Kamis, 19 September 2024

KEUTAMAAN ZUHUD DI DUNIA




KEUTAMAAN ZUHUD DI DUNIA 


Oleh: Khalid bin Saud Al-Balihid

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, amma ba'du:

Sesungguhnya zuhud terhadap dunia adalah salah satu amalan yang sangat utama, yang hanya dapat dilakukan oleh hamba-hamba pilihan yang hatinya dipenuhi dengan zikir kepada Allah dan hasrat penuh terhadap kenikmatan akhirat. Karena itu, dunia menjadi ringan di hati mereka, mereka meremehkannya, berpaling dari perhiasannya, dan mengambil secukupnya dari dunia. 

Allah Ta'ala berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap wajah-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharap perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 28). 

Dan Allah Ta'ala juga berfirman: “Dia (Allah) menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2).

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Yang dimaksud amal terbaik adalah yang paling zuhud terhadap dunia.” 

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang pundakku dan berkata: ‘Jadilah kamu di dunia seakan-akan kamu orang asing atau seorang musafir.’” 

Ibnu Umar juga sering berkata: “Jika kamu berada di waktu sore, jangan tunggu pagi; dan jika kamu berada di waktu pagi, jangan tunggu sore. Manfaatkan sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari). 

Seorang lelaki datang kepada Muhammad bin Wasi' dan berkata: “Berilah aku nasihat.” 
Dia menjawab: “Aku menasihatimu agar menjadi raja di dunia dan akhirat.” 
Lelaki itu bertanya: “Bagaimana caranya?” Dia menjawab: “Zuhudlah di dunia.”

Makna zuhud adalah berpaling dari perhiasan dunia, meremehkannya, dan ridha dengan sedikit dari dunia. 

Ibnu Rajab berkata: “Makna zuhud terhadap sesuatu adalah berpaling darinya karena menganggapnya kecil, remeh, dan rendah diri terhadapnya. 

Dikatakan sesuatu yang ‘zahid’ artinya kecil dan hina. Para salaf dan orang-orang setelah mereka telah banyak berbicara tentang tafsir zuhud di dunia, dan ungkapan mereka beragam.” 

Zuhud yang dimaksud dalam syariat adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat, yang merugikan agama atau menyibukkan dari ketaatan kepada Allah. 

Ibnu Taimiyah berkata: “Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat, sedangkan segala sesuatu yang membantu seorang hamba dalam ketaatan kepada Allah, maka meninggalkannya bukanlah zuhud yang disyariatkan. 
Namun, yang disyariatkan adalah meninggalkan hal-hal berlebih yang menyibukkan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.” 
Maka orang beriman yang zuhud tidak disibukkan dunianya dari akhiratnya, tetapi menjadikan dunia sebagai sarana menuju akhiratnya, dan dia tidak mengorbankan akhiratnya demi dunianya.

Hakikat zuhud di dunia adalah memendekkan angan-angan dalam hati, sehingga orang beriman menyadari bahwa dia hanyalah seorang musafir di dunia yang akan segera pergi darinya, bukan hanya sekedar membatasi pada penampilan kasar sementara hatinya masih menginginkan dunia. 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Zuhud di dunia adalah memendekkan angan-angan, bukan dengan makan yang kasar atau memakai pakaian yang sederhana.” 

Ibnu Mubarak berkata: “Zuhud adalah zuhud terhadap dunia dengan hatimu.” 

Al-Zuhri ditanya tentang orang yang zuhud, dia menjawab: “Orang yang tidak dikalahkan oleh haram dari kesabarannya, dan tidak disibukkan oleh halal dari rasa syukurnya.” 

Ahmad bin Hanbal berkata: “Zuhud di dunia adalah memendekkan angan-angan dan putus asa dari apa yang ada di tangan orang lain.” 

Jika angan-angan seorang mukmin pendek terhadap dunia, maka dia akan meninggalkan berlebihan dalam urusan dunia, mengambil secukupnya, dan tidak tergoda oleh kesenangannya, kemewahannya, serta ragam bentuknya. Tetapi jika angan-angannya panjang terhadap dunia, maka dia akan tergoda oleh perhiasannya, mengumpulkannya sebanyak mungkin, dan melupakan urusan akhirat. 

Zuhud juga mencakup zuhud terhadap harta orang lain dan tidak memandang apa yang mereka miliki. 

Diriwayatkan dalam Ibnu Majah: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.” 

Fudhail bin Iyadh berkata: “Tanda zuhud terhadap dunia adalah zuhud terhadap manusia.”


Kesalahpahaman tentang Zuhud

Salah satu kesalahpahaman mengenai zuhud adalah anggapan bahwa zuhud selalu berkaitan dengan kemiskinan dan tidak pernah sejalan dengan kekayaan.

Ibnu Taimiyah berkata: “Banyak dari kalangan orang-orang yang datang belakangan sering mengaitkan zuhud dengan kemiskinan. 
Padahal, zuhud bisa bersama kekayaan maupun kemiskinan. 
Di antara para nabi dan orang-orang terdahulu, terdapat banyak yang zuhud meski mereka kaya.” 

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki harta, apakah dia bisa menjadi seorang yang zuhud. 
Dia menjawab: “Jika dia tidak bergembira dengan bertambahnya harta, dan tidak bersedih dengan berkurangnya, maka dia adalah seorang yang zuhud.” 

Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala: “Agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu dan tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).

Maka, siapa yang tidak bersedih karena berkurangnya harta dunia dan tidak bergembira karena bertambahnya, berarti zuhud telah tertanam dalam hatinya.

Adapun zuhud dalam mencari penghasilan, memiliki harta, dan ridha dengan kemiskinan serta ketergantungan kepada orang lain, hal itu bukanlah zuhud yang disyariatkan. 

Abu Muslim Al-Khaulani berkata: “Zuhud di dunia bukan dengan mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, melainkan zuhud di dunia adalah ketika apa yang ada di tangan Allah lebih kamu percayai daripada apa yang ada di tanganmu. 
Dan ketika kamu terkena musibah, kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanannya daripada jika musibah itu tidak terjadi padamu.” 

Perkataan ini diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun tidak sahih. 

Ibnu Qayyim berkata: “Para ulama sepakat bahwa zuhud adalah ketika hati bepergian dari dunia menuju tempat tinggal akhirat.

Atas dasar ini, para ulama terdahulu menulis kitab-kitab tentang zuhud, seperti kitab ‘Zuhud’ karya Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad, Waki', Hammad bin Salamah, dan yang lainnya. 

Zuhud terkait dengan enam hal, di mana seseorang tidak bisa disebut zuhud hingga dia zuhud terhadapnya, yaitu: harta, rupa, jabatan, manusia, diri, dan segala sesuatu selain Allah. Yang dimaksud bukanlah menolak semua itu secara total.”

Tingkatan Zuhud:

Tingkatan pertama: 
Zuhud terhadap perhiasan dunia. 
Ini adalah makna umum dari zuhud, sebagaimana firman Allah Ta'ala: “Dan apa saja yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-Qasas: 60).

Tingkatan kedua: 
Zuhud terhadap pujian manusia, popularitas, dan kepemimpinan. 
Tingkatan ini hanya dicapai oleh orang yang hatinya benar-benar ikhlas untuk akhirat dan mengharap wajah Allah. 

Yusuf bin Asbath berkata: “Zuhud terhadap kepemimpinan lebih sulit daripada zuhud terhadap dunia.”

Sebagian orang saleh bisa zuhud terhadap perhiasan dunia, tetapi tidak zuhud terhadap popularitas, karena ada kekurangan dalam keikhlasannya dan lemahnya keyakinan. 
Ini adalah keinginan yang tersembunyi yang menguji sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan dakwah. 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Aku tidak pernah melihat zuhud terhadap sesuatu yang lebih sedikit daripada zuhud terhadap kepemimpinan. 
Engkau melihat seseorang zuhud terhadap makanan, minuman, harta, dan pakaian, tetapi jika ia berebut kepemimpinan, ia akan mempertahankannya dan bermusuhan karenanya.”

Ahmad bin Hanbal berkata: “Zuhud ada tiga tingkatan: 
Pertama, meninggalkan yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam. 
Kedua, meninggalkan yang berlebihan dari yang halal, dan ini adalah zuhudnya orang-orang khusus. 
Ketiga, meninggalkan segala yang menyibukkan dari Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang arif.”

Orang yang benar-benar zuhud adalah orang yang dunia datang kepadanya dengan tunduk, tetapi dia menceraikannya dan menginginkan apa yang ada di sisi Allah serta berpaling darinya. 
Adapun zuhud orang yang tidak mampu mendapatkan dunia dan dunia tidak terbuka baginya, itu adalah hal yang mudah yang bisa dilakukan oleh siapa saja. 

Malik bin Dinar berkata: “Orang-orang mengatakan aku ini seorang yang zuhud, tetapi sebenarnya orang yang zuhud itu adalah Umar bin Abdul Aziz. 
Dunia datang kepadanya, tetapi dia meninggalkannya.” 

Ibnu Abdil Hakam berkata: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, dia zuhud terhadap dunia, meninggalkan apa yang dulu dia miliki, dan menolak berbagai jenis makanan.” 

Sebagian orang menampakkan zuhud ketika dalam keadaan miskin, tetapi ketika mendapat jabatan dan dunia terbuka baginya, dia meninggalkan zuhud dan menjadi bagian dari orang-orang yang hidup mewah.


Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam Sebagai Pemimpin Orang yang Zuhud

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah pemimpin para zuhud dalam kehidupan dunia, meskipun beliau mampu mengumpulkan harta dunia. Namun, beliau membelanjakannya untuk kebaikan dan hanya menyisakan sedikit yang dibutuhkan. 

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Seandainya aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud, akan menyenangkan bagiku jika tidak tersisa padaku setelah tiga malam, kecuali sebagian yang aku sisihkan untuk membayar utang." (Muttafaq ‘alaih). 

Dalam riwayat shahih Bukhari dan Muslim, Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: "Aku masuk menemui Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, dan beliau sedang berbaring di atas tikar. 
Aku duduk, dan beliau menurunkan kain sarungnya yang hanya itu satu-satunya pakaian yang beliau kenakan. 
Aku melihat tikar itu meninggalkan bekas di tubuhnya. 
Kemudian aku melihat ke gudang Rasulullah, dan aku hanya melihat segenggam gandum seukuran satu sha’, dan hal yang serupa dengan kulit pohon di sudut ruangan, serta beberapa kulit hewan yang tergantung. 
Lalu mataku berlinang. 
Beliau bertanya: 'Apa yang membuatmu menangis, wahai Ibnu Khattab?' 
Aku menjawab: 'Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis? 
Tikar ini telah meninggalkan bekas di tubuhmu, sedangkan perbendaharaanmu hanya apa yang kulihat ini. 
Sementara itu, Kaisar dan Kisra berada di dalam kemewahan dan kekayaan, sedang engkau adalah Rasul Allah, orang pilihan-Nya, dan perbendaharaanmu hanyalah seperti ini.' 
Rasulullah bersabda: 'Wahai Ibnu Khattab, apakah engkau tidak ridha bahwa bagi kita adalah akhirat, sedangkan bagi mereka adalah dunia?' 
Aku menjawab: 'Tentu, aku ridha.'"

Majelis para ulama salaf adalah majelis yang dipenuhi dengan zuhud terhadap dunia. 

Abu Dawud berkata: "Aku biasa menghadiri majelis Imam Ahmad, dan majelis-majelisnya selalu dipenuhi dengan pembicaraan tentang akhirat, tidak ada pembicaraan tentang dunia. 
Aku tidak pernah melihatnya membicarakan dunia sama sekali."

Seseorang tidak akan menjadi pemimpin umat kecuali jika ia bersikap zuhud terhadap dunia. 

Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar." (QS. As-Sajdah: 24). 

Qatadah berkata: "Ketika mereka bersabar dari dunia." 

Sufyan Ats-Tsauri berkata: "Begitulah mereka. Tidak layak seseorang menjadi imam yang diikuti kecuali jika ia menjauh dari dunia."


Manfaat Zuhud

Zuhud memiliki banyak manfaat besar bagi seorang mukmin, seperti menjaga hati dari sifat hasad (iri), kezaliman, serta menumbuhkan kecintaan terhadap sesama dan kebahagiaan di dunia. 

Allah Ta'ala berfirman: "Dan mereka tidak merasa dalam hati mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Anshar), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)." (QS. Al-Hasyr: 9).

Zuhud membuat ujian dan cobaan terasa ringan di hati seorang mukmin. 

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata: "Barang siapa yang zuhud terhadap dunia, cobaan akan terasa ringan baginya." 

Zuhud juga merupakan tanda kebijaksanaan. 

Imam Malik berkata: "Aku mendengar bahwa tidak ada seorang pun yang zuhud di dunia dan bertakwa kecuali ia akan berbicara dengan kebijaksanaan." 

Melalui zuhud, seorang mukmin akan merasakan manisnya iman. 

Fudhail bin ‘Iyadh berkata: "Diharamkan atas hatimu untuk merasakan manisnya iman hingga engkau bersikap zuhud terhadap dunia." 

Zuhud adalah kenyamanan bagi mukmin dari kegelisahan dan kesedihan. 

Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: "Zuhud di dunia adalah istirahat bagi hati dan tubuh." 

Ketika seorang mukmin merasa nyaman, ia bisa lebih fokus dalam beribadah. 
Orang yang zuhud tidak bersaing dengan orang lain dalam hal dunia, dan ia tidak bersedih atas apa yang terlewatkan dari dunia. 

Fudhail bin ‘Iyadh berkata: "Hatimu tidak akan tenang sampai engkau tidak peduli siapa pun yang mengambil dunia." 

Zuhud juga membuat seorang mukmin mencintai pertemuan dengan Allah di akhirat. 

Bisyr bin Al-Harits berkata: "Tidak ada seorang pun yang mencintai dunia kecuali ia tidak menyukai kematian. 
Dan barang siapa yang zuhud terhadap dunia, ia akan mencintai pertemuan dengan Tuhannya." 

Zuhud di dunia akan membuat seseorang dicintai oleh Allah dan oleh makhluk-Nya.

Abu Darda Radhiyallahu anhu menulis kepada salah seorang sahabatnya: "Aku menasihatimu untuk bertakwa kepada Allah, zuhud terhadap dunia, dan menginginkan apa yang ada di sisi Allah. Jika engkau melakukannya, Allah akan mencintaimu karena engkau menginginkan apa yang ada di sisi-Nya, dan manusia akan mencintaimu karena engkau meninggalkan dunia yang ada di tangan mereka." 

Orang yang zuhud terhadap dunia dan menguranginya akan ringan hisabnya di hari kiamat dan tidak akan lama berhenti di padang mahsyar. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Aku berdiri di pintu surga, dan kebanyakan orang yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang-orang kaya ditahan, kecuali mereka yang diperintahkan masuk ke neraka." (Muttafaq ‘alaih).


Tanda-tanda Zuhud yang Sempurna

Zuhud yang sempurna memiliki beberapa tanda:

1. Rendah hati, menyukai kesederhanaan, dan menjauhi popularitas.


2. Tidak bersedih atau cemas karena kehilangan dunia, dan tidak bergembira karena mendapatkan banyak darinya. 
Malik bin Dinar berkata: "Sejauh mana engkau bersedih karena dunia, maka kegelisahan akhirat akan keluar dari hatimu. 
Dan sejauh mana engkau bersedih karena akhirat, maka kegelisahan dunia akan keluar dari hatimu."


3. Puas dengan rezeki yang telah Allah tetapkan. 
Fudhail bin ‘Iyadh berkata: "Dasar zuhud adalah ridha terhadap Allah."


4. Tidak bersaing dengan orang lain dalam hal dunia, serta tidak menginginkan apa yang ada di tangan mereka.


5. Menjauhi perkara yang haram dan yang syubhat. 
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: "Wara' adalah awal dari zuhud, sebagaimana qana'ah (rasa cukup) adalah awal dari ridha."


Banyak orang yang terfitnah oleh kenikmatan dunia dan lebih memilih kesenangan dunia daripada kenikmatan akhirat, 
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: "Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A'la: 16-17). 

Qatadah berkata: "Manusia lebih memilih dunia yang cepat (diperoleh) kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah."


Dan Sesungguhnya Hal Terbesar yang Membantu Mukmin untuk Zuhud adalah Menyadari Hakikat Dunia

Allah Ta'ala berfirman: “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20). 

Said bin Jubair berkata: “Kesenangan yang menipu adalah bagi mereka yang sibuk dengannya dalam mencari akhirat.

Sedangkan bagi yang mencari dunia, maka ia hanya mendapat kesenangan yang cukup untuk menuju sesuatu yang lebih baik darinya.” 

Jika seorang mukmin yakin bahwa dunia ini fana dan semua kenikmatannya akan hancur, maka ia akan zuhud terhadapnya dan bersemangat untuk mendapatkan akhirat. 

Al-Auza’i berkata: “Barang siapa yang sering mengingat mati, ia akan merasa cukup dengan sedikit, dan barang siapa yang mengetahui bahwa setiap ucapannya adalah amalnya, maka ia akan mengurangi perkataannya.” 

Setiap kali seorang mukmin membangkitkan dalam hatinya keinginan untuk akhirat, api dunia dalam hatinya akan padam. 

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: “Tidak ada yang bisa menahan diri dari syahwat dunia kecuali orang yang hatinya sibuk dengan akhirat.”

Salah satu hal terbesar yang menyadarkan mukmin tentang kedudukan zuhud dan mendorongnya untuk bersikap zuhud adalah celaan Allah terhadap dunia dan pengingatan kepada manusia tentang kefanaannya. 

Allah Ta'ala berfirman: “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.” (QS. An-Nahl: 96). 

Al-Auza’i berkata: Aku mendengar Bilal bin Sa’d berkata: “Demi Allah, cukuplah sebagai dosa bahwa Allah Ta'ala mengingatkan kita untuk zuhud terhadap dunia, namun kita justru menginginkannya. Maka orang yang zuhud di antara kalian sebenarnya masih berkeinginan, dan orang yang bersungguh-sungguh masih kurang, dan orang alim di antara kalian masih jahil.”

Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak bersikap zuhud terhadap dunia, sementara Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita tentang kerendahannya dan kefanaannya, serta bahwa kehidupan sejati dan kekal ada di akhirat? 

Beliau bersabda: “Ya Allah, tiada kehidupan yang hakiki kecuali kehidupan akhirat.” (Muttafaq ‘alaih). 

Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu anhuma berkata: “Betapa jauhnya perilaku kalian dari perilaku Nabi kalian. 
Dia adalah orang yang paling zuhud terhadap dunia, sementara kalian adalah orang yang paling menginginkannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Barang siapa yang banyak merenungkan firman Allah, maka akan tertanam dalam hatinya sikap zuhud terhadap kenikmatan dunia. 

Ibnu Qayyim berkata: “Al-Qur’an dipenuhi dengan ajakan untuk bersikap zuhud terhadap dunia, pemberitahuan tentang rendah dan sedikitnya dunia, kefanaannya, serta pendorongan untuk akhirat dengan pemberitahuan tentang kemuliaan dan kekekalannya. 
Jika Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, Dia akan menanamkan dalam hatinya kesaksian yang memperlihatkan hakikat dunia dan akhirat, sehingga ia akan memilih yang lebih layak untuk dipilih.”

Jika jiwamu terikat dengan kenikmatan dunia dan terfitnah oleh keindahannya, renungkanlah firman Allah Ta'ala: “Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, agar Kami menguji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131). 

Ayat ini cukup sebagai nasihat dan pengingat untuk tidak terikat pada kenikmatan yang kurang dan fana, yang tidak akan bertahan lama.

Para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mendahului generasi setelah mereka dalam hal zuhud terhadap dunia.

Abdurrahman bin Zaid berkata: Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Kalian lebih banyak berpuasa, lebih banyak shalat, dan lebih banyak berjihad daripada para sahabat Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, tetapi mereka lebih baik daripada kalian.” 
Mereka bertanya: “Mengapa begitu, wahai Abu Abdurrahman?” 
Dia menjawab: “Karena mereka lebih zuhud terhadap dunia dan lebih bersemangat untuk akhirat.” 

Kisah-kisah mereka tentang zuhud sudah masyhur. 
Mu’awiyah Radhiyallahu anhu pernah mengirimkan seratus ribu dirham kepada Aisyah Radhiyallahuanha, dan pada malam itu juga, ia membagikannya kepada orang-orang. 
Pembantunya berkata kepadanya: “Seandainya engkau membeli daging dengan satu dirham untuk kami.” 
Aisyah menjawab: “Mengapa engkau tidak mengingatkanku?” 

Ketika Khalifah Umar Radhiyallahu anhu tiba di Syam, pasukan datang menyambutnya. 
Dia mengenakan kain sarung, sandal, dan sorban, serta memegang kepala untanya saat melewati air. 
Mereka berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, pasukan dan pembesar Syam datang menemuimu, sementara engkau dalam keadaan seperti ini.” 
Umar berkata: “Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, maka kita tidak akan mencari kemuliaan selain darinya.” 

Seorang pria masuk ke rumah Abu Dzar Radhiyallahu anhu dan melihat sekeliling rumahnya. 
Lalu ia bertanya: “Wahai Abu Dzar, di mana barang-barangmu?” 
Abu Dzar menjawab: “Kami memiliki rumah lain yang kami kirimkan barang-barang terbaik kami ke sana.” 
Pria itu berkata: “Namun engkau harus memiliki barang-barang selama engkau masih di sini.” 
Abu Dzar menjawab: “Pemilik rumah ini tidak akan membiarkan kami tinggal lama di sini.” 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Barang siapa yang menginginkan akhirat, ia akan merugikan dunianya. Dan barang siapa yang menginginkan dunia, ia akan merugikan akhiratnya. 
Wahai kaum, pilihlah yang fana untuk yang kekal.”

Penulis: Khalid bin Saud Al-Balihid
Semoga Allah mengampuninya
Tanggal: 5/6/1442 H

BERTAWAKAL KEPADA ALLAH TA'ALA


BERTAWAKAL KEPADA ALLAH TA'ALA 



Dr. Mehran Maher Uthman

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Aku bershalawat dan salam kepada utusan-Nya yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, junjungan kita dan nabi kita, Muhammad, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya semua. Amma ba'du:

Perintah untuk Bertawakal:

Sesungguhnya bertawakal kepada Allah adalah ibadah orang-orang yang jujur dan jalan orang-orang yang ikhlas. Allah Ta'ala memerintahkannya kepada para nabi-Nya yang diutus dan kepada wali-wali-Nya yang beriman. 

Tuhan semesta alam berfirman:

"Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-Nya." (QS. Al-Furqan: 58)

Dia juga berfirman:

"Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) pergerakanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Asy-Syu'ara: 217-220)

Allah juga memerintahkannya kepada orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam tujuh tempat di Al-Qur'an:

"Dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal." (QS. Ali Imran: 122)

Definisi Tawakal:

Apa itu tawakal? 
Secara bahasa, tawakal berarti mengandalkan orang lain dalam suatu urusan. 
Sedangkan secara istilah, tawakal adalah kejujuran hati dalam bergantung kepada Allah Ta'ala untuk mendapatkan kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan dalam urusan dunia dan akhirat. [Al-‘Ulum wa Al-Hikam oleh Ibn Rajab (409)].

Al-Jurjani rahimahullah mengatakan: "Tawakal adalah kepercayaan kepada apa yang ada di sisi Allah, dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan manusia." [Al-Ta’rifat (74)].

Tawakal dan Usaha:

Di sini perlu diperhatikan tiga hal penting:

1. Tawakal tidak menafikan usaha. Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Seorang lelaki berkata, "Ya Rasulullah, apakah aku harus mengikat unta dan kemudian bertawakal, ataukah aku lepaskan dan bertawakal?" 
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ikatlah dan kemudian bertawakal." [Sunan At-Tirmidzi].

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Orang-orang Yaman biasa pergi haji tanpa membawa bekal, dan mereka berkata, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal." 
Maka ketika mereka sampai di Mekkah, mereka meminta kepada orang-orang. Lalu Allah menurunkan ayat:
 "Dan bawalah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. Al-Baqarah: 197).

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu:
 "Jangan kau kabarkan kepada mereka (tentang jaminan masuk surga) agar mereka tidak bergantung dan mengabaikan amal." 

Ini adalah bukti bahwa usaha harus dilakukan dan tidak hanya bergantung pada takdir semata.

2. Usaha dilakukan meski tampak lemah. Oleh karena itu, Allah Ta'ala memerintahkan Nabi Ayyub 'alaihissalam untuk menghentakkan kakinya ke tanah setelah ia berdoa untuk kesembuhannya. Apakah hentakan kaki orang yang sehat bisa memancarkan air? Tidak, namun Allah ingin mengajarkan kepada kita bahwa usaha harus dilakukan meskipun tampak lemah, karena segala urusan adalah milik-Nya, dan alam semesta ini adalah ciptaan-Nya. Namun, tetap diperlukan usaha.

Dan ketika Allah ingin memberi makan Maryam, padahal dia dalam keadaan lemah, Allah memerintahkannya untuk menggoyangkan pangkal pohon kurma. Karena usaha harus dilakukan, meskipun dalam keadaan lemah.


3 .Tidak boleh bergantung sepenuhnya pada usaha, melainkan harus mengandalkan Allah Ta’ala.
 Lakukan usaha, walaupun kecil, dan ketahuilah bahwa Allah adalah Pencipta segala sebab. 
Jika Allah berkehendak untuk memutus hubungan antara sebab dan akibatnya, Dia akan melakukannya.
 Contohnya, ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api, dia tidak terbakar karena Allah telah menetapkan demikian.
 Begitu pula dengan Ismail ketika ayahnya menggerakkan pisau di lehernya—padahal pisau adalah alat untuk memutus nyawa—tetapi nyawanya tidak hilang karena Allah tidak mengizinkannya.

Oleh karena itu, jangan bergantung kecuali kepada Allah, tetapi tetap lakukan usaha, karena Allah menetapkan urusan melalui sebab-sebabnya.


Bertawakal kepada Allah ditekankan dalam beberapa keadaan:

Seorang Muslim harus bertawakal kepada Allah dalam semua urusannya, dan ada situasi-situasi tertentu yang mengharuskannya bertawakal lebih kuat, seperti yang disebutkan oleh Al-Firuzabadi dalam Basha'ir Dzawit Tamyiz dari keajaiban Al-Qur'an. 
Beberapa di antaranya adalah:

1. Saat akan tidur: 
Dari Al-Bara' bin 'Azib radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
"Jika kamu hendak tidur, berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di sisi kananmu dan ucapkan: 'Ya Allah, aku menyerahkan wajahku kepada-Mu, menyerahkan urusanku kepada-Mu, dan bersandar pada-Mu, baik dengan harapan maupun takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan penyelamatan dari-Mu kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus. Jika kamu meninggal malam itu, maka kamu mati di atas fitrah, dan jadikanlah ini sebagai ucapan terakhir yang kamu ucapkan.’" [HR. Bukhari dan Muslim].


2. Saat menghadapi kesulitan ekonomi: Dalam Jami' At-Tirmidzi, dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa ditimpa kesulitan, lalu dia meminta bantuan kepada manusia, maka kesulitannya tidak akan teratasi. Dan barangsiapa meminta bantuan kepada Allah, maka Allah akan segera memberinya rezeki, baik cepat atau lambat."


3. Saat berpaling dari musuh: 
Allah berfirman:
 "Berpalinglah dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai pelindung." (QS. An-Nisa: 81).


4. Saat manusia berpaling darimu:
 Allah berfirman: 
"Jika mereka berpaling, katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang menguasai 'Arsy yang agung.'" (QS. At-Taubah: 129).


5. Saat berdamai dengan musuh: 
Allah berfirman: 
"Jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah pula kepadanya dan bertawakallah kepada Allah." (QS. Al-Anfal: 61).


6. Saat menghadapi musuh:
 Allah berfirman: 
"Rasul-rasul mereka berkata: 'Apakah ada keraguan tentang Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia mengajak kalian untuk mengampuni dosa-dosa kalian dan menangguhkan kalian hingga waktu yang ditentukan.'
 Mereka berkata: 'Kalian hanyalah manusia seperti kami, kalian ingin menghalangi kami dari apa yang disembah oleh nenek moyang kami. Datangkanlah bukti nyata kepada kami!' 
Rasul-rasul mereka menjawab: 'Kami hanyalah manusia seperti kalian, tetapi Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.
 Tidaklah mungkin bagi kami mendatangkan bukti kepada kalian kecuali dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang beriman bertawakal. Mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah, padahal Dia telah menunjukkan jalan kami? Kami akan bersabar terhadap gangguan yang kalian berikan kepada kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang bertawakal, bersandar.'" (QS. Ibrahim: 10-12).


7. Saat menghadapi musibah dan kesulitan:
 Allah berfirman:
 "Katakanlah: 'Tidak ada yang akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk kami. Dia adalah pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang beriman bertawakal.'" (QS. At-Taubah: 51).


Dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika menghadapi kesulitan:
 "Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun. Tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan 'Arsy yang agung. Tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan langit, Tuhan bumi, dan Tuhan 'Arsy yang mulia."

Dalam Sunan Abu Dawud, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Doa orang yang sedang dalam kesulitan adalah: 'Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan, jangan biarkan aku bersandar kepada diriku sendiri walau sekejap mata, dan perbaikilah seluruh urusanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau.'”

8. Saat keluar rumah:
 Dalam Sunan Abu Dawud, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 
"Ketika seseorang keluar dari rumahnya, lalu ia mengucapkan: ‘Bismillah, tawakkaltu ‘ala Allah, laa hawla wa laa quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah),’ maka akan dikatakan padanya: ‘Engkau telah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi.’ Maka, setan-setan pun menjauh darinya, dan setan yang lain berkata: ‘Bagaimana mungkin engkau bisa mencelakai seseorang yang telah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi?’”

9. Ketika rasa sial merasuk dalam hati: Dalam Sunan, dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
 “At-tiyarah (beranggapan sial) adalah syirik, at-tiyarah adalah syirik, at-tiyarah adalah syirik.”
 Ibnu Mas'ud berkata: "Tidak ada dari kami yang terhindar darinya, namun Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakal."

Seorang Muslim sejati harus senantiasa berlindung kepada Allah Ta’ala dalam segala keadaannya. Tidak ada yang lebih sengsara dari seorang hamba yang diserahkan kepada dirinya sendiri. Allah berfirman: "Bertawakallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pelindung." (QS. An-Nisa: 81).


Contoh tawakal para nabi dan orang saleh:

1. Ketika kafilah melewati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya di Humaida' Asad, mereka memberi kabar bahwa Abu Sufyan sedang mengumpulkan pasukan untuk melawan mereka setelah perang Uhud. 
Mereka berkata: "Sesungguhnya manusia telah berkumpul melawan kalian, maka takutlah kepada mereka."
 Maka ucapan itu justru menambah keimanan kaum Muslimin, dan mereka berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung." 
Maka mereka kembali dengan karunia dan nikmat dari Allah, tanpa sedikitpun mengalami keburukan, dan mereka mengikuti keridhaan Allah. Allah memiliki karunia yang besar." (QS. Ali Imran: 173-174).


Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa ia berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung,” ini adalah ucapan Ibrahim 'alaihissalam ketika ia dilempar ke dalam api, dan juga ucapan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau: "Sesungguhnya manusia telah berkumpul melawan kalian, maka takutlah kepada mereka."

2. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma: Bahwa ia ikut serta dalam peperangan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Najd. 
Ketika Rasulullah kembali, mereka sampai di sebuah lembah yang penuh dengan pepohonan berduri. Rasulullah turun dari tunggangannya, dan para sahabatnya berpencar di bawah pohon-pohon berduri untuk berteduh. 
Rasulullah turun di bawah sebatang pohon Samurah (sejenis pohon akasia) dan menggantungkan pedangnya di sana. Kemudian, kami tertidur. 
Tiba-tiba Rasulullah memanggil kami, dan ketika kami mendatanginya, kami mendapati seorang badui sedang duduk di dekat beliau. 
Rasulullah bersabda: "Orang ini telah menghunus pedangku ketika aku sedang tidur. Aku terbangun, dan pedang itu berada di tangannya, lalu dia berkata: 'Siapa yang akan melindungimu dariku?' Aku menjawab: 'Allah.' 
Maka inilah dia, duduk di sini." 
Rasulullah tidak menghukumnya. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).


3. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Abu Bakar Ash-Shiddiq menceritakan bahwa ketika ia bersama Rasulullah di dalam gua saat hijrah, ia berkata: “Aku melihat kaki-kaki kaum musyrikin tepat di atas kami, dan aku berkata: 'Ya Rasulullah, seandainya salah satu dari mereka melihat ke bawah, pasti ia akan melihat kita di bawah kakinya.'” Rasulullah menjawab: 'Wahai Abu Bakar, bagaimana menurutmu tentang dua orang, di mana Allah adalah yang ketiga bersama mereka?’ (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Tentang peristiwa ini, Allah berfirman: "Ketika dia berkata kepada sahabatnya: ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepadanya dan membantunya dengan tentara yang tidak kalian lihat. Allah menjadikan kalimat orang-orang kafir itu rendah, dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 40).

4. Ketika Suraqah bin Malik mengejar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa hijrah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepadanya bahwa ia akan mengenakan gelang kekaisaran Kisra. Rasulullah bersabda kepadanya: "Seolah-olah aku melihatmu memakai gelang Kisra." (Diriwayatkan oleh Sunan Al-Baihaqi).

Betapa besar kepercayaan yang memenuhi hati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!

5. Allah Ta'ala berfirman tentang Nabi Hud 'alaihissalam: 
"Mereka berkata: Wahai Hud, engkau tidak datang kepada kami dengan bukti yang jelas, dan kami tidak akan meninggalkan sesembahan kami hanya karena perkataanmu, dan kami tidak akan mempercayaimu. 
Kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan keburukan padamu. 
Hud berkata: Sesungguhnya aku mempersaksikan Allah, dan saksikanlah bahwa aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, selain dari-Nya. 
Maka rencanakanlah tipu dayamu terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. 
Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Tidak ada satu pun makhluk bergerak melata melainkan Dia memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku berada di jalan yang lurus." (QS. Hud: 53-56).

Artinya: Rencanakanlah segala daya upaya kalian, dan jangan ada satu pun dari kalian yang mundur.


6. Allah Ta'ala berfirman tentang Nabi Nuh 'alaihissalam: 
"Dan bacakanlah kepada mereka kisah Nuh ketika dia berkata kepada kaumnya: 'Wahai kaumku, jika kedudukanku dan peringatanku dengan ayat-ayat Allah terasa berat bagi kalian, maka kepada Allah-lah aku bertawakal. 
Maka kumpulkanlah urusan kalian dan sekutu-sekutu kalian, kemudian janganlah keputusan kalian itu masih tersembunyi, lalu putuskanlah terhadap diriku dan jangan memberi tangguh kepadaku." (QS. Yunus: 71).

Makna ayat: Persiapkanlah rencana kalian, dan panggillah sekutu-sekutu kalian, lalu jangan biarkan urusan kalian tersembunyi, melainkan nyatakanlah secara terbuka, kemudian laksanakanlah keputusan kalian terhadapku, dan jangan menangguhkannya.


7. Allah Ta'ala berfirman tentang Nabi Ya'qub 'alaihissalam: 
"Ya'qub berkata: 'Aku tidak akan mengutusnya bersama kalian sebelum kalian memberikan jaminan kepadaku dengan nama Allah bahwa kalian akan membawanya kembali kepadaku, kecuali jika kalian dikepung (oleh musuh). Ketika mereka memberikan jaminan kepada-Nya, Ya'qub berkata: 'Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.' Dan dia berkata: 'Wahai anak-anakku, janganlah kalian masuk dari satu pintu, tetapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda-beda. Namun, aku tidak dapat menolak sedikit pun ketetapan Allah. Keputusan hanya milik Allah. Kepada-Nya aku bertawakal, dan kepada-Nya hendaknya orang-orang yang bertawakal berserah diri.'" (QS. Yusuf: 66-67).


8. Allah Ta'ala berfirman tentang Nabi Musa 'alaihissalam: 
"Maka Fir'aun mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota (untuk mengumpulkan pasukan), seraya berkata: 'Sesungguhnya mereka hanyalah segelintir orang, dan mereka sungguh membuat kita marah, dan kita semua benar-benar waspada terhadap mereka.' Maka Kami keluarkan mereka (Fir'aun dan kaumnya) dari taman-taman dan mata air, dari harta kekayaan dan kedudukan yang mulia. Demikianlah, dan Kami wariskan semua itu kepada Bani Israil. Maka mereka mengejar mereka ke arah timur. 
Ketika kedua kelompok itu saling melihat, pengikut Musa berkata: 'Kita benar-benar akan tersusul.' 
Musa menjawab: 'Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.'" (QS. Asy-Syu'ara: 53-62).

Kondisinya: Laut di depannya, Fir'aun di belakangnya, dan gunung-gunung tinggi terlihat di kanan dan kirinya. Namun Musa tetap berkata: "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku."


9. Allah Ta'ala berfirman tentang seorang mukmin dari keluarga Fir'aun: 
"Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.' 
Maka Allah melindunginya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun serta kaumnya dikepung oleh azab yang buruk. Mereka akan dihadapkan ke neraka pada pagi dan petang, dan pada hari Kiamat: 'Masukkanlah keluarga Fir'aun ke dalam azab yang paling keras.'" (QS. Ghafir: 44-46).

Maknanya: "Aku berlindung kepada-Nya, menyerahkan segala urusanku kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya dalam segala urusan yang menjadi kepentinganku, serta dalam menghadapi segala bahaya yang akan menimpaku dari kalian atau dari yang lainnya" (Tafsir As-Sa'di, hal. 738).


10. Ketika ibunda Musa menyerahkan urusannya kepada Allah, Allah menjaga anaknya dan mengembalikannya kepadanya.
Allah berfirman: 
"Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa: 'Susuilah dia, dan jika engkau khawatir terhadapnya, maka hanyutkanlah dia ke sungai, dan janganlah engkau takut dan janganlah bersedih hati. Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari rasul-rasul Kami.' Maka keluarga Fir'aun memungutnya, agar kelak dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun, Haman, dan tentara mereka adalah orang-orang yang bersalah." (QS. Al-Qasas: 7-8).



            Buah dari tawakal:

= Kemenangan:

Allah Ta'ala berfirman: "Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada yang dapat mengalahkan kalian. Tetapi jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapa lagi yang dapat menolong kalian setelah itu? Dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal." (QS. Ali Imran: 160).

Perintah Allah untuk bertawakal setelah menyebutkan kemenangan adalah untuk menunjukkan bahwa salah satu penyebab kemenangan adalah bergantung kepada-Nya.

= Perlindungan dari setan yang terkutuk:

 Allah Ta'ala berfirman:
 "Sesungguhnya setan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya." (QS. An-Nahl: 99).

= Keberanian: 
Barang siapa yang hatinya penuh dengan tawakal kepada Allah, maka dari apa ia akan merasa takut? 
Oleh karena itu, pemimpin para orang yang bertawakal adalah pemimpin para pemberani. Dalam hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik dan paling pemberani.

 Pada suatu malam, penduduk Madinah dikejutkan oleh suara yang menakutkan, sehingga mereka keluar menuju suara itu. Namun, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menemui mereka setelah memastikan keadaan. 
Beliau menunggangi kuda milik Abu Thalhah tanpa pelana, dan di lehernya terdapat pedang. 
Beliau bersabda: 'Jangan takut, jangan takut,' kemudian beliau berkata: 'Kami mendapati kuda ini seperti lautan (begitu cepat).'"

= Tidak dihinghapi rasa takut'
 artinya tidak ada rasa takut yang menetap atau yang membuat kalian gentar. 'Kami mendapati kuda ini seperti lautan' artinya kuda tersebut cepat dan luas gerakannya.

Dalam kitab "Az-Zuhd" karya Hunaad bin As-Sari disebutkan bahwa Syaqiq bin Salamah Abu Wa'il berkata: "Kami keluar pada malam yang menakutkan, dan kami melewati semak belukar yang padat, di mana ada seseorang yang sedang tidur, dan kudanya terikat di dekat kepalanya sambil merumput. Kami membangunkannya dan berkata: 'Bagaimana engkau bisa tidur di tempat seperti ini?' Dia mengangkat kepalanya dan berkata: 'Sesungguhnya aku malu kepada Dzat Yang Maha Bersemayam di 'Arsy jika Dia mengetahui bahwa aku takut kepada sesuatu selain Dia,' lalu dia kembali meletakkan kepalanya dan tidur."

= Rezeki: 
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberikan rezeki sebagaimana burung diberi rezeki; mereka pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.'"

Tafsir: "Mereka pergi pada pagi hari" artinya mereka keluar di awal hari, dan "kembali pada sore hari" artinya mereka kembali di akhir hari.

= Bukti keimanan yang benar: 
Allah Ta'ala berfirman: 
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambah iman mereka, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal." (QS. Al-Anfal: 2).

Dalam tujuh tempat di Al-Qur'an disebutkan: "Dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal."

Said bin Jubair rahimahullah berkata: "Tawakal kepada Allah adalah inti dari keimanan." (Az-Zuhd, Hunaad).

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: "Tawakal adalah setengah dari agama, dan setengah lainnya adalah inabah (kembali kepada Allah); karena agama terdiri dari meminta pertolongan dan beribadah. Tawakal adalah meminta pertolongan, dan inabah adalah ibadah." (Madarij As-Salikin, 2/118).

Kecukupan, perlindungan, dan penjagaan: Allah Ta'ala berfirman: 
"Bertawakallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai Pelindung." (QS. An-Nisa: 81).

Dan Allah juga berfirman: 
"Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya." (QS. At-Talaq: 3).

Dan Dia berfirman: 
"Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Anfal: 49).



Dalam Kitab "At-Tawakkul" karya Ibnu Abi Ad-Dunya: 
Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abdullah bahwa ketika seorang lelaki berada di kebun di Mesir pada masa fitnah Ibnuz Zubair, dia sedang duduk dengan kesedihan, sambil memegang sesuatu untuk menggurat tanah. 
Tiba-tiba dia melihat seorang lelaki yang membawa cangkul lewat, lalu lelaki itu berkata kepadanya: "Wahai kamu, mengapa aku melihatmu bersedih dan murung?" 
Lelaki yang sedih itu merasa meremehkannya dan berkata: "Tidak ada apa-apa."

Orang yang membawa cangkul berkata: "Apakah karena dunia? Dunia hanyalah kesenangan yang hadir sesaat, yang dinikmati oleh orang yang baik dan orang yang jahat. 
Sedangkan akhirat adalah janji yang pasti, di mana raja yang berkuasa akan memutuskan di antara yang benar dan yang salah."

Ketika mendengar ini, lelaki yang sedih itu tampak terkesan dan berkata: "Karena apa yang terjadi pada kaum Muslimin."

Orang yang membawa cangkul itu berkata: "Sesungguhnya Allah akan menyelamatkanmu karena kasih sayangmu kepada kaum Muslimin. Bertanyalah, siapakah yang memohon kepada Allah dan tidak diberi-Nya? Siapakah yang berdoa kepada-Nya dan tidak dijawab-Nya? 
Dan siapa yang bertawakal kepada-Nya dan tidak dicukupi-Nya? 
Atau siapa yang percaya kepada-Nya dan tidak diselamatkan oleh-Nya?"

Maka, lelaki itu berdoa: 'Ya Allah, selamatkan aku dan selamatkan kaum Muslimin dariku,' 
lalu fitnah itu berlalu, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang terkena dampaknya.

= Mencapai cinta Allah: 
Allah Ta'ala berfirman: 
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal." (QS. Ali 'Imran: 159).

= Buah terbesar adalah surga Allah: 
Allah Ta'ala berfirman:
 "Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, benar-benar akan Kami tempatkan mereka di kamar-kamar (dalam surga) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. (Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal." (QS. Al-Ankabut: 58-59).

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
"Diperlihatkan kepadaku umat-umat. 
Aku melihat seorang nabi bersama sekelompok kecil pengikutnya, seorang nabi bersama satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak memiliki pengikut sama sekali. 
Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekumpulan orang yang sangat banyak, dan aku mengira mereka adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku: 'Ini adalah Musa dan kaumnya. 
Tetapi lihatlah ke arah cakrawala.' Maka aku melihat, ternyata ada sekumpulan orang yang sangat banyak. 
Lalu dikatakan kepadaku: 'Lihatlah ke arah cakrawala yang lain.' 
Ternyata ada sekumpulan orang yang sangat banyak juga. 
Dikatakan kepadaku: 'Ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab.'"

Kemudian Nabi bangkit dan masuk ke rumahnya. 
Orang-orang pun membicarakan siapa mereka yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. 
Sebagian dari mereka berkata: "Mungkin mereka adalah orang-orang yang mendampingi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." 
Sebagian lainnya berkata: "Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak pernah menyekutukan Allah," 
dan mereka menyebutkan beberapa hal. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dan bertanya: 
"Apa yang kalian bicarakan?" 
Mereka pun memberitahunya. 
Beliau bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak menggunakan kay untuk pengobatan, tidak meramal, dan hanya bertawakal kepada Tuhan mereka."


Tawakal Hanya Boleh kepada Allah:

Diperbolehkan untuk mengatakan, "Kalau bukan karena Allah, kemudian si fulan," 
jika si fulan adalah sebab, 
namun tidak diperbolehkan mengatakan, "Aku bertawakal kepada Allah, kemudian kepadamu," 
dan yang lebih buruk dari itu adalah mengatakan, "Aku bertawakal kepada Allah dan kepadamu." 

Sebab Allah Ta'ala berfirman: 
"Dan kamu bukanlah wakil atas mereka." (QS. Al-An'am: 107)

 dan berfirman; 
"Janganlah kamu mengambil selain Aku sebagai wakil." (QS. Al-Isra: 2). 

Allah juga berfirman: 
"Dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal." (QS. Ibrahim: 11).

Mendahulukan sesuatu yang seharusnya diakhirkan menunjukkan pengkhususan. Jadi, meminta bantuan kepada selain Allah dalam hal-hal yang masih dapat dilakukan adalah tidak masalah, tetapi tawakal adalah amalan hati yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Ta'ala.

Semoga Allah Yang Maha Tinggi memenuhi hati kita dengan kebergantungan kepada-Nya.

Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya semua.



Rabu, 18 September 2024

AGAMA ADALAH NASIHAT



AGAMA ADALAH NASIHAT 



Ditulis oleh: Abduh Qa’id Al-Dharibi

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.

Adapun setelah itu:

Sesungguhnya nasihat memiliki arti yang sangat besar. Ia adalah tiang dan landasan agama. Dengan nasihat, manusia menjadi baik, keamanan tercapai, dan kesejahteraan menyebar di seluruh negeri.

Karena pentingnya nasihat dalam agama Islam, kami ingin membahasnya melalui beberapa poin berikut:

1. **Agama adalah nasihat.**
2. Definisi nasihat.
3. Pentingnya nasihat.
4. Kepada siapa nasihat ditujukan?
5. Hukum nasihat.
6. Syarat-syarat nasihat.
7. Etika dalam memberikan nasihat.
8. Faktor-faktor yang memengaruhi diterimanya nasihat.
9. Contoh nasihat yang luar biasa dari para pendahulu.

Berikut adalah rincian dari poin-poin tersebut:

     Poin Pertama: Agama adalah Nasihat

Diriwayatkan dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Al-Dari - semoga Allah meridhoinya - bahwa Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda: 
“Agama adalah nasihat.” 
Kami bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” 
Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan seluruh umatnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini diriwayatkan oleh lima sahabat besar, yaitu: Tamim bin Aus Al-Dari, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Tsauban, dan Ibnu Abbas - semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini menunjukkan betapa pentingnya nasihat.

Selain itu, terdapat hadits-hadits lain yang juga mendorong untuk memberikan nasihat, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, termasuk Jarir bin Abdullah, Hudzaifah bin Yaman, Anas bin Malik, Abu Umamah, Abu Ayyub, dan lainnya - semoga Allah meridhoi mereka semua.

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam - menjelaskan bahwa nasihat mencakup seluruh agama. Hal ini karena seluruh agama adalah nasihat; seperti shalat, puasa, amar ma'ruf nahi munkar, menyebarkan salam, dan berbicara dengan baik, semuanya adalah bentuk nasihat. Ibnu Rajab - rahimahullah - ketika menjelaskan hadits ini berkata:
 “Ini menunjukkan bahwa nasihat mencakup sifat-sifat Islam, iman, dan ihsan yang disebutkan dalam hadits Jibril - 'alaihis salam - dan semuanya disebut sebagai agama.”[1]

Al-Nawawi - rahimahullah - mengatakan tentang hadits ini: 
“Hadits ini sangat agung, dan di atasnya Islam dibangun... Adapun yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa ini adalah salah satu dari empat hadits yang menjadi pokok Islam, itu tidak benar. Pokok Islam hanya bergantung pada hadits ini saja.”[2]


          Poin Kedua: Definisi Nasihat

1. Secara Bahasa: 
Nasihat diambil dari kata “nashaha” yang berarti menyesuaikan dua hal dan memperbaikinya. 
Asalnya dari kata “nashah”, yaitu penjahit. Nasihat adalah kebalikan dari tipu daya. Dikatakan: "Aku memberikan nasihat kepadanya."

Al-Raghib berkata:
 "Nasihat diambil dari perkataan: Aku memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya, atau dari perkataan: 
Aku menjahit pakaian tersebut.”

Ibnu Manzhur berkata: 
"Nashaha berarti murni, dan nasih adalah sesuatu yang murni dari pekerjaan atau lainnya.”[3]

2. Secara Istilah: 
Al-Khattabi - rahimahullah - berkata: "Nasihat adalah sebuah ungkapan yang mencakup niat untuk memberikan kebaikan kepada orang yang dinasihati.”[4]

Al-Raghib - rahimahullah - berkata:
 “Nasihat adalah usaha dalam ucapan atau perbuatan yang membawa perbaikan bagi orang yang dinasihati.”[5]

Muhammad bin Nashr - rahimahullah - berkata: 
“Sebagian ulama mengatakan bahwa inti dari nasihat adalah perhatian hati terhadap orang yang dinasihati, siapapun dia.”[6]

Al-Jurjani - rahimahullah - berkata: 
“Nasihat adalah ajakan kepada sesuatu yang mengandung kebaikan dan mencegah dari hal-hal yang merusak.”[7]


          Poin Ketiga: Pentingnya Nasihat

Nasihat memiliki arti yang sangat besar dalam Islam, dan pentingnya nasihat terlihat dari beberapa hal berikut:

Pertama: 
Nasihat adalah tiang agama dan landasannya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam: “Agama adalah nasihat.”

Kedua:
 Nasihat adalah salah satu tugas para nabi. Allah - Maha Suci Dia - dalam Al-Qur'an mengisahkan perkataan Nabi Nuh - 'alaihissalam - kepada kaumnya: 
_"Aku sampaikan kepada kalian risalah-risalah Tuhanku, dan aku menasihati kalian, serta aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketahui."_ (Al-A'raf: 62).

 Allah juga berfirman tentang Nabi Hud - 'alaihissalam -:
 _"Aku sampaikan kepada kalian risalah-risalah Tuhanku, dan aku adalah pemberi nasihat yang terpercaya untuk kalian."_ (Al-A'raf: 68). 

Demikian pula firman-Nya tentang Nabi Saleh - 'alaihissalam -: _"Wahai kaumku, sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian risalah Tuhanku dan aku telah menasihati kalian."_ (Al-A'raf: 79). 

Dan tentang Nabi Syu’aib - 'alaihissalam -: _"Sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian risalah Tuhanku dan aku telah menasihati kalian."_ (Al-A'raf: 93).

 Inilah cara yang ditempuh oleh para nabi dan juga diikuti oleh para ulama, wali-wali Allah, serta orang-orang saleh.

Ketiga:
 Nabi Muhammad - shalallahu 'alaihi wa sallam - mengambil baiat untuk memberikan nasihat.

 Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah - semoga Allah meridhoinya - bahwa ia berkata: 
_"Aku berbaiat kepada Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menasihati setiap Muslim."_ (HR. Bukhari dan Muslim). 

Nasihat dihubungkan dengan shalat dan zakat, oleh karena itu Nabi - shalallahu 'alaihi wa sallam - mengambil baiat atasnya.

Keempat: 
Nasihat adalah tanda kebaikan. 
Allah berfirman: 
_"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah."_ (Ali 'Imran: 110).

 Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab - semoga Allah meridhoinya - berkata: _"Tidak ada kebaikan pada suatu kaum yang tidak saling menasihati, dan tidak ada kebaikan pada kaum yang tidak menyukai nasihat."_ [8] 

Maka nasihat adalah tanda kebaikan bagi yang melakukannya dan bagi yang menerima nasihat.

Kelima:
 Orang yang memberikan nasihat adalah khalifah Allah di bumi-Nya. Al-Hasan Al-Bashri - rahimahullah - berkata:
 _"Masih ada hamba-hamba Allah yang menasihati karena Allah kepada makhluk-Nya, dan mereka menasihati makhluk-Nya mengenai hak Allah atas mereka. Mereka bekerja di bumi dengan memberikan nasihat, mereka itulah para khalifah Allah di bumi."_ [9]

Keenam:
Nasihat adalah salah satu sifat orang-orang beriman yang sejati. 
_"Orang beriman itu suka menasihati, sedangkan orang munafik suka menipu."_

Ketujuh:
 Nasihat adalah bukti cinta dan persaudaraan. Al-Harith Al-Muhasibi - rahimahullah - berkata: 
_"Ketahuilah, siapa yang menasihatimu, dia mencintaimu. Siapa yang membiarkanmu, dia telah menipumu. Dan siapa yang tidak menerima nasihatmu, dia bukanlah saudaramu."_ [10]


       Poin Keempat: Untuk Siapa Nasihat Itu Diberikan?

Ketika para sahabat - semoga Allah meridhoi mereka - mendengar Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda: _"Agama adalah nasihat,"_ 
mereka bertanya: "Untuk siapa wahai Rasulullah?" Maka beliau menjawab bahwa nasihat diberikan kepada lima golongan:

**Golongan pertama:** 
_"Untuk Allah."_ 
Bagaimana nasihat kepada Allah? Itu dilakukan dengan beriman kepada-Nya dengan iman yang sebenarnya, meyakini bahwa Dia memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang sempurna, menafikan segala kekurangan dari-Nya, melaksanakan kewajiban-Nya, menjauhi larangan-Nya, mengakui nikmat-nikmat-Nya, dan bersyukur atasnya.

**Golongan kedua:**
 _"Untuk kitab-Nya."_ 
Yaitu dengan beriman bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah, dijaga dari perubahan dan penyelewengan hingga hari kiamat, menjadi penghapus kitab-kitab sebelumnya, menerapkannya dalam setiap urusan, mempelajari dan mengajarkannya, serta menjaga batasan-batasannya.

**Golongan ketiga:**
 _"Untuk Rasul-Nya."_ 
Yaitu dengan membenarkan risalahnya, meyakini bahwa beliau adalah nabi terbaik dan penutup para nabi, menaati perintah dan larangannya, mendukungnya baik semasa hidup maupun setelah wafat, memusuhi siapa saja yang memusuhinya, mencintai siapa saja yang mencintainya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan dakwahnya, menjaga syariatnya, membela kehormatannya, mencintai keluarganya dan para sahabatnya, serta menjauhi orang-orang yang berbuat bid’ah dalam agamanya.

**Golongan keempat:** 
_"Untuk para pemimpin kaum Muslimin."_ Ada dua kelompok yang dimaksud sebagai pemimpin kaum Muslimin di sini:

Kelompok pertama: 
Penguasa Muslim yang adil. 
Nasihat kepada mereka adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka selama dalam ketaatan kepada Allah, menjauhkan kedzaliman dari mereka, dan menyatukan umat di bawah kepemimpinan mereka selama mereka menegakkan perintah Allah.

Kelompok kedua:
 Para ulama. 
Nasihat kepada mereka diberikan dengan cara menyebarkan ilmu mereka, berbaik sangka kepada mereka, menghormati dan menghargai mereka, memberikan hak-hak mereka, serta membela mereka dan hal-hal semacam itu.

**Golongan kelima:** 
_"Kepada umat umum."_ 
Nasihat kepada mereka adalah dengan menuntun mereka untuk beribadah kepada Pencipta mereka, mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, memperingatkan mereka dari hal-hal yang membahayakan, menahan diri dari menyakiti mereka, menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, melindungi harta dan kehormatan mereka, mencintai mereka sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan hal-hal yang serupa.


          Poin Kelima: Hukum Nasihat

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nasihat menjadi tiga pandangan:

**Pandangan pertama:
Bahwa nasihat adalah kewajiban individu (fardhu 'ain). Ini adalah pendapat Ibn Hazm az-Zahiri[11].

**Pandangan kedua:
 Nasihat adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Ini adalah pandangan Ibn Battal[12].

**Pandangan ketiga:
 Nasihat adalah kewajiban pada satu sisi dan sunnah di sisi lain. 
Nasihat yang wajib adalah memberikan perhatian penuh terhadap perintah Allah dalam melaksanakan yang wajib dan menjauhi yang haram, sedangkan yang sunnah adalah mengutamakan cinta kepada Allah daripada kepentingan diri sendiri. Ini adalah pendapat Ibn Rajab[13].

Ibn Rajab - rahimahullah - menjelaskan pandangannya ini dengan mengatakan: _"Yang wajib adalah menghindari larangan Allah, melaksanakan kewajiban dengan seluruh anggota tubuhnya semaksimal yang ia mampu. 
Sedangkan nasihat yang sunnah adalah mengerahkan segala usaha untuk mengutamakan Allah di atas segala yang dicintai, baik dengan hati maupun seluruh anggota tubuh, sehingga tidak ada kelebihan pada dirinya dibanding orang lain; karena jika seorang yang menasihati bersungguh-sungguh, dia tidak akan mengutamakan dirinya atas orang lain, dan ia akan melakukan segala sesuatu yang membuatnya bahagia dan dicintai Allah. Demikian pula orang yang memberikan nasihat untuk Rabb-nya."_ [14]

Ibn Battal - rahimahullah - berkata: _"Nasihat adalah kewajiban kolektif yang jika sebagian orang telah melakukannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Nasihat wajib dilakukan sejauh kemampuan jika si pemberi nasihat mengetahui bahwa nasihatnya akan diterima, diperhatikan, dan ia aman dari bahaya. 
Namun, jika ia khawatir akan bahaya, maka ia berada dalam kelonggaran untuk tidak melakukannya."_ [15]

Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa pada dasarnya nasihat adalah fardhu kifayah; jika telah dilakukan oleh sebagian, maka gugur kewajiban dari yang lain. Namun, nasihat menjadi fardhu 'ain dalam kondisi berikut:

Kondisi pertama: 
Jika seorang Muslim memintanya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah - semoga Allah meridhoinya - bahwa Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda: _"Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam." 
Ditanyakan: "Apa saja itu, wahai Rasulullah?" 
Beliau menjawab:
 "Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam; jika ia mengundangmu, maka penuhilah; jika ia meminta nasihatmu, maka berikanlah nasihat; jika ia bersin dan memuji Allah, maka doakanlah; jika ia sakit, maka jenguklah; dan jika ia meninggal, maka iringilah jenazahnya."_ (HR. Muslim).

Perkataan beliau:
 _"Jika ia meminta nasihatmu, maka berikanlah nasihat,"_ menunjukkan kewajiban memberikan nasihat bagi yang memintanya dan tidak boleh menipunya.

Kondisi kedua: 
Ketika melihat kemungkaran yang diabaikan oleh orang lain, sedangkan hanya dirinyalah yang mengetahuinya, selama tidak menyebabkan kemungkaran yang lebih besar. 

Rasulullah - shalallahu 'alaihi wa sallam - bersabda:
 _"Siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."_ (HR. Muslim).

Sabda beliau: 
_"Hendaklah ia mengubahnya"_ adalah perintah, dan perintah menunjukkan kewajiban. Maka, siapa yang melihat kemungkaran dan mampu mengubahnya, wajib baginya untuk melakukannya.

Kondisi ketiga:
 Jika seseorang mengetahui suatu bahaya yang tidak diketahui oleh orang lain dan tidak ada yang menyadarinya selain dirinya, maka wajib baginya untuk memberikan nasihat secara pribadi. 

Hal ini didasarkan pada firman Allah: _"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari manusia."_ (Al-Maidah: 67).

 Karena Nabi - shalallahu 'alaihi wa sallam - adalah satu-satunya manusia yang mengetahui kebaikan tersebut, maka menjadi kewajiban baginya untuk menyampaikannya.

 Imam Nawawi - rahimahullah - berkata: _"Terkadang kewajiban amar ma'ruf nahi munkar menjadi kewajiban individu (fardhu 'ain), seperti jika berada di tempat yang hanya diketahui oleh dirinya atau jika hanya ia yang mampu menghilangkannya, atau ketika seseorang melihat istrinya, anaknya, atau pelayannya melakukan suatu kemungkaran atau lalai dalam melakukan kebaikan."_ [16]


        Poin Keenam: Syarat-syarat Nasihat

Para ulama - rahimahumullah - menyebutkan beberapa syarat terkait nasihat bagi pemberi nasihat dan penerima nasihat, di antaranya sebagai berikut:

Syarat pertama:
 Islam
Pada dasarnya, pemberi nasihat haruslah seorang Muslim yang memahami apa yang dinasihatkan dan apa yang dilarang.
 Adapun bagi penerima nasihat, beberapa ulama berpendapat bahwa ia juga harus seorang Muslim. 

Imam Ahmad - rahimahullah - berkata: "Tidak ada kewajiban bagi Muslim untuk menasihati dzimmi" (non-Muslim yang hidup dalam perlindungan negara Islam)[17].

 Mereka berlandaskan pada hadits Jariir bin Abdullah - radhiyallahu 'anhu - yang menyebutkan:
 "Dan nasihat untuk setiap Muslim" (HR. Bukhari).

Ibnu Hajar - rahimahullah - berpendapat bahwa Islam bukanlah syarat mutlak, dan pembatasan pada Muslim lebih kepada kasus mayoritas.
 Ia berkata bahwa nasihat kepada orang kafir juga diperbolehkan dengan syarat mengajaknya kepada Islam dan menunjukkan kepadanya hal yang benar[18].

Syarat kedua dan ketiga: 
Baligh dan berakal
Disyaratkan pula bahwa pemberi nasihat harus sudah baligh dan berakal, karena baligh dan akal adalah dasar kewajiban agama. 

Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam - bersabda: "Diangkat pena dari tiga golongan: anak kecil hingga ia baligh..." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam "Shahih Ibnu Majah", no. 1660).


        PoinKetujuh: Adab Nasihat

**Pertama: Ikhlas karena Allah Ta'ala**  

Nasihat harus dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah - azza wa jalla. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:  
_"Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas, dengan menjalankan agama yang lurus, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; itulah agama yang benar"_ (QS. Al-Bayyinah: 5),  

dan firman-Nya:  
_"Sungguh, Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan kebenaran, maka sembahlah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama"_ (QS. Az-Zumar: 2).

**Kedua: Lemah lembut dan santun**  

Pemberi nasihat hendaknya bersikap lemah lembut dan santun, sebagaimana sabda Nabi - shallallahu 'alaihi wa sallam -:  
_"Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan mencemarkannya"_ (HR. Muslim).

Allah juga menafikan sifat kasar dan keras hati dari Nabi-Nya, sebagaimana firman-Nya:  
_"Maka berkat rahmat dari Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu"_ (QS. Ali Imran: 159).

Abdul Aziz bin Abi Rawad berkata:  
_"Dahulu orang-orang sebelum kalian, ketika melihat sesuatu yang tidak baik dari saudaranya, ia menasihatinya dengan lemah lembut, sehingga mendapat pahala dalam perintah dan larangannya. Namun salah satu dari orang-orang ini, ia justru kasar terhadap saudaranya, sehingga membuat saudaranya marah dan membuka aibnya"_ [19].

Beberapa ulama berpendapat bahwa kelembutan dalam nasihat adalah wajib.

 Al-Ghazali - rahimahullah - berkata:  
_"Kewajiban untuk bersikap lemah lembut dapat dipahami dari apa yang dilakukan oleh Al-Ma'mun ketika dinasihati dengan keras oleh seseorang. 
Al-Ma'mun berkata: Wahai lelaki! Bersikaplah lembut, karena Allah telah mengutus orang yang lebih baik darimu (Nabi Musa dan Harun) kepada orang yang lebih jahat dariku (Fir’aun), dan Dia memerintahkan mereka untuk bersikap lembut. 

Allah berfirman: 
'Maka berbicaralah kalian berdua (Musa dan Harun) kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut' (QS. Thaahaa: 44)"_.  

Maka hendaknya seorang pemberi nasihat mencontoh para nabi dalam hal kelembutan[20].


**Alangkah baiknya jika para da'i yang tulus, para khatib yang fasih, dan para pembimbing yang mulia mencontoh Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dalam kisah pemuda yang datang kepada beliau meminta izin untuk berzina. Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- tidak menegurnya dengan keras, melainkan menasihatinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.** 

Dari Abu Umamah -radhiyallahu 'anhu-, seorang pemuda mendatangi Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan berkata: "Wahai Nabi Allah, izinkan aku berzina." Orang-orang pun berteriak kepadanya, tetapi Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda: 
"Dekatkan dia, mendekatlah." 
Maka pemuda itu mendekat dan duduk di hadapan Nabi. 
Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bertanya:
 "Apakah engkau menyukai hal itu terjadi pada ibumu?" 
Pemuda itu menjawab: "Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku tebusan bagimu."
 Nabi berkata: 
"Demikian pula orang lain tidak suka hal itu terjadi pada ibu mereka. Apakah engkau menyukai hal itu terjadi pada putrimu?" Pemuda itu menjawab: "Tidak, demi Allah." Nabi berkata: "Demikian pula orang lain tidak menyukai hal itu terjadi pada putri mereka. Apakah engkau menyukai hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?" Pemuda itu menjawab: "Tidak, demi Allah." Nabi berkata: "Demikian pula orang lain tidak menyukai hal itu terjadi pada saudara perempuan mereka." 
Kemudian Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- meletakkan tangan beliau di dada pemuda itu dan berdoa: 
"Ya Allah, bersihkan hatinya, ampunilah dosanya, dan jagalah kemaluannya." Setelah itu, tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya selain perbuatan zina. (HR. Ahmad, disahihkan oleh Al-Albani dalam "As-Silsilah Ash-Shahihah", no. 370).

**Ketiga: Menasihati secara rahasia.** 

Karena memberikan nasihat di depan orang banyak dapat memicu reaksi negatif, dan bisa jadi nasihat tersebut tidak diterima, bahkan memperburuk keadaan.

 Oleh karena itu, para ulama salaf -radhiyallahu 'anhum- sangat menjaga agar nasihat disampaikan secara rahasia.

 Sebagian dari mereka berkata: 
"Barang siapa menasihati saudaranya secara pribadi, itu adalah nasihat yang sebenarnya. 
Tetapi jika ia menasihatinya di hadapan orang banyak, maka itu hanyalah penghinaan."

Al-Fudhayl bin ‘Iyadh -rahimahullah- berkata: 
"Seorang mukmin menutupi dan menasihati, sementara orang fasik membuka aib dan mencela."

Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- dengan indahnya berkata: 
"Barang siapa menasihati saudaranya secara rahasia, 
maka ia telah benar-benar menasihatinya dan menghiasinya. 
Namun, barang siapa menasihatinya secara terang-terangan, 
maka ia telah mempermalukannya dan merusaknya."

Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- ditanya mengenai amar ma'ruf dan nahi munkar terhadap penguasa, maka ia berkata:
 "Jika engkau harus melakukannya, maka lakukanlah di antara dirimu dan dia secara pribadi." [21]

Imam Asy-Syafi’i juga pernah bersyair:

_"Nasihatilah aku dengan tulus secara pribadi,  
dan jauhilah menasihatiku di depan orang banyak.  
Karena nasihat di hadapan orang banyak itu adalah celaan,  
yang aku tidak suka mendengarnya.  
Jika engkau menyelisihi dan tidak menuruti perkataanku,  
maka jangan marah jika nasihatmu tidak aku taati."_


Ibnu Hazm berkata:
"Jika engkau menasihati, maka nasihatilah secara rahasia, bukan terang-terangan, dan dengan sindiran, bukan pernyataan langsung, kecuali jika orang yang dinasihati tidak memahami sindiranmu, maka harus dengan pernyataan langsung." [22]

Allah Ta'ala berfirman kepada pemimpin para pemberi nasihat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Dan katakanlah kepada mereka perkataan yang menyentuh jiwa mereka." [An-Nisa: 63],

 artinya, nasihatilah mereka secara pribadi dengan perkataan yang dalam, yang bisa mencegah mereka [23].

**Keempat: Memilih waktu dan keadaan yang tepat:** 

Seorang penasihat harus cerdas dalam memilih waktu dan keadaan yang tepat, serta harus pandai memanfaatkan kesempatan yang ada. Memilih waktu dan situasi yang tepat adalah salah satu faktor terbesar diterimanya nasihat.

 Ibnu Mas'ud -radhiyallahu 'anhu- berkata: "Sesungguhnya hati memiliki saat-saat di mana ia bersemangat dan saat-saat di mana ia bosan, maka ambillah hati itu ketika ia bersemangat, dan tinggalkanlah ketika ia bosan." 

Beruntunglah da'i yang mengetahui kapan hati sedang terbuka dan kapan ia tertutup, sehingga ia bisa memberikan nasihat yang tepat dan berbicara dengan hati [24].

Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- biasa memberikan nasihat kepada para sahabatnya sesekali waktu, agar mereka tidak bosan.


             Poin Kedelapan: Faktor-faktor yang memengaruhi diterimanya nasihat:

Jika engkau ingin agar nasihatmu diterima dan bermanfaat, serta menghasilkan buah, maka engkau harus menjaga adab-adabnya, di antaranya yang paling penting adalah sebagai berikut:

Pertama:
 Menjaga adab-adab nasihat yang telah disebutkan sebelumnya.

Kedua:
 Memastikan dan memastikan bahwa orang yang hendak dinasihati benar-benar telah melakukan kesalahan.

Ketiga:
 Menjadi teladan yang baik, yaitu dengan mengamalkan apa yang diperintahkan kepada orang lain, dan menjauhi apa yang dilarang kepada mereka. 

Abu Bakar Al-Ajurri -rahimahullah- berkata: "Tidak akan menjadi penasihat yang tulus kepada Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan umat secara umum, kecuali orang yang memulai dengan menasihati dirinya sendiri, berusaha keras dalam menuntut ilmu dan memahami agama, sehingga ia mengetahui apa yang wajib atas dirinya, memahami permusuhan setan terhadapnya, bagaimana cara berhati-hati darinya, serta mengetahui buruknya apa yang diinginkan oleh nafsunya, sehingga ia bisa menyelisihi nafsunya dengan ilmu." [25]


**Allah Ta'ala mencela Bani Israil** 
atas kontradiksi antara perkataan mereka dan perbuatan mereka, sebagaimana firman-Nya:
 "Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri kamu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab? Tidakkah kamu berpikir?" [Al-Baqarah: 44].


**Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:** 
"Pada hari kiamat, seorang laki-laki didatangkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai keluar, dan ia berputar-putar dengannya seperti keledai yang berputar di penggilingan. 
Para penghuni neraka berkumpul di sekitarnya dan berkata: 
'Wahai Fulan, apa yang terjadi padamu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?'
 Ia menjawab: 'Benar, dahulu aku memerintahkan kebaikan tetapi aku tidak melaksanakannya, dan aku melarang kemungkaran tetapi aku melakukannya.'" (HR. Muslim).


**Semoga Allah merahmati Abu al-Aswad ad-Du'ali ketika ia berkata:**

Wahai orang yang mengajarkan orang lain,  
Mengapa engkau tidak mengajarkan dirimu sendiri?  
Engkau memberi resep obat bagi yang sakit,  
Agar ia sembuh, sementara engkau sendiri sakit.  
Jangan melarang suatu akhlak, namun engkau sendiri melakukannya,  
Itu adalah aib besar bagimu jika engkau melakukannya.  
Mulailah dengan dirimu sendiri, cegahlah ia dari kesesatan,  
Jika engkau berhasil, maka engkau adalah seorang yang bijak.  
Barulah apa yang engkau katakan akan diterima,  
Orang akan mencontoh ucapanmu, dan pengajaranmu akan bermanfaat.


**Keempat: Menunjukkan kasih sayang dan cinta kepada orang yang dinasihati.**  

Inilah jalan para nabi - semoga salam atas mereka semua - yang biasa berkata kepada kaumnya: 
"Dan aku adalah pemberi nasihat yang terpercaya bagi kalian" [Al-A'raf: 68]. 

Ini termasuk senyuman yang tulus di hadapan orang yang dinasihati sebelum menasihatinya, kata-kata yang baik, pujian atas kebaikannya, dan pemberian hadiah.


**Kelima: Menempatkan orang sesuai dengan posisinya.**  

Gunakan pendekatan yang sesuai dengan mereka, karena jelas bahwa manusia berbeda-beda tingkatannya.
 Maka, seseorang harus memilih pendekatan yang tepat sesuai dengan posisi masing-masing orang.
 Seorang pemimpin kaum Muslimin dinasihati dengan cara yang sesuai dengan kedudukannya, seorang alim dinasihati dengan cara yang layak baginya, orang tua harus diperlakukan dengan penuh hormat, orang yang jahil dinasihati dengan cara yang mengedukasi, sedangkan orang yang keras kepala dihadapi dengan cara yang tepat... dan seterusnya.


**Keenam: Kejujuran dalam memberikan nasihat.**  

Allah menceritakan tentang Fir’aun yang berkata kepada kaumnya:
 "Aku tidak menunjukkan kepada kalian kecuali apa yang aku lihat (baik), dan aku tidak menunjuki kalian kecuali kepada jalan yang benar" [Ghafir: 29]. 

Ucapan ini seolah menunjukkan kejujuran Fir’aun dalam menasihati kaumnya, namun sesungguhnya ia seorang pembohong yang menipu. 

Keadaannya serupa dengan Iblis laknatullah ketika berkata kepada bapak kita Adam dan ibu kita Hawa:
 "Dan dia bersumpah kepada keduanya: Sesungguhnya aku adalah pemberi nasihat yang tulus kepada kalian berdua" [Al-A'raf: 21],

 padahal dia adalah pembohong terbesar!

Inilah beberapa faktor yang dapat bermanfaat dan berpengaruh dalam membuat orang menerima nasihat dari si pemberi nasihat.


          Poin Kesembilan: Contoh-contoh nasihat luar biasa dari para salaf:

Sejarah Islam yang gemilang telah mencatat contoh-contoh luar biasa dari para salaf yang menggunakan metode efektif dalam memberikan nasihat sehingga diterima dengan baik. Berikut adalah beberapa contoh yang unik tersebut.

**Contoh pertama: 
Hasan dan Husain - radhiyallahu 'anhuma -:**  
Dikisahkan bahwa Hasan dan Husain - radhiyallahu 'anhuma - melihat seorang lelaki tua yang sedang berwudhu, namun ia tidak melakukannya dengan benar. Keduanya ingin mengajarinya, maka mereka mendekati lelaki tersebut dan berpura-pura berselisih: siapakah di antara mereka yang wudhunya lebih baik? 
Mereka meminta lelaki tua itu untuk menjadi penengah. 
Setelah keduanya berwudhu, lelaki tua itu berkata: "Aku yang tidak tahu cara berwudhu, ajarilah aku!"


**Contoh kedua: Jariir bin Abdullah - radhiyallahu 'anhu:**

Dari Ibrahim bin Jarir Al-Bajali, dari ayahnya, ia berkata: 
Suatu hari, Abu Abdullah (yakni Jarir) pergi ke pasar Kinasah untuk membeli hewan tunggangan, dan budaknya juga pergi bersamanya. 
Budaknya berhenti di salah satu sudut pasar, dan binatang-binatang tunggangan mulai lewat di hadapannya. 
Kemudian, ada seekor kuda yang lewat dan Jarir menyukainya.
 Dia berkata kepada budaknya, "Pergilah dan belilah kuda itu." 
Maka budaknya pergi dan menawarkan harga tiga ratus dirham kepada pemilik kuda tersebut. 
Namun, pemilik kuda menolak untuk menjualnya. 
Pemilik kuda tersebut berkata, "Bagaimana jika kita pergi ke seorang teman kita di sudut pasar?" 
Budaknya berkata, "Saya tidak keberatan." Maka, mereka pergi kepadanya. 
Lalu budaknya berkata kepada pemilik kuda, "Saya telah menawarkan tiga ratus dirham untuk kudamu, tetapi kamu menolak, dan menyebut bahwa kudamu lebih bernilai daripada itu." 
Pemilik kuda tersebut berkata, "Benar, semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Menurutmu berapa harga yang pantas?" Lalu, Jarir menjawab, "Tidak, kudamu lebih berharga dari itu. 
Bagaimana jika kamu menjualnya seharga lima ratus?" 
Hingga mereka sepakat dengan harga tujuh ratus atau delapan ratus dirham. Setelah pemilik kuda itu pergi, Jarir berpaling kepada budaknya dan berkata, "Celakalah kamu! Kamu pergi untuk membeli hewan tunggangan untukku, 
aku menyukai hewan tunggangan milik seorang pria, lalu aku mengutusmu untuk membelinya, dan kamu datang dengan membawa seorang Muslim dan berkata, 'Bagaimana menurutmu?' 
'Bagaimana menurutmu?' 
Aku telah berbaiat kepada Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam - untuk memberikan nasihat kepada setiap Muslim." (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam kitabnya "Al-Kabir").


**Contoh ketiga: Imam Malik bin Anas - rahimahullah:**

Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Anas, Imam dari Madinah, menulis sebuah surat kepada Khalifah Harun al-Rasyid untuk menasihatinya. 
Dalam surat itu, beliau berkata:  

"Amma ba'du, sesungguhnya aku menulis surat ini kepadamu, dan aku tidak menyisakan sedikitpun dari nasihat yang baik. 
Aku memuji Allah dan bersikap sopan atas nama Rasulullah. 
Maka, pertimbangkanlah surat ini dengan akalmu, pandanglah dengan penuh perhatian, dengarkanlah dengan seksama, renungkanlah dengan hatimu, dan hadirkanlah pemahamanmu. 
Jangan biarkan pikiranmu mengabaikan hal ini, karena di dalamnya terdapat keutamaan di dunia dan pahala yang baik dari Allah di akhirat.  

Ingatlah dirimu sendiri dalam saat-saat kematian, ketika penderitaan itu menimpamu, dan apa yang akan kamu hadapi setelah kematian, yaitu penghadapan kepada Allah, kemudian perhitungan, lalu keabadian setelah perhitungan tersebut.  

Siapkanlah dirimu untuk Allah - Yang Maha Mulia dan Maha Agung - agar memudahkanmu menghadapi kesulitan dan penderitaan di hari kiamat. 
Karena, jika kamu melihat kemurkaan Allah dan apa yang menimpa manusia berupa berbagai jenis siksaan, serta kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka yang beriman, dan jika kamu mendengar desahan mereka yang berada di dalam neraka serta jeritan mereka yang disertai dengan wajah-wajah yang mengerikan, penuh kesedihan, dan mereka terguling-guling dalam kegelapan, berjalan dengan wajah mereka di atas tanah, tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat, dan mereka memohon kehancuran, maka penolakan Allah terhadap mereka adalah kepedihan yang paling besar.
 Harapan mereka sirna ketika Allah berkata:
 *'Hinakanlah diri kalian di dalamnya dan jangan berbicara dengan-Ku'* [Al-Mu’minun: 108].  

Waspadalah terhadap orang-orang jahat dan pengikut yang buruk di sekelilingmu.

 Aku mendengar bahwa Umar bin Khattab - radhiyallahu 'anhu - berkata: *'Bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Allah.'*

Waspadalah terhadap pengikut yang buruk dan para penasehat yang menjerumuskan, karena aku mendengar bahwa Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - berkata: *'Tidak ada nabi ataupun khalifah kecuali memiliki dua pengikut: satu yang memerintahkannya untuk berbuat baik dan melarangnya dari kemungkaran, dan yang lainnya tidak melakukan apa pun kecuali berusaha menjerumuskannya'* [HR. Bukhari].

Kemudian beliau berkata:
 'Janganlah menyeret pakaianmu (dengan sombong), karena Allah tidak menyukai hal itu.
 Aku mendengar Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: 
*'Barang siapa menyeret pakaiannya karena kesombongan, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat'* [HR. Muslim]."

Taatilah Allah dalam bermaksiat kepada manusia, dan janganlah menaati manusia dalam bermaksiat kepada Allah; karena telah sampai kepadaku bahwa Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta." (HR. Muslim).

Inilah hal-hal yang berkaitan dengan nasihat. Setiap Muslim yang memberikan nasihat harus menghias dirinya dengan sifat-sifat ini dan menjadi seorang penasihat yang jujur.

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kemampuan untuk melaksanakan perintah-Mu, menjauhi larangan-Mu, dan melakukan amal yang mendekatkan kami kepada-Mu, wahai Yang Maha Penyayang dari segala penyayang. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa api neraka, dan kami memohon ridha-Mu serta surga, wahai Yang Maha Mulia dan Pemberi Kehormatan.

Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.

---


[1] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/210), cetakan: Muassasah ar-Risālah.
[2] "Syarah an-Nawawi 'ala Shahih Muslim" (2/37).
[3] Lihat: "Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah" (5/435) oleh Ibn Fāris, "Lisān al-‘Arab" (7/4438) oleh Ibn Manzhūr, "Al-Mishbah al-Munīr" (2/276) oleh al-Fayyūmī, dan "Al-Mufradāt", halaman (494) oleh ar-Rāghib.
[4] "Ma‘ālim as-Sunan" (4/125-126), dan lihat: "Kasyf al-Musykil min Hadīth ash-Shahīhain", (4/219).
[5] "Al-Mufradāt", halaman (494).
[6] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam", (1/220).
[7] "At-Ta‘rifāt", halaman (360).
[8] "Risālah al-Mustarshidīn", halaman (71).
[9] "Syarah al-Bukhārī" (1/130) oleh Ibn Baththāl.
[10] "Risālah al-Mustarshidīn", halaman (71).
[11] Lihat: "Risālah al-Jāmi‘" (2/56).
[12] "Syarah al-Bukhārī" (1/129), dan lihat: "Syarah Shahīh Muslim" (2/39) oleh an-Nawawi.
[13] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/220).
[14] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/220-221).
[15] "Syarah al-Bukhārī" (1/129) oleh Ibn Baththāl.
[16] "Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim" (2/23).
[17] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/225).
[18] Lihat: "Fath al-Bārī" (1/140).
[19] "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/225).
[20] "Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn" (2/334).
[21] Lihat: "Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Hikam" (1/225).
[22] "Al-Akhlāq wa as-Siyar", halaman (44).
[23] "Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm" (2/347) oleh Ibn Kathīr.
[24] "Fiqh ad-Da‘wah fī Inkār al-Munkar", halaman (114-115).
[25] "Syarah al-Bukhārī" (1/130) oleh Ibn Baththāl.
[26] Disahihkan oleh al-Albani dalam "Ash-Shahīhah" nomor (1641).