Jumat, 06 September 2024

ASY-SYAKUR DAN ASY-SYAKIR




DARI ASMAUL HUSNA : 
              ASY-SYAKUR – ASY-SYAKIR


Alhamdulillah, Was Sholatu was Salamu ala Rosulillah, wa ba'du; 

Makna “Asy-Syakur” dan “Asy-Syakir” dalam bahasa:

Syukur: Pengakuan atas kebaikan dan menyebarkannya; ini juga disebut "Syukur".

Dikatakan bahwa syukur adalah memuji orang yang berbuat baik atas kebaikannya.

 Dikatakan: Aku bersyukur padanya (syakartuhu) 
dan aku bersyukur untuknya (syakartu lahu), 
dan dengan huruf "lam" lebih fasih.

Seorang pria yang bersyukur (syakur) adalah orang yang banyak bersyukur, seperti yang Allah Ta'ala firmankan: “Sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur” (Al-Isra: 3). 

Ini merupakan bentuk mubalaghah (ekspresi berlebihan untuk menunjukkan intensitas), 
dikatakan: syakara lahu, yasykuru syukran; syukuran, dan syukranan. 
Syukran adalah lawan dari kufur.

Az-Zajjaj berkata: "Asy-Syakur" adalah bentuk “fa’ul” dari syukur, dan asal kata syukur dalam bahasa adalah "penampakan".

Jadi, asal kata syukur dalam bahasa berarti: tambahan dan penampakan.


Perbedaan antara Syukur dan Hamd:

Syukur mirip dengan hamd (pujian); 
namun hamd lebih umum, 
karena kamu memuji seseorang karena sifat baiknya dan kebaikannya, 
tetapi kamu hanya bersyukur atas kebaikannya, bukan sifatnya.

Ibnu Qayyim berkata: "Perbedaan antara keduanya adalah bahwa syukur lebih umum dalam hal jenis dan alasan, tetapi lebih khusus dalam hal objek yang disyukuri, sedangkan hamd lebih umum dalam hal objek, tetapi lebih khusus dalam hal alasan".

Artinya: 
Syukur dilakukan dengan hati, berupa ketundukan dan kepasrahan; 
dengan lisan, berupa pujian dan pengakuan; 
dan dengan anggota tubuh, berupa ketaatan dan kepatuhan. 

Syukur terkait dengan nikmat, bukan sifat-sifat dzat-Nya. 
Maka, tidak dikatakan: “Kami bersyukur kepada Allah atas kehidupan-Nya, pendengaran-Nya, 
penglihatan-Nya, dan ilmu-Nya!!” 
Namun, Dia dipuji atas semua itu, 
seperti Dia dipuji atas kebaikan dan keadilannya. 

Syukur dilakukan atas kebaikan dan nikmat-Nya. 
Segala sesuatu yang terkait dengan syukur juga terkait dengan hamd, tetapi tidak sebaliknya. 
Syukur dilakukan dengan anggota tubuh, sedangkan hamd dilakukan dengan hati dan lisan.


Nama Allah "Asy-Syakur" dan "Asy-Syakir" dalam Al-Qur'an:

Kata *"Asy-Syakur"* disebutkan dalam Al-Qur'an empat kali:

- Firman Allah Ta'ala: “Agar Dia menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” (Fathir: 30).

- Firman-Nya: "Sesungguhnya Tuhan kami Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” (Fathir: 34).

- Firman-Nya: “Dan barangsiapa berbuat kebaikan, Kami akan tambahkan baginya kebaikan di dalamnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” (Asy-Syura: 23).


Adapun kata *"Asy-Syakir"*, disebutkan dua kali:

- Firman Allah Ta'ala: "Dan barangsiapa yang dengan sukarela mengerjakan kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”(Al-Baqarah: 158).

- Firman-Nya: "Mengapa Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui” (An-Nisa: 147).


Makna “Asy-Syakur” dan “Asy-Syakir” dalam hak Allah Ta'ala:

Qatadah berkata tentang firman Allah: "Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”(Fathir: 30).
Artinya:
 "Sesungguhnya Dia Maha Pengampun atas dosa-dosa mereka; Maha Mensyukuri atas kebaikan-kebaikan mereka."

Al-Khattabi berkata: *"Asy-Syakur"* adalah yang mensyukuri sedikit dari ketaatan, lalu memberikan pahala yang banyak sebagai balasannya, dan memberikan nikmat yang besar, serta ridha dengan sedikit dari syukur, 
seperti firman Allah:
 "Sesungguhnya Tuhan kami Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”(Fathir: 34).

Makna syukur yang dinisbatkan kepada-Nya adalah ridha dengan sedikit ketaatan dari hamba-Nya, menerima ketaatan tersebut, dan memberikan pahala yang besar atasnya. Dan Allah Maha Mengetahui.

Mungkin juga makna pujian terhadap Allah dengan *Asy-Syakur* adalah untuk mendorong manusia agar taat, baik dalam jumlah kecil maupun besar, agar mereka tidak meremehkan amal yang sedikit dan tidak meninggalkan yang kecil jika mereka tidak mampu melakukan yang banyak. 

Al-Baihaqi berkata: 
"Dia adalah yang mensyukuri sedikit dari ketaatan, dan memberikan banyak pahala atasnya. 
Syukur-Nya mungkin berarti pujian-Nya kepada hamba-Nya, yang bermakna kembali kepada sifat kalam, yaitu sifat yang melekat pada Dzat-Nya.”
 Maka, ketika Tuhan memuji hamba-Nya, itu berarti Dia telah mensyukurinya. 

Dalam *Al-Maqshad*, disebutkan: 
“Tuhan memuji amal perbuatan hamba-Nya, yang sebenarnya adalah perbuatan-Nya sendiri, karena amal mereka adalah ciptaan-Nya. Jadi, jika yang memberi dan memuji pemberiannya disebut 'Syakur,' maka yang memberi dan memuji pemberinya lebih pantas disebut Syakur.

 Pujian Allah kepada hamba-Nya, seperti firman-Nya:
 ‘Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah’ (Al-Ahzab: 35), 
dan firman-Nya: 
‘Sebaik-baik hamba, sesungguhnya dia adalah orang yang kembali kepada Allah’ (Shad: 30, 44). 
Semua itu adalah pemberian dari-Nya.”

As-Sa'di berkata: *"Asy-Syakir, Asy-Syakur"* adalah yang mensyukuri sedikit amal, mengampuni banyak kesalahan, melipatgandakan amal orang yang ikhlas tanpa batas, mensyukuri orang-orang yang bersyukur, dan mengingat orang yang mengingat-Nya. 
Barang siapa yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan sedikit amal saleh, Allah akan mendekat kepadanya lebih banyak lagi.


Dampak keimanan terhadap nama Allah “Asy-Syakur” dan “Asy-Syakir”:


1. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Asy-Syakur dan Asy-Syakir secara mutlak, yang menerima amal yang sedikit dan memberikan pahala yang banyak atas amal tersebut. 

Oleh karena itu, kita dilarang untuk meremehkan perbuatan baik, meskipun kecil, sebagaimana Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam berkata kepada Abu Dzar Radhiyallahuanhu: 
“Jangan meremehkan kebaikan apa pun, walaupun hanya sekadar bertemu saudaramu dengan wajah yang cerah.”

 Nabi SAW juga mendorong kita untuk melakukan amal saleh, baik kecil maupun besar, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan amal apa pun. 

Beliau bersabda: “Jauhilah api neraka meskipun hanya dengan memberikan sebutir kurma, jika kamu tidak menemukan, maka dengan kata-kata yang baik.”

 Beliau juga mendorong orang-orang untuk bersedekah ketika suatu kaum dari Mudhar datang dalam keadaan fakir dan miskin.
 Beliau berkata: 
“Bersedekahlah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, satu takar gandumnya, satu takar kurmanya, sampai beliau berkata: walaupun hanya dengan sebutir kurma.”

Allah Ta'ala juga menjelaskan bahwa Dia melipatgandakan amal saleh berkali-kali lipat sesuai kehendak-Nya, dan itu adalah karunia-Nya yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. 

Allah Ta'ala berfirman:
 “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (Al-Baqarah: 261). 

Dan Allah berfirman: 
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebaikan, Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”(An-Nisa: 40).


Allah Ta'ala berfirman:
"Dan barang siapa yang melakukan kebaikan, Kami akan tambahkan baginya kebaikan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri" (Asy-Syura: 23).

 Dan Dia juga berfirman: 
"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakannya untuknya dan baginya pahala yang mulia" (Al-Hadid: 11), 

serta ayat-ayat lainnya yang banyak.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Barang siapa bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil usaha yang baik – dan Allah tidak menerima kecuali yang baik – maka Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah akan mengembangkannya untuk pemiliknya sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya, sehingga sedekah itu akan menjadi sebesar gunung.”

 Artinya, Allah akan mengembangkannya sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya. 

Dan dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu 'anhu: seorang laki-laki datang dengan membawa unta yang terikat, lalu berkata: “Ini untuk jalan Allah.” 
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
“Kamu akan mendapatinya pada hari kiamat, dengan tujuh ratus unta, semuanya terikat.”

Di antara besarnya rasa syukur Allah kepada hamba-hamba-Nya serta keutamaan dan kemurahan-Nya kepada mereka, adalah bahwa Dia melipatgandakan kebaikan saja, sedangkan keburukan ditulis sebagaimana adanya dan tidak dilipatgandakan.

 Allah Ta’ala berfirman:
“Barang siapa yang membawa kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat dari kebaikan tersebut. Dan barang siapa yang membawa keburukan, maka dia tidak diberi balasan kecuali setimpal, dan mereka tidak akan dizalimi” (Al-An'am: 160). 

Dan Dia berfirman: 
"Barang siapa yang melakukan keburukan, maka dia tidak diberi balasan kecuali setimpal, dan barang siapa yang melakukan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dan dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, dan di dalamnya mereka akan diberi rezeki tanpa perhitungan" (Ghafir: 40).

2. Hal yang harus diketahui adalah : 
bahwa apa yang diberikan oleh seorang Muslim dalam bentuk pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti shalat, puasa, haji, sedekah, jihad, dan berbagai amal saleh lainnya yang dibatasi oleh umur yang pendek, serta disertai dengan kekurangan, lupa, dan kelalaian, tidak mungkin menjadi harga untuk surga yang abadi, dengan segala kenikmatan, kebaikan, buah-buahan, kemegahan, hiasan, dan kenikmatannya. 
Atau untuk menyelamatkan seseorang dari neraka dan apinya yang menyala-nyala.

 Dari Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Luruskanlah dan dekatkanlah diri kalian, serta bergembiralah, karena tidak ada seorang pun yang amalnya dapat memasukkannya ke dalam surga.”
 Mereka bertanya: "Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?"
 Beliau menjawab: “Tidak juga aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat-Nya.”

 Dalam riwayat lain: “Tidak ada seorang pun dari kalian yang amalnya dapat memasukkannya ke dalam surga, dan tidak juga menyelamatkannya dari neraka, kecuali dengan rahmat dari Allah.”

 Jadi, masuknya seorang hamba ke surga dan keberhasilannya, serta keselamatannya dari neraka, semuanya adalah karena karunia Allah dan rahmat-Nya.

3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala wajib disyukuri oleh setiap mukallaf, sebagaimana firman-Nya: 
"Ingatlah Aku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kufur" (Al-Baqarah: 152).

 Allah juga berfirman: 
"Makanlah dari rezeki yang Allah berikan kepada kalian yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah, jika kalian hanya menyembah kepada-Nya" (An-Nahl: 114). 

Dan Dia berfirman: 
"Makanlah dari rezeki Tuhan kalian, dan bersyukurlah kepada-Nya" (Saba’: 15).


Al-Qurthubi berkata: "Syukur memiliki tiga pilar: 

1. Mengakui nikmat dari Sang Pemberi nikmat.
2. Memanfaatkan nikmat tersebut untuk ketaatan kepada-Nya.
3. Bersyukur kepada siapa pun yang menjadi perantara nikmat tersebut, sebagai bentuk penyerahan dari Allah kepada makhluk-Nya.

Pilar ketiga ini belum pernah saya temukan di kalangan ulama yang membahas tentang syukur – setahu saya. 
Dan Allah lebih mengetahui. 
Maka segala puji bagi-Nya atas apa yang Dia ilhamkan, ajarkan, dan pahami.”

Imam Ibnu Qayyim menambahkan;  "Syukur dibangun atas lima prinsip: kepatuhan dari orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, 
kecintaan kepada-Nya, 
pengakuan atas nikmat-Nya, 
pujian kepada-Nya atas nikmat tersebut, dan tidak menggunakan nikmat tersebut dalam hal yang tidak disukai-Nya".

Kelima hal ini adalah dasar syukur, dan bangunan syukur berdiri di atasnya. 
Jika salah satunya hilang, maka satu pilar dari bangunan syukur akan rusak. 
Semua yang berbicara tentang syukur, pada dasarnya kembali kepada hal-hal tersebut.”

Saya (Ibnu Qayyim) berkata: 
"Adapun mengakui nikmat, mengetahuinya, menyebutkannya secara terus-menerus, dan membicarakannya, adalah sesuatu yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam beberapa ayat.

 Seperti firman Allah: 
"Ingatlah nikmat Allah kepada kalian, dan apa yang telah Dia turunkan kepada kalian berupa kitab dan hikmah untuk memberi pelajaran kepada kalian” (Al-Baqarah: 231).

 Dan Dia berfirman: 
"Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepada kalian, dan Aku telah melebihkan kalian atas semua makhluk" (Al-Baqarah: 47, 122). 

Dan Dia berfirman: 
"Ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian, dan dengan nikmat-Nya kalian menjadi bersaudara” (Ali ‘Imran: 103). 

Dan Dia berfirman: 
"Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah atas kalian”(Fathir: 3). 

Dan Dia berfirman: 
"Dan tentang nikmat Tuhanmu, maka bicarakanlah” (Adh-Dhuha: 11).

Dalam kitab "Al-Madarij": penulis *"Manazil"* berkata: 
"Syukur adalah nama dari pengakuan akan nikmat, karena pengakuan tersebut adalah jalan untuk mengetahui Sang Pemberi nikmat, dan itulah mengapa Allah menamakan Islam dan iman sebagai syukur dalam Al-Qur'an."

Imam Ibnu Qayyim berkata:
"Mengenal nikmat adalah salah satu pilar syukur, bukan keseluruhan syukur, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun mengenal nikmat adalah pilar syukur yang paling agung, yang mustahil ada syukur tanpa mengenal nikmat tersebut. Maka salah satu dari keduanya diberi nama untuk yang lain.”

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang keagungan mengingat dan mengakui nikmat Allah, yaitu dengan mengucapkan, "Sayyidul Istighfar adalah dengan mengatakan:
 'Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau. Engkau telah menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam perjanjian-Mu dan janji-Mu sebisaku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang telah kulakukan. Aku mengakui nikmat-Mu yang Engkau berikan kepadaku, dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.' Dan barang siapa yang mengucapkannya pada siang hari dengan keyakinan, lalu ia meninggal pada hari itu sebelum petang, maka ia termasuk ahli surga. Dan barang siapa yang mengucapkannya pada malam hari dengan keyakinan, lalu ia meninggal sebelum pagi, maka ia termasuk ahli surga."

Al-Thibi berkomentar, 
"Pertama-tama, dia mengakui bahwa Allah telah memberinya nikmat, tanpa membatasinya karena nikmat itu mencakup berbagai bentuk. Kemudian dia mengakui bahwa dia telah lalai dan tidak mampu menjalankan syukur atas nikmat itu, kemudian dia memperbesar hal tersebut dan menganggapnya sebagai dosa karena kelalaiannya dan penghinaan terhadap dirinya."

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga sering mengulangi pengakuan terhadap nikmat Allah setelah salat, dengan mengucapkan,
 "Segala puji bagi-Nya, nikmat dan keutamaan adalah milik-Nya; segala pujian yang baik adalah bagi-Nya."

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga mendorong umatnya untuk berbicara tentang nikmat Allah, dengan bersabda: "Barang siapa yang mendapatkan cobaan dan menyebutkannya, maka dia telah bersyukur. 
Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka dia telah mengingkarinya."

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pujian kepada Allah yang berkaitan dengan nikmat-Nya terbagi menjadi dua jenis: umum dan khusus. 
Pujian umum adalah memuji Allah dengan sifat kedermawanan, kemurahan, kebaikan, dan pemberian-Nya yang luas. Sedangkan pujian khusus adalah berbicara tentang nikmat-Nya dan mengabarkan bahwa nikmat itu datang dari-Nya. 

Sebagaimana Allah berfirman: 
"Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah." (Al-Duha: 11).

Ada dua pendapat mengenai makna menceritakan nikmat Allah dalam ayat ini:

1. Menceritakan nikmat adalah menyebut dan mengakui bahwa Allah telah memberikan nikmat tertentu.

2. Menceritakan nikmat adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan mengajarkan umat.

Ibnu Qayyim menambahkan bahwa orang yang tidak bersyukur atas nikmat kecil tidak akan bersyukur atas nikmat besar, dan siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, dia tidak bersyukur kepada Allah. 
Membicarakan nikmat Allah adalah bagian dari rasa syukur, sedangkan menyembunyikannya adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmat tersebut.

Akhirnya, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa memanfaatkan nikmat Allah untuk ketaatan adalah hal yang wajib, dan mereka yang tidak melakukannya dianggap sebagai pengingkar nikmat. 
Nikmat yang diberikan kepada orang beriman adalah untuk digunakan dalam ketaatan kepada Allah, sedangkan orang kafir dan ahli maksiat menggunakannya untuk bermaksiat kepada-Nya.


Dan dalam perintah untuk memperbarui nikmat yang dianugerahkan oleh Allah ada dua pendapat:

Pendapat pertama: itu adalah menyebutkan nikmat dan memberitahukannya, dengan mengatakan: “Allah telah memberiku nikmat ini dan itu.”

Berbicara tentang nikmat Allah adalah bentuk syukur, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Jabir yang disandarkan kepada Nabi Shallallahualaihiwasallam: 
"Siapa yang diperbuatkan kebaikan kepadanya, hendaklah dia membalasnya, jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, maka hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memuji, dia telah bersyukur. Dan jika dia menyembunyikannya, maka dia telah mengingkarinya. Dan siapa yang menampilkan dirinya memiliki apa yang tidak diberikan kepadanya, maka dia seperti orang yang memakai dua kain dusta."

Dalam hadis ini, disebutkan tiga jenis manusia:

1. Orang yang bersyukur atas nikmat dengan memuji nikmat tersebut.

2. Orang yang mengingkari nikmat dan menyembunyikannya.

3. Orang yang menampilkan diri seolah-olah dia menerima nikmat padahal dia tidak menerimanya, yaitu orang yang menampilkan dirinya memiliki apa yang tidak diberikan kepadanya.

Dalam hadis lain yang disandarkan kepada Nabi Shallallahualaihiwasallam: 
"Siapa yang tidak bersyukur atas yang sedikit, maka dia tidak akan bersyukur atas yang banyak. Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Berbicara tentang nikmat Allah adalah syukur, dan meninggalkannya adalah kekufuran. Dan kebersamaan adalah rahmat, sementara perpecahan adalah azab."

Pendapat kedua: 
Bahwa berbicara tentang nikmat yang diperintahkan dalam ayat ini adalah dakwah kepada Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan mengajarkan umat.

 Mujahid berkata: 
"Itu adalah nubuwah (kenabian)." 

Az-Zajjaj berkata: 
"Artinya, sampaikanlah apa yang engkau diutus dengannya, dan bicarakanlah tentang kenabian yang diberikan Allah kepadamu."

Maka menampakkan nikmat dan berbicara tentangnya adalah ciri orang beriman yang bersyukur. 
Sebaliknya, jika seseorang menyembunyikan nikmat dan menampilkan diri seolah-olah tidak memilikinya, baik dengan keadaan maupun perkataan, maka itu adalah pengingkaran terhadap nikmat, dan itu adalah ciri orang kafir yang mengingkari nikmat. 
Seseorang disebut sebagai kafir karena dia menutupi nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya, mengingkarinya, dan tidak mengakuinya. 

Allah telah menggambarkan mereka dalam kitab-Nya, 
Dia berfirman: 
"Mereka mengenal nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir." (QS. An-Nahl: 83). 

Dan Dia berfirman: 
"Apakah dengan nikmat Allah mereka mengingkarinya?" (QS. An-Nahl: 71). 

Dan Dia berfirman: 
"Dan mereka mengingkari nikmat Allah." (QS. An-Nahl: 72).

Bahkan mereka mungkin mengaitkan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka kepada diri mereka sendiri, kepada ilmu dan pengalaman mereka. 

Allah Ta’ala berfirman: 
"Apabila manusia ditimpa bahaya, dia memohon kepada Kami, kemudian apabila Kami memberikan nikmat kepadanya, dia berkata: 'Sesungguhnya aku diberi ini hanya karena ilmu yang ada padaku.' Bahkan, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Az-Zumar: 49-51).

Makna "hanya karena ilmu" di sini adalah pengetahuan tentang berbagai cara perolehan dan perdagangan. 

*"Bahkan, itu adalah ujian."* 
Artinya, nikmat yang mereka terima adalah ujian untuk menguji mereka, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa pemberian kekayaan adalah ujian. Dan

 *"telah diucapkan oleh orang-orang sebelum mereka,"*
 (QS. Az-Zumar: 50) 
maksudnya adalah orang-orang kafir sebelum mereka, seperti Qarun yang berkata:
 "Sesungguhnya aku diberi kekayaan itu hanya karena ilmu yang ada padaku." (QS. Al-Qasas: 78). 

*"Maka apa yang mereka peroleh tidak memberi manfaat kepada mereka,"* 
(QS. Az-Zumar: 50) 
artinya kekayaan mereka dan anak-anak mereka tidak bisa menyelamatkan mereka dari azab Allah sedikit pun.

Kemudian Allah Ta'ala berfirman: "Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya? Sesungguhnya dalam yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman." (QS. Az-Zumar: 52).

Artinya, apakah mereka tidak mengetahui bahwa sumber nikmat mereka adalah dari Allah?

Dan Allah Ta'alaberfirman; 
"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah".  (An-Nahl: 53). 

Dan Dia-lah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menyempitkannya dari siapa yang Dia kehendaki. 

AllahTa'alaberfirman;
 "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang beriman".  (Az-Zumar: 52), 

yakni tidak ada yang mengambil manfaat dari hal ini dan merenungkannya kecuali orang-orang yang beriman dan berilmu.


Memanfaatkan nikmat untuk taat kepada Allah: 

Memanfaatkan nikmat untuk taat kepada Allah adalah tuntutan syariat dan akal. Karena jika seseorang telah berbuat baik kepadamu, tidak boleh bagimu untuk membalasnya dengan keburukan. 
Jika seseorang melakukannya, di mata orang lain dia akan dianggap tidak tahu terima kasih dan tidak menghargai kebaikan. 
Dan bagaimana jika seseorang memanfaatkan kebaikan untuk berbuat jahat kepada pemberi kebaikan? 
Itu lebih buruk lagi, dan merupakan bentuk keingkaran yang sangat besar! 
Nikmat di dunia ini diciptakan untuk membantu orang-orang beriman dalam menaati Allah. 
Adapun orang-orang kafir dan durhaka, nikmat-nikmat tersebut diharamkan bagi mereka karena mereka memanfaatkannya untuk berbuat maksiat kepada Allah. 

Allah Ta'ala berfirman: 
"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Itu semua (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat". (Al-A'raf: 32).

 Firman Allah Ta'ala: 
"Yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya) dan firman-Nya: (Itu semua untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia) 
artinya nikmat itu diciptakan untuk mereka, bukan untuk selain mereka, karena mereka memanfaatkannya untuk taat kepada-Nya.

Al-Qurthubi berkata: "Ketahuilah bahwa setiap anggota tubuh memiliki syukur yang khusus, dan pada lisan juga demikian seperti pada anggota tubuh lainnya.

 Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa anggota tubuh berkata kepada lisan:
 "Bertakwalah kepada Allah, karena kami bergantung padamu. 
Jika engkau lurus, kami akan lurus, dan jika engkau menyimpang, kami akan menyimpang juga'."

Syukur setiap anggota tubuh adalah dengan menggunakannya untuk bertakwa kepada Allah dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat. 
Syukur badan adalah tidak menggunakan anggota tubuh dalam maksiat. 
Syukur hati adalah tidak menyibukkannya kecuali dengan mengingat dan mengenal Allah. 
Syukur lisan adalah tidak menggunakannya kecuali untuk memuji dan menyanjung-Nya. 
Syukur harta adalah tidak menggunakannya kecuali untuk ridha dan cinta-Nya. 
Di luar itu, terdapat ibadah tambahan bagi hamba yang bersyukur. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri dalam shalat malam sampai kedua kakinya bengkak. Ketika ditanya mengapa beliau melakukannya padahal dosanya yang lalu dan yang akan datang telah diampuni? Beliau menjawab:
 "Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?" 
Maksudnya, beliau meminta tambahan nikmat sebagaimana firman Allah:
 "Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambahkan nikmat kepadamu". (Ibrahim: 7).


Syukur kepada orang yang menjadi perantara nikmat:

Syukur kepada orang yang Allah jadikan sebagai perantara nikmat-Nya juga diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya: "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah kamu kembali". (Luqman: 14). 

Allah memerintahkan syukur kepada-Nya terlebih dahulu, kemudian kepada kedua orang tua, karena mereka adalah sebab adanya seseorang di dunia ini, dan mereka bersusah payah merawat dan memberi makan. 
Barang siapa yang durhaka atau berbuat buruk kepada mereka, maka ia tidak bersyukur atas kebaikan mereka, melainkan ingkar terhadap kebaikan yang telah mereka berikan. 
Barang siapa yang tidak bersyukur kepada kedua orang tuanya, ia juga tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberikan nikmat-Nya melalui kedua orang tuanya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia."

Al-Khathabi berkata: 
"Ucapan ini dapat ditafsirkan dalam dua cara :
Pertama, orang yang biasa mengingkari nikmat manusia dan tidak bersyukur atas kebaikan mereka, biasanya juga mengingkari nikmat Allah dan tidak bersyukur kepada-Nya. 
Kedua, Allah tidak menerima syukur seorang hamba atas kebaikan-Nya jika hamba tersebut tidak bersyukur atas kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, 
karena kedua hal tersebut saling berkaitan."

**4. Allah Ta'ala banyak menyebutkan nikmat-nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, sehingga tidak memberikan celah bagi orang yang ingkar untuk mengingkari nikmat Allah yang ada padanya. 
Bahkan jika seseorang berusaha menghitung nikmat yang ada pada dirinya, ia akan merasa tidak mampu. 
Bagaimana jika ia berusaha menghitung nikmat Allah yang ada pada manusia dalam kehidupan mereka di bumi ini? 

Allah Ta'ala berfirman: 
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?". (Adz-Dzariyat: 20-21). 

Allah juga mengingatkan manusia tentang nikmat besar-Nya di bumi ini, yaitu nikmat malam dan siang. 

Allah berfirman: 
"Allah-lah yang menjadikan malam untuk kamu supaya kamu beristirahat padanya, dan siang terang benderang. Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang besar atas manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur". (Ghafir: 61). 

Allah Ta'ala juga mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa Dia telah menundukkan lautan dan sungai untuk mereka: 
"Dan Dialah yang menundukkan laut (untukmu) agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari laut itu perhiasan yang dapat kamu pakai. Dan kamu melihat kapal berlayar padanya, dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur". (An-Nahl: 14).

Allah Ta'ala juga mengingatkan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang nikmat besar-Nya kepada mereka: "Dan ingatlah ketika kamu masih sedikit lagi tertindas di muka bumi, kamu takut orang-orang akan menculik kamu, maka Allah melindungi kamu, dan Dia memberi kamu kemenangan dengan pertolongan-Nya, serta Dia memberikan kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur". (Al-Anfal: 26). 

Jika kita mencoba menghitung nikmat-nikmat Allah, kita akan menemukan bahwa waktu kita tidak cukup, dan kita tidak akan mampu menghitungnya. 

Allah Ta'ala berfirman: 
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)". (Ibrahim: 34).

**5. Mengenai hakikat nikmat dan jenis-jenisnya, Ibn Qudamah berkata dalam "Mukhtashar Minhaj al-Qasidin": Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang diinginkan disebut sebagai nikmat, namun nikmat yang sejati adalah kebahagiaan akhirat. Menyebut sesuatu selain itu sebagai nikmat adalah kiasan. 

Segala sesuatu, jika dibandingkan dengan kita, dibagi menjadi empat jenis:

Pertama: Sesuatu yang bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu dan akhlak yang baik. Ini adalah nikmat yang sejati.

Kedua: Sesuatu yang merugikan baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah bencana yang sesungguhnya.

Ketiga: Sesuatu yang bermanfaat dalam waktu singkat, tetapi merugikan pada akhirnya, seperti kenikmatan dalam mengikuti hawa nafsu. Ini adalah bencana bagi orang-orang yang memiliki pandangan, namun orang yang bodoh menganggapnya sebagai nikmat.

 Contohnya adalah orang yang lapar yang menemukan madu yang mengandung racun. Jika dia tidak tahu, dia akan menganggapnya sebagai nikmat. 
Namun, jika dia tahu, dia akan menganggapnya sebagai bencana.

Keempat: Sesuatu yang merugikan dalam waktu singkat, tetapi bermanfaat pada akhirnya. 
Ini adalah nikmat bagi orang yang memiliki akal, namun bencana bagi orang yang bodoh. 
Contohnya adalah obat yang rasanya pahit  tetapi menyembuhkan penyakit pada akhirnya.
 Anak kecil yang bodoh akan menganggapnya sebagai bencana ketika dipaksa untuk meminumnya, tetapi orang yang cerdas akan menganggapnya sebagai nikmat.

**6. Perbedaan antara nikmat dari Sang Pencipta dan nikmat dari makhluk:

A. Allah Ta'ala memberi kepada makhluk-Nya dengan keutamaan-Nya, meskipun Dia tidak memerlukan mereka. Sedangkan makhluk biasanya tidak memberi kecuali untuk tujuan atau kepentingan tertentu.

B. Mungkin saja kamu membutuhkan sesuatu dari makhluk, tetapi dia tidak memberikannya karena dia juga membutuhkan itu. 
Namun, Allah Ta'ala tidak membutuhkan apa pun.

C. Mungkin kamu membutuhkan sesuatu dari makhluk, tetapi kamu tidak dapat mencapainya. Sementara itu, kamu selalu bisa mencapai Allah Ta’ala dengan doa dan munajatmu kapan saja. 

Allah Ta'ala berfirman: 
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. 
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". (Al-Baqarah: 186).

D. Jika kamu mengabaikan pelayanan kepada makhluk, mereka akan memutuskan hubungan denganmu.
 Sementara itu, orang kafir yang lalai terhadap hak-hak Allah yang paling besar tetap menerima nikmat-Nya.

 Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda: "Tidak ada seorang pun yang lebih sabar atas gangguan yang ia dengar selain Allah. Mereka menyebut-Nya memiliki anak, namun Dia tetap memberi mereka keselamatan dan rezeki". 

7. Allah Ta'ala telah menjelaskan bahwa kebanyakan manusia lalai atau berpura-pura lalai dalam bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya, meskipun mereka tenggelam dalam nikmat-Nya. 

Allah Ta'ala berfirman: 
“Sesungguhnya Allah adalah Pemilik karunia atas manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (Ghafir: 61). 

Dan juga berfirman: 
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”.  (Saba’: 13).

 Ayat-ayat ini berlawanan dengan firman-Nya: 
“Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum kamu; kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah".  (Ar-Rum: 42).

 Karena syukur yang paling besar kepada Allah adalah mentauhidkan-Nya dan hanya menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa pun. 
Dialah yang menciptakan dan mengeluarkan dari ketiadaan, serta memberikan rezeki yang banyak kepada manusia, dan tidak ada yang ikut serta dalam hal tersebut. 
Maka, tidak ada seorang pun yang berhak disembah selain Allah. 
Namun, kebanyakan manusia, seperti yang Allah firmankan, berpaling dari kebenaran ini dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya. 
Mereka menganggap bahwa sekutu-sekutu ini memiliki kuasa untuk memberikan manfaat, menolak bahaya, mengatur rezeki, menyembuhkan penyakit, memenuhi kebutuhan, dan menghilangkan kesusahan?! 
Di antara bentuk kesyirikan yang dilakukan oleh sebagian manusia adalah mengaitkan rezeki yang mereka peroleh kepada makhluk. 

Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya *Shahih* pada bab firman Allah: *(“Dan kalian menjadikan rezeki kalian sebagai bahwa kalian mendustakannya”) (Al-Waqi'ah: 82)*, 
Ibn Abbas berkata: 
“Maksudnya adalah syukur kalian.”
 Lalu Al-Bukhari meriwayatkan hadis Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahuanhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ salat subuh bersama kami di Hudaibiyah setelah turun hujan pada malam hari. 
Ketika selesai salat, Nabi ﷺ menghadap kepada manusia dan bersabda:
 “Tahukah kalian apa yang difirmankan Tuhan kalian?” 
Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” 
Nabi ﷺ bersabda: “Pagi ini di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. 
Barang siapa yang berkata: ‘Kami diberi hujan berkat karunia dan rahmat Allah,’ maka dia beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang. 
Adapun yang berkata: ‘Kami diberi hujan oleh bintang ini dan itu,’ maka dia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang.”

 Dalam riwayat Muslim disebutkan: 
"Tidak ada satu berkat pun yang Allah turunkan dari langit, kecuali sekelompok manusia menjadi kafir karenanya. 
Allah menurunkan hujan, dan mereka berkata: ‘Bintang ini dan itu yang menurunkannya’.”

 Ibn Qutaybah berkata:
 “Pada masa jahiliyah, mereka berkeyakinan bahwa hujan turun karena bintang, baik karena bintang itu yang menurunkannya menurut anggapan mereka, atau karena tanda yang ditunjukkannya. 
Syariat membatalkan keyakinan mereka dan menyebutnya sebagai kekufuran. 
Jika seseorang meyakini bahwa bintang memiliki andil dalam menurunkan hujan, maka kekafirannya adalah kekafiran syirik. Jika seseorang hanya menganggapnya sebagai tanda alam tanpa melibatkan keyakinan, maka itu bukan syirik, tetapi bisa disebut sebagai kekufuran terhadap nikmat, karena tidak ada dalam hadits yang menyebutkan perbedaan antara kekafiran dan kemusyrikan. 
Maka, kekufuran tersebut dapat mencakup kedua makna sekaligus. Wallahu a’lam.”

 Hal yang serupa adalah ucapan seseorang: 
“Kalau bukan karena dokter, anakku sudah mati,” 
atau “Kalau bukan karena bebek atau anjing, pencuri sudah merampok rumah,” dan ucapan-ucapan semacam itu yang mengaitkan nikmat dan karunia kepada selain Allah Ta'ala.

8. Perlu diketahui bahwa kerajaan Allah tidak bertambah sedikit pun dengan syukur manusia kepada-Nya, begitu juga nikmat yang mereka terima dari-Nya. 
Allah tidak berkurang sedikit pun jika manusia tidak bersyukur kepada-Nya, karena Dia adalah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Akan tetapi, Allah Ta’ala mencintai untuk dipuji dan disyukuri, serta ridha kepada hamba yang bersyukur dan membenci hamba yang kafir. 

Sebagaimana firman-Nya: 
“Jika kalian kufur, sesungguhnya Allah Maha Kaya dari kalian dan Dia tidak meridhai kekafiran untuk hamba-hamba-Nya. Jika kalian bersyukur, Dia meridhainya untuk kalian”.(Az-Zumar: 7).

 Bahkan, orang yang bersyukur adalah orang yang paling diuntungkan, sementara orang yang kafir akan menjadi yang paling dirugikan. 

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Sulaiman Alaihisalam: 
“Ini adalah karunia dari Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur. Barang siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang kufur, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (An-Naml: 40).

 Dan Allah berfirman tentang hamba shalih Luqman Al Hakim: 
“Dan sungguh, Kami telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada Allah. Barang siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang kufur, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Luqman: 12).

9. Kufur terhadap nikmat Allah akan menjadi pertanda hilangnya nikmat tersebut dari orang yang mengingkarinya.

 Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: 
“Dan Allah membuat perumpamaan suatu negeri yang dulunya aman dan tenteram, rezekinya datang kepadanya dengan melimpah dari segala penjuru, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Maka Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan karena apa yang mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya, maka mereka ditimpa azab sedang mereka adalah orang-orang zalim”. (An-Nahl: 112-113). 

Negeri yang dimaksud adalah Mekah. Dahulu Mekah adalah negeri yang aman dan tenteram, orang-orang di sekitarnya saling merampok, membunuh, dan merampas satu sama lain, sementara siapa pun yang masuk ke Mekah akan merasa aman tanpa rasa takut,

 sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: 
“Dan mereka berkata: ‘Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, kami akan diusir dari negeri kami.’ Apakah Kami tidak menempatkan mereka dalam negeri yang aman, yang didatangkan ke sana buah-buahan segala sesuatu sebagai rezeki dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (Al-Qashash: 57).

 Allah juga berfirman: 
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami telah menjadikan negeri mereka (Mekah) tanah suci yang aman, sedangkan orang-orang di sekitarnya saling mencuri? Apakah mereka beriman kepada kebatilan dan mengingkari nikmat Allah?”. (Al-Ankabut: 67).

 Salah satu nikmat besar yang diberikan kepada mereka adalah diutusnya Nabi Muhammad ﷺ, namun mereka tetap mengingkari beliau, sebagaimana Allah berfirman: 
“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekufuran dan menjerumuskan kaumnya ke dalam kehancuran? Yaitu neraka Jahannam yang mereka akan memasukinya, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (Ibrahim: 28-29)


"Karena itu, Allah menggantikan keadaan mereka, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: 
"'Maka Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan". (QS. An-Nahl: 112)

 Yang artinya: Allah menutupi mereka dengan kelaparan, setelah sebelumnya makanan mereka datang berlimpah dari segala penjuru. 
Hal ini terjadi karena pembangkangan mereka terhadap rasul-Nya Shalallahu 'Alaihi Wasallam. 
Maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mendoakan kemarau atas mereka. 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu 'Anhu bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam ketika melihat mereka berpaling, beliau berdoa: 
'Ya Allah, timpakanlah kepada mereka kemarau seperti kemarau Yusuf.'

 Maka mereka ditimpa kelaparan yang sangat, hingga mereka memakan kulit, bangkai, dan kotoran. 
Mereka memandang ke langit dan melihat asap karena kelaparan. 
Maka Abu Sufyan datang kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata: 'Wahai Muhammad, engkau memerintahkan untuk taat kepada Allah dan menyambung silaturahmi, sementara kaummu telah binasa. 
Maka berdoalah kepada Allah untuk mereka.' 

Allah Ta'ala berfirman: 
'Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata' (QS. Ad-Dukhan: 10)

hingga firman-Nya : 
'Sebentar lagi kalian akan kembali (ke jalan yang benar.' (QS. Ad-Dukhan: 15)

 Kabut itu telah berlalu, begitu pula pukulan besar (di Badar), serta peristiwa-peristiwa besar lainnya. 
Sedangkan ketakutan yang dimaksud adalah ketakutan dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya ketika mereka hijrah ke Madinah. 
Mereka takut akan serangan pasukan dan tentara beliau. 
Keamanan mereka yang dahulu lenyap sampai Allah memberi kemenangan kepada Rasul-Nya Shalallahu 'Alaihi Wasallam dengan menaklukkan Mekkah.

 Semua itu terjadi karena kekafiran mereka terhadap nikmat Allah, kesombongan dan kedurhakaan mereka, serta permusuhan mereka terhadap Rasul-Nya Shalallahu 'Alaihi Wasallam, dan penolakan mereka terhadap syariat-Nya dan agama-Nya. Begitulah balasan bagi orang-orang kafir.

Allah telah menceritakan kepada kita kisah kaum Saba’, bahwa mereka dahulu berada dalam kenikmatan yang besar, harta yang melimpah, buah-buahan yang tersebar, dan perjalanan tanpa bahaya. 
Namun, mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, maka Allah mengubah keadaan mereka. 
Allah mengirimkan banjir besar yang menghancurkan pohon-pohon, kebun-kebun, dan harta-harta mereka. 
Mereka kemudian diberi pohon yang pahit, berduri, atau pohon yang tidak berbuah. Pohon terbaik yang mereka terima adalah pohon bidara yang buahnya sedikit. 

Allah berfirman: 
'Demikianlah Kami membalas mereka karena kekufuran mereka. Dan tidaklah Kami memberikan balasan kecuali kepada orang yang sangat kafir' (QS. Saba': 17).

Allah juga berfirman: 
"Dan mereka telah menzalimi diri mereka sendiri, maka Kami jadikan mereka buah mulut (di kalangan manusia) dan Kami cerai-beraikan mereka dengan cerai-berai yang total. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur' (QS. Saba': 19).

Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam sering berlindung dari hilangnya nikmat dalam doanya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Ibnu Umar Radiyallahu 'Anhu, ia berkata: 'Termasuk doa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam adalah:
 "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat-Mu, berubahnya kesehatan-Mu, tiba-tiba datangnya hukuman-Mu, dan semua kemurkaan-Mu".

Imam Al-Halimi berkata: '
Asy-Syaakir (Yang Maha Bersyukur) artinya: yang memuji dan memberikan balasan kepada orang yang taat kepada-Nya, melebihi dari nikmat yang telah Dia berikan.' 
Allah memuji orang yang taat kepada-Nya dan mengikuti syariat-Nya. Kitab suci-Nya penuh dengan pujian bagi para nabi, syuhada, dan orang-orang saleh. 
Allah memuji Nabi-Nya Shalallahu 'Alaihi Wasallam dengan firman-Nya: 
'Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kalian alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin' (QS. At-Taubah: 128).

Allah juga berfirman: 
'Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung' (QS. Al-Qalam: 4).

 Allah memuji Nabi dan para sahabatnya (Radiyallahu 'Anhum) dalam firman-Nya: "Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud" (QS. Al-Fath: 29).

Dia memuji Nabi Nuh sebagai hamba yang banyak bersyukur, Nabi Ibrahim sebagai yang sangat penyayang dan selalu kembali (kepada-Nya), Nabi Musa sebagai orang yang ikhlas, dan Nabi Ismail sebagai orang yang selalu menepati janji. Shalawat dan salam Allah atas mereka semua."

Terjemahan ini diambil dari kitab "An-Nahju Al-Asma' fi Syarh Asma' Allah Al-Husna" karya Dr. Muhammad bin Hammad Al-Humaidi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar