Rabu, 18 Desember 2024

KEHIDUPAN SYUHADA


Surat Al-Baqarah (2:154-156)

وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَن یُقۡتَلُ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ أَمۡوَ ٰ⁠تُۢۚ بَلۡ أَحۡیَاۤءࣱ وَلَـٰكِن لَّا تَشۡعُرُونَ

(Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang-orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka itu mati; sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.)

Ayat ini diturunkan mengenai orang-orang yang terbunuh dalam Perang Badar dari kalangan kaum Muslimin, yang jumlahnya empat belas orang, enam di antaranya adalah dari kalangan Muhajirin dan delapan dari kalangan Ansar. 
Dalam tafsiran Al-Khazin disebutkan bahwa mereka disebutkan dengan nama-nama mereka, dan orang-orang mengatakan bahwa mereka telah mati dan kehilangan kenikmatan duniawi. 
Oleh karena itu, Allah menurunkan ayat ini. Ada juga yang mengatakan bahwa orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka yang membunuh diri mereka demi memenuhi keinginan Nabi Muhammad (Shallallahu alaihi wa sallam) hanya sia-sia, sehingga Allah menurunkan ayat ini untuk menanggapi hal tersebut.

Allah menyatakan bahwa orang yang terbunuh di jalan-Nya adalah hidup, dengan menyebutkan bahwa mereka mendapatkan keutamaan lebih dibandingkan selain mereka. Mereka diberi rezeki dari makanan surga, sementara yang lain menikmati kenikmatan yang lebih rendah.

وَلَـٰكِن لَّا تَشۡعُرُونَ

(Tetapi kamu tidak menyadarinya.)

Maksudnya, kalian tidak bisa merasakan kehidupan mereka di alam barzakh meskipun tubuh mereka tampak mati di hadapan kalian, karena pemahaman kalian terbatas pada yang tampak secara lahiriah, sedangkan ilmu Allah jauh lebih luas.

Ayat ini juga menunjukkan adanya siksa kubur bagi orang-orang yang durhaka, dan balasan bagi orang yang taat kepada Allah dapat mereka terima meskipun mereka telah berada di dalam kubur. 
Hal ini disepakati oleh mayoritas sahabat dan tabiin, dan banyak hadis yang menjelaskannya. 
Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Khabab bin al-Arat, disebutkan bahwa ruh para syuhada berada di dalam tubuh burung hijau yang memakan buah-buahan surga.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

(Dan sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.)

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

(Yaitu orang-orang yang ketika ditimpa musibah, mereka berkata, 'Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami kembali.')

Catatan: Hadis yang diriwayatkan oleh Khabab bin al-Arat dalam Shahih al-Jami' (No. 1555) menyebutkan bahwa ruh para syuhada berada dalam bentuk burung-burung hijau yang memakan buah-buahan surga.


Al Imam Al Qurthuby rahimahullah Ta'ala berkata; 

Ini adalah penjelasan yang sebanding dengan perkataan Allah Ta'ala dalam ayat lainnya:

"Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan diberikan rizki."

Di sana (dalam ayat tersebut), pembicaraan berfokus pada para syuhada dan hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka, insya Allah. 
Jika Allah Ta'ala menghidupkan mereka setelah mati untuk memberikan rizki kepada mereka, maka adalah mungkin bagi-Nya untuk menghidupkan orang-orang kafir agar mereka disiksa, dan ini menjadi dalil tentang adanya siksa kubur.

Para syuhada hidup, sebagaimana Allah Ta'ala menyatakan demikian. 
Namun, ini bukan berarti mereka akan hidup dalam pengertian umum, karena jika itu yang dimaksud, maka tidak ada perbedaan antara para syuhada dengan selain mereka, karena setiap orang akan hidup.

 Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
"Tetapi kamu tidak menyadarinya."
Orang-orang beriman mengetahui bahwa mereka akan hidup.

Kata "amatun" (mati) diangkat dengan mengisyaratkan adanya subjek yang tersembunyi, demikian pula kata "bal ahya’un" (tetapi hidup) yang berarti mereka adalah orang-orang yang mati dalam bentuk fisik, tetapi mereka hidup dalam kehidupan yang berbeda. 
Penempatan kata-kata ini tidak bisa langsung diterapkan seperti dalam kalimat: "Saya berkata sebuah perkataan dan sebuah hujah," karena tidak ada kesesuaian antara keduanya.






 Al-Qasimi (1332 H) dalam tafsirnya mengatakan;

 ﴿وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقۡتَلُ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتُۚ بَلۡ أَحۡيَاۤءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشۡعُرُونَ﴾ [البقرة ١٥٤]

Penjelasan tentang makna ayat: Allah Ta'ala berfirman dalam ayat ini: "Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang dibunuh di jalan Allah: 'Mereka itu mati,' bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak merasakannya." (Al-Baqarah: 154)

Allah melarang umat-Nya yang beriman untuk mengatakan bahwa para syuhada yang mati di jalan Allah adalah orang yang mati dalam arti yang biasa, yaitu orang yang telah kehilangan nyawa dan segala kenikmatan duniawi, serta menjadi seperti benda mati. Padahal sebenarnya, mereka hidup di sisi Allah dan diberikan rezeki. Seperti yang Allah katakan dalam Surah Ali Imran: "Dan jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka, mereka diberi rezeki." (Ali Imran: 169)

Makna dari kehidupan mereka adalah bahwa roh mereka hidup di sisi Allah, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat tersebut. Sedangkan bagian "Tetapi kamu tidak merasakannya" berarti kita tidak dapat merasakan kehidupan mereka setelah kematian mereka karena tidak tampak pada tubuh mereka, meskipun mereka tetap hidup di sisi Allah.

Al-Harali menjelaskan bahwa dengan ayat ini, Allah menghapus anggapan buruk yang mungkin ada mengenai perjuangan para mujahid, bahkan terkait dengan ucapan bahwa mereka telah mati. Allah membebaskan mereka dari anggapan mati yang sering dianggap sangat merendahkan di mata manusia.

Menurut Al-Asam, ini berarti jangan sebut mereka sebagai orang mati, sebutlah mereka sebagai syuhada yang hidup. Sedangkan Al-Raghib Al-Asfahani menjelaskan bahwa kehidupan memiliki berbagai bentuk, dan setiap bentuknya memiliki lawan berupa kematian. Ada kehidupan yang terkait dengan pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan, yang ada pada tanaman, hewan, dan manusia. Ada kehidupan yang terkait dengan kemampuan fisik untuk bergerak, yang ada pada hewan tetapi tidak pada tanaman. Ada juga kehidupan yang terkait dengan kemampuan intelektual dan akal, yang hanya ada pada manusia.

Tafsiran para ulama menunjukkan bahwa kehidupan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kehidupan yang melibatkan kedudukan mereka di sisi Allah, yang jauh lebih utama dan abadi daripada kehidupan duniawi.

Terkait dengan ayat ini, sebagian ulama berpendapat bahwa kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan yang terkait dengan kekuatan yang disebut roh atau jiwa, yang tetap ada meskipun tubuh telah mati. Orang yang beriman, meskipun mati secara fisik, tetap hidup dan merasakan kebahagiaan di sisi Allah, sementara orang yang jahat tetap menderita meskipun masih hidup di dunia.


Ayat ini berisi larangan dari Allah kepada para hamba-Nya yang beriman untuk mengatakan bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah adalah orang yang mati, yaitu mereka yang jiwa mereka telah hilang, kehilangan kehidupan, dan segala kenikmatan duniawi mereka hilang, dan menjadi seperti benda mati. Ini adalah pengertian umum dari "mati". Sebaliknya, Allah memerintahkan mereka untuk menyebut para syuhada sebagai "hidup" karena sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka, yang memberi mereka rizki, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali Imran:

﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾ 
[Ali Imran: 169]

“Mereka yang mati di jalan Allah janganlah kamu anggap sebagai orang mati, sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan diberi rizki.”

Mereka merasakan kebahagiaan karena karunia yang diberikan oleh Allah, dan mereka juga merasa gembira terhadap orang-orang yang belum bergabung dengan mereka di belakang mereka, bahwa tidak ada ketakutan dan kesedihan bagi mereka.
Sesungguhnya mereka sedang bergembira dengan nikmat dari Allah dan karunia-Nya, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman (Ali Imran: 170-171).

Kata "di sisi Tuhan mereka" menjelaskan maksud kehidupan mereka, yaitu kehidupan roh mereka di sisi Allah. Sedangkan kalimat "tetapi kalian tidak merasakannya" mengindikasikan bahwa kita tidak merasakan kehidupan mereka secara fisik setelah kematian mereka. Mereka tidak bergerak seperti orang tidur yang tampak tidak bergerak, meskipun jiwa mereka hidup di sisi Allah. Maka, tidak ada kebanggaan yang lebih besar dari ini di dunia, dan tidak ada kehidupan yang lebih bahagia dari kehidupan seperti ini di akhirat.

Menurut Harali:

Seolah-olah Allah menafikan segala macam kesulitan dari perjuangan seorang mujahid, termasuk di dalamnya pernyataan bahwa mereka mati. Allah melindungi mereka dari anggapan negatif yang mungkin timbul, yakni dari tuduhan bahwa mereka adalah orang mati. Sebab bagi jiwa mereka, mereka tetap hidup meskipun jasad mereka tidak bergerak.

Menurut al-‘Asam:

Artinya, janganlah menyebut mereka sebagai orang mati, tetapi sebutlah mereka sebagai para syuhada yang hidup. Sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahani, kehidupan itu ada dalam berbagai bentuk, dan masing-masing bentuk kehidupan memiliki lawan berupa kematian:

(1) Kehidupan yang berupa kekuatan pertumbuhan yang dengan itu makhluk mendapatkan makanan dan memiliki nafsu untuk mencapainya; ini ada pada tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, dan karena itu kita bisa mengatakan "tumbuh-tumbuhan hidup".

(2) Kehidupan berupa kekuatan sensorik yang menghasilkan gerakan fisik; ini ada pada hewan, namun tidak pada tumbuh-tumbuhan.

(3) Kehidupan berupa kekuatan akal yang ada pada manusia, dan inilah yang membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan. Kehidupan ini terkait dengan taklif (tanggung jawab moral), dan kadang-kadang ilmu yang diperoleh dan amal saleh disebut sebagai kehidupan. 

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

﴿اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ﴾ 
[Al-Anfal: 24]

“Jawablah seruan Allah dan Rasul-Nya ketika mereka menyeru kalian untuk sesuatu yang menghidupkan kalian.”

Menurut al-Qasimi, para mufassir sepakat bahwa tidak ada kehidupan pada orang yang sudah mati dalam artian kemampuan untuk tumbuh atau merasakan, karena kehilangan kedua hal tersebut adalah sesuatu yang nyata baik secara inderawi maupun rasional. Beberapa mufassir berpendapat bahwa kehidupan ini khusus bagi manusia, yang berhubungan dengan kekuatan yang disebut sebagai roh atau jiwa. Kematian yang tampak adalah perpisahan antara kekuatan ini, yaitu roh, dan tubuh.

Dengan demikian, seseorang yang berbuat baik tetap mendapatkan kehidupan dengan roh mereka dan menikmati kebahagiaan hingga hari kiamat, sementara yang berbuat buruk akan menderita azab. Hal ini diterima oleh para filsuf, dan mereka membuktikannya dengan argumen-argumen dan bukti-bukti. Pendapat ini juga sesuai dengan pandangan para ahli hadits. Dan ini adalah pandangan yang diterima oleh seluruh pemeluk agama.

Dan ini dibuktikan kebenarannya oleh hadits-hadits dan ayat-ayat yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ. 
Bahkan, ini adalah pandangan yang diikuti oleh semua pemeluk agama.

Di antara yang menunjukkan kebenarannya adalah hadits yang diriwayatkan,
 yaitu: 
“Ruh-ruh itu adalah pasukan yang terorganisir. Apa yang saling mengenal di antara mereka akan saling bersatu, dan apa yang saling bertentangan di antara mereka akan saling berpisah.” 

Dan juga diriwayatkan dari Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
 “Sesungguhnya Allah menciptakan ruh-ruh sebelum tubuh-tubuh, yaitu dua ribu tahun sebelum penciptaan tubuh.”

Diriwayatkan juga bahwa ketika para pemimpin Quraisy yang terbunuh pada perang Badar dikumpulkan di dalam sumur, Nabi ﷺ mendekat dan berkata kepada mereka: 
“Apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian itu benar? Karena saya sudah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan saya itu benar.”
 Maka, orang-orang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Anda berbicara kepada bangkai?" 
Beliau ﷺ menjawab, “Kalian tidak lebih mendengar daripada mereka. Kalau mereka mampu, tentu mereka akan menjawab.”

Selain itu, Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ghafir tentang kaum Fir'aun:

﴿النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا﴾ 
[Ghafir: 46]

Yang dimaksud dengan ini adalah sebelum hari kiamat, karena Allah berfirman di akhir ayat tersebut:

﴿وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةِ أَدْخِلُواٰ آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ العَذَابِ﴾ [Ghafir: 46].

Dalam penjelasan al-Baidhawi dan komentar-komentarnya, disebutkan bahwa pengakuan kehidupan bagi para syuhada di masa tubuh mereka telah hancur dan jasad mereka rusak, serta tidak ada perasaan terhadap kehidupan mereka, ini menunjukkan bahwa kehidupan mereka bukan kehidupan jasmani dan bukan dari jenis kehidupan hewan, karena kehidupan semacam itu berhubungan dengan kondisi tubuh yang sehat dan keseimbangan fisik. Kehidupan mereka ini adalah sesuatu yang hanya dapat dipahami melalui wahyu, bukan melalui akal manusia.

Dan wahyu telah datang menjelaskan kehidupan mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. 

Imam Ibn al-Qayyim, rahimahullah, dalam kitabnya ar-Ruh berkata: 
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitahukan tentang para syuhada bahwa mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan diberi rezeki. 
Kehidupan ini adalah kehidupan ruh-ruh mereka, yang mendapatkan rezeki yang terus-menerus. 
Adapun tubuh mereka telah hancur.

 Rasulullah ﷺ telah menjelaskan kehidupan ini, yaitu bahwa ruh-ruh mereka berada dalam tubuh burung hijau yang memiliki lentera yang tergantung di Arsy. Mereka bebas berkeliaran di surga ke mana pun mereka mau, lalu kembali ke lentera-lentera itu.

Kemudian, Tuhan mereka mengamati mereka dan bertanya, “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” 
Mereka menjawab, “Apa yang bisa kami inginkan, sementara kami bebas berkeliaran di surga ke mana pun kami mau?” 
Hal itu diulang oleh Allah sebanyak tiga kali. Ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa ditanya, mereka berkata, “Ya Tuhan, kami ingin agar ruh-ruh kami dikembalikan ke tubuh kami sehingga kami dapat terbunuh lagi di jalan-Mu!”
 Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak memiliki permintaan lain, maka mereka dibiarkan.

Diriwayatkan secara sahih bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 
“Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada berada dalam tubuh burung hijau yang memakan buah-buahan dari surga.”

 (Kata ta'luq dengan dhammah pada huruf lam berarti makan buah-buahan yang menggantung). 
Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa mereka makan, minum, bergerak, berpindah, dan berbicara. Selesai.


Al-Tibi berkata mengenai sabda Nabi ﷺ: "Ruh-ruh mereka berada di dalam tubuh burung hijau,"
 yaitu bahwa Allah menciptakan untuk ruh-ruh mereka, setelah berpisah dari jasad mereka, bentuk-bentuk yang menyerupai burung hijau.
 Ruh-ruh tersebut bergantung pada bentuk itu dan menggantikannya sebagai pengganti jasad mereka. 
Dengan bentuk itu, mereka dapat menikmati kenikmatan-kenikmatan fisik yang mereka inginkan.

Ibn al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh berkata: 
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan dunia ini terdiri atas tiga alam: alam dunia, alam barzakh, dan alam keabadian (akhirat). 
Setiap alam memiliki hukum-hukum yang khusus untuknya. 
Allah menciptakan manusia dari tubuh dan jiwa, dan Dia menjadikan hukum-hukum alam dunia bergantung pada tubuh, sementara ruh mengikuti tubuh. 
Oleh karena itu, hukum-hukum syariat di dunia ini didasarkan pada apa yang tampak dari pergerakan lisan dan anggota badan, meskipun jiwa terkadang menyembunyikan hal yang bertentangan dengannya.

Allah menjadikan hukum-hukum alam barzakh bergantung pada ruh, sementara tubuh mengikuti ruh. 
Sebagaimana ruh mengikuti tubuh dalam hukum-hukum dunia, merasakan sakit karena rasa sakit tubuh, atau menikmati kenyamanan tubuh, begitu pula tubuh mengikuti ruh dalam kenikmatan dan azabnya di alam barzakh.
 Dalam alam barzakh, ruh adalah yang merasakan langsung kenikmatan atau azab, sementara tubuh menjadi pengikut. Dalam dunia ini, tubuh tampak jelas dan ruh tersembunyi, seperti ruh berada di dalam kuburan tubuh. 
Sedangkan di alam barzakh, ruh tampak jelas, sementara tubuh tersembunyi di dalam kuburannya.

Oleh karena itu, hukum-hukum alam barzakh berlaku pada ruh, tetapi efeknya bisa sampai ke tubuh, sebagaimana hukum-hukum dunia berlaku pada tubuh, tetapi dampaknya bisa terasa pada ruh. Pahami hal ini dengan baik, dan jika engkau memahaminya sebagaimana mestinya, segala keraguan dan pertanyaan yang mungkin muncul dari dalam dirimu atau dari luar akan hilang.

Allah, dengan kelembutan, rahmat, dan petunjuk-Nya, telah memberikan contoh kecil dari hal ini dalam kehidupan dunia, yaitu melalui keadaan orang yang tidur. Apa yang ia nikmati atau derita dalam tidurnya sebenarnya terjadi pada ruhnya, sementara tubuhnya hanya mengikuti. Kadang pengaruh itu begitu kuat sehingga berdampak langsung pada tubuhnya. Misalnya, orang yang bermimpi dipukul mungkin bangun dengan bekas pukulan di tubuhnya. Atau orang yang bermimpi makan dan minum mungkin bangun dengan rasa kenyang, atau sisa rasa makanan di mulutnya.

Yang lebih menakjubkan, seseorang bisa terlihat seperti sedang melakukan sesuatu—memukul, berkelahi, atau bertindak seolah-olah ia sadar—
padahal ia sedang tidur tanpa kesadaran penuh terhadap tindakannya. 
Hal ini terjadi karena hukum yang berlaku saat itu adalah hukum ruh, sehingga ruh memanfaatkan tubuhnya dari luar. 
Jika ruh masuk sepenuhnya ke dalam tubuh, maka ia akan bangun dan sadar.

Demikian pula, ruh bisa merasakan nikmat atau azab di alam barzakh, dan dampaknya dirasakan oleh tubuh secara tidak langsung. 
Hal ini bahkan lebih kuat di alam barzakh karena ruh di sana lebih bebas dan lebih sempurna. 
Ruh tetap terhubung dengan tubuhnya, meskipun tidak sepenuhnya, dan tidak benar-benar terputus darinya.

Ketika hari kebangkitan tiba, dan manusia dibangkitkan dari kubur mereka, maka hukum, nikmat, dan azab akan berlaku secara nyata dan tampak pada ruh dan tubuh sekaligus. 
Jika engkau memahami hal ini dengan baik, maka akan jelas bagimu bahwa apa yang diberitakan Rasulullah ﷺ tentang azab dan nikmat kubur, sempit dan luasnya kubur, tekanan kubur, serta keberadaannya sebagai salah satu lubang neraka atau taman surga, semuanya sesuai dengan akal. 
Ia adalah kebenaran yang tidak diragukan. Dan siapa yang merasa kesulitan memahaminya, itu karena buruknya pemahaman dan kurangnya ilmunya. Selesai.




As Sa'dy dalam tafsirnya mengatakan; 

Ketika Allah Ta'ala menyebutkan perintah untuk meminta pertolongan dengan kesabaran dalam segala urusan, Dia memberikan contoh dari hal yang harus disabari, yaitu berjihad di jalan-Nya. 
Jihad ini adalah salah satu bentuk ibadah tubuh yang terbaik dan paling sulit bagi jiwa, karena kesulitannya pada diri sendiri dan karena ia dapat berujung pada kematian, sesuatu yang pada umumnya diinginkan oleh orang-orang di dunia ini karena mereka menginginkan kehidupan dan segala apa yang terkait dengannya. Semua yang mereka lakukan adalah untuk mencapai kehidupan tersebut dan menghindari segala yang bertentangan dengannya.

Dan telah diketahui bahwa orang yang bijaksana tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya kecuali untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih mulia. Oleh karena itu, Allah memberitahukan bahwa siapa pun yang terbunuh di jalan-Nya, yakni yang berjuang di jalan Allah agar kalimat Allah tinggi dan agamanya menang, dan bukan untuk tujuan selain itu, maka ia tidak kehilangan kehidupan yang dicintai, tetapi ia mendapatkan kehidupan yang lebih besar dan lebih sempurna daripada yang kalian kira dan duga.

Para syuhada ;

 "أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّـهُ مِن فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِن خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ"

("Mereka hidup di sisi Tuhan mereka, diberikan rezeki, berbahagia dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, dan mereka memberi kabar gembira kepada orang-orang yang belum menyusul mereka dari belakang mereka bahwa tidak ada ketakutan bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.")

Apakah ada kehidupan yang lebih mulia dari kehidupan ini yang penuh dengan kedekatan kepada Allah Ta'ala, kenikmatan rohani berupa kebahagiaan dan kegembiraan, serta kehidupan yang bebas dari segala rasa takut dan kesedihan? Ini adalah kehidupan barzakh yang lebih sempurna daripada kehidupan dunia, bahkan Nabi ﷺ memberitakan bahwa ruh para syuhada berada dalam tubuh burung hijau yang terbang di sekitar sungai-sungai surga, memakan buah-buahan surga, dan bersarang di lampu-lampu yang digantungkan di atas Arsy.

Dalam ayat ini terdapat dorongan besar untuk berjihad di jalan Allah dan untuk tetap sabar dalam menjalankannya. Seandainya manusia merasakan betapa besarnya pahala bagi orang yang terbunuh di jalan Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang akan mundur dari jihad. 
Namun, ketidaktahuan yang pasti dan keyakinan yang kurang inilah yang menyebabkan lemahnya semangat, memperpanjang tidur orang yang malas, dan menghilangkan pahala dan ganjaran yang besar. 
Mengapa demikian? 
Bukankah Allah Ta'ala telah "MELAKUKAN PERJANJIAN DENGAN ORANG-ORANG YANG BERIMAN, YANG MENJUAL DIRI DAN HARTA MEREKA DENGAN JANJI KESEJAHTERAAN DENGAN JALAN SURGA, DI MANA MEREKA BERJIHAD DI JALAN ALLAH, MEMBUNUH DAN DIBUNUH?"

 Demi Allah, jika seorang manusia memiliki seribu nyawa, dan setiap nyawa itu pergi satu per satu di jalan Allah, itu tidaklah terlalu besar dibandingkan dengan pahala yang luar biasa ini. 
Karena itulah, para syuhada yang telah melihat langsung pahala dan balasan baik dari Allah, tidak menginginkan apa-apa setelah itu selain dikembalikan ke dunia agar dapat kembali berjuang di jalan-Nya, bahkan berkali-kali.

Dalam ayat ini juga terdapat bukti tentang kenikmatan dan siksaan di barzakh, sebagaimana yang tercermin dalam banyak teks yang ada.



As Saikh Abu Bakar Al Jaza'iry rahimahullah Ta'ala menafsirkan; 


الاستعانة
 (Meminta Pertolongan): Meminta bantuan dan kemampuan untuk mengucapkan atau melakukan sesuatu.

الصبر 
(Kesabaran): Menahan diri terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan dan membiasakan diri untuk menghadapi kesulitan.

الشعور
 (Perasaan): Merasakan sesuatu yang mengarah pada pengetahuan tentangnya.

الابتلاء
 (Ujian): Ujian atau percakapan untuk menunjukkan apa yang dimiliki oleh orang yang diuji, baik kekuatan atau kelemahan.

الأموال
 (Harta): Plural dari مال, yang bisa merujuk pada ternak yang berbicara atau uang dan lainnya.

المصيبة
 (Musibah): Apa yang menimpa seseorang berupa kerugian dalam diri, keluarga, atau harta.

الصلوات
 (Salat): Plural dari صلاة, yang berarti ampunan dari Allah Ta'ala, karena rahmat-Nya yang datang bersamanya.

ورحمة 
(Rahmat): Rahmat berarti anugerah, yaitu memberikan sesuatu yang menyenangkan dan menghindari sesuatu yang merugikan. Yang terbesar adalah masuk surga setelah selamat dari neraka.

المهتدون
 (Orang yang Terpimpin): Mereka yang menuju jalan kebahagiaan dan kesempurnaan melalui iman mereka dan ujian dari Allah Ta'ala serta kesabaran mereka terhadap ujian tersebut.


Makna Ayat: Allah Ta'ala memanggil orang-orang beriman, yang termasuk umat Islam, untuk memberikan petunjuk mengenai apa yang bisa menjadi penolong mereka dalam mempertahankan keteguhan mereka terhadap kiblat yang dipilih untuk mereka, serta dalam mengingat Allah, bersyukur kepada-Nya, dan tidak melupakan atau mengingkari-Nya. Allah berfirman:

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ"

(yaitu, mintalah pertolongan dengan kesabaran dan salat atas apa yang diperintahkan kepada kalian, seperti keteguhan hati, mengingat Allah, bersyukur kepada-Nya, dan meninggalkan kelupaan serta kekufuran). Allah mengingatkan bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar, memberikan mereka pertolongan dan kekuatan. Ketika mereka sabar, mereka mendapatkan pertolongan dan kekuatan dari Allah Ta'ala, ini tercantum dalam ayat pertama [153].

Pada ayat kedua [154] ;
Allah melarang mereka mengatakan bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, karena sesungguhnya mereka hidup di alam barzakh dan bukan mati, bahkan mereka hidup dan diberi rizki di surga, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ: "Ruh para syuhada berada dalam tubuh burung hijau yang terbang di surga kemana saja yang mereka inginkan, kemudian kembali ke tempat yang tergantung di bawah Arsy." Oleh karena itu, orang yang terbunuh di jalan Allah tidak disebut mati, tetapi mereka adalah syuhada yang hidup di sisi Tuhan mereka, dengan kehidupan yang tidak dapat kita rasakan.

Pada ayat ketiga [155] ;
Allah bersumpah bahwa Dia akan menguji orang-orang beriman dengan sedikit rasa takut dari musuh-musuh mereka, kelaparan akibat pengepungan musuh, kekurangan harta seperti kematian ternak, kehilangan nyawa akibat peperangan, dan kerusakan hasil pertanian. Semua itu adalah ujian untuk menunjukkan siapa yang sabar dalam iman mereka, taat kepada Tuhan dengan memenuhi perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya, serta siapa yang tidak sabar dan akhirnya kehilangan pertolongan dan pahala Allah. 

Lalu pada ayat keempat [156] ;
Allah menggambarkan kondisi orang yang sabar, yaitu ketika mereka tertimpa musibah, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali." Ini menunjukkan ketundukan mereka kepada takdir Allah dengan penuh kepasrahan dan rasa ikhlas. 

Pada ayat kelima [157] ;
Allah mengabarkan bahwa Dia akan mengampuni dosa mereka dan memberikan rahmat-Nya kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk menuju kebahagiaan dan kesempurnaan mereka.

Hidayah Ayat: Dari ayat-ayat ini terdapat pelajaran sebagai berikut:

1. Keutamaan sabar dan perintah untuk bersabar serta meminta pertolongan dengan sabar dan salat atas musibah dan tugas yang diberikan. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Jika Nabi ﷺ dihadapkan pada suatu masalah, beliau segera mencari pertolongan dengan salat."


2. Keutamaan para syuhada dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan kehidupan yang lebih sempurna di surga.


3. Seorang mukmin bisa diuji dengan musibah dalam diri, keluarga, dan harta agar dia bersabar dan naik derajatnya di sisi Tuhan.


4. Keutamaan membaca "Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un" saat tertimpa musibah. Dalam hadits sahih disebutkan: "Tidak ada seorang hamba yang tertimpa musibah dan mengucapkan 'Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Ya Allah, berikanlah aku pahala dalam musibahku ini dan gantikanlah aku dengan yang lebih baik,' kecuali Allah akan memberikan pahala dalam musibahnya dan menggantikan dengan yang lebih baik." (HR. Muslim)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar