Kamis, 05 September 2024

PENJELASAN DAN RAHASIA ASY-SYAKUR DAN ASY-SYAKIR




PENJELASAN DAN RAHASIA  ASY-SYAKUR DAN ASY-SYAKIR



Alhamdulillah, Was Sholatu was Salamu ala Rosulillah, wa ba'du;

Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab *Madarij As-Salikin* mengatakan:

 "Perbedaan antara syukur dan hamd (pujian) adalah bahwa syukur lebih umum dalam hal jenis dan sebabnya, namun lebih khusus dalam hal keterkaitannya. 

Syukur dilakukan dengan hati berupa ketundukan dan kerendahan, dengan lisan berupa pujian dan pengakuan, serta dengan anggota tubuh berupa ketaatan dan kepatuhan." 

Hatimu menjadi lembut dengan menyadari nikmat, dan menyadari nikmat adalah salah satu cara melunakkan hati yang paling efektif, serta merupakan salah satu sebab terbesar untuk mengatasi kekerasan hati. 

Kamu mungkin berkata: Hatiku sangat keras, tidak merasakan apa-apa? Maka duduklah dan hitung nikmat-nikmat yang kamu terima.


Nama Allah Ta'ala *Asy-Syakur* disebutkan dalam empat ayat:

1. Firman Allah Ta'ala:

 {لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ}
 [Fathir:30],

 artinya: "Agar Dia menyempurnakan pahala mereka dan menambahnya dari karunia-Nya. Sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Mensyukuri."

2. Firman Allah Ta'ala: 

{إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ}
 [Fathir:34], 

artinya: "Sungguh, Tuhan kami Maha Pengampun, Maha Mensyukuri."

3. Firman Allah Ta'ala: 

{وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ} 
[Asy-Syura:23],

 artinya: "Dan barangsiapa melakukan kebaikan, Kami akan tambahkan kebaikan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri."

   Perhatikan bahwa dalam ayat-ayat ini, nama Allah *Asy-Syakur* selalu digandengkan dengan *Al-Ghafur*.

 Tentunya ada hikmah besar di balik hal ini.

4. Nama Allah Ta'ala *Asy-Syakur* juga digandengkan dengan *Al-Halim* 

dalam firman Allah:

 {إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ}
 [At-Taghabun:17], 

artinya: "Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, Dia akan melipatgandakannya untukmu dan mengampunimu. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun."


Renungan dari Ayat-ayat : 

Sebelum mempelajari lebih jauh tentang nama Allah *Asy-Syakur*, mari kita renungkan sejenak ayat-ayat ini.

 Penyebutan nama-nama Allah dalam ayat-ayat tersebut pastinya dimaksudkan untuk mendukung tujuan utama dari surat yang bersangkutan. 

Setiap surat dalam Al-Quran memiliki maksud umum, dan ayat-ayatnya sejalan dengan maksud tersebut. 
Bagian penutup ayat-ayat tersebut selalu mendukung dan memperkuat maksud tersebut.

Misalnya, jika kita renungkan ayat pertama:

 {لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ}
 [Fathir:30], 

kita menemukan keterkaitan antara nama Allah *Asy-Syakur* dengan ayat tersebut.

 Allah, dalam kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, membalas setiap kebaikan yang mereka lakukan dengan pahala yang berlipat-lipat, bahkan menambahkan karunia-Nya.

Namun, mengapa nama *Asy-Syakur* digandengkan dengan *Al-Ghafur*?

 Mengapa tidak disebut *Asy-Syakur* dan *Al-Hamid* misalnya?

Jika direnungkan lebih jauh, akan terlihat bahwa tidak ada amal perbuatan yang sempurna tanpa kekurangan, sehingga kekurangan tersebut dilengkapi oleh ampunan Allah dan balasan-Nya yang besar meskipun amal itu sedikit. 

Maka seolah-olah ayat ini mengingatkan kita bahwa amal perbuatan kita selalu disertai dengan kekurangan, dan Allah menutupi kekurangan itu dengan ampunan-Nya serta mensyukuri amal tersebut meskipun ada kekurangannya.

Dalam ayat kedua: 

{وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ}
 [Asy-Syura:23], 

kita harus memperhatikan kata *yaqtarif* (berusaha keras), yang memberikan kesan bahwa melakukan kebaikan memerlukan upaya dan kesulitan. 

Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa Dia Maha Pengampun dan Maha Mensyukuri upaya dan kesungguhan hamba dalam melakukan kebaikan meskipun sulit.

Dalam ayat ketiga: 

{إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ} 
[At-Taghabun:17], 

seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas akan diberi ganjaran berlipat ganda oleh Allah. Allah juga akan menjadikan sedekah tersebut sebagai penebus dosa-dosanya.

Allah berfirman:
 {وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ},

 mengapa kata *Halim* (Penyantun) digunakan di sini? 
Karena meskipun seorang hamba melakukan amal perbuatan, dia harus merasa rendah diri di hadapan kebesaran Allah Ta'ala. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
 "Seandainya seorang pria bersujud terus-menerus sejak lahir hingga hari kematiannya karena mengharap ridha Allah, dia tetap akan merasa sedikit amalnya di hari kiamat."

Demikianlah bahwa manusia, dengan segala kekurangannya, seharusnya pantas mendapatkan hukuman. Namun, Allah dengan sifat-Nya yang Maha Penyantun, menunda hukuman tersebut dan menerima amal-amal hamba-Nya yang penuh kekurangan serta mensyukuri amal tersebut.

Makna Syukur : 

Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam *Madarij As-Salikin* bahwa "syukur secara bahasa berarti tampaknya pengaruh makanan pada tubuh hewan dengan jelas."
 Orang Arab biasa berkata "hewan itu bersyukur" jika terlihat kenyang dan sehat karena makanannya. 

Secara istilah, syukur berarti tampaknya pengaruh nikmat Allah pada lisan seorang hamba berupa pujian dan pengakuan, pada hati berupa pengakuan dan kecintaan, serta pada anggota tubuh berupa ketaatan dan kepatuhan.


Syukur: Ilmu, Keadaan, dan Amal :

Al-Ghazali dalam kitabnya *Ihya Ulumuddin* berkata: "Ketahuilah bahwa syukur adalah salah satu maqam para penempuh jalan (menuju Allah), yang terdiri dari ilmu, keadaan (hal), dan amal."

Ia berkata: Ilmu adalah akar atau dasar, yang melahirkan keadaan (hal), dan keadaan melahirkan amal. Adapun ilmu adalah mengenali nikmat dari pemberi nikmat (Allah), sementara keadaan adalah kegembiraan yang timbul dari menerima nikmat, dan amal adalah melakukan apa yang diinginkan dan dicintai oleh pemberi nikmat.

Mari kita rinci penjelasan yang indah ini:

1. **Ilmu:**

 "Mengenali nikmat dari pemberi nikmat", yaitu menyadari bahwa nikmat tersebut bukan datang dari siapa pun selain Allah, dan tidak terpaku pada sebab-sebab yang tampak sama sekali. 
Sebaliknya, seseorang melihat bahwa kesuksesan dan keberhasilannya dalam berbagai hal semata-mata merupakan karunia dari Tuhannya.

Pada kenyataannya, kita cenderung menisbatkan kebaikan kepada diri kita sendiri dan menisbatkan keburukan kepada Allah, na'udzubillah. 
Ketika berhasil dalam sesuatu, kita sering berkata: "Kalau bukan karena saya melakukan ini dan itu, saya tidak akan berhasil." 
Namun, ketika kita ditanya mengapa melakukan sesuatu yang buruk, kita berkata: "Saya tidak berniat melakukannya, tapi setan memang cerdik," atau "Ini adalah takdir Allah," dan sebagainya. 
Jadi, berhati-hatilah dan nisbatkan nikmat kepada Pemiliknya.

2. **Keadaan (hal):** 

"Adalah kegembiraan yang timbul dari nikmat-Nya." 
Jika tidak merasakan kegembiraan ini, maka ketahuilah bahwa Anda belum benar-benar mengenali nikmat Allah. 
Oleh karena itu, saya selalu mengatakan, tulislah nikmat-nikmat Allah, renungkanlah, dan lihatlah orang-orang yang tidak mendapatkannya.

Lihatlah mereka yang kehilangan penglihatan agar Anda dapat bersyukur atas penglihatan Anda. 
Lihatlah mereka yang tidak dikaruniai anak dan harus mengeluarkan banyak uang hanya untuk mendapatkan seorang anak, sementara Anda memiliki tiga atau empat anak. 
Dengan melihat mereka, Anda akan lebih bersyukur atas nikmat Tuhan. 
Jika Anda kehilangan rasa syukur atas nikmat, carilah orang yang tidak memilikinya. 
Jika Anda merasakannya dan hati Anda dipenuhi rasa syukur, kegembiraan, dan ketenangan, maka dari keadaan ini akan muncul amal.

Anda akan merasa terdorong untuk memberikan sesuatu kepada Allah: 
shalat, sedekah, membantu orang yang sedang kesulitan, atau melakukan sesuatu yang disukai Allah, sehingga Anda akan melakukan "apa yang diinginkan dan dicintai oleh pemberi nikmat." 
Oleh karena itu, syukur dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota tubuh. 
Seseorang tidak bisa dikatakan bersyukur kecuali jika hatinya tunduk, lisannya selalu mengingat, dan anggota tubuhnya tunduk dengan ketaatan kepada Allah.

Al-Ashfahani dalam kitab *Al-Mufradat* mengatakan: 
"Syukur adalah membayangkan nikmat dan menampilkannya, 
dan syukur terdiri dari tiga bagian:

- **Syukur dengan hati:** 
Ini adalah membayangkan nikmat dan terus melihatnya.

- **Syukur dengan lisan:** 
Ini adalah memuji pemberi nikmat.

- **Syukur dengan anggota tubuh lainnya:** Ini adalah membalas nikmat sesuai dengan haknya, yaitu bahwa segala sesuatu yang Anda miliki tunduk kepada Allah Ta'ala."


Perbedaan antara Syukur dan Hamd:

Mereka mengatakan bahwa syukur itu seperti hamd, namun syukur lebih khusus.

 Engkau bisa memuji seseorang atas sifat-sifat baiknya dan perbuatan baiknya, tetapi engkau tidak bersyukur kepadanya kecuali atas perbuatannya, bukan sifat-sifatnya.

 Sebagai contoh, seorang pria yang berakhlak mulia dan sopan: engkau memuji kesopanannya dengan menyanjungnya, tetapi engkau bersyukur atas perbuatan sopannya jika itu terjadi.

Jadi, hamd adalah pujian atas sifat dan perbuatan baik, 
sementara syukur adalah pujian atas perbuatan baik tanpa memperhatikan sifatnya. 
Thalab, salah seorang ahli bahasa, berkata: "Syukur hanya ada atas pemberian (karunia), sedangkan hamd bisa muncul dengan adanya pemberian atau tanpa pemberian, baik seseorang memberi sesuatu atau tidak."

Al-Qurtubi berkata: "Para ulama berbeda pendapat apakah hamd dan syukur memiliki makna yang sama atau tidak. 

At-Thabari dan Al-Mubarrad berpendapat bahwa keduanya memiliki makna yang sama, tetapi pendapat ini tidak diterima.

 Yang benar adalah hamd adalah pujian untuk sifat-sifat mulia seseorang tanpa harus ada pemberian sebelumnya, sedangkan syukur adalah pujian atas kebaikan yang telah diberikan."

Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman: "Segala puji bagi Allah" (Al-Fatihah: 2), 

baik Allah telah memberimu sesuatu atau tidak, Dia tetap terpuji karena zat-Nya, dengan sifat-sifat-Nya yang indah dan perbuatan-Nya yang mulia.

Ibnul Qayyim dalam *Madarijus Salikin* berkata: 
"Perbedaan antara syukur dan hamd adalah bahwa syukur lebih luas dalam jenis dan sebabnya, tetapi lebih khusus dalam objeknya. 
Syukur dapat dilakukan dengan hati sebagai bentuk ketundukan dan kerendahan, dengan lisan sebagai pujian dan pengakuan, dan dengan anggota tubuh melalui ketaatan dan kepatuhan." 
Hatimu menjadi lembut ketika menyadari nikmat yang diberikan. Menyadari nikmat adalah salah satu cara untuk melunakkan hati dan menjadi salah satu sebab terbesar untuk mengobati kekerasan hati. Jika engkau merasa hatimu keras dan tidak merasakan apa pun, maka duduklah dan hitunglah nikmat-nikmat Allah yang engkau terima.

Ingatlah bagaimana Allah memberimu petunjuk untuk bertaubat, bersabar denganmu, memberimu apa yang tidak engkau ketahui atau harapkan, dan melimpahkan nikmat-Nya yang tampak dan tersembunyi kepadamu. 

Dia memberimu nikmat Islam sejak awal, kemudian memberimu hidayah untuk taat kepada-Nya, mengizinkanmu mengingat-Nya, dan mengenal-Nya. 

Setiap nikmat ini melunakkan hatimu. Belum lagi nikmat-nikmat khusus bagi setiap individu, seperti musibah yang Allah selamatkan dirimu darinya, atau kesulitan yang Dia hilangkan, atau perlindungan yang Dia berikan kepadamu. 

Menghitung nikmat-nikmat ini akan melunakkan hatimu.

Dari segi objeknya, syukur hanya terkait dengan nikmat, bukan sifat. 

Engkau bersyukur atas nikmat dan tidak bersyukur atas sifat. 

Misalnya, engkau tidak bersyukur kepada Allah karena Dia Maha Penerima Taubat, tetapi engkau memuji-Nya karena sifat itu, dan bersyukur kepada-Nya karena Dia menerima taubatmu. 

Oleh karena itu, tidak dikatakan, "Kami bersyukur kepada Allah atas kehidupan-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan ilmu-Nya," tetapi dikatakan, "Kami memuji Allah atas semua itu," karena Dia dipuji atas sifat-sifat-Nya sebagaimana Dia dipuji atas kebaikan dan keadilan-Nya.


Makna Nama Allah "Asy-Syakur" : 


Apa arti dari nama Allah "Asy-Syakur"? Ulama berkata bahwa Allah Maha Mensyukuri kebaikan hamba-Nya, sehingga Dia melipatgandakannya. Dia mensyukuri amal yang kecil dengan memberikan pahala yang besar. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam  bersabda:
 "Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah yang baik dari harta yang baik, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik, kecuali Allah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, walaupun hanya sebutir kurma, dan Allah akan mengembangkannya hingga menjadi lebih besar daripada gunung, sebagaimana salah seorang dari kalian merawat anak kudanya..."

Mereka juga berkata bahwa salah satu makna dari syukur Allah adalah bahwa Dia mendorong makhluk-Nya untuk taat, baik sedikit atau banyak, sehingga mereka tidak menganggap remeh perbuatan baik yang kecil. 

Oleh karena itu, ketika Aisyah Radhiyallahu anha membaca ayat: 
"Barangsiapa melakukan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa melakukan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya"(Az-Zalzalah: 7-8), 
dia mengambil sepotong kurma dan bersedekah dengannya sambil berkata bahwa sepotong kurma pun termasuk kebaikan seberat zarrah.

Mereka berkata, jika Allah memuji hamba-Nya, maka Dia telah mensyukurinya. 
Pujian ini terjadi di hadapan malaikat, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang pujian Allah terhadap hamba-Nya saat dia membaca Al-Fatihah.

Ketika seorang hamba berkata, 
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam" (Al-Fatihah: 2), 
Allah berfirman: "Hambaku telah memujiku." 
Ketika dia berkata, "Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (Al-Fatihah: 3), 
Allah berfirman: "Hambaku telah memujiku." 
Ketika dia berkata, "Penguasa hari pembalasan" (Al-Fatihah: 3), 
Allah berfirman: "Hambaku telah mengagungkanku." (HR. Muslim).

Allah memuji hamba-Nya di hadapan para malaikat. 
Ketika engkau mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahualaihiwasallam, Allah memujimu di hadapan para malaikat, 
sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali, menghapus sepuluh dosanya, dan mengangkat derajatnya sepuluh tingkat." (HR. Albani, Sahih al-Jami’ [6359]).

Pujian Allah berbeda dengan zikir-Nya kepada hamba-Nya, sebagaimana firman Allah: 
"Ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingatmu" (Al-Baqarah: 152). 

Indah ketika Allah mengingatmu, tetapi lebih indah lagi ketika Allah memujimu.

Al-Ghazali berkata dalam *Al-Maqsid*: "Ketika Allah memuji amal-amal hamba-Nya, sebenarnya Dia memuji perbuatan-Nya sendiri, karena amal-amal mereka berasal dari-Nya. 
Jika Dia yang memberikan, kemudian memuji, maka Dialah yang paling berhak disebut sebagai 'Asy-Syakur'. 

Seorang yang saleh mendengar seseorang membaca firman Allah: 
"Sebaik-baik hamba adalah dia yang senantiasa kembali kepada-Ku" (Shaad: 30), 
maka dia berkata: 'Subhanallah, Dia yang memberi dan Dia pula yang memuji!'"

Musa Alaihi salam berkata: 
"Ya Rabb, jika aku menyampaikan risalah-Mu, itu karena pertolongan-Mu. 
Jika aku shalat, itu karena bantuan-Mu. Jika aku melakukan berbagai amal kebaikan, semuanya berasal dari-Mu. Bagaimana aku bisa bersyukur kepada-Mu?" 
Allah menjawab: "Sekarang kamu telah bersyukur kepada-Ku." 
Jadi, ketidakmampuan untuk bersyukur adalah kesempurnaan syukur.


Dampak Iman kepada Nama Allah "Asy-Syakur" : 

Pertama, 
jika Allah adalah Yang Maha Bersyukur, yang menerima amal sedikit dan memberikan balasan yang besar, maka seorang mukmin tidak boleh meremehkan perbuatan baik sekecil apa pun, sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: 
"Jangan pernah meremehkan perbuatan baik sekecil apa pun, bahkan sekadar bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri." (HR. Albani, Sahih al-Jami’ [7245]).

Bahkan senyummu kepada saudaramu adalah bentuk pendekatan kepada Allah, sedekahmu meskipun hanya separuh kurma adalah pendekatan kepada Allah, dan kata-kata baikmu adalah pendekatan kepada Allah. 

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Hindarilah api neraka, walaupun hanya dengan sebutir kurma. Jika tidak punya, maka dengan kata-kata yang baik." (HR. Bukhari [3595]). 

Maka, jangan remehkan amal, sekecil apa pun.

Kedua, 
perlu diketahui bahwa amal-amal yang dilakukan oleh seorang muslim, seperti shalat, puasa, atau haji, tidak lepas dari kekurangan, kelalaian, dan lupa. 
Jangan menganggap amal-amal tersebut sebagai harga yang cukup untuk masuk surga, dan jangan bergantung pada amal itu sendiri. 
Sebaliknya, gantungkan harapanmu hanya pada rahmat Allah.

Karena amal-amal itu sendiri tidak akan memasukkanmu ke surga.  surga adalah barang dagangan Allah yang sangat berharga.

 Namun, karena Allah adalah Asy-Syakur, Dia mengagungkan amal-amal tersebut dan memberimu pahala yang besar atas amal yang kecil dan memiliki kekurangan... Barang dagangan Allah yang sangat berharga.

Ketiga: 
Yang paling penting adalah mewujudkan rasa syukur, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang dikenai beban syariat). 

Bagaimana kita bersyukur kepada Allah Ta’ala? 

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: 
“Syukur dibangun di atas lima prinsip, dan aku akan menyebutkannya untukmu serta menjelaskan bagianmu darinya, maka perhatikanlah:

1. **Kepatuhan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri**: 
bagian dari hal ini adalah kehinaan dan ketundukan kepada Allah Ta'ala.

2. **Mencintainya**: 
seorang mukmin harus semakin bertambah dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala.

3. **Mengakui nikmat-Nya**: memperbanyak ucapan: 'Aku mengakui nikmat-Mu atasku' dan sering berbicara tentang nikmat Allah Ta'ala. 
Berbicara tentang nikmat untuk menyebut Sang Pemberi nikmat dan menjelaskan keutamaan-Nya, bukan untuk memamerkan nikmat tersebut.

4. **Memuji-Nya atas nikmat itu**.

5. **Tidak menggunakan nikmat dalam hal yang dibenci-Nya**:
 tidak bermaksiat kepada Allah atau melawan-Nya dengan nikmat yang diberikan.


Bagaimana mewujudkan syukur?

**Pertama, 
syukur terwujud dengan memperhatikan dampaknya, yaitu dengan menjaga nikmat dan berusaha menambahkannya. 

Allah berfirman: {Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih} (Ibrahim: 7). 

Jika kamu mengetahui hasil dari syukur, yaitu penambahan nikmat, kamu akan berusaha keras untuk mencapainya.

 Misalnya, ketika Allah memberimu rezeki berupa harta, dan kamu tahu bahwa cara terbaik untuk mengembangkannya dan menginvestasikannya adalah dengan menginfakkannya, bukan dengan menimbunnya, maka saat itu kamu akan melakukannya. Jadi, cara pertama untuk mewujudkan syukur adalah dengan mengetahui buah dari syukur sehingga menjadi dorongan bagimu untuk melakukannya.

**Kedua, 
seorang hamba harus meletakkan di hadapannya ganjaran besar di akhirat yang akan Allah berikan kepadanya jika dia bersyukur atas nikmat tersebut. 

Allah berfirman: {Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur} (Ali Imran: 144), 

dan Berfirman: {Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur} (Ali Imran: 145). 

Di antara ganjaran itu adalah sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat, bahwa barang siapa yang diuji lalu bersabar, diberi lalu bersyukur, dan didzalimi lalu memaafkan, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan petunjuk di dunia dan akhirat.

Al-Khiraithi, penulis kitab *Fadhilah Asy-Syukur* menyebutkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata: 
“Orang pertama yang masuk surga pada hari kiamat adalah orang-orang yang memuji Allah dalam suka dan duka.” 

Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq: 
“Orang yang makan dan bersyukur mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa dan bersabar” (Shahih, Al-Albani, Shahih Ibnu Majah [1440]). 

Jadi, mengetahui pahala yang akan Allah berikan menjadi dorongan untuk bersyukur.

Demikian pula, salah satu buah syukur yang mendorong untuk beramal dan mensyukuri nikmat Allah Ta'ala adalah terhindarnya azab di akhirat. 

Tidakkah kamu melihat firman Allah Ta'ala: {Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)} (Ibrahim: 34)

Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa cara untuk keluar dari sifat zalim dan kufur manusia terhadap nikmat Allah Ta'ala adalah dengan meletakkannya di depan matanya, sehingga hal ini, dengan izin Allah, menjadi sebab diangkatnya kezaliman terhadap dirinya sendiri yang dilakukan manusia."


Di antara manfaat syukur lainnya adalah terhindar dari azab di dunia. 

Allah Ta'ala berfirman: 
{Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram; rezekinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat} (An-Nahl: 112). 

Konteksnya menunjukkan bahwa sebaliknya juga benar, yakni jika mereka bersyukur atas nikmat Allah, mereka akan aman dari azab-Nya di dunia.

Al-Qur'an menjelaskan bahwa orang-orang yang bersyukur selamat dari azab Allah, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Allah, Luth Alaihisalam: 
{Kaum Luth telah mendustakan ancaman-ancaman (Nabi). Sesungguhnya Kami telah mengirim kepada mereka badai yang mengandung batu, kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sahur sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur} (Al-Qamar: 33-35).

 Jadi, syukur adalah tanda keselamatan dari azab, sebagaimana juga dinyatakan dalam banyak ayat yang menunjukkan makna ini. 

Juga, seorang hamba harus mengetahui bahwa salah satu buah terbesar dari syukur adalah cinta Allah Ta'ala kepada hamba-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadis: 
“Cintailah Allah karena nikmat-nikmat-Nya yang Dia berikan kepadamu, dan cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah, dan cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku” (Hasan, At-Tirmidzi [3789]).

Cinta Allah Ta'ala adalah hasil alami dari kesadaran akan nikmat-nikmat-Nya. 
Jika seorang hamba mengetahui bahwa dengan bersyukur Allah akan mencintainya, dan jika Allah mencintainya maka dia akan selamat, hal ini akan mendorongnya untuk bersyukur. 

Demikian pula, rahmat-Nya akan turun kepadamu. 

Allah Ta'ala berfirman: {Dan jika kamu bersyukur, Dia akan meridhainya bagimu} (Az-Zumar: 7).

Untuk membantumu lebih lanjut dalam mewujudkan rasa syukur secara praktis, aku sarankan beberapa hal berikut:

1. Sebagai langkah praktis, tulislah nikmat-nikmat Allah yang telah kamu terima dengan rasa bahagia. 
Setelah itu, kunjungilah orang yang sakit dan bayangkan dirimu berada di posisinya. Bagaimana jika Allah menakdirkanmu untuk merasakan sakit tersebut, dan betapa Allah telah memberimu kesehatan.

2. Banyaklah memuji Allah dengan lisanmu, sering-seringlah mengucapkan  "Alhamdulillah", dan kamu akan merasakan manisnya dan efek indahnya di hati.

3. Bicarakanlah tentang nikmat-nikmat Allah atau karunia-Nya yang indah kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman bin ‘Auf ketika Aisyah Radhiyallahu anha berkata kepadanya,
 “Engkau adalah yang terakhir dari sepuluh orang (yang dijanjikan masuk surga) yang akan masuk surga dengan merangkak.” 
Dia bertanya, “Mengapa, wahai Ummul Mukminin?” 
Aisyah menjawab, “Tidakkah kamu melihat semua kekayaan ini, ke mana kamu akan membawanya?” 
Dia menjawab, “Apa yang harus aku lakukan jika aku menginfakkannya pada malam hari dan Allah memberiku rezeki di siang hari, dan aku menginfakkannya di siang hari, lalu Dia memberiku di malam hari?”

Tidakkah kamu tahu kisah Nabi Dawud Alaihisalam, ketika Allah Ta'ala berkata kepadanya, 
“Wahai Dawud, cintailah orang-orang yang kucintai dan jadikan Aku dicintai oleh makhluk-Ku.” 
Dawud bertanya, “Ya Tuhanku, aku mencintai-Mu dan mencintai wali-wali-Mu, tetapi bagaimana aku dapat menjadikan-Mu dicintai oleh makhluk-Mu?” 
Allah menjawab, “Ingatlah Aku dan janganlah engkau menyebut tentang-Ku kecuali yang baik.”

Ya Tuhan kami, berilah kami ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepada kami dan kepada orang tua kami, dan jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar