KASIH SAYANG ALLAH TA'ALA
- Sebab-sebabnya, Tanda-tandanya, dan hasilnya -
Penulis: Abdullah bin Jarallah bin Ibrahim Al Jarallah
Segala puji bagi Allah, dan salawat serta salam atas Rasul-Nya, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya.
Amma ba'du:
Salah satu kewajiban iman dan konsekuensinya adalah mencintai Allah Ta'ala, mencintai Rasul-Nya, mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman, mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, termasuk iman, amal saleh, serta segala yang mengikutinya.
Juga membenci apa yang dibenci oleh Allah, seperti kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, serta membenci musuh-musuh Allah dari kalangan orang kafir, musyrik, pelaku maksiat, dan ateis. Kecintaan karena Allah, kebencian karena Allah, loyalitas karena Allah, dan permusuhan karena Allah adalah ikatan terkuat dari iman dan amal yang paling dicintai oleh Allah Ta'ala.
Pada hari kiamat, seseorang akan bersama dengan orang yang ia cintai, sebagaimana disebutkan dalam sunnah.
Mencintai Allah Ta'ala dan Rasul-Nya harus lebih didahulukan daripada mencintai anak-anak, harta benda, dan jiwa kita sendiri.
Allah berfirman:
"Katakanlah: 'Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya'. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah: 24)
Allah memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk memperingatkan orang-orang yang lebih mencintai keluarga, harta, dan hal-hal duniawi lainnya daripada memenuhi kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah, seperti jihad, hijrah, dan sebagainya.
Ibnu Katsir berkata:
"Tunggulah apa yang akan menimpa kalian dari siksa-Nya."
Ancaman ini hanya terjadi jika ada kewajiban yang tidak dilaksanakan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahuanhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang beriman hingga aku lebih dicintai daripada anak-anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia." (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab Radhiyallahuanhu, ia berkata:
"Wahai Rasulullah, demi Allah, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri."
Nabi bersabda: "Tidak, wahai Umar, hingga aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri."
Lalu Umar berkata: "Demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri." Nabi bersabda: "Sekarang, wahai Umar."
Diketahui bahwa mencintai Rasul Shallallahu alaihi wa sallam merupakan konsekuensi dari mencintai Allah Ta'ala.
Mencintai Rasul adalah karena kecintaan Allah kepadanya, dan perintah Allah untuk mencintainya, mentaatinya, serta mengikutinya.
Barang siapa yang mengaku mencintai Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tetapi tidak mengikutinya dan tidak mendahulukan ucapannya di atas ucapan lainnya, maka ia berdusta.
Allah berfirman:
"Mereka berkata: 'Kami beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami taat.' Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu. Dan mereka bukanlah orang-orang yang beriman." (QS. An-Nur: 47)
Allah menafikan iman bagi mereka yang berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jika iman tidak bisa terwujud kecuali dengan mendahulukan cinta kepada Rasul Shallallahu alaihi wa sallam atas diri sendiri, anak-anak, orang tua, dan seluruh manusia, maka apa yang bisa dikatakan tentang kecintaan kepada Allah ?
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjadikan mendahulukan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala sesuatu sebagai tanda dari iman yang sejati.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahuanhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Ada tiga perkara yang apabila dimiliki seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segalanya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dilempar ke dalam api neraka." (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi berkata:
"Makna 'manisnya iman' adalah kenikmatan dalam ketaatan, mampu menanggung kesulitan, dan mengutamakan hal tersebut di atas segala urusan dunia."
Mencintai Allah berarti melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, demikian juga mencintai Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Rajab berkata:
"Mencintai Allah Ta'ala memiliki dua tingkatan :
Tingkatan pertama adalah kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu mencintai Allah Ta'ala dengan kecintaan yang mengharuskan kita mencintai apa yang Allah wajibkan dan membenci apa yang Allah haramkan, serta mencintai Rasul-Nya sebagai pembawa risalah-Nya, mendahulukan cintanya di atas diri sendiri dan keluarga, sebagaimana telah dijelaskan."
Ridha dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah dari Allah tentang agama, menerima itu dengan penuh ridha dan kepatuhan, mencintai para nabi, rasul, dan pengikut mereka yang mengikuti petunjuk Allah Ta'ala, serta membenci orang-orang kafir dan pendosa karena Allah Ta'ala.
Tingkatan ini harus ada untuk menyempurnakan iman yang wajib, dan barang siapa yang mengabaikan sebagian darinya, maka imannya menjadi kurang sesuai dengan bagian yang diabaikan.
Allah berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak akan beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa: 65)
Dan juga, berkurangnya cinta yang wajib sesuai dengan sejauh mana seseorang mengabaikan hal tersebut, karena cinta yang wajib menuntut untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Oleh karena itu, cinta karena Allah dan benci karena Allah adalah prinsip utama dari iman.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits Mu'adz bin Anas al-Juhani, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:
"Barang siapa yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah, maka ia telah menyempurnakan imannya."
Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dengan tambahan ;
"Dan menikah karena Allah."
Ada banyak hadits yang serupa dengan ini.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, ia berkata:
"Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, menjalin persahabatan karena Allah, dan memusuhi karena Allah, maka ia akan mendapatkan perlindungan Allah dengan cara tersebut. Dan seorang hamba tidak akan merasakan manisnya iman, meskipun banyak shalat dan puasanya, hingga ia melakukannya. Kebanyakan orang saat ini menjalin persahabatan berdasarkan urusan dunia, dan itu tidak memberikan manfaat bagi mereka, bahkan akan membahayakan mereka."
Sebagaimana firman Allah:
"Pada hari itu, sahabat-sahabat karib sebagian mereka menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa." (QS. Az-Zukhruf: 67)
Disebutkan dalam kitab Fath al-Majid: "Jika situasi seperti ini sudah umum terjadi pada zaman Ibnu Abbas, yang termasuk generasi terbaik, maka keadaannya hanya semakin memburuk setelah itu, hingga loyalitas dilakukan atas dasar kesyirikan, bid'ah, kefasikan, dan kemaksiatan. Dan telah terjadi sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya:
'Islam dimulai dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana ia dimulai.'" (HR. Muslim)
Oleh karena itu, kita harus lebih mengutamakan apa yang Allah cintai daripada apa yang kita cintai.
Kita harus mencintai apa yang Allah cintai, membenci apa yang Allah benci, bersahabat karena-Nya, dan memusuhi karena-Nya.
Kita harus mengikuti Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Dengan cara ini, akan ada perbedaan antara cinta yang tulus karena Allah, yang merupakan kesempurnaan tauhid, dan cinta yang bersama dengan Allah, yang merupakan cinta terhadap tandingan di samping Allah, sebagaimana yang ada dalam hati orang-orang musyrik.
Cinta seperti ini tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada Allah semata.
Ibnu Rajab berkata:
"Tingkatan kedua dari cinta karena Allah adalah tingkatan orang-orang yang mendekat kepada-Nya, yaitu ketika cinta naik hingga mencintai apa yang Allah cintai, dari amal-amal sunnah, dan membenci apa yang Allah benci, dari hal-hal yang dimakruhkan.
Juga meridhai apa yang Allah takdirkan dan putuskan, meskipun itu menyakitkan bagi jiwa, seperti musibah."
Hingga beliau berkata: "Telah jelas bahwa cinta kepada Allah, jika itu benar, akan menuntut cinta kepada ketaatan-Nya, melaksanakannya, dan benci terhadap maksiat serta menjauhinya."
Adapun sebab-sebab yang dapat menarik cinta Allah, di antaranya:
1. Mengenali nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya, yang tidak terhitung jumlahnya.
Allah berfirman:
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya." (QS. Ibrahim: 34)
Hati manusia diciptakan untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, dan cinta karena nikmat adalah bagian dari syukur kepada Sang Pemberi nikmat.
Oleh karena itu, syukur dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh.
2. Mengenal Allah Ta'ala dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya. Barang siapa yang mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya.
Barang siapa yang mencintai Allah, ia akan taat kepada-Nya.
Barang siapa yang taat kepada Allah, ia akan dimuliakan oleh-Nya.
Dan barang siapa yang dimuliakan oleh Allah, ia akan ditempatkan di sisi-Nya. Maka, sungguh berbahagialah dia.
3. Salah satu sebab terbesar dari pengetahuan khusus adalah merenungkan kerajaan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah.
Dalam Al-Qur'an terdapat banyak pengingatan tentang tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kekuasaan-Nya, kebesaran-Nya, kesempurnaan-Nya, dan kasih sayang-Nya. Semakin kuat pengetahuan seorang hamba tentang Allah, semakin kuat pula cintanya kepada-Nya dan kepada ketaatan-Nya. Ia akan merasakan kenikmatan dalam beribadah, seperti shalat dan dzikir, sesuai dengan kadar pengetahuannya itu.
4. Sebab lain yang menarik cinta Allah adalah berinteraksi dengan Allah dengan kejujuran dan keikhlasan serta menentang hawa nafsu.
Hal ini menjadi sebab keutamaan Allah kepada hamba-Nya, sehingga Dia memberinya cinta.
5. Salah satu sebab terbesar yang menarik cinta Allah adalah banyak berdzikir kepada-Nya.
Barang siapa yang mencintai sesuatu, ia akan banyak menyebutnya.
Dengan berdzikir kepada Allah, hati menjadi tenang.
Salah satu tanda cinta kepada Allah adalah senantiasa berdzikir, baik dengan hati maupun lisan.
6. Salah satu sebab cinta Allah kepada hamba-Nya adalah banyak membaca Al-Qur'an dengan merenung dan memikirkan. Terutama ayat-ayat yang mengandung nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah yang menakjubkan. Mencintai hal tersebut akan menarik cinta Allah dan cinta Allah kepada hamba-Nya.
7. Salah satu sebab cinta adalah mengingat apa yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah tentang melihat Allah di surga serta kunjungan mereka kepada-Nya dan pertemuan mereka di Hari Tambahan (Yaumul Mazid). Hal ini akan menarik cinta kepada Allah Ta'ala.
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa ada sepuluh sebab yang menarik cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta hamba kepada Allah.
Yang pertama:
Membaca Al-Qur'an dengan merenungi maknanya dan memahami maksudnya.
Kedua:
Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah menjalankan kewajiban, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi:
"Dan hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya." (HR. Bukhari)
Ketiga:
Selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan dengan lisan, hati, perbuatan, dan kondisi. Bagian cintanya kepada Allah sesuai dengan seberapa banyak ia mengingat-Nya.
Keempat:
Mengutamakan apa yang dicintai Allah di atas apa yang kamu cintai saat hawa nafsu menguasaimu.
Kelima:
Merenungkan dalam hati tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah, serta menyaksikannya dan merasakan keindahan pengetahuan ini.
Keenam:
Menyaksikan kebaikan, kemurahan, dan nikmat-Nya yang tampak dan tersembunyi.
Ketujuh:
Yang paling mengagumkan adalah hancurnya hati di hadapan Allah.
Kedelapan:
Berkhalwat dengan Allah pada waktu turun-Nya di sepertiga malam terakhir, membaca Al-Qur'an, dan menutupnya dengan istighfar serta taubat.
Kesembilan:
Bergaul dengan orang-orang yang tulus mencintai Allah, memetik manfaat dari perkataan mereka, dan tidak berbicara kecuali jika ada manfaat yang jelas bagi dirimu atau orang lain.
Kesepuluh:
Menjauhi segala sebab yang menghalangi antara hati dan Allah. Dengan sepuluh sebab inilah para pecinta Allah mencapai tingkatan cinta dan masuk ke dalam kehadiran-Nya. (Lihat Madarij as-Salikin 3/17-18)
Ini juga merupakan tanda cinta yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu dengan berpegang teguh pada ketaatan kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, serta menanggung celaan dalam melakukannya, dan mengikuti Rasul-Nya.
Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela." (QS. Al-Ma'idah: 54)
Allah juga berfirman:
"Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Ali Imran: 31)
Allah menyebutkan lima sifat orang-orang yang mencintai-Nya:
1. Rendah hati terhadap orang-orang beriman:
yang dimaksud adalah lembut hati, kasih sayang, dan rahmat kepada sesama orang beriman,
sebagaimana firman Allah:
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang mukmin yang mengikutimu." (QS. Asy-Syu'ara: 215)
Allah juga menyifati para sahabat dengan sifat yang sama dalam firman-Nya: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. Al-Fath: 29)
Ini menunjukkan bahwa orang yang mencintai Allah akan mencintai para kekasih-Nya dan berbelas kasih kepada mereka.
2. Keras terhadap orang-orang kafir:
yang dimaksud adalah tegas dan keras terhadap mereka,
sebagaimana firman Allah:
"Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka." (QS. At-Tahrim: 9)
Ini menunjukkan bahwa orang yang mencintai Allah akan membenci musuh-musuh-Nya, yang merupakan konsekuensi dari cinta yang tulus.
3. Berjihad di jalan Allah:
yaitu berjuang melawan musuh-musuh Allah dengan diri, tangan, harta, dan lisan. Ini juga merupakan bagian dari memusuhi musuh-musuh Allah, yang menjadi syarat dari cinta yang sejati.
4. Tidak takut terhadap celaan orang yang mencela:
yang dimaksud adalah mereka bersungguh-sungguh dalam melakukan amalan-amalan yang diridhai Allah, dan tidak peduli dengan celaan orang lain jika dalam hal itu terdapat keridhaan Allah.
Ini merupakan salah satu tanda cinta yang tulus, bahwa seorang pecinta akan sibuk dengan apa yang menyenangkan kekasihnya dan Tuhannya, serta tidak peduli siapa yang memuji atau mencelanya.
5. Mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: dengan menaati dan mengikuti segala perintah dan larangan beliau.
Allah mengaitkan cinta kepada-Nya dengan cinta kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya: "Lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya." (QS. At-Taubah: 24) Maksudnya adalah bahwa tidak ada jalan menuju Allah kecuali melalui Rasul-Nya, yaitu dengan mengikuti dan menaati beliau.
Ibnu Rajab berkata: "Cinta kepada Rasul memiliki dua tingkatan:
1. Tingkatan wajib:
yaitu cinta yang menuntut penerimaan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari Allah dengan cinta, ridha, penghormatan, ketundukan, dan tidak mencari petunjuk selain dari jalannya sama sekali.
Kemudian mengikuti beliau dalam segala hal yang beliau sampaikan dari Tuhannya, mempercayai semua yang beliau kabarkan, menjalankan segala kewajiban, menjauhi semua larangan, dan menolong agama beliau serta berjihad melawan orang yang menyelisihi beliau sesuai dengan kemampuan.
Cinta pada tingkat ini harus ada, dan iman tidak akan sempurna tanpa hal ini."
2. Tingkatan kedua:
Adalah keutamaan, yaitu cinta yang mendorong untuk meneladani Nabi dengan baik, meneladani sunnahnya dalam akhlak, adab, amalan sunnah, ibadah tambahan, cara makan, minum, berpakaian, serta interaksi baiknya dengan istri-istrinya dan orang lain.
Selain itu, cinta ini mendorong untuk memperhatikan sejarah hidupnya, hari-harinya, dan merasakan getaran hati saat mengingatnya, serta memperbanyak shalawat dan salam atasnya karena cinta, penghormatan, dan pengagungan yang telah tertanam dalam hati.
Orang yang memiliki cinta ini akan mencintai mendengar perkataannya dan lebih mengutamakannya daripada perkataan makhluk lainnya.
Salah satu bentuk cinta terbesar ini adalah meneladaninya dalam kezuhudannya terhadap dunia yang fana, cukup dengan yang sedikit darinya, dan lebih menginginkan akhirat yang kekal. (Dikutip dari kitab Istinshaq Nasim al-Uns).
Tanda-tanda cinta kepada Allah dan Rasul-Nya:
Seseorang akan mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah.
Ia akan mengutamakan keridhaan Allah di atas segalanya, berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan ridha-Nya, menjauhi apa yang diharamkan Allah, dan membencinya dengan sangat.
Ia akan mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menaati perintahnya dan menjauhi larangannya,
sebagaimana firman Allah:
"Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah." (QS. An-Nisa: 80).
Maka, siapa pun yang mengutamakan perintah selain Rasul atau melanggar larangannya, itu adalah tanda bahwa dia tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, cinta kepada Rasul adalah bagian dari cinta kepada Allah. Barang siapa mencintai Allah dan menaati-Nya, maka ia pasti akan mencintai Rasul-Nya dan menaati perintahnya.
Cinta kepada Allah mengharuskan cinta kepada ketaatan kepada-Nya, karena Allah mencintai hamba-Nya yang taat kepada-Nya, dan pecinta akan mencintai apa yang dicintai kekasihnya.
Di antara tanda-tanda cinta kepada Allah adalah mencintai orang-orang yang taat kepada-Nya, seperti para nabi, rasul, dan orang-orang saleh dari hamba-hamba-Nya.
Mencintai apa yang dicintai Allah dan siapa yang dicintai Allah adalah bagian dari kesempurnaan iman.
Barang siapa mencintai Allah, ia akan mencintai karena Allah, bersekutu dengan wali-wali Allah, dan memusuhi orang-orang yang bermaksiat kepada Allah serta membenci mereka.
Ia akan berjuang melawan musuh-musuh-Nya dan menolong para penolong-Nya. Semakin kuat cinta seorang hamba kepada Allah, semakin kuatlah amal perbuatan yang terkait dengan cinta ini. Dengan kesempurnaan amal tersebut, maka kesempurnaan tauhid seorang hamba akan tercapai.
Allah juga melarang bersekutu dengan musuh-musuh-Nya dalam banyak ayat di Al-Qur'an, dan menyatakan bahwa bersekutu dengan mereka bertentangan dengan iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.
Hal ini juga menjadi sebab munculnya fitnah dan kerusakan di bumi.
Barang siapa bersekutu dan bersahabat dengan mereka, dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah dan termasuk orang-orang yang zalim serta tersesat dari jalan yang benar.
Dia layak mendapatkan murka Allah dan siksaan-Nya yang pedih di akhirat.
Banyak ayat yang menyinggung hal ini,
seperti firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu." (QS. Al-Mumtahanah: 1).
Juga firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia, karena sebagian mereka adalah teman setia bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka." (QS. Al-Ma'idah: 51).
Barang siapa menaati Rasul dan mengesakan Allah, maka tidak diperbolehkan untuk bersahabat atau mencintai orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah kerabat terdekat.
Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai teman setia, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai teman setia, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. At-Taubah: 23).
Ayat ini secara khusus menyebutkan kerabat, yang menunjukkan bahwa memutuskan hubungan dengan selain mereka dari orang-orang kafir adalah lebih utama dan lebih layak.
Allah juga berfirman:
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22).
Imam al-Baghawi berkata:
"Allah mengabarkan bahwa iman orang-orang beriman akan rusak jika mereka berkasih sayang dengan orang-orang kafir. Barang siapa yang beriman, ia tidak akan berkasih sayang dengan orang kafir, meskipun mereka adalah keluarganya."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata: "Allah mengabarkan bahwa tidak akan ditemukan seorang mukmin yang berkasih sayang dengan orang kafir.
Barang siapa yang berkasih sayang dengan mereka, maka dia bukan mukmin."
Allah juga berfirman:
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh oleh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hud: 113).
Cenderung di sini berarti mencintai dan condong dengan hati.
Jika telah diketahui larangan bersekutu dan berkasih sayang dengan musuh-musuh Allah, maka perlu diketahui juga bahwa ada banyak sebab yang membawa kepada persekutuan dan kasih sayang terhadap mereka.
Salah satu sebab yang paling dekat adalah tinggal bersama mereka, terutama di daerah mereka sendiri, berinteraksi dengan mereka dalam pekerjaan, duduk bersama mereka, bersahabat dengan mereka, mengunjungi mereka, mengurus urusan mereka, mengikuti adat istiadat mereka, dan menghormati mereka dengan ucapan dan perbuatan. Banyak umat Islam yang terjerumus dalam hal ini.
Telah diriwayatkan banyak hadits yang melarang segala bentuk penghormatan kepada musuh-musuh Allah.
Di antaranya adalah memulai salam, berjabat tangan, menyambut mereka dengan ramah, berdiri untuk mereka, menempatkan mereka di posisi terhormat dalam majelis, dan memberi mereka ruang di jalan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu mereka di jalan, desaklah mereka ke bagian yang sempit.” (HR. Muslim).
Juga terdapat larangan berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersama mereka di daerah mereka karena hal itu merupakan salah satu penyebab terbesar yang membawa kepada persekutuan dan kecintaan kepada mereka.
Banyak hadits yang menjelaskan hal ini, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersama mereka, maka dia sama dengan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan tinggal bersama orang musyrik dan jangan berkumpul dengan mereka. Barang siapa yang tinggal bersama mereka atau berkumpul dengan mereka, maka dia sama dengan mereka.”
Juga terdapat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di tengah-tengah orang musyrik.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hendaknya umat Islam yang tinggal bersama musuh-musuh Allah merenungkan hadits-hadits ini dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya.
Allah Ta’ala berfirman:
"Maka sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku * yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (QS. Az-Zumar: 17-18).
Cinta karena Allah, benci karena Allah, persekutuan karena Allah, dan permusuhan karena Allah adalah di antara perkara terpenting dalam agama, ikatan iman yang paling kuat, serta amalan yang paling utama di sisi Allah Ta'ala.
Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
---
Sumber: Bahjat an-Nazhirin fima Yushlihu ad-Dunya wa ad-Din karya Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al Jarallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar