tertahan di kuburnya, seperti dalam hadis tentang seseorang yang mengambil selimut dari harta rampasan perang lalu ia syahid. Orang-orang berkata: ‘Selamat baginya surga!’ Namun Nabi ﷺ bersabda: ‘Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, selimut yang ia ambil itu sedang menyala sebagai api di kuburnya.’
Sebagian ruh syuhada berada di depan pintu surga, seperti dalam hadis Ibnu Abbas:
‘Para syuhada berada di tepi Barq (sebuah sungai di pintu surga) di dalam kubah hijau. Rizki mereka dari surga datang kepada mereka pagi dan petang.’
Hal ini berbeda dengan Ja’far bin Abi Thalib yang Allah gantikan kedua tangannya dengan dua sayap yang ia gunakan untuk terbang di surga ke mana pun ia kehendaki.
Ada pula ruh-ruh yang tertahan di bumi dan tidak naik ke malaikat tertinggi.
Sebab, ruh tersebut adalah ruh duniawi yang rendah. Ruh-ruh duniawi tidak akan menyatu dengan ruh-ruh langit, sebagaimana di dunia ia tidak menyatu dengannya.
Ruh yang selama di dunia tidak mengenal Tuhannya, tidak mencintai-Nya, tidak mengingat-Nya, tidak merasa dekat kepada-Nya, serta tidak berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, akan tetap menjadi ruh duniawi yang rendah.
Setelah berpisah dari tubuhnya, ruh itu akan berada di tempat yang sesuai dengan sifatnya.
Sebaliknya, ruh yang selama di dunia senantiasa mencintai Allah, mengingat-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya, dan merasa dekat dengan-Nya, akan bergabung dengan ruh-ruh langit yang serupa dengannya.
Seseorang akan bersama dengan siapa yang ia cintai di alam barzakh dan pada hari kiamat.
Allah akan menyatukan ruh-ruh itu dengan yang serupa di alam barzakh dan pada hari kebangkitan.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis, ruh orang mukmin akan bersama dengan ruh-ruh yang baik, yaitu ruh-ruh yang serupa dan sejenis dengannya. Ruh, setelah berpisah dari tubuhnya, akan bergabung dengan teman-teman sejenisnya, saudara-saudaranya, dan orang-orang yang amalannya serupa dengannya. Maka, ruh itu akan bersama mereka di sana.
Sebagian ruh berada di dalam tungku para pezina, sebagian lagi berada di sungai darah sambil berenang di dalamnya dan diberi makan batu.
Oleh karena itu, ruh-ruh tidak memiliki tempat tinggal yang sama, baik itu ruh yang bahagia maupun yang celaka.
Ada ruh yang berada di tingkat tertinggi di 'Illiyyin, sementara yang lainnya berada di bawah, terikat di bumi, dan tidak dapat naik darinya."*
Pembahasan Pertama:
Apakah Jiwa Mati? Apakah Ruh Binasa?
Qadhi Iyadh berkata: "Ruh itu tetap ada dan tidak binasa.
Orang yang berbuat baik akan diberi kenikmatan, sedangkan orang yang berbuat buruk akan disiksa, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis.
Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah, berbeda dengan kelompok bid'ah yang berpendapat bahwa ruh itu binasa."
Beliau juga berkata:
*"Sabda Nabi ﷺ: *(‘Sesungguhnya ruh, ketika dicabut, diikuti oleh pandangan mata’)
adalah dalil bahwa kematian bukanlah kebinasaan total atau ketiadaan mutlak. Kematian hanyalah perpindahan dan perubahan keadaan, serta kebinasaan tubuh tanpa ruh, kecuali bagian tulang ekor.
Sabda Nabi ﷺ dalam hadis lainnya: (‘Pandangan matanya mengikuti ruhnya’) adalah hujjah bagi orang yang mengatakan bahwa ruh dan jiwa adalah makna yang sama, karena di awal cerita disebut ruh, sedangkan di akhir disebut jiwa dengan konteks yang sama."
Abu Al-Abbas Al-Qurthubi berkata:
"Dari keseluruhan Al-Qur'an dan sunnah, dapat dipahami bahwa ruh tetap ada setelah kematian, dan ia mengalami kenikmatan atau azab hingga hari kiamat."
Beliau juga berkata: "Sabda Nabi ﷺ: (‘Sesungguhnya ruh, ketika dicabut, diikuti oleh pandangan mata’),
dan dalam hadis Abu Hurairah:
(‘Itulah saat pandangannya mengikuti ruhnya’)
menunjukkan bahwa ruh dan jiwa adalah istilah yang mengacu pada makna yang sama, yaitu sesuatu yang dicabut pada saat kematian.
Allah lebih mengetahui.
Dari kedua hadis tersebut, dapat dipahami bahwa kematian bukanlah ketiadaan mutlak, tetapi pemutusan hubungan ruh dengan tubuh, perpisahan, dan penghalangan antara keduanya.
Tubuh akan hancur dan binasa kecuali tulang ekor, yang darinya manusia diciptakan dan akan disusun kembali pada hari kiamat."
Ibnu Taimiyah berkata:
"Ruh adalah makhluk yang tidak diragukan, dan ia tidak akan lenyap atau binasa. Kematian ruh adalah perpisahan dari tubuh, dan pada tiupan sangkakala kedua, ruh akan dikembalikan ke tubuhnya."
Beliau juga berkata:
"Pendapat para nabi, para pengikut mereka, dan mayoritas orang berakal adalah bahwa ruh berpisah dari tubuh dan tetap ada setelah perpisahan itu.
Barang siapa yang mengatakan bahwa setelah tubuh mati tidak ada ruh yang berpisah darinya, atau bahwa ruh hanyalah bagian dari tubuh atau sifat dari tubuh, maka pendapatnya selain bertentangan dengan akal yang benar, juga menyelisihi kitab-kitab Allah yang diturunkan, para rasul-Nya, serta para pengikut mereka dari semua agama."
Ibnu Qayyim berkata:
"Yang benar adalah bahwa kematian jiwa adalah perpisahannya dari tubuh dan keluarnya dari tubuh tersebut.
Jika yang dimaksud dengan kematian jiwa adalah seperti itu, maka jiwa merasakan kematian.
Tetapi jika yang dimaksud adalah kebinasaan total dan menjadi ketiadaan mutlak, maka jiwa tidak mati dalam pengertian itu.
Jiwa tetap ada setelah diciptakan, dalam kenikmatan atau azab, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, dan sebagaimana yang ditegaskan dalam nash bahwa ia tetap seperti itu hingga Allah mengembalikannya ke tubuhnya."
Beliau juga berkata:
"Ruh diciptakan untuk kekekalan, bukan untuk kebinasaan.
Ini adalah kebenaran, dan yang menyelisihinya hanyalah segelintir orang dari kalangan ateis yang berpendapat bahwa ruh binasa bersama tubuh karena dianggap sebagai kekuatan tubuh atau sifat tubuh.
Kelompok ini terbagi menjadi dua:
satu kelompok mengingkari kebangkitan jasad,
sedangkan kelompok kedua mengakui kebangkitan jasad tetapi berpendapat bahwa Allah akan mengembalikan kekuatan dan sifat-sifat tubuh, termasuk ruh.
Dengan demikian, ruh dianggap binasa bersama tubuh.
Menurut kedua kelompok ini, tidak ada ruh yang berdiri sendiri, menyertai tubuh, berpisah darinya, terhubung, atau terpisah darinya."
Kebenaran yang disepakati oleh para rasul dan para pengikut mereka adalah bahwa ruh-ruh ini tetap ada setelah berpisah dari tubuhnya.
Ruh tidak binasa dan tidak lenyap, melainkan diberi nikmat atau disiksa di alam barzakh.
Kemudian, pada hari kebangkitan, ruh akan dikembalikan kepada tubuhnya sehingga ruh bersama tubuh tersebut akan mendapatkan kenikmatan atau azab.
Ruh tidak binasa dan tidak lenyap.
Ibnu Abi Al-‘Izz berkata:
"Manusia berbeda pendapat tentang apakah ruh itu mati atau tidak.
Sebagian mengatakan bahwa ruh mati karena ia adalah jiwa, sedangkan setiap jiwa pasti merasakan kematian...
Jika para malaikat saja mati, maka jiwa manusia lebih utama untuk mati.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa ruh tidak mati karena ia diciptakan untuk kekekalan.
Yang mati hanyalah tubuh, dan dalilnya adalah hadis-hadis yang menunjukkan kenikmatan dan azab ruh setelah berpisah dari tubuhnya hingga Allah mengembalikannya ke tubuhnya.
Pendapat yang benar adalah bahwa kematian jiwa adalah perpisahannya dari tubuh dan keluarnya dari tubuh tersebut. Jika yang dimaksud dengan kematian jiwa adalah seperti itu, maka ruh merasakan kematian.
Namun, jika yang dimaksud adalah kebinasaan total dan lenyap sepenuhnya, maka ruh tidak mati dalam pengertian tersebut.
Ruh tetap ada setelah penciptaannya, dalam kenikmatan atau azab...
Allah juga telah mengabarkan bahwa para penghuni surga
‘tidak akan merasakan kematian di dalamnya kecuali kematian pertama’ [Ad-Dukhan: 56],
dan kematian itu adalah perpisahan ruh dari tubuhnya."
As-Saffarini berkata:
"Dari apa yang disebutkan dalam dasar akidah, ruh tetap ada, dan tidak akan binasa, lenyap, atau sirna, karena ia diciptakan untuk kekekalan.
Yang mati hanyalah tubuh, dan dalilnya adalah hadis-hadis yang menunjukkan kenikmatan dan azab ruh setelah berpisah dari tubuhnya hingga Allah mengembalikannya kepadanya.
Jika ruh mati, maka kenikmatan dan azab tersebut akan terputus darinya."
As-Saffarini juga menyebutkan dalam syair akidahnya:
"Dan ruh-ruh makhluk tidaklah lenyap,
walau ia diciptakan, maka pahamilah."
Ibnu Utsaimin menjelaskan:
"Beliau (As-Saffarini) berkata: ‘Dan ruh-ruh makhluk tidaklah lenyap,’ maksudnya, kita meyakini bahwa ruh-ruh makhluk tidak lenyap.
Kata ‘tidak’ di sini bermakna ‘tidak akan’, yakni tidak akan lenyap di masa depan, karena Allah menciptakannya untuk kekekalan, bukan untuk kebinasaan. Sebagaimana Allah menciptakan surga untuk kekekalan, bukan untuk kebinasaan. Allah menciptakan neraka, dan apa yang ada di dalam surga seperti bidadari dan pelayan-pelayannya untuk kekekalan, bukan untuk kebinasaan.
Begitu pula ruh-ruh, ia diciptakan untuk kekekalan, bukan untuk kebinasaan. Maka ruh tidak akan lenyap."
Pembahasan Ketiga:
Apakah manusia mengetahui sesuatu tentang keadaan dunia setelah kematiannya?
Diriwayatkan dari Anas bin Malik رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya seorang hamba, ketika diletakkan di dalam kuburnya dan teman-temannya telah meninggalkannya, dia benar-benar mendengar suara sandal mereka…"
Diriwayatkan juga dari Anas رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ membiarkan para korban perang Badar selama tiga hari, kemudian beliau mendatangi mereka dan berdiri di atas mereka seraya memanggil:
"Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Umayyah bin Khalaf, wahai Utbah bin Rabi’ah, wahai Syaibah bin Rabi’ah! Bukankah kalian telah mendapati janji Rabb kalian itu benar? Karena aku telah mendapati janji Rabb-ku itu benar."
Lalu Umar رضي الله عنه mendengar perkataan Nabi ﷺ itu, maka dia berkata:
"Wahai Rasulullah, bagaimana mereka mendengar sedangkan mereka sudah membusuk?"
Beliau ﷺ menjawab:
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak lebih mampu mendengar apa yang aku katakan dibandingkan mereka. Namun mereka tidak mampu menjawab."
Kemudian beliau memerintahkan agar mereka diseret dan dilemparkan ke dalam sumur di Badar.
Ibnu Taimiyah, setelah menyebutkan berbagai dalil yang ada, mengatakan:
"Dalil-dalil ini dan yang semisalnya menunjukkan bahwa orang yang mati pada dasarnya dapat mendengar perkataan orang yang hidup, tetapi tidak mesti pendengaran itu terus-menerus.
Bisa jadi dia mendengar pada kondisi tertentu dan tidak mendengar pada kondisi lainnya, sebagaimana halnya orang yang hidup, yang kadang mendengar percakapan orang yang berbicara kepadanya dan kadang tidak mendengarnya karena adanya penghalang."
Beliau juga mengatakan:
"Dalil yang sahih dari Nabi ﷺ lebih diutamakan dibandingkan takwil sebagian sahabat atau selain mereka.
Dan tidak ada dalam Al-Qur’an yang menafikan hal itu.
Adapun firman Allah: ‘Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati mendengar.’ [An-Naml: 80],
yang dimaksud adalah pendengaran yang bermanfaat bagi mereka.
Ayat ini adalah perumpamaan bagi orang-orang kafir, yang memang mendengar suara tetapi tidak mendengar dengan pendengaran penerimaan, pemahaman, dan ketaatan,
sebagaimana firman-Nya: ‘Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang memanggil (hewan ternaknya) yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan saja.’ [Al-Baqarah: 171].
Maka begitu pula halnya dengan orang mati yang dijadikan perumpamaan dalam ayat tersebut.
Tidak mesti semua jenis pendengaran dinafikan dari mereka, sebagaimana semua pendengaran tidak dinafikan dari orang-orang kafir.
Yang dinafikan hanyalah pendengaran yang bermanfaat. Adapun jenis pendengaran lainnya, itu tidak dinafikan dari mereka."
Beliau menambahkan:
"Dalam hadits sahih dari Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa orang mati mendengar suara langkah sandal orang yang meninggalkannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan sebelumnya.
Lantas bagaimana hal ini dapat disangkal?"
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang mati di dalam kuburnya tidak mendengar selama dia tetap dalam keadaan mati, sebagaimana pendapat Aisyah رضي الله عنها yang berpegang pada dalil dari Al-Qur’an. Namun, apabila Allah menghidupkan mereka, maka mereka mendengar, sebagaimana Qatadah berkata: "Allah menghidupkan mereka untuk itu."
Meskipun kehidupan itu bukan seperti kehidupan yang biasa kita rasakan.
Kita, misalnya, tidak dapat melihat malaikat dan jin, atau mengetahui apa yang dirasakan orang yang mati dalam tidurnya.
Demikian pula manusia tidak mengetahui isi hati orang lain, kecuali jika Allah memberikan pengetahuan tersebut kepadanya.
Ibnu Qayyim berkata:
"Rasulullah ﷺ telah mensyariatkan kepada umatnya agar ketika mereka memberi salam kepada penghuni kubur, mereka mengucapkan salam seolah-olah sedang berbicara kepada orang yang mendengarnya, dengan mengatakan: ‘Semoga keselamatan tercurah atas kalian, wahai penghuni tempat orang-orang beriman.’
Ini adalah bentuk percakapan dengan orang yang mendengar dan memahami. Jika tidak, ucapan tersebut akan seperti berbicara kepada benda mati atau sesuatu yang tidak ada.
Para ulama salaf sepakat atas hal ini, dan riwayat-riwayat yang mutawatir dari mereka menyebutkan bahwa orang mati mengetahui kunjungan orang yang hidup kepadanya dan merasa senang dengannya."
Ibnu Katsir berkata:
(Telah berdalil Ummul Mu'minin Aisyah radhiyallahu 'anha dengan ayat ini: "Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang yang mati mendengar" (QS. An-Naml: 80)
untuk melemahkan riwayat Abdullah bin Umar yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara kepada para korban perang Badar yang telah dilemparkan ke dalam sumur setelah tiga hari.
Nabi mencela dan menghardik mereka, hingga Umar berkata kepadanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau bicarakan kepada kaum yang telah membusuk?" Maka Nabi bersabda: "Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian tidak lebih mendengar apa yang aku katakan dibandingkan mereka, tetapi mereka tidak bisa menjawab." Aisyah menafsirkannya dengan mengatakan bahwa Nabi bersabda: "Sesungguhnya sekarang mereka mengetahui bahwa apa yang aku katakan kepada mereka adalah benar."
Qatadah berkata: "Allah menghidupkan mereka untuk Nabi agar mereka mendengar ucapannya sebagai celaan, teguran, dan hukuman."
Pendapat yang benar menurut para ulama adalah riwayat Ibnu Umar.
Hal ini diperkuat dengan dalil bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya mayit mendengar derap sandal orang-orang yang mengantarnya jika mereka meninggalkannya."
Nabi juga telah mensyariatkan kepada umatnya untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur dengan cara yang seolah berbicara kepada mereka, seperti ucapan: "Salam sejahtera atas kalian, wahai penghuni negeri orang-orang beriman." Ucapan ini ditujukan kepada yang mendengar, memahami, dan merespons, meskipun orang yang memberi salam tidak mendengar jawabannya. Demikian pandangan para salaf, dan telah mutawatir atsar-atsar dari mereka bahwa mayit mengetahui kunjungan orang hidup dan merasa bahagia...*
Adapun Aisyah, meskipun ia menafsirkan ayat ini sesuai pemahaman literal, Ibnu Hajar menjelaskan kemungkinan bahwa ia berubah pendapat setelah mengetahui kebenaran riwayat para sahabat.
Dalam kitab-kitab hadis juga disebutkan dalil-dalil yang mendukung pendapat bahwa mayit dapat mendengar dan merasakan kehadiran orang hidup, baik melalui riwayat sahih maupun pendapat para ulama seperti Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah.**
Kesimpulannya, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan sunnah yang shahih, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa mayit di kubur dapat mendengar salam dan ucapan dari orang hidup.
Meskipun Aisyah memiliki pendapat berbeda, hal itu tidak dapat menafikan riwayat-riwayat shahih lainnya. Wallahu a'lam.
Dan dari semua itu terdapat dalil bahwa orang mati mendengar ucapan orang hidup, dan salah satu dalil yang paling jelas untuk talqin setelah penguburan adalah salam kepada mereka serta menyapa mereka dengan sapaan kepada yang mendengar, memahami, dan mengetahui ketika mereka diziarahi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sebab keduanya (salam dan sapaan) adalah bentuk komunikasi kepada orang yang ada di kuburnya.
Ibn Katsir rahimahullah telah mendukung pendapat tentang orang mati mendengar dalam tafsirnya terhadap surat Ar-Rum, khususnya pada firman Allah Ta’ala:
“Maka sesungguhnya engkau tidak dapat menjadikan orang mati mendengar, dan tidak pula orang tuli mendengar panggilan.” (QS. Ar-Rum: 52)
hingga firman-Nya:
“Maka mereka pun menjadi tunduk.” (QS. Ar-Rum: 53).
Beliau menyebutkan banyak dalil dalam hal ini yang juga telah kami sampaikan dalam perkataan Ibn Qayyim dan Ibn Abi Dunya, serta dari ulama lainnya. Selain itu, beliau juga menyebutkan berbagai pengalaman nyata (mimpi atau kisah riwayat) yang menunjukkan hal tersebut.
Dengan semua yang telah kami sebutkan dalam pembahasan ini terkait ayat surat An-Naml, kita dapat memahami bahwa pendapat yang dikuatkan oleh dalil adalah bahwa orang mati mendengar salam dan sapaan orang hidup kepada mereka, baik kita katakan bahwa Allah mengembalikan ruh mereka sehingga mereka mendengar dan membalas jawaban, atau kita katakan bahwa ruh itu sendiri mendengar dan membalas setelah jasadnya hancur.
Karena telah dijelaskan bahwa masalah ini didasarkan pada dua premis:
1. Kebenaran bahwa orang mati dapat mendengar sebagaimana ditegaskan oleh hadits-hadits shahih,
2. Tidak adanya pertentangan dalam Al-Qur'an dengan hadits-hadits shahih tersebut jika kita memahami ayat-ayatnya dengan tafsir yang benar, yang didukung oleh berbagai indikasi dalam Al-Qur'an.
Jika kebenaran ini telah ditetapkan melalui sunnah yang shahih tanpa adanya penentangan dari Al-Qur'an maupun sunnah lainnya, maka hal ini lebih kuat daripada penafsiran Aisyah radhiyallahu 'anha dan yang mengikutinya terhadap sebagian ayat Al-Qur'an sebagaimana telah dijelaskan.
Ibn Utsaimin rahimahullah berkata:
*“Sesungguhnya Nabi ﷺ mengabarkan bahwa orang mati ketika dikuburkan dan malaikat mendatanginya, ia mendengar suara langkah para pengiringnya yang kembali meninggalkan kubur. Ini adalah pendengaran dalam keadaan dikubur.
Dan Nabi ﷺ berdiri di atas sumur tempat jasad orang-orang Quraisy yang tewas dalam perang Badar, lalu beliau menyeru mereka dengan nama-nama mereka dan nama ayah mereka.
Ketika para sahabat mempertanyakan hal itu, beliau bersabda:
‘Kalian tidak lebih mendengar apa yang aku ucapkan dibandingkan mereka.’
Namun, meskipun kita katakan bahwa mereka mendengar, mereka tidak dapat memberikan manfaat kepada orang lain, dalam arti bahwa mereka tidak bisa mendoakan, memohonkan ampunan, atau memberi syafaat bagi orang hidup.”*
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar