CINTA KEPADA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Diterbitkan pada 4 Maret 2022, pukul 12:06
Oleh Aljamaah.net
Hakikat cinta kepada Nabi MUHAMMAD Shallallahu alaihi wa sallam dan maknanya
Para ulama memiliki berbagai ungkapan dalam menjelaskan hakikat cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan penafsirannya. Sebagian mereka mengatakan: Cinta kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah mengikutinya. Sebagian lain mengatakan: Cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berarti meyakini pertolongannya, membela sunnahnya, dan tunduk kepadanya, serta merasa takut menyelisihinya. Ada juga yang mengatakan: Cinta adalah terus-menerus mengingat yang dicintai. Yang lain mengatakan: Cinta adalah mengutamakan yang dicintai. Dan ada yang mengatakan: Cinta adalah kerinduan kepada yang dicintai.
Qadhi Iyadh rahimahullah berkata: "Sebagian besar ungkapan di atas merujuk pada buah cinta, bukan hakikatnya. Hakikat cinta adalah kecenderungan kepada sesuatu yang sesuai dengan diri seseorang, yang mana kesesuaian ini bisa karena kenikmatan dalam memandangnya, seperti mencintai keindahan rupa, atau karena kenikmatan intelektual, seperti mencintai orang-orang saleh dan ulama, atau karena kebaikan dan pemberian, dan semua sebab yang menyebabkan cinta ini terkumpul pada diri Nabi Shallallahualaihiwasallam. Sebab, pada diri beliau terkumpul keindahan rupa, kesempurnaan akhlak dan batin, serta kesempurnaan dalam memberikan kebaikan dan anugerah, yang belum pernah ada pada manusia sebelumnya dan tidak akan ada pada manusia setelahnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam layak mendapatkan cinta yang sejati secara syariat, kebiasaan, dan naluri."
Ia juga berkata: "Semua makna ini terkandung dalam diri Nabi Shallallahualaihiwasallam, karena beliau mengumpulkan keindahan lahir dan batin, kesempurnaan sifat-sifat kemuliaan, berbagai macam keutamaan, serta kebaikan beliau kepada seluruh umat Islam dengan membimbing mereka ke jalan yang lurus, keberlanjutan nikmat, dan menjauhkan mereka dari neraka."
Keutamaan Cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan Pahalanya :
Allah Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul, mereka itulah yang akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (An-Nisa': 69).
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah! Engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri, lebih aku cintai daripada keluargaku, lebih aku cintai daripada anak-anakku, dan aku bisa berada di rumah namun tidak bisa menahan diri hingga aku datang untuk melihatmu. Dan ketika aku mengingat kematianku dan kematianmu, aku sadar bahwa jika engkau masuk surga, engkau akan diangkat bersama para nabi, dan jika aku masuk surga, aku takut tidak bisa melihatmu." Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menjawabnya hingga turun ayat: "Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul, mereka itulah yang akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah."
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang hari kiamat, ia berkata: "Kapan kiamat?" Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab: "Apa yang telah engkau siapkan untuknya?" Lelaki itu menjawab: "Tidak ada apa-apa kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya." Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Engkau akan bersama orang yang engkau cintai." Anas berkata: "Kami tidak pernah merasa bahagia seperti kebahagiaan kami dengan sabda Nabi Shallallahualaihiwasallam: 'Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.' Aku mencintai Nabi Shallallahualaihiwasallam, Abu Bakar, dan Umar, dan aku berharap bisa bersama mereka karena cintaku kepada mereka, meskipun aku tidak melakukan amal seperti mereka."
Kata "tidak ada apa-apa" dan dalam riwayat lain: "Aku tidak menyiapkan banyak shalat, puasa, atau sedekah," Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Maksudnya, selain kewajiban, maksudnya aku tidak menyiapkan banyak ibadah sunnah seperti shalat, puasa, atau sedekah."
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Kata 'Engkau akan bersama orang yang engkau cintai' artinya engkau akan disatukan dengan mereka hingga menjadi bagian dari golongan mereka. Dengan demikian, pertanyaan tentang perbedaan derajat dapat dijawab, dikatakan bahwa persatuan terjadi ketika semua masuk surga, sehingga kebersamaan itu menjadi nyata meskipun derajatnya berbeda-beda."
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Dalam hadis ini terdapat keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang saleh dan ahli kebaikan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Di antara keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah melaksanakan perintah mereka dan menjauhi larangan mereka, serta beradab dengan adab syariat. Tidak disyaratkan bagi orang yang mencintai orang-orang saleh untuk melakukan amalan seperti mereka; sebab jika ia melakukannya, maka ia akan menjadi bagian dari mereka dan seperti mereka."
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum tetapi tidak bisa melakukan amalan seperti mereka?" Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Seseorang akan bersama orang yang ia cintai."
Imam Mubarakfuri berkata: "Maksudnya, barang siapa mencintai suatu kaum dengan tulus, ia akan menjadi bagian dari golongan mereka meskipun tidak melakukan amalan seperti mereka karena adanya kesamaan dalam hati mereka, dan mungkin cinta itu akan mendorongnya untuk mengikuti mereka."
Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Darimi meriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: "Wahai Rasulullah, seorang lelaki mencintai suatu kaum tetapi tidak bisa melakukan amalan seperti mereka." Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Engkau, wahai Abu Dzar, akan bersama orang yang engkau cintai." Abu Dzar berkata: "Aku mencintai Allah dan Rasul-Nya." Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Maka engkau akan bersama orang yang engkau cintai." Abu Dzar mengulanginya, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengulanginya lagi.
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Hadis ini benar, karena cinta sejati akan selalu menyatukan pecinta dengan yang dicintainya, dan kebersamaan ini tergantung pada cinta itu sendiri. Jika cintanya sedang atau mendekati sempurna, maka kebersamaan itu akan sejalan dengan cinta tersebut. Jika cintanya sempurna, maka kebersamaan itu akan sesuai dengan kesempurnaan cinta itu. Cinta yang sempurna menuntut kesesuaian dengan yang dicintai dalam segala hal jika pecinta mampu melakukannya. Jika kesesuaian ini tidak tercapai meskipun mampu, berarti cinta tersebut kurang sempurna, meskipun cinta itu tetap ada. Mencintai sesuatu dan menginginkannya mengharuskan kebencian terhadap lawannya, itulah sebabnya Allah Ta'ala berfirman: "Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al-Mujadilah: 22). Persahabatan yang kuat datang dari hati yang saling mencintai."
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: "Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: (1) mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala sesuatu, (2) mencintai seseorang hanya karena Allah, dan (3) benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api."
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Ini adalah hadis yang agung, salah satu dasar pokok dalam Islam. Para ulama berkata: Makna manisnya iman adalah kenikmatan dalam ketaatan dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan untuk mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, serta mengutamakan hal itu di atas duniawi. Cinta kepada Allah diperoleh dengan melaksanakan ketaatan-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, demikian pula cinta kepada Rasul-Nya."
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Bahwa Allah dan Rasul-Nya harus lebih dicintai daripada segala sesuatu, dan ini adalah salah satu dasar iman yang wajib, yang tidak akan sempurna iman seseorang tanpanya."
Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata: "Ungkapan manis dalam iman ini diibaratkan oleh Allah sebagai pohon, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: '(Perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit)' (Surah Ibrahim: 24). Kalimat yang baik adalah kalimat tauhid, sementara pohon adalah iman yang berakar kuat dalam hati seorang mukmin. Cabang-cabangnya adalah amal perbuatan yang mengikuti tauhid tersebut. Daun-daunnya adalah niat-niat baik yang dihasilkan dari amal tersebut, sementara buahnya adalah pahala dari amal itu. Manisnya buah ini adalah saat buah tersebut matang dengan sempurna, dan dengan demikian, akan tampak manisnya."
Imam Al-Baydhawi rahimahullah berkata: "Hanya dengan memahami ketiga hal ini (yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segala sesuatu, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan ke dalam api) seseorang dapat merasakan manisnya iman. Karena, jika seseorang merenungkan bahwa sumber nikmat yang sebenarnya adalah Allah, dan bahwa tidak ada yang memberikan nikmat atau menahan nikmat selain Dia, maka cinta kepada-Nya menjadi yang utama. Sementara Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah penunjuk jalan menuju ridha Allah, sehingga mencintai beliau merupakan konsekuensi dari mencintai Allah. Dengan demikian, mencintai Allah dan Rasul-Nya akan mengarahkan seseorang untuk mencintai hanya apa yang Allah dan Rasul-Nya cintai. Jika semua ini terpenuhi, maka kecintaan terhadap duniawi akan hilang dan digantikan oleh kenikmatan dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan."
Kewajiban dan Kepentingan Mencintai Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam :
Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata: "Ketahuilah bahwa seluruh umat Islam sepakat bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kewajiban."
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Mencintai Allah, bahkan mencintai Allah dan Rasul-Nya, adalah salah satu kewajiban iman yang paling besar, pilar paling penting, dan dasar dari segala amal ibadah dalam agama ini."
Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah, 'Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perdagangan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.' Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Surah At-Taubah: 24). Imam Al-Qurtubi rahimahullah berkata: "Ayat ini adalah dalil atas kewajiban mencintai Allah dan Rasul-Nya, tanpa adanya perbedaan pendapat di antara umat Islam, dan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus diutamakan di atas segala cinta lainnya."
Penutup
Kesimpulannya, cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah bagian dari keimanan dan kewajiban bagi setiap Muslim. Cinta ini bukan hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga diwujudkan dengan ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari apapun, seorang Muslim dapat merasakan manisnya iman dan meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar