SUNNAH ALLAH DALAM MENOLONG HAMBA-NYA YANG BERIMAN
Oleh Riyadh Adhami, terakhir diperbarui pada 12 Maret 2020
Dalam kondisi kelemahan dan penindasan yang dialami umat, orang-orang beriman melihat kepada ayat-ayat yang tersebar di dalam Al-Qur'an yang menyatakan janji Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi untuk menolong hamba-hamba-Nya yang beriman, memberi mereka kekuatan, dan menjadikan mereka pewaris bumi.
Mereka berusaha memahami, merenungkan, atau menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Seringkali, usaha ini berakhir dengan apa yang dapat kita sebut sebagai (penyiksaan diri), yaitu dengan menuduh diri sendiri sebagai kurang dalam keimanan dan menuduh umat sebagai tidak termasuk dalam golongan orang-orang beriman yang ditujukan janji-janji tersebut.
Akhirnya, banyak dari para penceramah yang mengambil kelemahan, perpecahan, dan kemunduran yang dialami umat sebagai alat untuk memperbesar pentingnya beberapa ibadah dan adab yang bersifat sunnah, dan menjadikan pengabaian atau ketidakpatuhan terhadapnya sebagai penyebab musibah dan dominasi musuh.
Seseorang khawatir bahwa hal ini akan mengarah pada praktik keagamaan yang menjauh dari ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad, serta pada penafsiran iman yang bersifat mistis, di mana pemahaman terhadap hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah di alam semesta ini diabaikan.
Padahal, memahami, memanfaatkan, dan mematuhi hukum-hukum ini adalah cara untuk mencapai kehendak Allah dalam memberikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Seseorang juga khawatir bahwa penafsiran iman yang mistis dan ketidaktahuan terhadap hukum perubahan akan menjadi cobaan bagi hamba-hamba Allah, dengan membuat mereka mereduksi hukum-hukum perubahan hanya pada syarat-syarat materi, serta mengingkari dukungan gaib yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yang merupakan salah satu hukum keimanan yang berkesinambungan.
Saya akan mencoba dalam artikel ini untuk memberikan beberapa penjelasan yang dapat membantu dalam memahami hukum-hukum Allah terkait perubahan, tugas orang-orang beriman, dan peran mereka dalam mewujudkan janji Allah kepada mereka berupa kemenangan dan kekuatan.
Hal pertama yang harus diperhatikan ketika berbicara tentang realisasi janji Allah kepada para nabi-Nya, rasul-Nya, dan orang-orang yang taat kepada-Nya, adalah bahwa janji ilahi tidak menghapuskan hukum-hukum dan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan di alam semesta, dan tidak selalu memerlukan terjadinya mukjizat atau hal-hal luar biasa yang menunjukkan kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Semua itu terjadi ketika Allah menghendakinya, bukan ketika hamba-hamba-Nya berharap atau berangan-angan.
Orang beriman tidak menjadikan janji ilahi sebagai alasan untuk melompat melewati hukum-hukum ini atau mengabaikan perannya dalam mempersiapkan diri.
Dia tahu bahwa dia diperintahkan untuk mencari dan memahami sebab-sebab, serta disiplin dalam mematuhinya.
Umat Islam telah melewati masa di mana mereka lalai terhadap hukum-hukum kebangkitan dan kemajuan, serta lalai terhadap sumber-sumber kelemahan yang merasuki tubuh mereka.
Akibat kelalaian ini, mereka ditimpa dengan hasil yang tidak bisa dihindari, takdir yang tak terkalahkan.
Tidak ada harapan bagi mereka untuk keluar dari kondisi ini kecuali dengan menyadari bahwa semua ini bukanlah kebetulan semata, tetapi merupakan hukum-hukum dan aturan yang siapa pun yang memahami dan memanfaatkannya dengan baik, ketika berhadapan dengan potensi dan sumber daya yang ada di sekitarnya, akan mendapatkan kesuksesan setelah melakukan perubahan yang bisa dia usahakan.
Ayat-ayat Al-Qur'an telah berbicara di banyak tempat tentang hukum-hukum ini dalam konteks gerakan sejarah, perubahan sosial, dan akibat dari bangsa-bangsa dan umat-umat, dengan cara yang menyoroti pentingnya usaha manusia dalam perubahan dan gerakan.
Tidak ada gunanya membicarakan hukum-hukum sejarah atau mengambil pelajaran dari perjalanan bangsa-bangsa terdahulu dan akibat dari perbuatan mereka, kecuali untuk menegaskan bahwa usaha manusia dan cara dia bekerja merupakan pusat dari tanggung jawab manusia atas amalnya di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, pembicaraan tentang hukum Allah dalam menolong hamba-hamba-Nya yang beriman adalah pembicaraan tentang aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang harus dipahami oleh orang-orang beriman ketika mereka bergerak dengan kesadaran penuh tentang peran usaha dan tindakan mereka dalam perubahan yang mereka inginkan dan kemenangan yang mereka nantikan.
Salah satu hal terpenting yang perlu kita tekankan adalah bahwa sebab-sebab dalam perubahan masyarakat tidak dapat dibatasi pada satu sebab saja.
Tidak boleh bagi seseorang yang ingin memahami proses perubahan untuk mengabaikan kompleksitas hubungan antar manusia, sehingga dia jatuh dalam simplifikasi yang merugikan.
Akibatnya, dia tidak dapat menangani masalah secara menyeluruh dan dengan pemahaman yang memadai. Jika kita membatasi sebab-sebab pada satu sebab saja, maka kita akan mengabaikan bagian-bagian penting dari persyaratan perubahan yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
Hasilnya adalah kegagalan, kekecewaan, dan kebingungan dalam langkah-langkah dan gerakan.
Hukum-hukum dan aturan-aturan yang mengatur gerakan masyarakat manusia selalu bekerja dalam persaingan dan dorongan yang berkelanjutan.
Apa yang tampak dari hasil akhirnya adalah hasil akhir dari hukum-hukum dan sebab-sebab yang bersaing yang bekerja pada waktu yang bersamaan.
Gravitasi, misalnya, adalah hukum yang mengatur gerakan dan keseimbangan benda-benda, sedangkan hukum tentang udara yang mampu mengangkat benda datar yang bergerak cepat adalah hukum yang bekerja bersamaan dengan hukum gravitasi.
Dengan bekerja bersamaan, kedua hukum ini dapat menjelaskan dan memahami gerakan benda terbang di udara yang tidak bisa dipahami hanya dengan satu hukum saja. Jika kita hanya fokus pada satu hukum, kita tidak akan bisa memahami fenomena kompleks ini sepenuhnya.
Berdasarkan pemahaman ini tentang hukum-hukum Allah, yaitu pemahaman yang tidak membatasi pengaruh pada satu sebab saja, kita akan berbicara tentang sebab-sebab iman yang penting dalam mendatangkan pertolongan dan dukungan dari Allah. Sebab-sebab iman ini akan berpengaruh jika digabungkan dengan sebab-sebab materi lainnya yang manusia hadapi dalam hidup mereka, dan yang menghasilkan hasil terlepas dari keimanan atau kekufuran mereka, keteguhan atau penyimpangan mereka.
Orang-orang Muslim adalah makhluk ciptaan Allah, dan tindakan mereka serta hasil dari perbuatan mereka diatur oleh hukum-hukum Allah yang tidak memihak siapa pun.
Hukum-hukum iman, meskipun sangat penting, tidak akan berpengaruh dalam peristiwa sejarah tanpa disertai dengan minimal beberapa sebab materi yang berlaku bagi semua manusia saat mereka menghadapinya.
Sebab-sebab materi yang dilakukan manusia adalah syarat bagi berfungsinya sebab-sebab iman.
Sebab-sebab itu adalah tempat bergantung (tawakkal), sedangkan berpangku tangan adalah kegagalan dalam mengambil sebab yang mungkin dan hanya berharap pada Allah tanpa usaha. Hal ini yang kita pahami dari ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan orang beriman untuk bersiap dan mempersiapkan diri:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi" [Al-Anfal: 60];
"Wahai Nabi, kobarkanlah semangat para mukminin untuk berperang" [Al-Anfal: 65];
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka teguhkanlah hatimu" [Al-Anfal: 45];
"Dan janganlah kamu saling berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, dan bersabarlah" [Al-Anfal: 46].
Pembicaraan tentang sebab-sebab iman dan pengaruhnya dalam perubahan memberikan jaminan yang melindungi orang beriman dari pandangan materi semata, dan memberi orang beriman suatu kekuatan spiritual yang melampaui keterbatasan manusiawi.
Sebab-sebab iman ini memberikan pandangan yang bersumber dari kekuatan Allah yang tidak terbatas, bukan dari kemampuan manusia yang lemah dan terbatas.
Di sisi lain, pembicaraan tentang sebab-sebab iman dan pengaruhnya dalam perubahan memberikan pemahaman tentang bagaimana generasi pertama umat Muslim, di bawah kepemimpinan Rasulullah, berhasil dalam banyak peristiwa besar dalam sejarah Islam, yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan pendekatan materi saja.
Sebab-sebab iman yang kita bicarakan ini, yang Allah kaitkan dengan pertolongan dan dukungan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, adalah kumpulan keyakinan, akhlak, dan adab hati yang harus diterapkan oleh orang beriman.
Mereka memohon kepada Allah dengan penuh kerendahan hati agar Allah menolong mereka untuk tetap teguh dalam keyakinan ini.
Jika keyakinan ini dan akhlak yang menyertainya tidak terpenuhi, maka Allah akan meninggalkan mereka hanya dengan kemampuan mereka sendiri, sehingga kemenangan mereka akan diukur secara materi.
Keimanan kepada Allah menanamkan rasa takut, kekaguman, dan rasa hormat dalam hati, serta menghubungkan hati dengan makna kebenaran dan kemuliaan. Ketulusan kepada Allah mengarahkan hati orang beriman kepada satu tujuan, sehingga segala tindakan, pikiran, dan niatnya hanya ditujukan untuk meraih keridhaan Allah dan mengikuti perintah-Nya.
Keyakinan penuh kepada Allah memberikan ketenangan dan rasa aman dalam hati, membuat orang beriman yakin akan perlindungan dan bantuan Allah. Kepatuhan kepada Allah dalam hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya di alam semesta menanamkan kesungguhan dalam hati orang beriman untuk memanfaatkan semua potensi dan sumber daya yang ada tanpa menyia-nyiakannya.
Ketika Allah melihat akhlak dan adab ini dalam diri hamba-Nya yang beriman, hal tersebut akan memperbesar potensi materi mereka dan menggandakan pengaruhnya, seperti tuas yang kuat dan kokoh ketika memiliki titik tumpu yang tepat.
Peningkatan upaya ini dan berkah pada sumber daya inilah yang dalam sejarah Islam tampak seperti keajaiban dan mukjizat, namun sebenarnya itu hanyalah hukum Allah dalam menolong hamba-hamba-Nya yang beriman.
Ketika sebab-sebab materi dipersiapkan dengan sempurna tanpa ada kelalaian atau kekurangan, serta tanpa mengabaikan sebab-sebab yang mungkin, maka orang beriman yang telah menyempurnakan sebab-sebab iman akan menjadi tempat munculnya kekuatan, bantuan, dan dukungan Allah dalam setiap situasi yang diperintahkan oleh akidah dan yang diperlukan untuk melindungi agama, diri, dan harta.
Sebab-sebab iman, ketika dipersiapkan dengan baik, dapat menutupi kekurangan dalam sebab-sebab materi, tetapi tidak akan menutupi kelalaian atau kesalahan yang bisa membatalkan peran sebab-sebab iman dan bantuan gaib.
Tinjauan singkat terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dan menyoroti kebenaran sebab-sebab yang Allah atur dalam sejarah, serta menegaskan pandangan yang seimbang tentang hukum Allah dalam menolong hamba-hamba-Nya yang beriman, antara sebab-sebab materi dan bantuan gaib yang bersifat keimanan.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah teladan dalam tawakkal (berserah diri) kepada Allah dan ketergantungan hatinya hanya kepada-Nya tanpa yang lainnya.
Saat berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau berada dalam ketenangan jiwa di dalam gua, di mana jika para pengejar melihat ke arah bawah kaki mereka, mereka pasti akan melihatnya.
Beliau juga tetap tenang ketika berbicara kepada penunggang kuda yang mengejarnya dengan mengatakan, “Bagaimana jika kamu mengenakan gelang Raja Kisra?”
Meskipun demikian, perhatian untuk mengamankan sebab-sebab materi dalam kedua situasi tersebut sangat mencengangkan.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan sahabatnya Abu Bakar keluar pada saat hijrah dengan cara sembunyi-sembunyi dari pintu belakang rumah Abu Bakar, pada waktu siang ketika aktivitas sedikit berkurang dan pengawasan orang-orang menjadi kurang.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pergi ke Gua Tsur yang jauh dari jalan biasa menuju Madinah dan bersembunyi di sana selama tiga hari.
Abdullah bin Abu Bakar datang membawa berita tentang Quraisy, sementara Asma' binti Abu Bakar menyiapkan makanan untuk mereka, dan pengembala domba milik Abu Bakar menggembalakan dombanya di dekat gua agar mereka bisa meminum susunya. Ia juga berjalan dengan dombanya di belakang Asma' untuk menghapus jejak langkah-langkah orang. Ketika penunggang kuda Suraqa melihat sesuatu yang tidak biasa dari kudanya dan menyadari bahwa orang yang dicarinya tidak dapat dijangkaunya,
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Suraqa: "Jangan mendekati kami."
Dalam Perang Badar, pengamalan sebab-sebab iman terlihat dalam keikhlasan yang ditunjukkan oleh para Muhajirin dan Ansar yang taat kepada Nabi mereka dan menyerah kepada perintah Allah. Ini juga terlihat dalam doa dan kerendahan hati Nabi Shallallahu alaihi wa sallam saat memohon kepada Tuhannya pada malam sebelum pertempuran.
Adapun pengorbanan yang dilakukan oleh para sahabat dapat dilihat dari perkataan salah seorang musyrik yang menggambarkan para pengikut Rasulullah di medan perang, “Apakah kalian tidak melihat mereka berlutut seperti ular yang sedang menggerakkan lidahnya?”
Ini juga tercermin dalam kisah dua pemuda yang sangat ingin membalas dendam kepada Abu Jahl ketika mereka mendengar bahwa ia menyakiti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Sementara itu, dalam Perang Uhud, terlihat dengan jelas keseimbangan antara sebab-sebab materi dan iman dalam hukum Allah, yaitu keseimbangan yang membuat orang-orang beriman unggul di awal hari dan memaksa musyrikin mundur setelah banyak di antara mereka yang terbunuh. Namun, ketika syarat keikhlasan kepada Allah hilang dalam niat dan beberapa orang beriman terikat pada dunia dan harta rampasan
{Di antara kamu ada yang menginginkan dunia, dan di antara kamu ada yang menginginkan akhirat} [Ali Imran: 152],
dan ketika syarat pengamanan sebab-sebab materi dilanggar dengan melanggar perintah Nabi kepada para pemanah, pertolongan Allah pun hilang bagi orang-orang Uhud.
Ini memberikan pelajaran kepada orang beriman di setiap zaman bahwa hukum Allah tidak memihak siapa pun, bahkan jika di antara mereka terdapat Rasulullah. Keterlambatan pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya pada hari Uhud adalah akibat dari diri mereka sendiri, karena mereka telah gagal dalam mengamankan sebab-sebab iman dan tidak menjaga apa yang telah mereka siapkan dari sebab-sebab materi.
Pada hari Hunain, pasukan terbesar umat Muslim pada waktu itu keluar untuk menghadapi Thaqif dan Hawazin.
Ketika rasa bangga akan jumlah yang besar masuk ke dalam hati mereka, mereka melupakan makna tawakkal kepada Allah dan ketergantungan hati hanya kepada-Nya, sambil berkata,
“Kami tidak akan kalah hari ini karena sedikitnya jumlah.”
Akibatnya, pertolongan Allah tidak datang kepada orang-orang beriman, dan mereka pun terpisah dari Rasulullah, hingga bumi terasa sempit bagi mereka.
Hanya segelintir orang yang tetap istiqamah dalam tawakkal dan keikhlasan yang berdiri teguh bersama Nabi mereka dan berjuang sekuat tenaga, sehingga Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada Rasul dan orang-orang beriman, dan memberi mereka tentara-Nya dan memberikan pertolongan setelah kekalahan pertama mendorong mereka untuk kembali kepada Allah dan tunduk kepada-Nya, serta mengakui kesalahan mereka akibat rasa bangga dan menjauh dari tawakkal.
Makna-makna ini dari hukum Allah dalam menolong hamba-hamba-Nya yang beriman selalu ada dalam pikiran generasi pertama sahabat Rasulullah. Ketika mereka mengalami keterlambatan pertolongan dalam satu peristiwa, mereka akan memeriksa apa yang telah mereka lakukan terkait dengan keikhlasan kepada Allah dan ketaatan yang tulus kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Allah Ta'ala yang menciptakan manusia dan mengetahui kelemahan serta keterbatasan yang ada pada mereka, juga mengetahui apa yang dapat mereka capai dalam hal keikhlasan dan tawakkal, adalah yang menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya dengan firman-Nya:
"Wahai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang. Jika di antara kamu ada dua puluh orang yang sabar, mereka akan mengalahkan dua ratus. Dan jika ada seratus, mereka akan mengalahkan seribu dari orang-orang yang kafir, karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti." [Al-Anfal: 65]
Ayat-ayat ini mengarahkan perhatian orang beriman pada potensi yang dapat dicapai jika mereka tulus dalam niat dan menyiapkan segala sesuatunya dengan baik, serta Allah akan memberikan bantuan dan dukungannya.
Ayat-ayat ini menegaskan kebenaran kekuatan orang beriman dalam menghadapi musuh mereka di hadapan Allah, yang merupakan suatu kebenaran yang menenangkan hati mereka dan meneguhkan langkah mereka.
Dari sini, para mukmin harus memiliki pandangan yang jelas tentang gerakan sejarah dan apa yang mereka wakili dalam hukum perjuangan yang telah Allah tetapkan sebagai pengatur gerakan manusia di bumi.
Mereka harus berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek yang realistis, terikat dengan nilai-nilai dan berpegang pada kebenaran, tanpa terburu-buru atau mengabaikan sunnah-sunnah peneguhan. Inilah yang ingin Allah ajarkan kepada para mukmin ketika hati mereka merindukan janji Allah untuk memasuki Baitullah:
{لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَٰلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا}
[Al-Fath: 28].
Maka, perjanjian Hudaibiyah adalah pembukaan yang dekat yang memudahkan masuknya dengan aman seperti yang dijanjikan Allah.
Oleh karena itu, kembalinya umat Islam dalam Perang Mu'tah dari melawan musuh mereka bukanlah sebuah pelarian atau keputusasaan, tetapi merupakan bentuk berpihak kepada kelompok Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Nabi juga mengingkari orang-orang yang disebutnya sebagai pelari, dan menyebut mereka sebagai penyerang kembali.
Mereka yang disebut penyerang kembali adalah orang-orang yang tidak menyimpan dalam hati mereka kerinduan untuk membantu agama Allah, meskipun tidak ada jalan yang mudah.
Keterbatasan kemampuan tidak membuat mereka merasa tertekan dan lemah, tetapi mereka selalu hidup dalam semangat jihad – dalam makna yang luas – untuk menegakkan kebenaran, dan memilih tujuan yang mungkin yang sesuai dengan pandangan yang jelas tentang gerakan sejarah dan sunnah-sunnah perubahan.
Mereka yang disebut penyerang kembali adalah Umat Dakwah, yang melihat kemenangan sebagai keteguhan pada prinsip dengan kebanggaan dan keunggulan. Hal ini tercermin dalam kerinduan mereka untuk berkorban dan memberikan, sebuah kerinduan yang diterjemahkan menjadi perhatian pada pendidikan, pelatihan, dan persiapan di semua bidang perlawanan dan perjuangan, serta dalam memperbanyak sekutu dan mengurangi musuh.
Umat dakwah adalah generasi yang dijadikan Allah sebagai hujjah bagi hamba-hamba-Nya di suatu fase sejarah, dalam kondisi di mana segala sesuatunya bergerak ke arah kekuasaan yang bukan untuk umat Islam:
{وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ}
[Ali Imran: 140].
Kemenangan bagi umat ini, yang hidup dalam fase sejarah yang khusus, terletak pada kemampuan untuk menjaga keyakinan tetap hidup dalam hati, tanpa kelemahan, keraguan, atau pengunduran diri, terlepas dari beratnya cobaan dan banyaknya pengorbanan.
Kisah para pemilik parit (Ashaab Al-Akhdoood) mewakili pandangan iman yang benar bagi mukmin yang berusaha mengatur pandangannya dan nilai-nilainya dengan ukuran Allah.
“Hidup dan segala sesuatu yang menyertainya, baik kenikmatan maupun kesakitan, serta kesenangan dan kehilangan, bukanlah nilai utama dalam timbangan, dan bukanlah barang yang menentukan perhitungan untung dan rugi. Kemenangan tidak hanya terbatas pada kemenangan yang tampak, karena ini hanyalah satu gambaran dari banyaknya gambaran kemenangan.
Kisah pemilik parit mewakili sebuah contoh dari sejarah dakwah, di mana mukmin tidak selamat dan kafir tidak diambil, sehingga tertanam dalam hati mukmin bahwa mereka mungkin dipanggil menuju akhir yang seperti ini dalam perjalanan mereka menuju Allah, dan bahwa mereka tidak memiliki urusan apapun; urusan mereka dan urusan keyakinan sepenuhnya kepada Allah. Tugas mereka adalah melaksanakan kewajiban mereka, kemudian pergi; tugas mereka adalah memilih Allah, mengutamakan keyakinan atas kehidupan, dan mengangkat iman di atas fitnah, serta membuktikan kepada Allah dalam amal dan niat mereka. Kemudian, Allah akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya kepada mereka dan musuh-musuh mereka, sama seperti yang Dia lakukan pada agama dan dakwah-Nya. Mereka akan diakhiri dengan salah satu dari akhir yang telah diketahui dalam sejarah iman, atau dengan sesuatu yang lain yang hanya diketahui dan dilihat oleh-Nya.
Al-Qur'an telah membentuk hati-hati yang dipersiapkan untuk memikul amanah tersebut.
Hati-hati ini harus cukup kuat dan kokoh, sehingga ketika mereka mengorbankan segalanya dan menanggung segala hal, mereka tidak melihat kepada apa pun di bumi ini dan tidak mengharapkan apa pun kecuali keridhaan Allah; hati-hati yang siap untuk menjalani seluruh perjalanan di bumi ini dengan kesulitan, penderitaan, dan pengorbanan hingga mati tanpa imbalan di bumi ini, bahkan jika imbalan tersebut adalah kemenangan dakwah dan keberhasilan umat Islam, atau bahkan jika imbalannya adalah kehancuran orang-orang zalim dengan tangkapan Allah yang Maha Perkasa, seperti yang dilakukan terhadap para pendusta yang terdahulu.
Ketika hati-hati ini menyadari bahwa satu-satunya hal yang harus mereka lakukan dalam perjalanan di bumi adalah memberikan tanpa mengharapkan imbalan, dan menunggu akhirat sebagai waktu pemisahan antara kebenaran dan kebatilan, serta ketika Allah mengetahui dari hati-hati ini akan ketulusan niat mereka terhadap apa yang mereka janjikan dan setujui, maka Allah memberikan mereka kemenangan di bumi dan mempercayakan mereka kepada kemenangan itu, bukan untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk melaksanakan amanah metode ilahi, dan mereka layak untuk melaksanakan amanah tersebut karena mereka tidak pernah dijanjikan dengan sesuatu dari hasil di dunia yang dapat mereka tuntut, dan mereka tidak mengharapkan sesuatu dari hasil di bumi ini.
Adanya umat ini, “Umat Dakwah”, dan keberlanjutan eksistensinya sebagai arus sosial yang nyata dan pendapat umum yang aktif, adalah kemenangan yang tidak kalah pentingnya dan tidak kalah mahal serta memerlukan pengorbanan dibandingkan dengan kemenangan peneguhan di bumi dan kemenangan atas musuh.
Keberadaan Umat Dakwah ini adalah tanda awal dan tanda nyata bagi kemungkinan adanya generasi mukmin yang diizinkan Allah untuk diberdayakan di bumi, mengangkat dari mereka fitnah dan ketakutan, serta memberikan mereka keamanan dan kesehatan.
Tujuan sejati dari usaha, perjuangan, dan gerakan para mukmin terletak pada kemampuan untuk mewakili Umat Dakwah dalam setiap kondisi dan dalam setiap suasana, serta memberikan kepada umat ini kemampuan dan akal praktis untuk menghadapi krisis nyata dalam setiap situasi, sampai saat Allah mengizinkan Umat Dakwah ini untuk menjadi umat yang layak untuk memikul amanah peneguhan di bumi dan mengangkat kalimat Allah di dalamnya.
Ketidakhadiran ide Umat Dakwah menjadikan para mukmin terjatuh dalam keputusasaan dan putus asa, mengabaikan kesempatan, dan menjadikan mereka mangsa bagi harapan kosong dan kesibukan yang sia-sia.
Oleh karena itu, persiapan dan kesiapan sangat diperlukan, meskipun pada tingkat psikologis dan emosional, dengan berbicara kepada diri sendiri tentang jihad – dalam makna yang luas – serta keseriusan dalam menghadapi urusan kehidupan dan berlatih untuk menguasai keterampilan dan keahlian, hingga para mukmin mencapai kecukupan dalam hal pengorganisasian kehidupan mereka secara keseluruhan, sembari berharap untuk meraih keunggulan yang menegaskan identitas dan mendukung serta memperkuat perasaan keterikatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar