Rabu, 11 September 2024

UBUDIYAH PENGHAMBAAN KEPADA ALLAH TA'ALA


UBUDIYAH PENGHAMBAAN KEPADA ALLAH TA'ALA 


Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah yang benar-benar layak disembah, serta shalawat dan salam atas Nabi yang Allah sebut sebagai hamba-Nya dalam firman-Nya,
 "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari" [Al-Isra: 1], 
juga atas keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

Sesungguhnya, dahaga jiwa tidak akan terpuaskan kecuali ketika ia minum dari mata air penghambaan yang jernih. Dan jiwa seorang mukmin tidak akan tenang dan damai kecuali ketika ia menerima hembusan rahmat Ilahi, yang kemudian bernaung di bawah perlindungan-Nya yang kokoh dan petunjuk-Nya yang benar. Hamba yang kembali kepada Allah akan selalu berkata dalam kehidupannya: "Wahai jiwa, bergembiralah, karena tempat tinggal sudah dekat dan pertemuan hampir tiba. Jangan berhenti di jalan sebelum sampai, karena kamu akan terhalang dari rumah orang-orang tercinta."

**Dan apa yang menambah kehormatanku dan kebanggaanku,**

**Hingga hampir kakiku menginjak bintang-bintang,**

**Adalah ketika aku berada di bawah firman-Mu, "Wahai hamba-hamba-Ku,"**

**Dan Engkau menjadikan Ahmad sebagai nabi bagiku.**


Apa itu Penghambaan (Ubudiyah)?

Sesungguhnya penghambaan adalah kesempurnaan cinta dan kerendahan. Ketika seseorang memberikan seluruh cinta, ketundukan, dan kehinaan kepada kekasihnya, maka ia telah mencapai hakikat penghambaan.

Makna penghambaan sama dengan makna ibadah, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
 "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku" [Adz-Dzariyat: 56].

 Ibadah adalah tujuan dari penciptaan manusia dan jin. Tujuan dari keberadaan dua makhluk ini adalah untuk beribadah kepada Allah, yaitu penghambaan yang benar kepada-Nya. Allah Ta'ala telah memuliakan makhluk-Nya yang paling dicintai dan paling agung di sisi-Nya, yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahualaihiwasallam, dengan menyebutnya dalam derajat kemuliaan tertinggi sebagai "hamba-Nya" ketika Allah berfirman:
 "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa" [Al-Isra: 1]. 

Allah menyebut Nabi sebagai "hamba-Nya" pada saat kemuliaan terbesar, di mana tidak ada manusia lain yang mencapai penghormatan seperti itu, yakni diangkat oleh Allah Ta'ala sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam diangkat pada malam Isra'. 
Meski demikian, Allah Ta'ala tetap menyebut beliau sebagai "hamba-Nya."


Derajat penghambaan tidak boleh diberikan kepada selain Allah Ta'ala:

Ibnu Qayyim berkata,
 "Penghambaan adalah puncak cinta dan puncak kehinaan. Dikatakan, 'Cinta telah memperbudaknya,' yang berarti bahwa cinta telah merendahkannya. 
Jalan yang dilalui oleh banyak kaki disebut 'jalan yang diperbudak,' yaitu jalan yang direndahkan. Begitu pula, seseorang yang sangat mencintai sesuatu menjadi diperbudak oleh cintanya, dan derajat ini tidak pantas diberikan kepada siapa pun selain Allah Ta'ala.

 Allah Ta'ala tidak akan mengampuni siapa pun yang mempersekutukan-Nya dalam ibadah, namun Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Cinta penghambaan adalah jenis cinta yang paling mulia, dan itu adalah hak murni Allah atas hamba-Nya."

Dalam sebuah hadits shahih dari Mu'adz Radhiyallahuanhu, disebutkan bahwa ia berkata, 
"Aku pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, lalu beliau bersabda, 'Wahai Mu'adz,' aku menjawab, 'Ya, wahai Rasulullah.'
 Kemudian beliau mengulanginya hingga tiga kali, lalu berkata, 'Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?' 
Aku menjawab, 'Tidak, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.' Kemudian beliau berjalan sejenak dan bersabda, 'Wahai Mu'adz,' aku menjawab, 'Ya, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Tahukah kamu apa hak hamba-hamba atas Allah jika mereka melakukan itu? Bahwa Allah tidak akan mengazab mereka.' (HR. Bukhari)."


Penghambaan adalah derajat hamba yang paling mulia:

Sesungguhnya derajat yang paling mulia bagi makhluk adalah menjadi hamba yang murni bagi Allah, yang tidak dikuasai oleh hawa nafsu dan tidak dimiliki oleh para sekutu. 

Allah berfirman, 
"Allah membuat perumpamaan tentang seorang laki-laki yang dimiliki oleh beberapa orang yang berselisih dan seorang laki-laki yang menjadi milik penuh bagi seorang saja. Adakah kedua orang tersebut sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui" [Az-Zumar: 29].

Karena penghambaan kepada Allah Ta'ala adalah derajat yang paling mulia, Allah Ta'ala menyebut Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tiga keadaan yang paling istimewa: dalam tantangan, dalam Isra', dan dalam dakwah. 

Allah Ta'ala berfirman dalam tantangan, "Jika kamu ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat semisalnya" [Al-Baqarah: 23]. 

Allah Ta'ala berfirman dalam Isra', 
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya" [Al-Isra: 1], dan Allah berfirman dalam dakwah, 
"Dan sesungguhnya ketika hamba Allah berdiri untuk menyeru-Nya" [Al-Jinn: 19]. Ketika orang-orang yang teguh dalam kehendak besar (Ulul Azmi) saling mendorong untuk memberikan syafaat agung di hari kiamat, mereka berkata, "Pergilah kepada Muhammad, hamba yang Allah telah ampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang." Maka, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendapatkan derajat itu karena kesempurnaan penghambaan kepada Allah Ta'ala dan kesempurnaan ampunan-Nya.


Rukun Penghambaan:

1. Cinta yang murni kepada Allah dan apa yang Dia cintai,
 "Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya" [Al-Maidah: 54], 
"Dan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah" [Al-Baqarah: 165].
2. Kerendahan hati di hadapan-Nya.
3. Takut dan rasa gentar kepada-Nya, "Mereka selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami" [Al-Anbiya: 90].
4. Harapan kepada Allah, 
"Mereka mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya" [Al-Maidah: 57].

Sebagian ulama salaf berkata, 
"Barang siapa yang menyembah Allah dengan cinta saja, maka dia adalah zindiq. Barang siapa yang menyembah-Nya dengan hanya harapan saja, maka dia adalah murji’. 
Dan barang siapa yang menyembah-Nya dengan hanya rasa takut, maka dia adalah haruri (kelompok Khawarij). Tetapi barang siapa yang menyembah-Nya dengan cinta, rasa takut, dan harapan, maka dia adalah mukmin yang bertauhid."

Ibnu Qayyim berkata:

"Penghambaan kepada Ar-Rahman adalah puncak cintanya  
Bersama dengan kerendahan hati hamba-Nya, itulah dua poros  
Di atas dua poros itu, roda ibadah berputar,  
Berjalan terus sampai kapal itu tegak.  
Dan perjalanannya didasarkan pada perintah Rasul-Nya,  
Bukan pada hawa nafsu, diri sendiri, dan setan."


Contoh Penghambaan Salaf kepada Allah Ta'ala:

Aisyah Radhiyallahu anha meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila shalat, beliau berdiri hingga kaki beliau bengkak. 
Aisyah berkata,
 "Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan ini, padahal dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?" 
Beliau menjawab, "Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?" (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika Nafi' ditanya tentang kebiasaan Ibnu Umar di rumahnya, ia menjawab, "Ia selalu berwudhu untuk setiap shalat dan membaca Al-Qur’an di antara waktu-waktu tersebut."

Al-Hasan Al-Bashri menggambarkan kesungguhan salaf dalam beribadah: 
"Aku telah bertemu dengan kaum yang ketika malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, dan ketika siang tiba, mereka berpuasa. 
Dunia tidak membuat mereka senang, dan mereka tidak bersedih ketika dunia menjauh dari mereka. 
Dunia bagi mereka lebih ringan dari debu di bawah kaki mereka. 
Mereka berpegang teguh pada kitab Allah dan sunnah Nabi mereka Shallallahualaihiwasallam. 
Ketika malam tiba, mereka berdiri di atas kaki mereka, dan wajah mereka menyentuh tanah.  air mata mereka mengalir di pipi mereka.” 

Dan Ibnu Umar jika tertinggal dari shalat berjamaah, dia berpuasa sehari, menghidupkan malamnya, dan memerdekakan seorang budak. 

Fathimah binti Abdul Malik, istri Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: 
"Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih banyak shalat dan puasa darinya, atau yang lebih rajin mengetuk pintu Allah dibanding dirinya. 
Dia shalat isya, kemudian duduk mengingat Allah sampai matanya tertutup oleh kantuk, lalu terbangun. 
Dia pernah berada di atas ranjang, mengingat sesuatu tentang akhirat, lalu tubuhnya bergetar seperti burung yang menggigil setelah terkena air, kemudian dia duduk dan menangis. 
Aku pun menyelimutinya dengan selimut.”

Waki’ berkata: 
“Al-A’masy selama hampir 70 tahun tidak pernah melewatkan takbir pertama, dan aku mendatanginya selama lebih dari 60 tahun, tetapi aku tidak pernah melihatnya mengqadha satu rakaat pun.” 

Sulaiman bin Hamzah Al-Maqdisi berkata: “Aku tidak pernah shalat fardhu sendirian kecuali dua kali, dan seakan-akan aku tidak pernah shalat sama sekali, padahal dia mendekati usia 90 tahun saat dia wafat, semoga Allah merahmati mereka semua.”

Saudara-saudaraku dalam Islam, 
inilah contoh-contoh singkat dan petunjuk sekilas dari orang-orang yang hatinya penuh dengan cinta kepada Allah, sehingga mata mereka sejuk, jiwa mereka tenang, dan anggota tubuh mereka damai. Pikiran mereka penuh dengan kecintaan kepada Allah, menggantikan bisikan dosa, keinginan untuk mendekat kepada-Nya menggantikan keinginan untuk bermaksiat kepada-Nya, dan gerakan lidah serta anggota tubuh mereka dalam ketaatan menggantikan gerakan maksiat. 

Adapun Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, ibadah telah menyatu dan tertanam dalam hatinya. Manifestasi terbesar dari ibadahnya adalah bahwa beliau menyerahkan wajahnya kepada Allah dalam segala keadaan. 
Beliau selalu takut kepada Allah dalam setiap kondisinya, dan senantiasa mengingat-Nya serta memohon ampunan-Nya.
 Beliau bersabda: “Demi Allah, aku memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali sehari.”(HR. Bukhari).

Beliau beribadah kepada Allah di malam hari, shalat malam sebanyak 13 rakaat, berdiri shalat hingga kakinya membengkak. 
Ketika ditanya: “Wahai Rasulullah, engkau melakukan ini padahal dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni?” Beliau menjawab: “Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata: 
“Hati tidak akan baik, tidak akan sukses, tidak akan bahagia, tidak akan senang, tidak akan tenang, dan tidak akan damai kecuali dengan beribadah kepada Tuhannya semata. 
Jika dia mendapatkan segala sesuatu dari makhluk, hatinya tetap tidak akan tenang dan damai, karena di dalamnya ada kefakiran hakiki kepada Tuhannya secara fitrah. Maka, Allah adalah yang disembah, dicintai, dan menjadi tujuan.”

Karena kehidupan para salaf seluruhnya adalah ibadah, mereka seringkali bertanya: dari mana harus memulai? 
Apa yang harus didahulukan? 
Ulama rabbani Ibn Al-Qayyim rahimahullah menjawab:
 “Sesungguhnya amal terbaik yang paling dicintai Allah dan paling diridhai-Nya pada waktu itu. 
Kemudian dia merincinya, mengatakan: Yang terbaik pada saat menerima tamu adalah melayani mereka dan sibuk dengan hak mereka, mengesampingkan wirid yang disunnahkan.
 Demikian pula dalam menunaikan hak-hak istri. 
Yang terbaik pada waktu sahur adalah sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, doa, dan dzikir.
 Yang terbaik pada waktu adzan adalah meninggalkan wirid yang ada dan sibuk dengan menjawab adzan.
 Yang terbaik pada waktu shalat lima waktu adalah serius dan bersemangat dalam menunaikannya, segera melaksanakannya.
 Yang terbaik pada waktu ada orang yang membutuhkan adalah membantu dan menolongnya, mengutamakan itu atas wirid-wirid dan khalwat-khalwatmu.
 Yang terbaik pada waktu sakitnya saudaramu atau kematiannya adalah menjenguknya, menghadiri jenazahnya, dan mengutamakan itu daripada khalwatmu.
 Yang terbaik pada saat datangnya musibah adalah sabar, bersama orang lain, dan tidak menjauh dari mereka.”

Kemudian dia berkata rahimahullah: “Seorang hamba terus berpindah-pindah antara berbagai bentuk pengabdian. 
Jika engkau melihat para ulama, engkau akan melihatnya bersama mereka. 
Jika engkau melihat para ahli ibadah, engkau akan melihatnya bersama mereka. Jika engkau melihat para pengingat Allah, engkau akan melihatnya bersama mereka. Jika engkau melihat para dermawan, engkau akan melihatnya bersama mereka. Dia berjalan di atas kehendak Tuhannya meskipun kesenangan dirinya dan kelezatannya ada pada hal lain.” Demikianlah kata-kata beliau rahimahullah.


Penutup:

Jadilah hamba Allah dalam segala keadaan, perkataan, dan perbuatanmu, maka Allah akan mengurus seluruh urusanmu. Renungkanlah firman-Nya: "Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.
 Tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (QS. Al-An'am: 162-163). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar