CINTA KEPADA ALLAH TA'ALA
Oleh: Abdullah bin Jarallah bin Ibrahim Al-Jarallah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya.
Setelah itu:
Salah satu kewajiban iman dan konsekuensinya adalah mencintai Allah Ta'ala, mencintai Rasul-Nya, mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman, dan mencintai segala sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya cintai, seperti iman, amal saleh, dan segala hal yang terkait dengannya. Selain itu, kita juga harus membenci apa yang dibenci oleh Allah, seperti kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan, serta membenci musuh-musuh Allah, seperti orang kafir, musyrik, pelaku maksiat, dan ateis. Cinta karena Allah, benci karena Allah, loyalitas karena Allah, dan permusuhan karena Allah adalah ikatan iman yang paling kuat dan merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta'ala. Seseorang akan bersama dengan orang yang ia cintai pada hari kiamat, sebagaimana yang disampaikan dalam sunnah.
Cinta kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya harus didahulukan daripada cinta kepada anak, harta, dan diri sendiri. Allah Ta'ala berfirman:
"Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluarga-keluargamu, harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (QS. At-Taubah: 24)
Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengancam orang yang lebih mencintai keluarganya, hartanya, keluarganya, perdagangannya, atau rumahnya dibandingkan melaksanakan perintah Allah yang dicintai oleh Allah Ta'ala, seperti jihad, hijrah, dan sebagainya.
Ibn Katsir (rahimahullah) menjelaskan bahwa ayat ini berarti: "Tunggulah apa yang akan menimpa kalian berupa azab dari-Nya." Ancaman ini tidak terjadi kecuali terhadap sesuatu yang wajib dan harus dilakukan.
Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang beriman hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia."
Dalam hadis sahih lainnya, Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: "Wahai Rasulullah, demi Allah, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri." Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: "Tidak, wahai Umar, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Lalu Umar berkata: "Demi Allah, engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri." Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Sekarang, wahai Umar."
Jelaslah bahwa mencintai Rasul adalah konsekuensi dari mencintai Allah Ta'ala, karena Rasul dicintai sesuai dengan cinta Allah kepadanya dan karena perintah Allah untuk mencintai, menaati, dan mengikuti Rasul. Barang siapa yang mengklaim mencintai Nabi tanpa mengikutinya dan tidak mendahulukan perkataannya daripada perkataan orang lain, maka ia telah berdusta, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Mereka berkata: Kami beriman kepada Allah dan Rasul, serta kami taat. Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu. Dan mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman." (QS. An-Nur: 47)
Allah menafikan keimanan dari orang yang berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika keimanan tidak akan terwujud kecuali dengan mendahulukan cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam atas diri sendiri, anak-anak, orang tua, dan seluruh manusia, maka bagaimana mungkin cinta kepada Allah lebih rendah dari cinta kepada selain-Nya?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjadikan mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di atas cinta kepada yang lain sebagai salah satu karakteristik iman dan tanda adanya rasa manisnya iman dalam hati. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Anas, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Ada tiga hal, siapa yang memilikinya akan merasakan manisnya iman:
(1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya,
(2) ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan
(3) ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari itu, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka."
An-Nawawi berkata: "Makna dari 'manisnya iman' adalah merasakan nikmatnya ketaatan, bersabar dalam menghadapi kesulitan, dan mendahulukan itu daripada keinginan duniawi." Mencintai Allah berarti melakukan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan segala bentuk pelanggaran, begitu pula dengan mencintai Rasulullah shallallahualaihiwasallam.
Ibnu Rajab (rahimahullah) berkata: "Cinta kepada Allah terbagi menjadi dua derajat. Pertama, cinta yang wajib, yaitu mencintai Allah dengan cinta yang menuntut ketaatan kepada segala perintah-Nya, membenci apa yang Dia larang, serta mencintai Rasul-Nya yang membawa perintah dan larangan-Nya. Cinta ini harus mendahului cinta kepada diri sendiri, keluarga, dan yang lainnya."
Keridhaan terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi dari Allah tentang agama, serta menerimanya dengan ridha dan ketundukan. Mencintai para nabi dan rasul, serta pengikut mereka yang baik karena Allah, dan membenci orang-orang kafir dan fasik karena Allah. Ini adalah keharusan dalam menyempurnakan keimanan yang wajib. Barang siapa yang mengabaikan sebagian dari ini, maka imannya berkurang sesuai dengan yang diabaikannya.
Allah Ta’ala berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa: 65)
Begitu juga, cinta yang wajib akan berkurang sesuai dengan yang diabaikan. Cinta yang wajib mengharuskan melakukan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Oleh karena itu, cinta karena Allah dan benci karena Allah adalah bagian dari pokok keimanan.
Dari hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, dari Mu’adz bin Anas al-Juhani, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, maka ia telah menyempurnakan imannya.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadis ini dengan tambahan: “Dan menikah karena Allah.” Dalam makna ini terdapat banyak hadis lainnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berloyalitas karena Allah, dan memusuhi karena Allah, maka ia akan mendapatkan perlindungan Allah. Seorang hamba tidak akan merasakan manisnya iman, meskipun banyak shalat dan puasanya, sampai ia seperti itu. Telah menjadi kebiasaan bahwa pertemanan manusia saat ini lebih didasari pada urusan dunia, dan itu tidak akan memberi manfaat apa pun bagi mereka, bahkan akan merugikan mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala: ‘Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain kecuali orang-orang yang bertakwa.’” (QS. Az-Zukhruf: 67)
Dalam Fathul Majid disebutkan: “Jika bencana ini telah meluas pada zaman Ibnu Abbas, yang merupakan masa terbaik dari umat ini, maka setelah itu kondisinya hanya semakin parah. Sehingga terjadi loyalitas pada kesyirikan, bid’ah, kefasikan, dan kemaksiatan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana ia datang pertama kali.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, kita harus mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada apa yang kita cintai dan inginkan. Kita harus mencintai apa yang Allah cintai, membenci apa yang Allah benci, berloyalitas dan memusuhi karena Allah, serta mengikuti Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Dengan cara inilah kita dapat membedakan antara cinta karena Allah, yang merupakan kesempurnaan tauhid, dan cinta bersama Allah, yang merupakan bentuk kemusyrikan ketika cinta itu disamakan dengan cinta kepada Allah, yang hanya layak untuk-Nya.
Ibnu Rajab (rahimahullah) berkata: “Derajat kedua dari cinta kepada Allah adalah derajat orang-orang yang dekat dengan-Nya, yaitu ketika cinta seseorang kepada Allah mencapai tingkat mencintai segala bentuk ibadah yang sunnah, membenci hal-hal yang makruh, dan ridha dengan segala yang ditetapkan Allah, meskipun itu menyakitkan bagi dirinya.”
Ia melanjutkan: “Dari sini jelas bahwa cinta kepada Allah, jika itu benar-benar tulus, maka akan menyebabkan seseorang mencintai ketaatan kepada-Nya dan membenci kemaksiatan serta menjauhinya.”
Adapun sebab-sebab yang dapat menarik cinta Allah di antaranya:
1. Mengenal nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya, yang tidak terhitung jumlahnya.
Allah Ta’ala berfirman: “Jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan sanggup menghitungnya.”
Hati manusia secara naluriah mencintai siapa pun yang berbuat baik kepadanya. Cinta atas nikmat adalah bagian dari rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat. Oleh karena itu, dikatakan bahwa syukur dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh.
2. Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.
Barang siapa yang mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya. Barang siapa yang mencintai Allah, ia akan menaati-Nya. Barang siapa yang menaati Allah, ia akan dimuliakan oleh-Nya. Dan barang siapa yang dimuliakan oleh Allah, maka ia akan tinggal di dekat-Nya. Beruntunglah orang yang demikian.
3. Salah satu sebab terbesar dari pengetahuan khusus tentang Allah adalah merenungi alam semesta, langit, bumi, serta makhluk ciptaan-Nya.
Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang mengingatkan akan tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan keagungan, kekuasaan, dan kesempurnaan-Nya. Semakin kuat pengetahuan seseorang tentang Allah, semakin kuat cintanya kepada-Nya, cintanya untuk taat kepada-Nya, dan semakin ia merasakan kenikmatan dalam ibadah seperti shalat, dzikir, dan lain-lain.
4. Berinteraksi dengan Allah dengan jujur dan ikhlas serta melawan hawa nafsu. Ini adalah sebab Allah melimpahkan keutamaan dan cinta-Nya kepada hamba-Nya.
5. Banyak mengingat Allah Ta’ala.
Barang siapa yang mencintai sesuatu, ia akan banyak mengingatnya. Dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Salah satu tanda cinta kepada Allah adalah senantiasa mengingat-Nya dengan hati dan lisan.
6. Membaca Al-Qur’an dengan penuh tadabbur (perenungan) dan tafakur (pemikiran).
Terutama ayat-ayat yang mengandung nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah yang menakjubkan. Cinta kepada ayat-ayat tersebut akan menarik cinta Allah kepada hamba-Nya.
7. Mengingat apa yang disebutkan dalam kitab dan sunnah tentang nikmat-nikmat yang diperoleh penduduk surga, seperti melihat wajah Allah, mengunjungi-Nya, dan berkumpul dengan-Nya pada hari yang dijanjikan. Hal ini juga bisa menimbulkan cinta kepada Allah.
Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan sepuluh sebab yang mendatangkan cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta hamba kepada Allah:
1. Membaca Al-Qur’an dengan perenungan dan memahami maknanya serta maksudnya.
2. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah setelah amalan wajib, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi: “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
3. Senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan lisan, hati, maupun perbuatan. Cinta seseorang kepada Allah berbanding lurus dengan kadar ini.
4. Mendahulukan apa yang dicintai Allah di atas keinginan pribadi saat hawa nafsu menguasai.
5. Memahami dan menghayati nama-nama dan sifat-sifat Allah serta merenunginya.
6. Menyaksikan kebaikan, kemurahan, dan nikmat Allah, baik yang tampak maupun tersembunyi.
7. Yang paling mengagumkan adalah hati yang penuh kerendahan di hadapan-Nya.
8. Mengadakan waktu untuk berkhalwat dengan Allah di akhir malam, saat turunnya rahmat, dengan membaca kitab-Nya dan menutupinya dengan istighfar dan taubat.
9. Berkumpul dengan orang-orang yang mencintai Allah dengan tulus dan mengambil manfaat dari percakapan mereka yang indah. Jangan berbicara kecuali jika ada manfaat bagi diri sendiri atau orang lain.
10. Menjauhi setiap sebab yang menghalangi hati dari Allah Ta’ala.
Dengan sepuluh sebab ini, para pecinta Allah mencapai derajat tertinggi dalam cinta, dan mereka masuk ke hadirat Sang Kekasih. (Dikutip dari Madarij As-Salikin, jilid 3, hlm. 17-18)
Tanda-tanda cinta sejati kepada Allah dan Rasul-Nya adalah komitmen untuk taat kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, dan merasa lezat dalam menghadapi celaan demi Allah, serta mengikuti Rasul-Nya.
Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui." (Al-Ma'idah: 54).
Dan Allah berfirman: "Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali 'Imran: 31).
Allah telah menggambarkan mereka yang mencintai-Nya dengan lima sifat:
1. Rendah hati terhadap orang beriman: Maksudnya adalah kelembutan, kasih sayang, dan bersikap ramah kepada sesama orang beriman, seperti firman Allah: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang mukmin yang mengikutimu." (Asy-Syu'ara: 215).
Rasulullah dan para sahabat juga digambarkan demikian, seperti firman Allah: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (Al-Fath: 29).
2. Tegas terhadap orang kafir: Maksudnya adalah keras dan tegas terhadap mereka, seperti firman Allah: "Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka." (At-Tahrim: 9).
Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang mencintai Allah akan membenci musuh-musuh-Nya.
3. Berjihad di jalan Allah: Ini mencakup jihad melawan musuh-musuh Allah dengan jiwa, tangan, harta, dan lisan. Ini merupakan wujud dari permusuhan terhadap musuh-musuh Allah yang menjadi konsekuensi cinta kepada-Nya.
4. Tidak takut celaan orang yang mencela: Mereka berusaha keras dalam melakukan apa yang diridhai Allah dan tidak peduli dengan celaan siapa pun jika hal itu mendatangkan keridhaan Allah. Ini adalah tanda cinta sejati, bahwa seorang pecinta hanya sibuk dengan apa yang membuat kekasihnya ridha, tanpa peduli dengan pujian atau celaan orang lain.
5. Mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: Allah menghubungkan kecintaan kepada-Nya dengan kecintaan kepada Rasul-Nya, seperti firman-Nya: "Lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya." (At-Taubah: 24).
Maksudnya, seseorang tidak dapat sampai kepada Allah kecuali melalui Rasul-Nya dengan mengikuti dan menaati perintah serta larangan beliau.
Ibnu Rajab berkata bahwa cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ada dua tingkatan:
1. Fardhu:
Yaitu cinta yang mengharuskan menerima apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari Allah dengan cinta, ridha, penghormatan, penyerahan diri, dan tidak mencari petunjuk selain dari jalan beliau secara mutlak. Juga mengikuti apa yang beliau sampaikan dari Allah, membenarkan semua yang beliau kabarkan, melaksanakan perintah, menjauhi larangan, menolong agama-Nya, dan berjihad melawan mereka yang menentangnya sesuai dengan kemampuan.
2. Tingkatan yang lebih tinggi:
Yaitu cinta yang mengharuskan meneladani beliau dalam akhlak, adab, amalan sunnah, makan, minum, pakaian, serta cara beliau berinteraksi dengan istri-istri dan orang lain.
Cinta ini juga termasuk memperhatikan sirah (perjalanan hidup) beliau dan menggigil hatinya ketika mendengar nama beliau, serta banyak bershalawat dan salam atasnya. Orang yang mencintai Rasulullah dengan tingkatan ini akan lebih memilih cara hidup beliau daripada yang lain, bahkan dalam urusan duniawi, serta meneladani kezuhudan beliau terhadap dunia dan hasratnya untuk kehidupan akhirat.
Tanda cinta kepada Allah dan Rasul-Nya juga adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci-Nya, mengutamakan keridhaan-Nya di atas yang lain, menjauhi segala yang diharamkan-Nya, serta mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Sebagaimana firman Allah: "Barangsiapa menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah." (An-Nisa': 80).
Jika seseorang lebih mengutamakan perintah selain Rasulullah, atau melanggar larangan beliau, itu adalah tanda kurangnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Cinta kepada Rasulullah adalah konsekuensi dari cinta kepada Allah, dan cinta kepada Allah mengharuskan ketaatan kepada-Nya. Oleh karena itu, cinta kepada Allah juga mengharuskan cinta kepada orang-orang yang taat kepada-Nya, seperti para nabi, rasul, dan orang-orang saleh. Cinta kepada Allah juga mengharuskan memusuhi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya.
Semakin kuat cinta seseorang kepada Allah, semakin kuatlah perbuatan-perbuatan yang terlahir dari cinta tersebut, yang pada akhirnya menyempurnakan tauhidnya. Allah melarang umat-Nya untuk menjadikan musuh-musuh-Nya sebagai teman setia, karena hal itu bertentangan dengan keimanan.
Firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu." (Al-Mumtahanah: 1).
2- Firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia; sebagian mereka adalah teman setia bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.” (Al-Ma'idah: 51).
Barang siapa menaati Rasulullah dan mentauhidkan Allah, tidaklah boleh baginya untuk menjadikan musuh Allah dan Rasul-Nya sebagai teman setia, meskipun mereka adalah kerabat terdekatnya.
Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai teman setia jika mereka lebih menyukai kekufuran daripada keimanan. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai teman setia, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (At-Taubah: 23).
Dalam ayat yang menyinggung kerabat ini terdapat bukti bahwa memutuskan hubungan dengan orang kafir lainnya adalah lebih diutamakan.
Allah juga berfirman: “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22).
Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata: Allah mengabarkan bahwa iman orang-orang mukmin rusak karena berkasih sayang dengan orang-orang kafir. Sesungguhnya, seorang mukmin tidak akan menjadikan orang kafir sebagai teman setia meskipun mereka adalah kerabatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa tidak ada seorang mukmin yang akan mencintai orang kafir. Barang siapa mencintai orang-orang kafir, maka ia bukanlah orang beriman.
Allah juga berfirman: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai pelindung selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 113).
Kecenderungan hati di sini adalah kasih sayang dan kecintaan dalam hati. Jika sudah dipahami bahwa dilarang menjadikan musuh Allah sebagai teman setia dan berkasih sayang kepada mereka, maka hendaknya juga diketahui bahwa sebab-sebab yang mendatangkan kecintaan kepada mereka sangat banyak. Salah satu yang paling dekat adalah tinggal bersama mereka di negeri mereka, bergaul dalam pekerjaan, duduk bersama mereka, berteman, mengunjungi mereka, bekerja untuk mereka, mengenakan pakaian mereka, beradab dengan adab mereka, serta memuliakan mereka dengan perkataan dan perbuatan. Banyak di antara kaum Muslimin yang terjerumus dalam hal ini.
Terdapat banyak hadits yang melarang perbuatan yang mengandung pengagungan terhadap musuh-musuh Allah, seperti memulai memberi salam kepada mereka, berjabat tangan, menyambut dengan gembira, berdiri untuk mereka, memberi tempat duduk utama di majelis, serta meluaskan jalan bagi mereka.
Dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memulai (salam) kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu mereka di jalan, paksalah mereka ke sisi yang paling sempit.” (HR. Muslim).
Dilarang juga untuk tinggal bersama orang-orang musyrik di negeri mereka, karena hal ini termasuk sebab terbesar yang mendatangkan kecintaan kepada mereka. Banyak hadits yang menunjukkan hal ini,
seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia sama dengan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat lain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Janganlah kalian tinggal bersama orang musyrik, dan jangan pula kalian berkumpul dengan mereka. Barang siapa tinggal bersama mereka atau berkumpul dengan mereka, maka dia sama seperti mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Rasulullah juga bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Oleh karena itu, hendaknya kaum Muslimin yang tinggal bersama musuh-musuh Allah merenungkan hadits-hadits ini dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya.
Allah berfirman: “Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan (yang baik), lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Az-Zumar: 17-18).
Cinta dan benci karena Allah, loyalitas karena Allah, dan permusuhan karena Allah adalah hal-hal terpenting dalam agama. Ini adalah ikatan iman yang paling kuat dan termasuk amalan terbaik di sisi Allah. Semoga Allah memberikan taufik, dan semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
---
Sumber: Bahjah An-Nazhirin Fi Ma Yashluhu Lid-Dunya Wad-Din karya Syaikh Abdullah bin Jarullah Al-Jarullah, hal. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar