AGAMA ADALAH NASIHAT
Ditulis oleh: Abduh Qa’id Al-Dharibi
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Adapun setelah itu:
Sesungguhnya nasihat memiliki arti yang sangat besar. Ia adalah tiang dan landasan agama. Dengan nasihat, manusia menjadi baik, keamanan tercapai, dan kesejahteraan menyebar di seluruh negeri.
Karena pentingnya nasihat dalam agama Islam, kami ingin membahasnya melalui beberapa poin berikut:
1. **Agama adalah nasihat.**
2. Definisi nasihat.
3. Pentingnya nasihat.
4. Kepada siapa nasihat ditujukan?
5. Hukum nasihat.
6. Syarat-syarat nasihat.
7. Etika dalam memberikan nasihat.
8. Faktor-faktor yang memengaruhi diterimanya nasihat.
9. Contoh nasihat yang luar biasa dari para pendahulu.
Berikut adalah rincian dari poin-poin tersebut:
Poin Pertama: Agama adalah Nasihat
Diriwayatkan dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Al-Dari - semoga Allah meridhoinya - bahwa Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda:
“Agama adalah nasihat.”
Kami bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan seluruh umatnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh lima sahabat besar, yaitu: Tamim bin Aus Al-Dari, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Tsauban, dan Ibnu Abbas - semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini menunjukkan betapa pentingnya nasihat.
Selain itu, terdapat hadits-hadits lain yang juga mendorong untuk memberikan nasihat, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, termasuk Jarir bin Abdullah, Hudzaifah bin Yaman, Anas bin Malik, Abu Umamah, Abu Ayyub, dan lainnya - semoga Allah meridhoi mereka semua.
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam - menjelaskan bahwa nasihat mencakup seluruh agama. Hal ini karena seluruh agama adalah nasihat; seperti shalat, puasa, amar ma'ruf nahi munkar, menyebarkan salam, dan berbicara dengan baik, semuanya adalah bentuk nasihat. Ibnu Rajab - rahimahullah - ketika menjelaskan hadits ini berkata:
“Ini menunjukkan bahwa nasihat mencakup sifat-sifat Islam, iman, dan ihsan yang disebutkan dalam hadits Jibril - 'alaihis salam - dan semuanya disebut sebagai agama.”[1]
Al-Nawawi - rahimahullah - mengatakan tentang hadits ini:
“Hadits ini sangat agung, dan di atasnya Islam dibangun... Adapun yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa ini adalah salah satu dari empat hadits yang menjadi pokok Islam, itu tidak benar. Pokok Islam hanya bergantung pada hadits ini saja.”[2]
Poin Kedua: Definisi Nasihat
1. Secara Bahasa:
Nasihat diambil dari kata “nashaha” yang berarti menyesuaikan dua hal dan memperbaikinya.
Asalnya dari kata “nashah”, yaitu penjahit. Nasihat adalah kebalikan dari tipu daya. Dikatakan: "Aku memberikan nasihat kepadanya."
Al-Raghib berkata:
"Nasihat diambil dari perkataan: Aku memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya, atau dari perkataan:
Aku menjahit pakaian tersebut.”
Ibnu Manzhur berkata:
"Nashaha berarti murni, dan nasih adalah sesuatu yang murni dari pekerjaan atau lainnya.”[3]
2. Secara Istilah:
Al-Khattabi - rahimahullah - berkata: "Nasihat adalah sebuah ungkapan yang mencakup niat untuk memberikan kebaikan kepada orang yang dinasihati.”[4]
Al-Raghib - rahimahullah - berkata:
“Nasihat adalah usaha dalam ucapan atau perbuatan yang membawa perbaikan bagi orang yang dinasihati.”[5]
Muhammad bin Nashr - rahimahullah - berkata:
“Sebagian ulama mengatakan bahwa inti dari nasihat adalah perhatian hati terhadap orang yang dinasihati, siapapun dia.”[6]
Al-Jurjani - rahimahullah - berkata:
“Nasihat adalah ajakan kepada sesuatu yang mengandung kebaikan dan mencegah dari hal-hal yang merusak.”[7]
Poin Ketiga: Pentingnya Nasihat
Nasihat memiliki arti yang sangat besar dalam Islam, dan pentingnya nasihat terlihat dari beberapa hal berikut:
Pertama:
Nasihat adalah tiang agama dan landasannya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam: “Agama adalah nasihat.”
Kedua:
Nasihat adalah salah satu tugas para nabi. Allah - Maha Suci Dia - dalam Al-Qur'an mengisahkan perkataan Nabi Nuh - 'alaihissalam - kepada kaumnya:
_"Aku sampaikan kepada kalian risalah-risalah Tuhanku, dan aku menasihati kalian, serta aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketahui."_ (Al-A'raf: 62).
Allah juga berfirman tentang Nabi Hud - 'alaihissalam -:
_"Aku sampaikan kepada kalian risalah-risalah Tuhanku, dan aku adalah pemberi nasihat yang terpercaya untuk kalian."_ (Al-A'raf: 68).
Demikian pula firman-Nya tentang Nabi Saleh - 'alaihissalam -: _"Wahai kaumku, sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian risalah Tuhanku dan aku telah menasihati kalian."_ (Al-A'raf: 79).
Dan tentang Nabi Syu’aib - 'alaihissalam -: _"Sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian risalah Tuhanku dan aku telah menasihati kalian."_ (Al-A'raf: 93).
Inilah cara yang ditempuh oleh para nabi dan juga diikuti oleh para ulama, wali-wali Allah, serta orang-orang saleh.
Ketiga:
Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam - mengambil baiat untuk memberikan nasihat.
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah - semoga Allah meridhoinya - bahwa ia berkata:
_"Aku berbaiat kepada Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap Muslim."_ (HR. Bukhari dan Muslim).
Nasihat dihubungkan dengan shalat dan zakat, oleh karena itu Nabi - shalallahu 'alaihi wa sallam - mengambil baiat atasnya.
Keempat:
Nasihat adalah tanda kebaikan.
Allah berfirman:
_"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah."_ (Ali 'Imran: 110).
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab - semoga Allah meridhoinya - berkata: _"Tidak ada kebaikan pada suatu kaum yang tidak saling menasihati, dan tidak ada kebaikan pada kaum yang tidak menyukai nasihat."_ [8]
Maka nasihat adalah tanda kebaikan bagi yang melakukannya dan bagi yang menerima nasihat.
Kelima:
Orang yang memberikan nasihat adalah khalifah Allah di bumi-Nya. Al-Hasan Al-Bashri - rahimahullah - berkata:
_"Masih ada hamba-hamba Allah yang menasihati karena Allah kepada makhluk-Nya, dan mereka menasihati makhluk-Nya mengenai hak Allah atas mereka. Mereka bekerja di bumi dengan memberikan nasihat, mereka itulah para khalifah Allah di bumi."_ [9]
Keenam:
Nasihat adalah salah satu sifat orang-orang beriman yang sejati.
_"Orang beriman itu suka menasihati, sedangkan orang munafik suka menipu."_
Ketujuh:
Nasihat adalah bukti cinta dan persaudaraan. Al-Harith Al-Muhasibi - rahimahullah - berkata:
_"Ketahuilah, siapa yang menasihatimu, dia mencintaimu. Siapa yang membiarkanmu, dia telah menipumu. Dan siapa yang tidak menerima nasihatmu, dia bukanlah saudaramu."_ [10]
Poin Keempat: Untuk Siapa Nasihat Itu Diberikan?
Ketika para sahabat - semoga Allah meridhoi mereka - mendengar Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda: _"Agama adalah nasihat,"_
mereka bertanya: "Untuk siapa wahai Rasulullah?" Maka beliau menjawab bahwa nasihat diberikan kepada lima golongan:
**Golongan pertama:**
_"Untuk Allah."_
Bagaimana nasihat kepada Allah? Itu dilakukan dengan beriman kepada-Nya dengan iman yang sebenarnya, meyakini bahwa Dia memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang sempurna, menafikan segala kekurangan dari-Nya, melaksanakan kewajiban-Nya, menjauhi larangan-Nya, mengakui nikmat-nikmat-Nya, dan bersyukur atasnya.
**Golongan kedua:**
_"Untuk kitab-Nya."_
Yaitu dengan beriman bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah, dijaga dari perubahan dan penyelewengan hingga hari kiamat, menjadi penghapus kitab-kitab sebelumnya, menerapkannya dalam setiap urusan, mempelajari dan mengajarkannya, serta menjaga batasan-batasannya.
**Golongan ketiga:**
_"Untuk Rasul-Nya."_
Yaitu dengan membenarkan risalahnya, meyakini bahwa beliau adalah nabi terbaik dan penutup para nabi, menaati perintah dan larangannya, mendukungnya baik semasa hidup maupun setelah wafat, memusuhi siapa saja yang memusuhinya, mencintai siapa saja yang mencintainya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan dakwahnya, menjaga syariatnya, membela kehormatannya, mencintai keluarganya dan para sahabatnya, serta menjauhi orang-orang yang berbuat bid’ah dalam agamanya.
**Golongan keempat:**
_"Untuk para pemimpin kaum Muslimin."_ Ada dua kelompok yang dimaksud sebagai pemimpin kaum Muslimin di sini:
Kelompok pertama:
Penguasa Muslim yang adil.
Nasihat kepada mereka adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka selama dalam ketaatan kepada Allah, menjauhkan kedzaliman dari mereka, dan menyatukan umat di bawah kepemimpinan mereka selama mereka menegakkan perintah Allah.
Kelompok kedua:
Para ulama.
Nasihat kepada mereka diberikan dengan cara menyebarkan ilmu mereka, berbaik sangka kepada mereka, menghormati dan menghargai mereka, memberikan hak-hak mereka, serta membela mereka dan hal-hal semacam itu.
**Golongan kelima:**
_"Kepada umat umum."_
Nasihat kepada mereka adalah dengan menuntun mereka untuk beribadah kepada Pencipta mereka, mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, memperingatkan mereka dari hal-hal yang membahayakan, menahan diri dari menyakiti mereka, menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, melindungi harta dan kehormatan mereka, mencintai mereka sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan hal-hal yang serupa.
Poin Kelima: Hukum Nasihat
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nasihat menjadi tiga pandangan:
**Pandangan pertama:
Bahwa nasihat adalah kewajiban individu (fardhu 'ain). Ini adalah pendapat Ibn Hazm az-Zahiri[11].
**Pandangan kedua:
Nasihat adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Ini adalah pandangan Ibn Battal[12].
**Pandangan ketiga:
Nasihat adalah kewajiban pada satu sisi dan sunnah di sisi lain.
Nasihat yang wajib adalah memberikan perhatian penuh terhadap perintah Allah dalam melaksanakan yang wajib dan menjauhi yang haram, sedangkan yang sunnah adalah mengutamakan cinta kepada Allah daripada kepentingan diri sendiri. Ini adalah pendapat Ibn Rajab[13].
Ibn Rajab - rahimahullah - menjelaskan pandangannya ini dengan mengatakan: _"Yang wajib adalah menghindari larangan Allah, melaksanakan kewajiban dengan seluruh anggota tubuhnya semaksimal yang ia mampu.
Sedangkan nasihat yang sunnah adalah mengerahkan segala usaha untuk mengutamakan Allah di atas segala yang dicintai, baik dengan hati maupun seluruh anggota tubuh, sehingga tidak ada kelebihan pada dirinya dibanding orang lain; karena jika seorang yang menasihati bersungguh-sungguh, dia tidak akan mengutamakan dirinya atas orang lain, dan ia akan melakukan segala sesuatu yang membuatnya bahagia dan dicintai Allah. Demikian pula orang yang memberikan nasihat untuk Rabb-nya."_ [14]
Ibn Battal - rahimahullah - berkata: _"Nasihat adalah kewajiban kolektif yang jika sebagian orang telah melakukannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Nasihat wajib dilakukan sejauh kemampuan jika si pemberi nasihat mengetahui bahwa nasihatnya akan diterima, diperhatikan, dan ia aman dari bahaya.
Namun, jika ia khawatir akan bahaya, maka ia berada dalam kelonggaran untuk tidak melakukannya."_ [15]
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa pada dasarnya nasihat adalah fardhu kifayah; jika telah dilakukan oleh sebagian, maka gugur kewajiban dari yang lain. Namun, nasihat menjadi fardhu 'ain dalam kondisi berikut:
Kondisi pertama:
Jika seorang Muslim memintanya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah - semoga Allah meridhoinya - bahwa Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda: _"Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam."
Ditanyakan: "Apa saja itu, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab:
"Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam; jika ia mengundangmu, maka penuhilah; jika ia meminta nasihatmu, maka berikanlah nasihat; jika ia bersin dan memuji Allah, maka doakanlah; jika ia sakit, maka jenguklah; dan jika ia meninggal, maka iringilah jenazahnya."_ (HR. Muslim).
Perkataan beliau:
_"Jika ia meminta nasihatmu, maka berikanlah nasihat,"_ menunjukkan kewajiban memberikan nasihat bagi yang memintanya dan tidak boleh menipunya.
Kondisi kedua:
Ketika melihat kemungkaran yang diabaikan oleh orang lain, sedangkan hanya dirinyalah yang mengetahuinya, selama tidak menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.
Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda:
_"Siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."_ (HR. Muslim).
Sabda beliau:
_"Hendaklah ia mengubahnya"_ adalah perintah, dan perintah menunjukkan kewajiban. Maka, siapa yang melihat kemungkaran dan mampu mengubahnya, wajib baginya untuk melakukannya.
Kondisi ketiga:
Jika seseorang mengetahui suatu bahaya yang tidak diketahui oleh orang lain dan tidak ada yang menyadarinya selain dirinya, maka wajib baginya untuk memberikan nasihat secara pribadi.
Hal ini didasarkan pada firman Allah: _"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari manusia."_ (Al-Maidah: 67).
Karena Nabi - shalallahu 'alaihi wa sallam - adalah satu-satunya manusia yang mengetahui kebaikan tersebut, maka menjadi kewajiban baginya untuk menyampaikannya.
Imam Nawawi - rahimahullah - berkata: _"Terkadang kewajiban amar ma'ruf nahi munkar menjadi kewajiban individu (fardhu 'ain), seperti jika berada di tempat yang hanya diketahui oleh dirinya atau jika hanya ia yang mampu menghilangkannya, atau ketika seseorang melihat istrinya, anaknya, atau pelayannya melakukan suatu kemungkaran atau lalai dalam melakukan kebaikan."_ [16]
Poin Keenam: Syarat-syarat Nasihat
Para ulama - rahimahumullah - menyebutkan beberapa syarat terkait nasihat bagi pemberi nasihat dan penerima nasihat, di antaranya sebagai berikut:
Syarat pertama:
Islam
Pada dasarnya, pemberi nasihat haruslah seorang Muslim yang memahami apa yang dinasihatkan dan apa yang dilarang.
Adapun bagi penerima nasihat, beberapa ulama berpendapat bahwa ia juga harus seorang Muslim.
Imam Ahmad - rahimahullah - berkata: "Tidak ada kewajiban bagi Muslim untuk menasihati dzimmi" (non-Muslim yang hidup dalam perlindungan negara Islam)[17].
Mereka berlandaskan pada hadits Jariir bin Abdullah - radhiyallahu 'anhu - yang menyebutkan:
"Dan nasihat untuk setiap Muslim" (HR. Bukhari).
Ibnu Hajar - rahimahullah - berpendapat bahwa Islam bukanlah syarat mutlak, dan pembatasan pada Muslim lebih kepada kasus mayoritas.
Ia berkata bahwa nasihat kepada orang kafir juga diperbolehkan dengan syarat mengajaknya kepada Islam dan menunjukkan kepadanya hal yang benar[18].
Syarat kedua dan ketiga:
Baligh dan berakal
Disyaratkan pula bahwa pemberi nasihat harus sudah baligh dan berakal, karena baligh dan akal adalah dasar kewajiban agama.
Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam - bersabda: "Diangkat pena dari tiga golongan: anak kecil hingga ia baligh..." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam "Shahih Ibnu Majah", no. 1660).
PoinKetujuh: Adab Nasihat
**Pertama: Ikhlas karena Allah Ta'ala**
Nasihat harus dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah - azza wa jalla. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
_"Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas, dengan menjalankan agama yang lurus, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; itulah agama yang benar"_ (QS. Al-Bayyinah: 5),
dan firman-Nya:
_"Sungguh, Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan kebenaran, maka sembahlah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama"_ (QS. Az-Zumar: 2).
**Kedua: Lemah lembut dan santun**
Pemberi nasihat hendaknya bersikap lemah lembut dan santun, sebagaimana sabda Nabi - shallallahu 'alaihi wa sallam -:
_"Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan mencemarkannya"_ (HR. Muslim).
Allah juga menafikan sifat kasar dan keras hati dari Nabi-Nya, sebagaimana firman-Nya:
_"Maka berkat rahmat dari Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu"_ (QS. Ali Imran: 159).
Abdul Aziz bin Abi Rawad berkata:
_"Dahulu orang-orang sebelum kalian, ketika melihat sesuatu yang tidak baik dari saudaranya, ia menasihatinya dengan lemah lembut, sehingga mendapat pahala dalam perintah dan larangannya. Namun salah satu dari orang-orang ini, ia justru kasar terhadap saudaranya, sehingga membuat saudaranya marah dan membuka aibnya"_ [19].
Beberapa ulama berpendapat bahwa kelembutan dalam nasihat adalah wajib.
Al-Ghazali - rahimahullah - berkata:
_"Kewajiban untuk bersikap lemah lembut dapat dipahami dari apa yang dilakukan oleh Al-Ma'mun ketika dinasihati dengan keras oleh seseorang.
Al-Ma'mun berkata: Wahai lelaki! Bersikaplah lembut, karena Allah telah mengutus orang yang lebih baik darimu (Nabi Musa dan Harun) kepada orang yang lebih jahat dariku (Fir’aun), dan Dia memerintahkan mereka untuk bersikap lembut.
Allah berfirman:
'Maka berbicaralah kalian berdua (Musa dan Harun) kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut' (QS. Thaahaa: 44)"_.
Maka hendaknya seorang pemberi nasihat mencontoh para nabi dalam hal kelembutan[20].
**Alangkah baiknya jika para da'i yang tulus, para khatib yang fasih, dan para pembimbing yang mulia mencontoh Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dalam kisah pemuda yang datang kepada beliau meminta izin untuk berzina. Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- tidak menegurnya dengan keras, melainkan menasihatinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.**
Dari Abu Umamah -radhiyallahu 'anhu-, seorang pemuda mendatangi Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan berkata: "Wahai Nabi Allah, izinkan aku berzina." Orang-orang pun berteriak kepadanya, tetapi Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda:
"Dekatkan dia, mendekatlah."
Maka pemuda itu mendekat dan duduk di hadapan Nabi.
Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bertanya:
"Apakah engkau menyukai hal itu terjadi pada ibumu?"
Pemuda itu menjawab: "Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusan bagimu."
Nabi berkata:
"Demikian pula orang lain tidak suka hal itu terjadi pada ibu mereka. Apakah engkau menyukai hal itu terjadi pada putrimu?" Pemuda itu menjawab: "Tidak, demi Allah." Nabi berkata: "Demikian pula orang lain tidak menyukai hal itu terjadi pada putri mereka. Apakah engkau menyukai hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?" Pemuda itu menjawab: "Tidak, demi Allah." Nabi berkata: "Demikian pula orang lain tidak menyukai hal itu terjadi pada saudara perempuan mereka."
Kemudian Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- meletakkan tangan beliau di dada pemuda itu dan berdoa:
"Ya Allah, bersihkan hatinya, ampunilah dosanya, dan jagalah kemaluannya." Setelah itu, tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya selain perbuatan zina. (HR. Ahmad, disahihkan oleh Al-Albani dalam "As-Silsilah Ash-Shahihah", no. 370).
**Ketiga: Menasihati secara rahasia.**
Karena memberikan nasihat di depan orang banyak dapat memicu reaksi negatif, dan bisa jadi nasihat tersebut tidak diterima, bahkan memperburuk keadaan.
Oleh karena itu, para ulama salaf -radhiyallahu 'anhum- sangat menjaga agar nasihat disampaikan secara rahasia.
Sebagian dari mereka berkata:
"Barang siapa menasihati saudaranya secara pribadi, itu adalah nasihat yang sebenarnya.
Tetapi jika ia menasihatinya di hadapan orang banyak, maka itu hanyalah penghinaan."
Al-Fudhayl bin ‘Iyadh -rahimahullah- berkata:
"Seorang mukmin menutupi dan menasihati, sementara orang fasik membuka aib dan mencela."
Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- dengan indahnya berkata:
"Barang siapa menasihati saudaranya secara rahasia,
maka ia telah benar-benar menasihatinya dan menghiasinya.
Namun, barang siapa menasihatinya secara terang-terangan,
maka ia telah mempermalukannya dan merusaknya."
Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- ditanya mengenai amar ma'ruf dan nahi munkar terhadap penguasa, maka ia berkata:
"Jika engkau harus melakukannya, maka lakukanlah di antara dirimu dan dia secara pribadi." [21]
Imam Asy-Syafi’i juga pernah bersyair:
_"Nasihatilah aku dengan tulus secara pribadi,
dan jauhilah menasihatiku di depan orang banyak.
Karena nasihat di hadapan orang banyak itu adalah celaan,
yang aku tidak suka mendengarnya.
Jika engkau menyelisihi dan tidak menuruti perkataanku,
maka jangan marah jika nasihatmu tidak aku taati."_
Ibnu Hazm berkata:
"Jika engkau menasihati, maka nasihatilah secara rahasia, bukan terang-terangan, dan dengan sindiran, bukan pernyataan langsung, kecuali jika orang yang dinasihati tidak memahami sindiranmu, maka harus dengan pernyataan langsung." [22]
Allah Ta'ala berfirman kepada pemimpin para pemberi nasihat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Dan katakanlah kepada mereka perkataan yang menyentuh jiwa mereka." [An-Nisa: 63],
artinya, nasihatilah mereka secara pribadi dengan perkataan yang dalam, yang bisa mencegah mereka [23].
**Keempat: Memilih waktu dan keadaan yang tepat:**
Seorang penasihat harus cerdas dalam memilih waktu dan keadaan yang tepat, serta harus pandai memanfaatkan kesempatan yang ada. Memilih waktu dan situasi yang tepat adalah salah satu faktor terbesar diterimanya nasihat.
Ibnu Mas'ud -radhiyallahu 'anhu- berkata: "Sesungguhnya hati memiliki saat-saat di mana ia bersemangat dan saat-saat di mana ia bosan, maka ambillah hati itu ketika ia bersemangat, dan tinggalkanlah ketika ia bosan."
Beruntunglah da'i yang mengetahui kapan hati sedang terbuka dan kapan ia tertutup, sehingga ia bisa memberikan nasihat yang tepat dan berbicara dengan hati [24].
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- biasa memberikan nasihat kepada para sahabatnya sesekali waktu, agar mereka tidak bosan.
Poin Kedelapan: Faktor-faktor yang memengaruhi diterimanya nasihat:
Jika engkau ingin agar nasihatmu diterima dan bermanfaat, serta menghasilkan buah, maka engkau harus menjaga adab-adabnya, di antaranya yang paling penting adalah sebagai berikut:
Pertama:
Menjaga adab-adab nasihat yang telah disebutkan sebelumnya.
Kedua:
Memastikan dan memastikan bahwa orang yang hendak dinasihati benar-benar telah melakukan kesalahan.
Ketiga:
Menjadi teladan yang baik, yaitu dengan mengamalkan apa yang diperintahkan kepada orang lain, dan menjauhi apa yang dilarang kepada mereka.
Abu Bakar Al-Ajurri -rahimahullah- berkata: "Tidak akan menjadi penasihat yang tulus kepada Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan umat secara umum, kecuali orang yang memulai dengan menasihati dirinya sendiri, berusaha keras dalam menuntut ilmu dan memahami agama, sehingga ia mengetahui apa yang wajib atas dirinya, memahami permusuhan setan terhadapnya, bagaimana cara berhati-hati darinya, serta mengetahui buruknya apa yang diinginkan oleh nafsunya, sehingga ia bisa menyelisihi nafsunya dengan ilmu." [25]
**Allah Ta'ala mencela Bani Israil**
atas kontradiksi antara perkataan mereka dan perbuatan mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri kamu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab? Tidakkah kamu berpikir?" [Al-Baqarah: 44].
**Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:**
"Pada hari kiamat, seorang laki-laki didatangkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai keluar, dan ia berputar-putar dengannya seperti keledai yang berputar di penggilingan.
Para penghuni neraka berkumpul di sekitarnya dan berkata:
'Wahai Fulan, apa yang terjadi padamu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?'
Ia menjawab: 'Benar, dahulu aku memerintahkan kebaikan tetapi aku tidak melaksanakannya, dan aku melarang kemungkaran tetapi aku melakukannya.'" (HR. Muslim).
**Semoga Allah merahmati Abu al-Aswad ad-Du'ali ketika ia berkata:**
Wahai orang yang mengajarkan orang lain,
Mengapa engkau tidak mengajarkan dirimu sendiri?
Engkau memberi resep obat bagi yang sakit,
Agar ia sembuh, sementara engkau sendiri sakit.
Jangan melarang suatu akhlak, namun engkau sendiri melakukannya,
Itu adalah aib besar bagimu jika engkau melakukannya.
Mulailah dengan dirimu sendiri, cegahlah ia dari kesesatan,
Jika engkau berhasil, maka engkau adalah seorang yang bijak.
Barulah apa yang engkau katakan akan diterima,
Orang akan mencontoh ucapanmu, dan pengajaranmu akan bermanfaat.
**Keempat: Menunjukkan kasih sayang dan cinta kepada orang yang dinasihati.**
Inilah jalan para nabi - semoga salam atas mereka semua - yang biasa berkata kepada kaumnya:
"Dan aku adalah pemberi nasihat yang terpercaya bagi kalian" [Al-A'raf: 68].
Ini termasuk senyuman yang tulus di hadapan orang yang dinasihati sebelum menasihatinya, kata-kata yang baik, pujian atas kebaikannya, dan pemberian hadiah.
**Kelima: Menempatkan orang sesuai dengan posisinya.**
Gunakan pendekatan yang sesuai dengan mereka, karena jelas bahwa manusia berbeda-beda tingkatannya.
Maka, seseorang harus memilih pendekatan yang tepat sesuai dengan posisi masing-masing orang.
Seorang pemimpin kaum Muslimin dinasihati dengan cara yang sesuai dengan kedudukannya, seorang alim dinasihati dengan cara yang layak baginya, orang tua harus diperlakukan dengan penuh hormat, orang yang jahil dinasihati dengan cara yang mengedukasi, sedangkan orang yang keras kepala dihadapi dengan cara yang tepat... dan seterusnya.
**Keenam: Kejujuran dalam memberikan nasihat.**
Allah menceritakan tentang Fir’aun yang berkata kepada kaumnya:
"Aku tidak menunjukkan kepada kalian kecuali apa yang aku lihat (baik), dan aku tidak menunjuki kalian kecuali kepada jalan yang benar" [Ghafir: 29].
Ucapan ini seolah menunjukkan kejujuran Fir’aun dalam menasihati kaumnya, namun sesungguhnya ia seorang pembohong yang menipu.
Keadaannya serupa dengan Iblis laknatullah ketika berkata kepada bapak kita Adam dan ibu kita Hawa:
"Dan dia bersumpah kepada keduanya: Sesungguhnya aku adalah pemberi nasihat yang tulus kepada kalian berdua" [Al-A'raf: 21],
padahal dia adalah pembohong terbesar!
Inilah beberapa faktor yang dapat bermanfaat dan berpengaruh dalam membuat orang menerima nasihat dari si pemberi nasihat.
Poin Kesembilan: Contoh-contoh nasihat luar biasa dari para salaf:
Sejarah Islam yang gemilang telah mencatat contoh-contoh luar biasa dari para salaf yang menggunakan metode efektif dalam memberikan nasihat sehingga diterima dengan baik. Berikut adalah beberapa contoh yang unik tersebut.
**Contoh pertama:
Hasan dan Husain - radhiyallahu 'anhuma -:**
Dikisahkan bahwa Hasan dan Husain - radhiyallahu 'anhuma - melihat seorang lelaki tua yang sedang berwudhu, namun ia tidak melakukannya dengan benar. Keduanya ingin mengajarinya, maka mereka mendekati lelaki tersebut dan berpura-pura berselisih: siapakah di antara mereka yang wudhunya lebih baik?
Mereka meminta lelaki tua itu untuk menjadi penengah.
Setelah keduanya berwudhu, lelaki tua itu berkata: "Aku yang tidak tahu cara berwudhu, ajarilah aku!"
**Contoh kedua: Jariir bin Abdullah - radhiyallahu 'anhu:**
Dari Ibrahim bin Jarir Al-Bajali, dari ayahnya, ia berkata:
Suatu hari, Abu Abdullah (yakni Jarir) pergi ke pasar Kinasah untuk membeli hewan tunggangan, dan budaknya juga pergi bersamanya.
Budaknya berhenti di salah satu sudut pasar, dan binatang-binatang tunggangan mulai lewat di hadapannya.
Kemudian, ada seekor kuda yang lewat dan Jarir menyukainya.
Dia berkata kepada budaknya, "Pergilah dan belilah kuda itu."
Maka budaknya pergi dan menawarkan harga tiga ratus dirham kepada pemilik kuda tersebut.
Namun, pemilik kuda menolak untuk menjualnya.
Pemilik kuda tersebut berkata, "Bagaimana jika kita pergi ke seorang teman kita di sudut pasar?"
Budaknya berkata, "Saya tidak keberatan." Maka, mereka pergi kepadanya.
Lalu budaknya berkata kepada pemilik kuda, "Saya telah menawarkan tiga ratus dirham untuk kudamu, tetapi kamu menolak, dan menyebut bahwa kudamu lebih bernilai daripada itu."
Pemilik kuda tersebut berkata, "Benar, semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Menurutmu berapa harga yang pantas?" Lalu, Jarir menjawab, "Tidak, kudamu lebih berharga dari itu.
Bagaimana jika kamu menjualnya seharga lima ratus?"
Hingga mereka sepakat dengan harga tujuh ratus atau delapan ratus dirham. Setelah pemilik kuda itu pergi, Jarir berpaling kepada budaknya dan berkata, "Celakalah kamu! Kamu pergi untuk membeli hewan tunggangan untukku,
aku menyukai hewan tunggangan milik seorang pria, lalu aku mengutusmu untuk membelinya, dan kamu datang dengan membawa seorang Muslim dan berkata, 'Bagaimana menurutmu?'
'Bagaimana menurutmu?'
Aku telah berbaiat kepada Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam - untuk memberikan nasihat kepada setiap Muslim." (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam kitabnya "Al-Kabir").
**Contoh ketiga: Imam Malik bin Anas - rahimahullah:**
Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Anas, Imam dari Madinah, menulis sebuah surat kepada Khalifah Harun al-Rasyid untuk menasihatinya.
Dalam surat itu, beliau berkata:
"Amma ba'du, sesungguhnya aku menulis surat ini kepadamu, dan aku tidak menyisakan sedikitpun dari nasihat yang baik.
Aku memuji Allah dan bersikap sopan atas nama Rasulullah.
Maka, pertimbangkanlah surat ini dengan akalmu, pandanglah dengan penuh perhatian, dengarkanlah dengan seksama, renungkanlah dengan hatimu, dan hadirkanlah pemahamanmu.
Jangan biarkan pikiranmu mengabaikan hal ini, karena di dalamnya terdapat keutamaan di dunia dan pahala yang baik dari Allah di akhirat.
Ingatlah dirimu sendiri dalam saat-saat kematian, ketika penderitaan itu menimpamu, dan apa yang akan kamu hadapi setelah kematian, yaitu penghadapan kepada Allah, kemudian perhitungan, lalu keabadian setelah perhitungan tersebut.
Siapkanlah dirimu untuk Allah - Yang Maha Mulia dan Maha Agung - agar memudahkanmu menghadapi kesulitan dan penderitaan di hari kiamat.
Karena, jika kamu melihat kemurkaan Allah dan apa yang menimpa manusia berupa berbagai jenis siksaan, serta kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka yang beriman, dan jika kamu mendengar desahan mereka yang berada di dalam neraka serta jeritan mereka yang disertai dengan wajah-wajah yang mengerikan, penuh kesedihan, dan mereka terguling-guling dalam kegelapan, berjalan dengan wajah mereka di atas tanah, tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat, dan mereka memohon kehancuran, maka penolakan Allah terhadap mereka adalah kepedihan yang paling besar.
Harapan mereka sirna ketika Allah berkata:
*'Hinakanlah diri kalian di dalamnya dan jangan berbicara dengan-Ku'* [Al-Mu’minun: 108].
Waspadalah terhadap orang-orang jahat dan pengikut yang buruk di sekelilingmu.
Aku mendengar bahwa Umar bin Khattab - radhiyallahu 'anhu - berkata: *'Bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Allah.'*
Waspadalah terhadap pengikut yang buruk dan para penasehat yang menjerumuskan, karena aku mendengar bahwa Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - berkata: *'Tidak ada nabi ataupun khalifah kecuali memiliki dua pengikut: satu yang memerintahkannya untuk berbuat baik dan melarangnya dari kemungkaran, dan yang lainnya tidak melakukan apa pun kecuali berusaha menjerumuskannya'* [HR. Bukhari].
Kemudian beliau berkata:
'Janganlah menyeret pakaianmu (dengan sombong), karena Allah tidak menyukai hal itu.
Aku mendengar Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda:
*'Barang siapa menyeret pakaiannya karena kesombongan, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat'* [HR. Muslim]."
Taatilah Allah dalam bermaksiat kepada manusia, dan janganlah menaati manusia dalam bermaksiat kepada Allah; karena telah sampai kepadaku bahwa Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta." (HR. Muslim).
Inilah hal-hal yang berkaitan dengan nasihat. Setiap Muslim yang memberikan nasihat harus menghias dirinya dengan sifat-sifat ini dan menjadi seorang penasihat yang jujur.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kemampuan untuk melaksanakan perintah-Mu, menjauhi larangan-Mu, dan melakukan amal yang mendekatkan kami kepada-Mu, wahai Yang Maha Penyayang dari segala penyayang. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa api neraka, dan kami memohon ridha-Mu serta surga, wahai Yang Maha Mulia dan Pemberi Kehormatan.
Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.
---
[1] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/210), cetakan: Muassasah ar-Risālah.
[2] "Syarah an-Nawawi 'ala Shahih Muslim" (2/37).
[3] Lihat: "Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah" (5/435) oleh Ibn Fāris, "Lisān al-‘Arab" (7/4438) oleh Ibn Manzhūr, "Al-Mishbah al-Munīr" (2/276) oleh al-Fayyūmī, dan "Al-Mufradāt", halaman (494) oleh ar-Rāghib.
[4] "Ma‘ālim as-Sunan" (4/125-126), dan lihat: "Kasyf al-Musykil min Hadīth ash-Shahīhain", (4/219).
[5] "Al-Mufradāt", halaman (494).
[6] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam", (1/220).
[7] "At-Ta‘rifāt", halaman (360).
[8] "Risālah al-Mustarshidīn", halaman (71).
[9] "Syarah al-Bukhārī" (1/130) oleh Ibn Baththāl.
[10] "Risālah al-Mustarshidīn", halaman (71).
[11] Lihat: "Risālah al-Jāmi‘" (2/56).
[12] "Syarah al-Bukhārī" (1/129), dan lihat: "Syarah Shahīh Muslim" (2/39) oleh an-Nawawi.
[13] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/220).
[14] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/220-221).
[15] "Syarah al-Bukhārī" (1/129) oleh Ibn Baththāl.
[16] "Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim" (2/23).
[17] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/225).
[18] Lihat: "Fath al-Bārī" (1/140).
[19] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/225).
[20] "Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn" (2/334).
[21] Lihat: "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/225).
[22] "Al-Akhlāq wa as-Siyar", halaman (44).
[23] "Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm" (2/347) oleh Ibn Kathīr.
[24] "Fiqh ad-Da‘wah fī Inkār al-Munkar", halaman (114-115).
[25] "Syarah al-Bukhārī" (1/130) oleh Ibn Baththāl.
[26] Disahihkan oleh al-Albani dalam "Ash-Shahīhah" nomor (1641).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar