KEUTAMAAN ZUHUD DI DUNIA
Khalid bin Saud Al-Bulahed
Segala puji bagi Allah dan salawat serta salam kepada Rasulullah, amma ba'du:
Sesungguhnya zuhud di dunia adalah salah satu dari amal-amal mulia yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang pilihan, yaitu mereka yang hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada Allah dan hasrat yang sempurna terhadap kenikmatan akhirat.
Dunia menjadi ringan di mata mereka, mereka meremehkannya, berpaling dari perhiasannya, dan hidup dengan sederhana.
Allah berfirman: (Dan bersabarlah bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka pada pagi dan petang hari dengan mengharap wajah-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena menginginkan perhiasan kehidupan dunia) (Al-Kahfi: 28).
Allah juga berfirman: (agar Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya) (Al-Mulk: 2).
Sufyan ats-Tsauri berkata: "Yang terbaik amalnya adalah yang paling zuhud terhadap dunia."
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau pengembara."
Ibnu Umar juga berkata: "Jika engkau berada di sore hari, jangan menunggu pagi; dan jika di pagi hari, jangan menunggu sore. Manfaatkan kesehatanmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum kematianmu." (HR. Bukhari).
Seorang lelaki datang kepada Muhammad bin Wasi' dan berkata: "Berilah aku wasiat." Dia menjawab: "Aku mewasiatkanmu untuk menjadi raja di dunia dan akhirat."
Dia bertanya: "Bagaimana caranya?" Muhammad bin Wasi' menjawab: "Berzuhudlah di dunia."
Makna zuhud adalah berpaling dari perhiasan dunia, meremehkannya, dan ridha dengan yang sedikit darinya.
Ibnu Rajab berkata: "Makna zuhud terhadap sesuatu adalah berpaling darinya karena menganggapnya remeh dan kecil serta mengarahkan ambisi yang lebih tinggi dari padanya.
Dikatakan: 'sesuatu yang zuhud' berarti sedikit dan hina."
Para salaf telah berbicara tentang tafsiran zuhud dan berbagai ungkapan mereka tentang hal itu.
Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat, baik yang merugikan agama atau menyibukkan dari ketaatan kepada Allah.
Ibnu Taimiyah berkata: "Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat.
Adapun semua yang membantu hamba dalam ketaatan kepada Allah, maka meninggalkannya bukanlah termasuk zuhud yang disyariatkan.
Yang disyariatkan adalah meninggalkan hal-hal berlebih yang menyibukkan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya."
Seorang mukmin yang zuhud tidak disibukkan dunianya dari akhiratnya, melainkan menjadikan dunia sebagai sarana untuk akhiratnya dan tidak mengorbankan akhiratnya demi dunianya.
Hakikat zuhud di dunia adalah pendek angan-angan di hati, di mana seorang mukmin menyadari bahwa ia hanya sekadar pengembara di dunia yang akan segera pergi darinya.
Zuhud bukanlah sekadar menjalani kehidupan keras sementara hati masih rakus terhadap dunia.
Sufyan ats-Tsauri berkata: "Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan, bukan dengan makan makanan kasar atau memakai pakaian kasar."
Ibnu Mubarak berkata: "Zuhud adalah ketika engkau berzuhud di dunia dengan hatimu."
Al-Zuhri ditanya tentang siapa yang disebut sebagai orang yang zuhud.
Dia menjawab: "Orang yang tidak dikalahkan kesabarannya terhadap yang haram, dan tidak disibukkan syukurnya terhadap yang halal."
Ahmad bin Hanbal berkata: "Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan dan putus asa dari apa yang ada di tangan manusia."
Ketika angan-angan seorang mukmin pendek terhadap dunia, maka dia meninggalkan kelebihan dunia, mencukupkan diri dengan apa yang ada, dan tidak tergoda oleh kenikmatannya, hiasannya, serta variasinya.
Namun jika angan-angan terhadap dunia panjang, dia akan tergoda oleh perhiasannya, mengumpulkan sebanyak mungkin, dan melupakan kepentingan akhirat.
Termasuk dalam zuhud adalah tidak memandang harta orang lain dan tidak berharap kepada apa yang mereka miliki.
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan: "Berzuhudlah di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu."
Fudhail bin Iyadh berkata: "Tanda zuhud di dunia adalah zuhud terhadap manusia."
Salah satu pemahaman yang keliru tentang zuhud adalah menganggap bahwa zuhud selalu identik dengan kemiskinan dan tidak mungkin bersatu dengan kekayaan.
Ibnu Taimiyah berkata: "Banyak orang belakangan mengaitkan zuhud dengan kemiskinan.
Padahal, zuhud bisa ada pada orang yang kaya maupun miskin.
Di antara para nabi dan generasi pertama yang zuhud namun tetap kaya jumlahnya sangat banyak."
Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang memiliki harta, apakah bisa menjadi orang yang zuhud?
Beliau menjawab: "Jika dia tidak bergembira dengan penambahannya dan tidak bersedih dengan kekurangannya, maka dia adalah orang yang zuhud."
Hal ini sesuai dengan firman Allah: (Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput darimu, dan tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri) (Al-Hadid: 23).
Maka, siapa yang tidak bersedih karena kekurangan dunia dan tidak bergembira karena penambahannya, maka zuhud telah menetap di hatinya.
Tentang Zuhud dalam Mencari Nafkah dan Memiliki Harta
Zuhud tidak berarti meninggalkan usaha mencari nafkah, memiliki harta, atau puas dengan kemiskinan dan bergantung kepada orang lain.
Hal ini bukan termasuk dari zuhud yang disyariatkan.
Abu Muslim al-Khaulani berkata: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud di dunia adalah ketika engkau lebih percaya dengan apa yang ada di tangan Allah daripada yang ada di tanganmu sendiri.
Dan ketika kamu tertimpa musibah, kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanannya daripada musibah itu tetap tinggal bersamamu.” Kata-kata ini juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahualaihiwasallam, namun tidak sahih.
Ibnu Qayyim berkata: “Para ahli ma'rifat sepakat bahwa hakikat zuhud adalah berpindahnya hati dari dunia dan perjalanannya menuju akhirat.
Berdasarkan hal ini, para ulama terdahulu menulis kitab tentang zuhud seperti kitab Zuhud karya Abdullah bin al-Mubarak, Imam Ahmad, Waki’, Hammad bin Sari, dan yang lainnya.
Zuhud terkait dengan enam perkara yang seorang hamba tidak bisa disebut sebagai zahid kecuali dia meninggalkan enam perkara tersebut, yaitu:
harta, gambaran (keindahan), kekuasaan, manusia, diri sendiri, dan segala sesuatu selain Allah.
Namun, yang dimaksud bukanlah menolak memiliki hal-hal tersebut.”
Zuhud memiliki dua tingkatan:
1. Zuhud terhadap perhiasan dunia – Inilah makna umum dari zuhud.
Allah berfirman: (Dan apa saja yang diberikan kepadamu, itu adalah kesenangan hidup dunia dan perhiasannya; sedangkan apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal) (Al-Qasas: 60).
2. Zuhud terhadap pujian manusia, reputasi, dan kekuasaan – Tingkatan ini hanya dicapai oleh orang yang hatinya ikhlas kepada akhirat dan mengharap wajah Allah.
Yusuf bin Asbath berkata: “Zuhud terhadap kekuasaan lebih berat daripada zuhud terhadap dunia.”
Sebagian orang saleh mungkin mampu zuhud terhadap perhiasan dunia, namun tidak terhadap popularitas karena adanya kelemahan dalam keikhlasan dan keyakinannya.
Ini adalah nafsu tersembunyi yang dialami oleh sebagian orang yang mengaku sebagai penuntut ilmu atau pendakwah.
Sufyan ats-Tsauri berkata: “Saya tidak pernah melihat zuhud terhadap sesuatu yang lebih sedikit daripada zuhud terhadap kekuasaan.
Kamu bisa melihat seseorang zuhud dalam makanan, minuman, harta, dan pakaian, tetapi ketika kekuasaan diperebutkan, dia akan mempertahankannya dan memusuhinya.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Zuhud memiliki tiga tingkatan.
Pertama,
meninggalkan yang haram, dan ini adalah zuhud orang awam.
Kedua,
meninggalkan hal-hal yang berlebih dari yang halal, dan ini adalah zuhud orang khusus.
Ketiga,
meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkan dari mengingat Allah,
dan ini adalah zuhud orang yang mengenal Allah.”
Zahid sejati adalah orang yang ketika dunia datang kepadanya, dia menolaknya dan lebih memilih apa yang ada di sisi Allah, serta berpaling darinya.
Adapun orang yang meninggalkan dunia karena tidak mampu mendapatkannya, hal itu mudah dilakukan oleh siapa pun.
Malik bin Dinar berkata: “Orang-orang mengatakan bahwa aku adalah seorang zahid.
Sebenarnya, yang benar-benar zahid adalah Umar bin Abdul Aziz, yang ketika dunia datang kepadanya, dia menolaknya.”
Ibnu al-Hakam berkata: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, dia zuhud terhadap dunia, meninggalkan apa yang ada padanya, dan bahkan menolak berbagai jenis makanan.”
Sebagian orang menunjukkan sikap zuhud ketika mereka miskin, tetapi ketika mereka mendapatkan kekuasaan dan dunia terbuka bagi mereka, mereka meninggalkan zuhud dan menjadi bagian dari kaum yang tenggelam dalam kemewahan.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah pemimpin para zahid di dunia, meskipun beliau memiliki kemampuan untuk mengumpulkan kekayaan.
Namun, beliau menginfakkannya untuk kebaikan dan hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan pribadinya.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jika aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, aku lebih suka tidak membiarkan tiga malam berlalu sementara masih ada sedikit darinya yang tersisa, kecuali sesuatu yang aku sisihkan untuk membayar utang.” (Muttafaq 'alaih).
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Umar Radhiyallahu anhu berkata: “Aku masuk menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam saat beliau berbaring di atas tikar. Aku duduk, dan beliau hanya mengenakan kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya.
Tikar itu telah meninggalkan bekas di pinggangnya.
Aku melihat ke sekitar ruangan dan hanya melihat segenggam gandum seberat satu sha' dan segenggam daun kering di sudut ruangan.
Juga ada kulit yang digantung.
Air mataku mulai mengalir.
Beliau bertanya: 'Apa yang membuatmu menangis, wahai putra al-Khattab?'
Aku menjawab: 'Wahai Nabi Allah, bagaimana mungkin aku tidak menangis melihat tikar ini telah meninggalkan bekas di pinggangmu dan melihat isi rumahmu seperti ini, sedangkan Kaisar dan Kisra berada dalam kemewahan, buah-buahan, dan sungai-sungai?
Engkau adalah Rasul Allah, orang pilihan-Nya, namun inilah keadaanmu.'
Beliau bersabda: 'Wahai putra al-Khattab, tidakkah kamu rela bahwa bagi kita akhirat, sedangkan bagi mereka dunia?'
Aku menjawab: 'Tentu saja, wahai Rasulullah.'”
Majelis-majelis para salaf saleh adalah majelis yang penuh dengan sikap zuhud terhadap dunia.
Abu Dawud berkata: “Aku sering duduk bersama Imam Ahmad, dan majelisnya selalu berisi pembicaraan tentang akhirat. Tidak pernah disebutkan urusan dunia dalam majelisnya.
Aku tidak pernah melihat dia membicarakan dunia sedikit pun.”
Dan seseorang tidak akan menjadi pemimpin bagi manusia hingga ia zuhud terhadap dunia
Allah Ta'ala berfirman: (Dan Kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar) (As-Sajdah: 24).
Qatadah berkata: “Ketika mereka bersabar terhadap dunia.”
Sufyan berkata: “Demikianlah keadaan mereka, dan tidak pantas bagi seseorang untuk menjadi imam yang diikuti hingga ia menjauhkan diri dari dunia.”
Zuhud memiliki manfaat besar bagi orang beriman, seperti menjaga hati dari hasad, kedengkian, mencintai sesama, dan kebahagiaan di dunia.
Allah Ta'ala berfirman: (Dan mereka tidak merasa dalam hati mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada mereka, dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri meskipun mereka sendiri dalam kesulitan) (Al-Hasyr: 9).
Zuhud juga membuat musibah menjadi ringan di hati orang yang beriman.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata: “Barang siapa yang zuhud terhadap dunia, musibah-musibah akan menjadi ringan baginya.”
Zuhud juga menunjukkan kebijaksanaan.
Malik berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa tidak ada seorang pun yang zuhud di dunia dan bertakwa kecuali ia akan berbicara dengan kebijaksanaan.”
Dengan zuhud, seorang mukmin dapat merasakan manisnya iman.
Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Haram bagi hati kalian untuk merasakan manisnya iman hingga kalian zuhud terhadap dunia.”
Zuhud juga memberi ketenangan bagi orang yang beriman dari kekhawatiran dan kesedihan.
Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: “Zuhud di dunia adalah istirahat bagi hati dan tubuh.”
Ketika seorang mukmin merasa tenang, ia dapat fokus dalam beribadah.
Seorang zahid tidak bersaing dengan orang lain dalam urusan dunia dan tidak bersedih atas apa yang luput dari dunia.
Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Hatimu tidak akan selamat hingga engkau tidak peduli siapa yang mengambil dunia.”
Zuhud juga membuat orang beriman mencintai pertemuan dengan Allah di akhirat.
Bisyr al-Hafi berkata: “Tidak ada orang yang mencintai dunia kecuali ia tidak mencintai kematian, dan barang siapa yang zuhud di dunia, ia mencintai pertemuan dengan Tuhannya.”
Zuhud di dunia membawa cinta Allah dan cinta makhluk.
Abu Darda’ Radhiyallahu anhu menulis kepada salah satu saudaranya:
“Amma ba’du,
aku menasihatimu untuk bertakwa kepada Allah, zuhud terhadap dunia, dan menginginkan apa yang ada di sisi Allah. Jika engkau melakukannya, Allah akan mencintaimu karena engkau menginginkan apa yang ada di sisi-Nya, dan orang-orang juga akan mencintaimu karena engkau meninggalkan dunia mereka. Wassalam.”
Barang siapa yang zuhud di dunia dan meringankan diri darinya, hisabnya akan ringan di hari kiamat dan ia tidak akan lama berdiri di sana.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Aku berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin, sedangkan orang-orang kaya tertahan, kecuali penghuni neraka, mereka diperintahkan masuk neraka.” (Muttafaq ‘alaih).
Zuhud yang sempurna memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
1. Tawadhu (rendah hati), cinta akan ketenaran yang tersembunyi, dan menjauh dari popularitas.
2. Tidak merasa sedih dan khawatir atas hilangnya dunia, serta tidak bergembira dengan melimpahnya dunia.
Malik bin Dinar berkata: “Sejauh mana kamu bersedih karena dunia, sejauh itu pula kesedihan akhirat keluar dari hatimu. Dan sejauh mana kamu bersedih karena akhirat, sejauh itu pula kesedihan dunia keluar dari hatimu.”
3. Qana’ah (puas) dengan rezeki yang Allah bagikan.
Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Asal zuhud adalah ridha terhadap Allah Ta'ala.”
4. Tidak bersaing dengan manusia dalam urusan dunia dan tidak menginginkan apa yang ada di tangan mereka.
5. Wara' (kehati-hatian) terhadap yang haram dan syubhat.
Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Wara' adalah permulaan zuhud, sebagaimana qana’ah adalah permulaan ridha.”
Banyak orang tertipu dengan kenikmatan dunia dan zuhud terhadap kenikmatan akhirat,
sebagaimana Allah SWT berfirman: (Tetapi kamu lebih mengutamakan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal) (Al-A'la: 16-17).
Qatadah berkata: “Manusia memilih kehidupan yang segera kecuali mereka yang dijaga oleh Allah.”
Dan hal terbesar yang membantu seorang mukmin untuk zuhud adalah menghadirkan hakikat dunia.
Allah Ta'ala berfirman: (Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu) (Ali Imran: 185).
Sa’id bin Jubair berkata: "Kesenangan yang menipu adalah bagi mereka yang sibuk mencarinya dan meninggalkan akhirat. Barang siapa yang sibuk dengan akhirat, maka baginya dunia sebagai bekal menuju yang lebih baik."
Jika seorang mukmin meyakini bahwa dunia ini akan sirna dan seluruh kenikmatannya akan binasa, maka ia akan zuhud darinya dan bersemangat mengejar akhirat.
Al-Auza’i berkata: "Barang siapa yang sering mengingat kematian, maka sedikit saja dunia sudah mencukupinya.
Dan barang siapa yang menyadari bahwa ucapannya adalah amal, maka ia akan sedikit berbicara."
Setiap kali hati seorang mukmin disibukkan dengan urusan akhirat, api cinta dunia akan padam dalam hatinya.
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: "Tidak ada yang bisa bersabar terhadap syahwat dunia kecuali orang yang hatinya disibukkan dengan akhirat."
Salah satu yang paling menguatkan seorang mukmin untuk bersikap zuhud dan memotivasinya adalah celaan Allah terhadap dunia dan penekanan-Nya agar manusia tidak terikat padanya.
Allah Ta'ala berfirman: (Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal) (An-Nahl: 96).
Al-Auza’i berkata: "Aku mendengar Bilal bin Sa’ad berkata: "Demi Allah, cukuplah sebagai dosa bahwa Allah mengajak kita menjauhi dunia sementara kita justru menginginkannya.
Maka orang yang seharusnya zuhud malah menjadi pencari dunia, yang berusaha keras malah lalai, dan orang yang seharusnya berilmu malah menjadi bodoh."
Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak zuhud terhadap dunia, sementara Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita betapa rendahnya dunia ini dan bahwa kehidupan yang sejati dan abadi ada di akhirat.
Beliau bersabda: "Ya Allah, tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali kehidupan akhirat." (Muttafaq ‘alaih).
Abdullah bin Amr bin al-‘Ash RA berkata: "Betapa jauh perilaku kalian dari perilaku Nabi kalian.
Adapun beliau, adalah orang yang paling zuhud terhadap dunia, sementara kalian adalah orang yang paling bernafsu terhadapnya." (HR. Ahmad).
Barang siapa yang sering merenungkan firman Allah, ia akan tumbuh rasa zuhud terhadap kenikmatan dunia.
Ibnul Qayyim berkata: "Al-Qur’an penuh dengan ajakan untuk zuhud terhadap dunia, penjelasan tentang hina dan sedikitnya, serta kerapuhan dan cepatnya ia sirna.
Dan penuh dengan motivasi untuk mengejar akhirat serta pemberitahuan tentang kemuliaannya dan kekekalannya. Jika Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, Dia akan menanamkan dalam hatinya kesadaran yang melihat dengan jelas hakikat dunia dan akhirat, lalu ia akan memilih yang lebih utama untuk diutamakan."
Jika jiwamu terikat dengan kenikmatan dunia dan terfitnah oleh keindahannya, maka renungkan firman Allah Ta'ala:
(Dan janganlah engkau tujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir) sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal) (Thaha: 131).
Cukuplah ayat ini sebagai pelajaran yang mengingatkan dan menghindarkan kita dari terikat dengan kenikmatan yang kurang, terputus, dan tidak abadi.
Para sahabat telah mendahului generasi setelah mereka dalam sikap zuhud terhadap dunia.
Abdurrahman bin Zaid berkata bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: "Kalian lebih banyak berpuasa, lebih banyak shalat, dan lebih banyak berjihad dibandingkan para sahabat Rasulullah Shallallahualaihiwasallam. Namun mereka lebih baik dari kalian." Mereka bertanya: "Mengapa, wahai Abu Abdurrahman?"
Ia menjawab: "Mereka lebih zuhud terhadap dunia dan lebih menginginkan akhirat."
Kisah mereka tentang zuhud sudah masyhur.
Suatu kali Mu’awiyah Radhiyallahu anhu mengirimkan seratus ribu dirham kepada Aisyah Radhiyallahu anha, dan pada malam harinya semuanya sudah habis ia bagikan.
Pelayan Aisyah berkata kepadanya: "Seandainya engkau membeli daging dengan satu dirham saja untuk kita makan."
Aisyah berkata: "Mengapa engkau tidak mengatakannya kepadaku tadi?"
Ketika Khalifah Umar Radhiyallahu anhu tiba di Syam, pasukan menyambutnya, sedangkan ia hanya mengenakan kain sarung, alas kaki, dan sorban. Ia menuntun untanya menyeberangi air.
Pasukan berkata kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, para jenderal dan pembesar Syam akan menyambutmu dalam keadaan seperti ini?"
Umar menjawab: "Kita adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam.
Kita tidak akan mencari kemuliaan dengan selainnya."
Seorang laki-laki masuk ke rumah Abu Dzar Radhiyallahu anhu dan melihat-lihat rumahnya.
Ia bertanya: "Wahai Abu Dzar, di mana barang-barangmu?"
Abu Dzar menjawab: "Kami punya rumah lain yang kami kirimkan barang-barang baik ke sana."
Laki-laki itu berkata: "Namun engkau butuh barang-barang selama berada di sini."
Abu Dzar menjawab: "Pemilik rumah ini tidak akan membiarkan kami tinggal lama di sini."
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: "Barang siapa yang menginginkan akhirat, ia akan merugikan dunia.
Dan barang siapa yang menginginkan dunia, ia akan merugikan akhirat.
Wahai kaum, pilihlah yang kekal daripada yang fana."
Fakir kepada Allah Khalid bin Saud Al-Balahed (Semoga Allah mengampuninya) 5/6/1442
Tidak ada komentar:
Posting Komentar