Kamis, 19 Desember 2024

NIKMAT DIUTUSNYA RASUL



﴿كَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا فِیكُمۡ رَسُولࣰا مِّنكُمۡ یَتۡلُوا۟ عَلَیۡكُمۡ ءَایَـٰتِنَا وَیُزَكِّیكُمۡ وَیُعَلِّمُكُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَیُعَلِّمُكُم مَّا لَمۡ تَكُونُوا۟ تَعۡلَمُونَ﴾ [البقرة ١٥١]

"Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian, menyucikan kalian, mengajarkan kalian kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang sebelumnya tidak kalian ketahui" (QS. Al-Baqarah: 151).

Penjelasan tentang tafsir ayat ini:

Al Imam Al Mufassir Abu Ja'far Ath Thobary rahimahullah Ta'ala berkata: 

Allah Yang Mahaagung berfirman, "Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul." 
Artinya, untuk menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian dengan menjelaskan syariat agama yang lurus, dan membimbing kalian kepada agama kekasih-Ku, Ibrahim, 'alaihis salam. 
Aku juga menjadikan untuk kalian doa Ibrahim, sebagaimana doanya: 'Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu, dan dari keturunan kami umat yang berserah diri kepada-Mu, tunjukkanlah kepada kami cara-cara ibadah kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.' (QS. Al-Baqarah: 128). 

Dan Aku juga memenuhi doanya yang lain: 'Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.' (QS. Al-Baqarah: 129).

 Maka Aku mengutus Rasul-Ku dari kalangan kalian, sebagaimana dimohonkan oleh Ibrahim kekasih-Ku dan anaknya Ismail agar diutus seorang rasul dari keturunan mereka.

Kata "Sebagaimana" dalam kalimat ini menjadi penyambung (penghubung) terhadap pernyataan Allah sebelumnya: "Untuk menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian." 
Tidak terkait dengan firman-Nya "Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian."

Pendapat lain:

Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini adalah: "Ingatlah Aku sebagaimana Aku telah mengutus kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, maka Aku akan mengingat kalian." 

Namun, pendapat ini dianggap kurang tepat. 
Kata "Sebagaimana" dalam bahasa Arab biasanya digunakan untuk menyatakan perbandingan atau sebab, bukan untuk penghubung yang kompleks.

Kata ini sering digunakan dalam percakapan seperti, "Sebagaimana aku telah berbuat baik padamu, maka berbuat baiklah kepadaku." 
Sehingga, dalam konteks ini, tidak dapat diartikan sebagai kaitan langsung dengan perintah untuk "Mengingat Allah."

Penafsiran kata-kata dalam ayat:

"Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian": Merujuk pada kaum Arab, yang diutus seorang nabi dari kalangan mereka sendiri, yaitu Muhammad ﷺ.

"Yang membacakan kepada kalian ayat-ayat Kami": Yakni, ayat-ayat Al-Qur'an.

"Dan menyucikan kalian": Artinya, membersihkan kalian dari dosa-dosa.

"Dan mengajarkan kepada kalian kitab dan hikmah": Kitab merujuk kepada Al-Qur'an, sementara hikmah merujuk kepada sunnah dan pemahaman dalam agama.

"Dan mengajarkan kepada kalian apa yang sebelumnya tidak kalian ketahui": Merujuk pada pengetahuan tentang kisah para nabi, sejarah umat terdahulu, dan berbagai hal ghaib yang sebelumnya tidak diketahui oleh bangsa Arab.


Dengan demikian, Allah menjelaskan bahwa segala nikmat ini diperoleh melalui perantara Rasulullah ﷺ.




Al Imam Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah Ta'ala menafsirkan; 


Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman tentang nikmat-Nya kepada mereka, yaitu diutusnya Rasul Muhammad ﷺ kepada mereka. 

Beliau membacakan ayat-ayat Allah yang jelas, mensucikan mereka (yakni, membersihkan mereka dari akhlak tercela, kotoran jiwa, dan perbuatan jahiliah), mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, mengajarkan mereka Al-Qur’an (Kitab) dan hikmah (Sunnah), serta mengajarkan kepada mereka hal-hal yang sebelumnya tidak mereka ketahui.

Dahulu, pada masa jahiliah yang penuh kebodohan, mereka terbiasa mengucapkan kata-kata dusta, namun dengan keberkahan risalahnya dan keberhasilan misinya, mereka berubah menjadi orang-orang yang mulia seperti para wali, dan memiliki sifat-sifat luhur seperti para ulama. 
Mereka menjadi manusia yang paling dalam ilmunya, paling bersih hatinya, paling sedikit bersikap berpura-pura, dan paling jujur dalam tutur katanya.

Allah Ta’ala berfirman:
“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika Dia mengutus di tengah-tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka…” (Ali Imran: 164).

Kemudian Allah mencela orang-orang yang tidak mengakui nikmat besar ini, dengan firman-Nya:
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran dan menjatuhkan kaumnya ke tempat kebinasaan” (Ibrahim: 28).

Ibnu Abbas berkata: “Yang dimaksud nikmat Allah dalam ayat ini adalah Muhammad ﷺ.” Oleh karena itu, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk mengakui nikmat ini dan membalasnya dengan mengingat dan bersyukur kepada-Nya. 

Allah berfirman:
“Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian kufur.”

Mujahid berkata tentang firman-Nya: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian” (Al-Baqarah: 151), 
yaitu: sebagaimana Aku telah melakukannya, maka ingatlah Aku.

Abdullah bin Wahb meriwayatkan dari Hisyam bin Sa'id, dari Zaid bin Aslam, bahwa Nabi Musa عليه السلام pernah berkata:
 *“Ya Rabb, bagaimana aku bisa bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab: “Ingatlah Aku dan jangan lupakan Aku. Jika kamu mengingat-Ku, maka kamu telah bersyukur kepada-Ku, dan jika kamu melupakan-Ku, maka kamu telah kufur kepada-Ku.”

Al-Hasan Al-Bashri, Abu Al-‘Aliyah, As-Suddi, dan Ar-Rabi’ bin Anas berkata: 
“Allah mengingat orang yang mengingat-Nya, menambah nikmat orang yang bersyukur kepada-Nya, dan menghukum orang yang kufur kepada-Nya.”

Sebagian ulama salaf berkata tentang firman Allah:
“Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (Ali Imran: 102), 
yaitu: “Dia harus ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabbah, bahwa Yazid bin Harun, ‘Umara Ash-Shaidilani, dan lain-lain berkata:
 “Ketika seorang pembunuh, peminum khamar, pencuri, dan pezina mengingat Allah, maka Allah mengingat mereka dengan laknat-Nya sampai mereka diam.”

Al-Hasan Al-Bashri berkata tentang firman-Nya: “Ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian”, yaitu: 
“Ingatlah Aku dengan melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepada kalian, niscaya Aku akan mengingat kalian dengan memberikan apa yang Aku janjikan kepada kalian.”

Sa’id bin Jubair berkata:
 “Ingatlah Aku dengan ketaatan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian dengan ampunan-Ku.” 
Dalam riwayat lain:
 “Dengan rahmat-Ku.”

Ibnu Abbas berkata tentang firman-Nya: “Ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian”:
 “Ingatnya Allah kepada kalian lebih besar daripada ingat kalian kepada-Nya.”

Dalam hadis shahih disebutkan:
 “Allah Ta’ala berfirman: Barang siapa mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. 
Dan barang siapa mengingat-Ku di hadapan khalayak, Aku akan mengingatnya di hadapan khalayak yang lebih baik darinya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdul Razzaq, dari Ma’mar, dari Qatadah, dari Anas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah berfirman: Wahai anak Adam, jika kamu mengingat-Ku dalam dirimu, Aku akan mengingatmu dalam diri-Ku. Jika kamu mengingat-Ku di hadapan khalayak, Aku akan mengingatmu di hadapan khalayak yang lebih baik darimu. Jika kamu mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadamu sehasta. Jika kamu mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadamu sedepa. Jika kamu datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadamu berlari.”

Adapun firman-Nya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kufur kepada-Ku” (Al-Baqarah: 152), 
Allah memerintahkan agar bersyukur kepada-Nya dan menjanjikan tambahan kebaikan bagi mereka yang bersyukur.

 Sebagaimana firman-Nya:
 “Dan (ingatlah juga), ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Ibrahim: 7).

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari berbagai sanad bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang Allah anugerahkan nikmat, maka Allah mencintai untuk melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.”





Al Qosimy dalam tafsirnya Maha'sinu At Ta'wil mengatakan; 


Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri." 
Firman-Nya "di antara kalian" merujuk kepada bangsa Arab. 
Begitu pula firman-Nya "dari kalangan kalian".

Pengutusan Rasulullah di tengah-tengah mereka dan berasal dari mereka sendiri adalah nikmat yang besar bagi mereka, karena di dalamnya terdapat kehormatan bagi mereka. 
Selain itu, bangsa Arab dikenal memiliki sifat yang sangat enggan tunduk kepada orang lain. 
Oleh karena itu, Allah Ta'ala mengutus Rasul-Nya dari kalangan mereka sendiri agar mereka lebih mudah menerima ajarannya.

"Dia membacakan kepada kalian ayat-ayat Kami," 
yakni, Rasulullah membacakan kepada mereka Al-Qur'an, yang merupakan salah satu nikmat terbesar karena ia adalah mukjizat yang kekal. 
Al-Qur'an juga dibacakan sebagai bentuk ibadah, menjadi sumber segala ilmu, dan mencakup akhlak-akhlak mulia. 
Dengan demikian, pembacaan Al-Qur'an membawa segala kebaikan dunia dan akhirat.

"Dan Dia menyucikan kalian," yakni, membersihkan kalian dari syirik, perbuatan-perbuatan jahiliah, dan akhlak yang rendah.

"Dan Dia mengajarkan kepada kalian Al-Kitab," yakni Al-Qur'an. 
Ini bukanlah pengulangan, karena membacakan Al-Qur'an kepada mereka berbeda dengan mengajarkan isi kandungannya.

"Dan hikmah," yaitu ilmu tentang seluruh syariat yang terkandung dalam Al-Qur'an secara rinci. 
Oleh sebab itu, Imam Syafi'i berkata, "Hikmah adalah sunnah Rasulullah."

Firman-Nya: "Dan Dia mengajarkan kepada kalian apa yang sebelumnya tidak kalian ketahui" 
menunjukkan bahwa Allah Ta'ala mengutus Rasul-Nya pada masa kekosongan rasul-rasul sebelumnya dan dalam keadaan umat manusia dalam kebodohan. 
Saat itu, mereka berada dalam kebingungan dan kesesatan terkait agama mereka. 
Maka Allah mengutus Nabi-Nya dengan kebenaran sehingga Beliau mengajarkan mereka hal-hal yang mereka butuhkan dalam agama mereka. 
Akhirnya, mereka menjadi umat yang paling mendalam ilmunya, paling baik hatinya, paling sedikit beban hidupnya, dan paling jujur ucapannya. Ini adalah salah satu nikmat terbesar.

Allah Ta'ala berfirman:
"Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang mukmin ketika Dia mengutus di tengah-tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah" (QS. Ali Imran: 164).

Allah juga mencela orang-orang yang tidak mengenali besarnya nikmat ini dengan firman-Nya:
"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran dan menjatuhkan kaumnya ke dalam kehancuran?" (QS. Ibrahim: 28).

Ibnu Abbas berkata, "Yang dimaksud dengan nikmat Allah adalah Muhammad ﷺ." 
Oleh karena itu, Allah menganjurkan kaum mukminin untuk mengakui nikmat ini, mengingat-Nya, dan mensyukuri-Nya.




Al Imam Al Alusy menafsirkan; 


Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri (QS. Al-Baqarah: 151) berhubungan dengan ayat sebelumnya. Huruf "kaf" (seperti) adalah untuk menunjukkan keserupaan dan berada dalam posisi manshub sebagai sifat dari maf'ul mutlaq yang dibuang. 
Takdirnya adalah: "Agar Aku menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian dalam urusan kiblat atau di akhirat, penyempurnaan seperti pengutusan rasul." Penyebutan pengutusan rasul dan maksud penyempurnaan di sini adalah menempatkan sebab sebagai pengganti akibat.

Kata di tengah-tengah kalian terkait dengan kata kerja Kami utus, dan didahulukan dari maf'ul (objek) yang eksplisit sebagai bentuk percepatan dalam menyampaikan kebahagiaan, serta karena sifat-sifat Rasul yang panjang. 
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini berhubungan dengan ayat setelahnya, yakni: "Ingatlah Aku sebagaimana Aku telah mengingat kalian melalui pengutusan rasul," atau "Ingatlah Aku sebagai pengganti atas pengutusan-Ku kepada kalian seorang rasul." 
Huruf "kaf" di sini bermakna perbandingan, terhubung dengan kata Ingatlah Aku (udzkuruni), dan dari sini dipahami makna keserupaan, karena dua hal yang saling berhadapan itu serupa dan saling menggantikan.

Penggunaan bentuk plural (kami) setelah bentuk tunggal (Aku) menunjukkan variasi dan mengikuti sunnah kebesaran Allah, serta mengisyaratkan besarnya nikmat dari pengutusan rasul ini dan keistimewaan rasul tersebut, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.

Yang membacakan kepada kalian ayat-ayat Kami adalah sifat dari kata Rasul, yang di dalamnya terdapat isyarat tentang cara membuktikan kenabian beliau ﷺ. 
Sebab, pembacaan seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) terhadap ayat-ayat yang di luar kemampuan manusia, baik dari segi balaghahnya (keindahan bahasa) maupun kandungan berita-berita gaib serta petunjuk kehidupan dunia dan akhirat, merupakan bukti paling kuat atas kenabian beliau.

Dan menyucikan kalian, yakni membersihkan kalian dari syirik, adalah sifat lain dari Rasul. 
Penyucian disebutkan setelah pembacaan ayat-ayat karena penyucian dari syirik muncul akibat penampakan mukjizat kepada siapa saja yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan petunjuk.

Dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan hikmah adalah sifat berikutnya. Pengajaran ini disebutkan setelah penyucian karena pemahaman terhadap Al-Qur'an dan hikmah yang terkandung di dalamnya hanya terjadi setelah seseorang disucikan dari kotoran syirik dan keraguan melalui pengikutan. 
Sebelum itu, kekufuran menjadi penghalang. 
Dalam ayat ini, penyucian didahulukan atas pengajaran, berbeda dengan doa Nabi Ibrahim dalam Al-Baqarah: 129, karena maksud dari penyucian di kedua tempat tersebut berbeda sesuai konteksnya.

Ada yang mengatakan bahwa penyucian merujuk kepada penyempurnaan jiwa dari segi kekuatan amal (praksis) yang berasal dari penyempurnaan jiwa dari segi kekuatan teori (intelektual) melalui pengajaran yang didasarkan pada pembacaan ayat-ayat. 
Namun, penyucian ini ditempatkan di antara pembacaan dan pengajaran untuk menunjukkan bahwa setiap dari urusan tersebut adalah nikmat besar tersendiri yang layak untuk disyukuri.

Dan mengajarkan kepada kalian apa yang sebelumnya tidak kalian ketahui adalah bagian dari pengajaran yang tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu. Seharusnya frasa ini digabungkan dengan kata sebelumnya sebagai pelengkap, tetapi Allah mengulang kata kerja mengajarkan untuk menunjukkan bahwa apa yang diajarkan ini merupakan jenis pengetahuan lain yang sama sekali berbeda. Ini adalah bentuk pengkhususan setelah penyebutan yang umum, yang menunjukkan betapa besar nikmat pengutusan Nabi Muhammad ﷺ. 
Seandainya tidak ada beliau, manusia akan kebingungan dalam urusan agama mereka, tidak tahu apa yang harus dilakukan.




Al Imam Al Biqo'i rahimahullah Ta'ala menafsirkan;


(Sebagaimana) Kami mengarahkan kalian ke arah Ka'bah untuk alasan ini, 
(Kami telah mengutus), dengan keagungan Kami, 
(kepada kalian seorang rasul) yang bertujuan untuk hal yang sama, agar kalian tidak mengatakan seperti yang mereka katakan: bahwa kalian tidak memiliki kehormatan karena kemusyrikan kalian, dan tidak ada dosa bagi siapa pun yang menyakiti kalian. 
Maka Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kalian dengan mengutus seseorang yang pengikutannya dapat menyelamatkan kalian dari kebodohan dan kehinaan di dunia, serta dari azab di akhirat. 
(Seorang rasul) yang memiliki sifat (dari kalian), sehingga kalian mengenal sifat-sifat mulianya dan tekadnya yang tinggi, yang membawa kepada pengikutannya dan keberkahan dari petunjuknya, yang tidak dikenali oleh orang lain selain kalian.

(Dia membacakan kepada kalian ayat-ayat Kami) yang menjaga siapa pun yang menjaganya dengan benar di jalan yang lurus, sebagai ganti dari kesibukan kalian dengan saling melafalkan syair. 

Al-Harali berkata: "Di dalamnya terdapat penyesuaian dengan sifat dasar mereka yang lebih mengutamakan mendengar daripada melihat, yang merupakan watak asli bangsa Arab, karena mereka adalah umat yang lebih mengutamakan pujian dan sanjungan yang didengar dari orang lain atas kenyamanan yang dirasakan. 
Maka mereka berusaha keras mendapatkan pujian, berbeda dengan umat lain. 
Apalagi jika yang mereka diajak kepadanya adalah pujian dari Allah terhadap mereka dan pengabadian pujian itu dalam firman-Nya, yang merupakan kalam Tuhan mereka. 
Dengan itu, mereka mencapai sesuatu yang melampaui tujuan bawaan mereka dalam mengutamakan pendengaran daripada penglihatan, berbeda dengan umat-umat lainnya."

Dia juga berkata: "Di dalamnya terdapat pengayaan bangsa Arab dari keharusan memikirkan dan mencari ilmu serta kebijaksanaan untuk menghasilkan hukum-hukum, sehingga dengan tilawah ayat-ayat kepada mereka, mereka tidak perlu lagi mencari dalil atau bukti. 
Allah dan Rasul-Nya langsung mengajarkan mereka agar kehormatan pelajar sebanding dengan ketinggian derajat pengajarnya. 
Maka keutamaan ulama Arab atas ulama lain seperti keutamaan Nabi ﷺ atas pengajar mereka dari selain beliau ﷺ." Selesai.

Karena konteks ayat ini berkaitan dengan perbuatan, yaitu menghadap ke arah Ka'bah dalam shalat, dan shalat adalah ibadah yang paling menyucikan dari berbagai kotoran, 
maka Allah mendahulukan firman-Nya: (Dan Dia menyucikan kalian), yaitu: menyucikan kalian dalam ucapan dan perbuatan, serta menumbuhkan kalian dengan menghidupkan hati kalian sehingga mulia dengan makna-makna yang baik dan akhlak yang mulia yang menghasilkan keberuntungan abadi dan keselamatan dari apa yang mencemari kaum Yahudi dan menyebabkan mereka tersesat, seperti penyakit hati berupa pengingkaran terhadap nasakh, menyembunyikan kebenaran, dan menyebarkan kebatilan yang menghasilkan kesesatan dan menyesatkan orang lain.

Al-Harali berkata: "Dia memberitahu mereka bahwa wahyu ini bagi jiwa mereka seperti makanan bagi tubuh. 
Sebagaimana tubuh mereka bertumbuh dengan air hujan dan apa yang berasal darinya, demikian pula jiwa mereka bertumbuh dengan hukum-hukum Kitab dan tilawah ayat-ayat, dan itulah kesuciannya dan pertumbuhannya, sehingga bertambah keinginan mereka terhadapnya. 
Karena orang yang mengetahui bahwa mematuhi hukum-hukum adalah makanan bagi jiwanya, ia akan bersemangat untuk itu. Ketika jiwa bertumbuh dan menjadi suci, ia menjadi kuat untuk mencapai apa yang seharusnya dicapainya dengan kemampuannya, sebagaimana tubuh jika kuat dengan makanan, ia dapat melakukan apa yang seharusnya dikerjakan." Selesai.


(Dan mengajarkan kalian Al-Kitab) yang menetapkan agama dan dunia. 
Al-Harali berkata: "Yakni, pemahaman mendalam (fiqh) terhadapnya. 
(Dan hikmah), yaitu pengetahuan mendalam berupa isyarat-isyarat yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang menghalangi dari mengikuti hawa nafsu." 
Al-Harali juga menjelaskan: "Allah membedakan pengajaran hikmah dari pengajaran Al-Kitab yang bersifat umum, karena upaya melalui hukum membutuhkan kerja keras, sedangkan upaya melalui pengetahuan hikmah memudahkan pencapaian akal. 
Hikmah adalah cara untuk mencapai hal-hal yang sulit melalui sarana yang mempermudah. Dengan hikmahnya, seorang bijaksana dapat meraih hasil yang tidak dapat diraih oleh usaha keras seorang pekerja, baik itu dalam hal sebab-sebab duniawi maupun sebab-sebab ukhrawi."

"Dengan penggunaan kata sandang (al) pada Al-Kitab dan Al-Hikmah, itu menunjukkan pencapaian tujuan tertinggi yang mencakup semua kitab dan hikmah, yang diketahui oleh generasi terdahulu maupun generasi kemudian."

Kemudian ia berkata: "Dengan itulah Rasulullah ﷺ berbicara tentang ilmu-ilmu orang terdahulu dalam kata-kata yang tidak mampu dijangkau oleh akal manusia, seperti sabda beliau ﷺ: 'Gunakanlah kayu siwak kecuali dari pohon as dan delima, karena keduanya dapat membangkitkan urat kusta.' 
Karena manusia tidak mampu menguasai segala kategori hal-hal yang bersifat inderawi; puncak kemampuan mereka hanyalah memahami kategori-kategori yang bersifat intelektual."

"Siapa pun yang memperhatikan keadaan Rasulullah ﷺ akan menyadari bahwa penglihatan beliau mencakup seluruh inderawi, hikmah-hikmahnya, serta bahasanya—baik yang berbicara maupun yang diam, baik yang hidup maupun yang mati, semuanya. 
Sebab, apa yang terdapat dalam adat kebiasaan memiliki hikmah, sedangkan apa yang melampaui kebiasaan adalah tanda kekuasaan Allah. 
Maka, sejauh mana Allah memberikan akal kepada seorang hamba, sejauh itulah Allah mengajarkannya Al-Kitab dan hikmah."

Disebutkan dari Umar رضي الله عنه, ia berkata: "Rasulullah ﷺ berbicara kepada Abu Bakar رضي الله عنه, dan seolah-olah mereka berbicara dalam bahasa asing yang tidak aku pahami sedikit pun dari apa yang mereka katakan."

"Ketika akhir dari apa yang terdapat dalam Al-Kitab sampai pada puncak ini, Allah menyatakan bahwa Rasul-Nya ﷺ mengajarkan mereka sesuatu yang tidak pernah ada dalam kitab mereka sebelumnya. 
Hal ini menunjukkan pembukaan dan pembaruan fitrah sehingga mereka dapat naik ke tingkat ilmu yang sebelumnya tidak mereka ketahui dalam kitab mereka."

"Karena penggunaan hikmah menyebabkan peningkatan derajat, maka Allah berfirman: (Dan Dia mengajarkan kalian apa yang sebelumnya kalian tidak ketahui), yakni pengetahuan berupa istinbath dari Al-Kitab tentang berbagai pengetahuan melalui ucapan dan perbuatan yang mengarahkan kalian pada jalan-jalan kebaikan. Jalan-jalan ini mengungkap kegelapan kezaliman, menerangi pandangan pemikiran, dan memperjelas pandangan hati untuk mengambil pelajaran."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar