Kamis, 19 September 2024

KEUTAMAAN ZUHUD DI DUNIA




KEUTAMAAN ZUHUD DI DUNIA 


Oleh: Khalid bin Saud Al-Balihid

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, amma ba'du:

Sesungguhnya zuhud terhadap dunia adalah salah satu amalan yang sangat utama, yang hanya dapat dilakukan oleh hamba-hamba pilihan yang hatinya dipenuhi dengan zikir kepada Allah dan hasrat penuh terhadap kenikmatan akhirat. Karena itu, dunia menjadi ringan di hati mereka, mereka meremehkannya, berpaling dari perhiasannya, dan mengambil secukupnya dari dunia. 

Allah Ta'ala berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap wajah-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 28). 

Dan Allah Ta'ala juga berfirman: “Dia (Allah) menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2).

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Yang dimaksud amal terbaik adalah yang paling zuhud terhadap dunia.” 

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang pundakku dan berkata: ‘Jadilah kamu di dunia seakan-akan kamu orang asing atau seorang musafir.’” 

Ibnu Umar juga sering berkata: “Jika kamu berada di waktu sore, jangan tunggu pagi; dan jika kamu berada di waktu pagi, jangan tunggu sore. Manfaatkan sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari). 

Seorang lelaki datang kepada Muhammad bin Wasi' dan berkata: “Berilah aku nasihat.” 
Dia menjawab: “Aku menasihatimu agar menjadi raja di dunia dan akhirat.” 
Lelaki itu bertanya: “Bagaimana caranya?” Dia menjawab: “Zuhudlah di dunia.”

Makna zuhud adalah berpaling dari perhiasan dunia, meremehkannya, dan ridha dengan sedikit dari dunia. 

Ibnu Rajab berkata: “Makna zuhud terhadap sesuatu adalah berpaling darinya karena menganggapnya kecil, remeh, dan rendah diri terhadapnya. 

Dikatakan sesuatu yang ‘zahid’ artinya kecil dan hina. Para salaf dan orang-orang setelah mereka telah banyak berbicara tentang tafsir zuhud di dunia, dan ungkapan mereka beragam.” 

Zuhud yang dimaksud dalam syariat adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat, yang merugikan agama atau menyibukkan dari ketaatan kepada Allah. 

Ibnu Taimiyah berkata: “Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat, sedangkan segala sesuatu yang membantu seorang hamba dalam ketaatan kepada Allah, maka meninggalkannya bukanlah zuhud yang disyariatkan. 
Namun, yang disyariatkan adalah meninggalkan hal-hal berlebih yang menyibukkan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.” 
Maka orang beriman yang zuhud tidak disibukkan dunianya dari akhiratnya, tetapi menjadikan dunia sebagai sarana menuju akhiratnya, dan dia tidak mengorbankan akhiratnya demi dunianya.

Hakikat zuhud di dunia adalah memendekkan angan-angan dalam hati, sehingga orang beriman menyadari bahwa dia hanyalah seorang musafir di dunia yang akan segera pergi darinya, bukan hanya sekedar membatasi pada penampilan kasar sementara hatinya masih menginginkan dunia. 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Zuhud di dunia adalah memendekkan angan-angan, bukan dengan makan yang kasar atau memakai pakaian yang sederhana.” 

Ibnu Mubarak berkata: “Zuhud adalah zuhud terhadap dunia dengan hatimu.” 

Al-Zuhri ditanya tentang orang yang zuhud, dia menjawab: “Orang yang tidak dikalahkan oleh haram dari kesabarannya, dan tidak disibukkan oleh halal dari rasa syukurnya.” 

Ahmad bin Hanbal berkata: “Zuhud di dunia adalah memendekkan angan-angan dan putus asa dari apa yang ada di tangan orang lain.” 

Jika angan-angan seorang mukmin pendek terhadap dunia, maka dia akan meninggalkan berlebihan dalam urusan dunia, mengambil secukupnya, dan tidak tergoda oleh kesenangannya, kemewahannya, serta ragam bentuknya. Tetapi jika angan-angannya panjang terhadap dunia, maka dia akan tergoda oleh perhiasannya, mengumpulkannya sebanyak mungkin, dan melupakan urusan akhirat. 

Zuhud juga mencakup zuhud terhadap harta orang lain dan tidak memandang apa yang mereka miliki. 

Diriwayatkan dalam Ibnu Majah: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.” 

Fudhail bin Iyadh berkata: “Tanda zuhud terhadap dunia adalah zuhud terhadap manusia.”


Kesalahpahaman tentang Zuhud

Salah satu kesalahpahaman mengenai zuhud adalah anggapan bahwa zuhud selalu berkaitan dengan kemiskinan dan tidak pernah sejalan dengan kekayaan.

Ibnu Taimiyah berkata: “Banyak dari kalangan orang-orang yang datang belakangan sering mengaitkan zuhud dengan kemiskinan. 
Padahal, zuhud bisa bersama kekayaan maupun kemiskinan. 
Di antara para nabi dan orang-orang terdahulu, terdapat banyak yang zuhud meski mereka kaya.” 

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki harta, apakah dia bisa menjadi seorang yang zuhud. 
Dia menjawab: “Jika dia tidak bergembira dengan bertambahnya harta, dan tidak bersedih dengan berkurangnya, maka dia adalah seorang yang zuhud.” 

Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala: “Agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu dan tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).

Maka, siapa yang tidak bersedih karena berkurangnya harta dunia dan tidak bergembira karena bertambahnya, berarti zuhud telah tertanam dalam hatinya.

Adapun zuhud dalam mencari penghasilan, memiliki harta, dan ridha dengan kemiskinan serta ketergantungan kepada orang lain, hal itu bukanlah zuhud yang disyariatkan. 

Abu Muslim Al-Khaulani berkata: “Zuhud di dunia bukan dengan mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, melainkan zuhud di dunia adalah ketika apa yang ada di tangan Allah lebih kamu percayai daripada apa yang ada di tanganmu. 
Dan ketika kamu terkena musibah, kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanannya daripada jika musibah itu tidak terjadi padamu.” 

Perkataan ini diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun tidak sahih. 

Ibnu Qayyim berkata: “Para ulama sepakat bahwa zuhud adalah ketika hati bepergian dari dunia menuju tempat tinggal akhirat.

Atas dasar ini, para ulama terdahulu menulis kitab-kitab tentang zuhud, seperti kitab ‘Zuhud’ karya Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad, Waki', Hammad bin Salamah, dan yang lainnya. 

Zuhud terkait dengan enam hal, di mana seseorang tidak bisa disebut zuhud hingga dia zuhud terhadapnya, yaitu: harta, rupa, jabatan, manusia, diri, dan segala sesuatu selain Allah. Yang dimaksud bukanlah menolak semua itu secara total.”

Tingkatan Zuhud:

Tingkatan pertama: 
Zuhud terhadap perhiasan dunia. 
Ini adalah makna umum dari zuhud, sebagaimana firman Allah Ta'ala: “Dan apa saja yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-Qasas: 60).

Tingkatan kedua: 
Zuhud terhadap pujian manusia, popularitas, dan kepemimpinan. 
Tingkatan ini hanya dicapai oleh orang yang hatinya benar-benar ikhlas untuk akhirat dan mengharap wajah Allah. 

Yusuf bin Asbath berkata: “Zuhud terhadap kepemimpinan lebih sulit daripada zuhud terhadap dunia.”

Sebagian orang saleh bisa zuhud terhadap perhiasan dunia, tetapi tidak zuhud terhadap popularitas, karena ada kekurangan dalam keikhlasannya dan lemahnya keyakinan. 
Ini adalah keinginan yang tersembunyi yang menguji sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan dakwah. 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Aku tidak pernah melihat zuhud terhadap sesuatu yang lebih sedikit daripada zuhud terhadap kepemimpinan. 
Engkau melihat seseorang zuhud terhadap makanan, minuman, harta, dan pakaian, tetapi jika ia berebut kepemimpinan, ia akan mempertahankannya dan bermusuhan karenanya.”

Ahmad bin Hanbal berkata: “Zuhud ada tiga tingkatan: 
Pertama, meninggalkan yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam. 
Kedua, meninggalkan yang berlebihan dari yang halal, dan ini adalah zuhudnya orang-orang khusus. 
Ketiga, meninggalkan segala yang menyibukkan dari Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang arif.”

Orang yang benar-benar zuhud adalah orang yang dunia datang kepadanya dengan tunduk, tetapi dia menceraikannya dan menginginkan apa yang ada di sisi Allah serta berpaling darinya. 
Adapun zuhud orang yang tidak mampu mendapatkan dunia dan dunia tidak terbuka baginya, itu adalah hal yang mudah yang bisa dilakukan oleh siapa saja. 

Malik bin Dinar berkata: “Orang-orang mengatakan aku ini seorang yang zuhud, tetapi sebenarnya orang yang zuhud itu adalah Umar bin Abdul Aziz. 
Dunia datang kepadanya, tetapi dia meninggalkannya.” 

Ibnu Abdil Hakam berkata: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, dia zuhud terhadap dunia, meninggalkan apa yang dulu dia miliki, dan menolak berbagai jenis makanan.” 

Sebagian orang menampakkan zuhud ketika dalam keadaan miskin, tetapi ketika mendapat jabatan dan dunia terbuka baginya, dia meninggalkan zuhud dan menjadi bagian dari orang-orang yang hidup mewah.


Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam Sebagai Pemimpin Orang yang Zuhud

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah pemimpin para zuhud dalam kehidupan dunia, meskipun beliau mampu mengumpulkan harta dunia. Namun, beliau membelanjakannya untuk kebaikan dan hanya menyisakan sedikit yang dibutuhkan. 

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Seandainya aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, akan menyenangkan bagiku jika tidak tersisa padaku setelah tiga malam, kecuali sebagian yang aku sisihkan untuk membayar utang." (Muttafaq ‘alaih). 

Dalam riwayat shahih Bukhari dan Muslim, Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: "Aku masuk menemui Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, dan beliau sedang berbaring di atas tikar. 
Aku duduk, dan beliau menurunkan kain sarungnya yang hanya itu satu-satunya pakaian yang beliau kenakan. 
Aku melihat tikar itu meninggalkan bekas di tubuhnya. 
Kemudian aku melihat ke gudang Rasulullah, dan aku hanya melihat segenggam gandum seukuran satu sha’, dan hal yang serupa dengan kulit pohon di sudut ruangan, serta beberapa kulit hewan yang tergantung. 
Lalu mataku berlinang. 
Beliau bertanya: 'Apa yang membuatmu menangis, wahai Ibnu Khattab?' 
Aku menjawab: 'Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis? 
Tikar ini telah meninggalkan bekas di tubuhmu, sedangkan perbendaharaanmu hanya apa yang kulihat ini. 
Sementara itu, Kaisar dan Kisra berada di dalam kemewahan dan kekayaan, sedang engkau adalah Rasul Allah, orang pilihan-Nya, dan perbendaharaanmu hanyalah seperti ini.' 
Rasulullah bersabda: 'Wahai Ibnu Khattab, apakah engkau tidak ridha bahwa bagi kita adalah akhirat, sedangkan bagi mereka adalah dunia?' 
Aku menjawab: 'Tentu, aku ridha.'"

Majelis para ulama salaf adalah majelis yang dipenuhi dengan zuhud terhadap dunia. 

Abu Dawud berkata: "Aku biasa menghadiri majelis Imam Ahmad, dan majelis-majelisnya selalu dipenuhi dengan pembicaraan tentang akhirat, tidak ada pembicaraan tentang dunia. 
Aku tidak pernah melihatnya membicarakan dunia sama sekali."

Seseorang tidak akan menjadi pemimpin umat kecuali jika ia bersikap zuhud terhadap dunia. 

Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar." (QS. As-Sajdah: 24). 

Qatadah berkata: "Ketika mereka bersabar dari dunia." 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: "Begitulah mereka. Tidak layak seseorang menjadi imam yang diikuti kecuali jika ia menjauh dari dunia."


Manfaat Zuhud

Zuhud memiliki banyak manfaat besar bagi seorang mukmin, seperti menjaga hati dari sifat hasad (iri), kezaliman, serta menumbuhkan kecintaan terhadap sesama dan kebahagiaan di dunia. 

Allah Ta'ala berfirman: "Dan mereka tidak merasa dalam hati mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Anshar), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)." (QS. Al-Hasyr: 9).

Zuhud membuat ujian dan cobaan terasa ringan di hati seorang mukmin. 

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata: "Barang siapa yang zuhud terhadap dunia, cobaan akan terasa ringan baginya." 

Zuhud juga merupakan tanda kebijaksanaan. 

Imam Malik berkata: "Aku mendengar bahwa tidak ada seorang pun yang zuhud di dunia dan bertakwa kecuali ia akan berbicara dengan kebijaksanaan." 

Melalui zuhud, seorang mukmin akan merasakan manisnya iman. 

Fudhail bin ‘Iyadh berkata: "Diharamkan atas hatimu untuk merasakan manisnya iman hingga engkau bersikap zuhud terhadap dunia." 

Zuhud adalah kenyamanan bagi mukmin dari kegelisahan dan kesedihan. 

Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: "Zuhud di dunia adalah istirahat bagi hati dan tubuh." 

Ketika seorang mukmin merasa nyaman, ia bisa lebih fokus dalam beribadah. 
Orang yang zuhud tidak bersaing dengan orang lain dalam hal dunia, dan ia tidak bersedih atas apa yang terlewatkan dari dunia. 

Fudhail bin ‘Iyadh berkata: "Hatimu tidak akan tenang sampai engkau tidak peduli siapa pun yang mengambil dunia." 

Zuhud juga membuat seorang mukmin mencintai pertemuan dengan Allah di akhirat. 

Bisyr bin Al-Harits berkata: "Tidak ada seorang pun yang mencintai dunia kecuali ia tidak menyukai kematian. 
Dan barang siapa yang zuhud terhadap dunia, ia akan mencintai pertemuan dengan Tuhannya." 

Zuhud di dunia akan membuat seseorang dicintai oleh Allah dan oleh makhluk-Nya.

Abu Darda Radhiyallahu anhu menulis kepada salah seorang sahabatnya: "Aku menasihatimu untuk bertakwa kepada Allah, zuhud terhadap dunia, dan menginginkan apa yang ada di sisi Allah. Jika engkau melakukannya, Allah akan mencintaimu karena engkau menginginkan apa yang ada di sisi-Nya, dan manusia akan mencintaimu karena engkau meninggalkan dunia yang ada di tangan mereka." 

Orang yang zuhud terhadap dunia dan menguranginya akan ringan hisabnya di hari kiamat dan tidak akan lama berhenti di padang mahsyar. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Aku berdiri di pintu surga, dan kebanyakan orang yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang-orang kaya ditahan, kecuali mereka yang diperintahkan masuk ke neraka." (Muttafaq ‘alaih).


Tanda-tanda Zuhud yang Sempurna

Zuhud yang sempurna memiliki beberapa tanda:

1. Rendah hati, menyukai kesederhanaan, dan menjauhi popularitas.


2. Tidak bersedih atau cemas karena kehilangan dunia, dan tidak bergembira karena mendapatkan banyak darinya. 
Malik bin Dinar berkata: "Sejauh mana engkau bersedih karena dunia, maka kegelisahan akhirat akan keluar dari hatimu. 
Dan sejauh mana engkau bersedih karena akhirat, maka kegelisahan dunia akan keluar dari hatimu."


3. Puas dengan rezeki yang telah Allah tetapkan. 
Fudhail bin ‘Iyadh berkata: "Dasar zuhud adalah ridha terhadap Allah."


4. Tidak bersaing dengan orang lain dalam hal dunia, serta tidak menginginkan apa yang ada di tangan mereka.


5. Menjauhi perkara yang haram dan yang syubhat. 
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: "Wara' adalah awal dari zuhud, sebagaimana qana'ah (rasa cukup) adalah awal dari ridha."


Banyak orang yang terfitnah oleh kenikmatan dunia dan lebih memilih kesenangan dunia daripada kenikmatan akhirat, 
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: "Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A'la: 16-17). 

Qatadah berkata: "Manusia lebih memilih dunia yang cepat (diperoleh) kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah."


Dan Sesungguhnya Hal Terbesar yang Membantu Mukmin untuk Zuhud adalah Menyadari Hakikat Dunia

Allah Ta'ala berfirman: “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20). 

Said bin Jubair berkata: “Kesenangan yang menipu adalah bagi mereka yang sibuk dengannya dalam mencari akhirat.

Sedangkan bagi yang mencari dunia, maka ia hanya mendapat kesenangan yang cukup untuk menuju sesuatu yang lebih baik darinya.” 

Jika seorang mukmin yakin bahwa dunia ini fana dan semua kenikmatannya akan hancur, maka ia akan zuhud terhadapnya dan bersemangat untuk mendapatkan akhirat. 

Al-Auza’i berkata: “Barang siapa yang sering mengingat mati, ia akan merasa cukup dengan sedikit, dan barang siapa yang mengetahui bahwa setiap ucapannya adalah amalnya, maka ia akan mengurangi perkataannya.” 

Setiap kali seorang mukmin membangkitkan dalam hatinya keinginan untuk akhirat, api dunia dalam hatinya akan padam. 

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Tidak ada yang bisa menahan diri dari syahwat dunia kecuali orang yang hatinya sibuk dengan akhirat.”

Salah satu hal terbesar yang menyadarkan mukmin tentang kedudukan zuhud dan mendorongnya untuk bersikap zuhud adalah celaan Allah terhadap dunia dan pengingatan kepada manusia tentang kefanaannya. 

Allah Ta'ala berfirman: “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.” (QS. An-Nahl: 96). 

Al-Auza’i berkata: Aku mendengar Bilal bin Sa’d berkata: “Demi Allah, cukuplah sebagai dosa bahwa Allah Ta'ala mengingatkan kita untuk zuhud terhadap dunia, namun kita justru menginginkannya. Maka orang yang zuhud di antara kalian sebenarnya masih berkeinginan, dan orang yang bersungguh-sungguh masih kurang, dan orang alim di antara kalian masih jahil.”

Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak bersikap zuhud terhadap dunia, sementara Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita tentang kerendahannya dan kefanaannya, serta bahwa kehidupan sejati dan kekal ada di akhirat? 

Beliau bersabda: “Ya Allah, tiada kehidupan yang hakiki kecuali kehidupan akhirat.” (Muttafaq ‘alaih). 

Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu anhuma berkata: “Betapa jauhnya perilaku kalian dari perilaku Nabi kalian. 
Dia adalah orang yang paling zuhud terhadap dunia, sementara kalian adalah orang yang paling menginginkannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Barang siapa yang banyak merenungkan firman Allah, maka akan tertanam dalam hatinya sikap zuhud terhadap kenikmatan dunia. 

Ibnu Qayyim berkata: “Al-Qur’an dipenuhi dengan ajakan untuk bersikap zuhud terhadap dunia, pemberitahuan tentang rendah dan sedikitnya dunia, kefanaannya, serta pendorongan untuk akhirat dengan pemberitahuan tentang kemuliaan dan kekekalannya. 
Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, Dia akan menanamkan dalam hatinya kesaksian yang memperlihatkan hakikat dunia dan akhirat, sehingga ia akan memilih yang lebih layak untuk dipilih.”

Jika jiwamu terikat dengan kenikmatan dunia dan terfitnah oleh keindahannya, renungkanlah firman Allah Ta'ala: “Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, agar Kami menguji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131). 

Ayat ini cukup sebagai nasihat dan pengingat untuk tidak terikat pada kenikmatan yang kurang dan fana, yang tidak akan bertahan lama.

Para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mendahului generasi setelah mereka dalam hal zuhud terhadap dunia.

Abdurrahman bin Zaid berkata: Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Kalian lebih banyak berpuasa, lebih banyak shalat, dan lebih banyak berjihad daripada para sahabat Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, tetapi mereka lebih baik daripada kalian.” 
Mereka bertanya: “Mengapa begitu, wahai Abu Abdurrahman?” 
Dia menjawab: “Karena mereka lebih zuhud terhadap dunia dan lebih bersemangat untuk akhirat.” 

Kisah-kisah mereka tentang zuhud sudah masyhur. 
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu pernah mengirimkan seratus ribu dirham kepada Aisyah Radhiyallahuanha, dan pada malam itu juga, ia membagikannya kepada orang-orang. 
Pembantunya berkata kepadanya: “Seandainya engkau membeli daging dengan satu dirham untuk kami.” 
Aisyah menjawab: “Mengapa engkau tidak mengingatkanku?” 

Ketika Khalifah Umar Radhiyallahu anhu tiba di Syam, pasukan datang menyambutnya. 
Dia mengenakan kain sarung, sandal, dan sorban, serta memegang kepala untanya saat melewati air. 
Mereka berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, pasukan dan pembesar Syam datang menemuimu, sementara engkau dalam keadaan seperti ini.” 
Umar berkata: “Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, maka kita tidak akan mencari kemuliaan selain darinya.” 

Seorang pria masuk ke rumah Abu Dzar Radhiyallahu anhu dan melihat sekeliling rumahnya. 
Lalu ia bertanya: “Wahai Abu Dzar, di mana barang-barangmu?” 
Abu Dzar menjawab: “Kami memiliki rumah lain yang kami kirimkan barang-barang terbaik kami ke sana.” 
Pria itu berkata: “Namun engkau harus memiliki barang-barang selama engkau masih di sini.” 
Abu Dzar menjawab: “Pemilik rumah ini tidak akan membiarkan kami tinggal lama di sini.” 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Barang siapa yang menginginkan akhirat, ia akan merugikan dunianya. Dan barang siapa yang menginginkan dunia, ia akan merugikan akhiratnya. 
Wahai kaum, pilihlah yang fana untuk yang kekal.”

Penulis: Khalid bin Saud Al-Balihid
Semoga Allah mengampuninya
Tanggal: 5/6/1442 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar